You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN
Anestesi artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai
hilangnya kesadaran. Spinal anestesi telah digunakan secara luas dan aman kurang
lebih 100 tahun, terutama untuk operasi-operai abdomen bawah, perineum dan
ekstremitas bawah. Anestesi regional secara intratekal ini merupakan suatu
alternative yang dapat diberikan untuk analgesia selama tindakan operasi dan
untuk memberikan analgesia pada periode dini pasca operasi.
Anestesi regional dibandingkan dengan anestesi umum mempunyai
banyak keuntungan, diantaranya relative lebih murah, pengaruh sistemik yang
kecil, menghasilkan analgesi yang adekuat dan mampu mencegah respon stress
secara lebih sempurna . saat ini anestesi regional semakin berkembang dan meluas
pemakaiannya.
Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk
menghilangkan sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik
sehingga mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan
dermatom yang diblok. Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih
dominan memblok saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah. Hipotensi adalah efek samping yang paling sering terjadi pada
anestesi spinal. Dikatakan hipotensi jika terjadi penurunan tekanan darah 20-30%
dari tekanan darah awal. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa lebih dari 11.000
pasien yang dilakukan tindakan anestesi spinal, terjadi hipotensi sekitar 38%
dengan penyebab utama adalah blockade saraf simpatis.

BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Berat Badan
Agama
Alamat

: Tn. S
: 41 Tahun
: Laki-laki
: 60 kg
: Islam
: Desa Pinatu, dusun I

B. ANAMNESIS
Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama
: Perut kembung
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk RSU anutapura dengan keluhan perut kembung yang
dialami kurang lebih 6 hari yang lalu. Keluhan tersebut disertai dengan
mual, muntah, tidak BAB dan tidak kentut. Awalnya pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas yaitu tabrakan motor yang menyebabkan perut
pasien membentur stir motor, dialami kurang lebih 8 hari yang lalu.
Sebelumnya pasien di rawat di RS. Parigi, dalam menjalani masa
perawatan, pasien mengalami perut kembung selama 4 hari, kemudian
pasien dipulangkan setelah pasien mengalami kentut yang terasa pedis.
Saat sampai di rumah pasien mengeluhkan keluhan yang sama yaitu perut
kembung, tidak kentut dan tidak BAB lalu pasien berobat ke RS
anutapura.
3. Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit hati disangkal
- Riwayat penyakit asma disangkal
- Riwayat alergi obat disangkal
- Riwayat diabetes melitus disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Vital Sign
- TD

: Lemah, gelisah
: Compos mentis, GCS: E4V5M6
: 110/80 mmHg

- Nadi
- RR
- Suhu
2. Pemeriksaan Kepala
- Mata

: 118 x/menit
: 30 x/menit
: 39 C
: mata cekung, Conjungtiva anemis -/-,

sklera ikterik -/-,


refleks cahaya +/+, pupil isokor diameter 3 mm
Telinga
: discharge (-)
Hidung
: Discharge (-), epistaksis (-)
Mulut
: sianosis (-) bibir kering (+), pembesaran

tonsil (-) skor Mallampati 1


3. Pemeriksaan leher : simetris, tidak ada deviasi trakea, pembesaran
kelenjar getah bening (-)
Tiroid
: Tidak ada kelainan
4. Pemeriksaan Dada
a. Dinding dada/paru :
Inspeksi
: Pengembangan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi
: Vokal Fremitus kanan=kiri
Perkusi
: Sonor kiri sama dengan kanan
Auskultasi
:Bunyi napas vesikuler Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Ictus cordis tidak terlihat


: Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula (S)
: Batas jantung normal
: S1 dan S2 murni regular, bising (-)

5. Abdomen :
Inspeksi
: distensi abdomen
Auskultasi : bising usus (-)
Perkusi
: Bunyi
: hypertimpani
Asites
: (-)
Palpasi
: defans muscular (+), nyeri tekan seluruh abdomen (+)
Pekak Hepar
: menghilang
Hati
: sulit dievaluasi
Lien
: sulit dievaluasi
Ginjal
: sulit dievaluasi
6. Ekstremitas : akral hangat, edema tidak ada, turgor menurun, CRT > 3
detik
7. Genitalia

: terpasang kateter

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hasil

Rujukan

Satuan

Hemoglobin

14,3

L: 14-18, P: 12-16

g/dl

Leukosit

27,5

4.000-12.000

/mm3

Eritrosit

5,06

L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6

Juta/ul

Hematokrit

46,8

L: 40-46 P: 35-47

Trombosit

103.000

150.000-450.000

/mm3

5-11(Duke)

m.det

1-3 (ivy)

m.det

Hasil

Rujukan

Satuan

150

170

mg/dl

HEMATOLOGI

Waktu
perdarahan/CT
Waktu
perdarahan/BT

KIMIA DARAH
GDS

E. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Rontgen BNO : Kesan free air subdiafragma kanan-kiri
F.

DIAGNOSIS
Peritonitis generalisata ec perforasi usus traumatik

G. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
- IVFD RL : Dextrose 5% 3:1 28 tpm
- Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Ketorolak 1 ampl/8 jam
- Ranitidine 1 ampl/12 jam
Tindakan
- Pasang NGT
- Pasang kateter
- Puasakan
- Balance cairan
- Rencana Tindakan: Laparotomi cito

H. TINDAKAN ANESTESI
Jenis anestesi
: Regional Anestesi
Teknik anestesi
: Sub-arachnoid blok
Induksi
: Bupivacaine Hyperbaric 0,5%
Anestesi mulai
: 09:15 WITA
Anestesi selesai
: 10.30 WITA
Operasi mulai
: 09.20 WITA
Operasi selesai
: 10.30 WITA
Anestesiologis
: dr. Taufik Imran Sp.An
Ahli Bedah
: dr. Raymond Sp. B / dr. Salahuddin
A.
1.
2.
3.

Pre-operatif
Pasien puasa > 8 jam pre-operatif.
Infus RL 24 tpm.
Status Fisik ASA II

B. Intra operatif
Pemantauan tanda-tanda vital selama operasi sebagai berikut:
Pukul (WITA)
09.15
09.20
09.25
09.30
09.35
09.40
09.45
09.50
09.55
10.00
10.05
10.10
10.15
10.20
10.25
10.30

Tekanan Darah (mmHg)


140/80
140/80
100/60
80/50
110/70
100/70
110/70
100/50
100/70
100/70
100/60
100/60
100/60
110/60
110/60
100/60

Nadi (kali/menit)
100
100
110
110
120
125
120
125
120
120
110
110
100
90
90
90

C. Post operatif
Pemantauan di Recovery Room :
1. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Beri O2 2L/menit nasal canul.

3. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan


analgetik
4. Bila Skor Bromage 2 boleh pindah ruangan.

PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menentukan status fisik ASA
dan risiko operasi. Pada pasien ini termasuk ASA II.
Jenis anestesi yang dipilih adalah regional anestesi cara spinal. Anestesi
spinal dengan blok saraf setinggi L3-L4. Teknik ini mudah, awitannya cepat, dan
harganya murah. Selain itu, pemilihan jenis anestesi regional anestesi dengan
teknik sub-arachnoid block (SAB) karena pembedahan dilakukan didaerah
abdomen, berada dibawah bagian yang dipersarafi oleh T4, yang merupakan
indikasi dilakukannya anestesi SAB.
Anestesi spinal atau biasa disebut blokade subarachnoid atau intratekal
merupakan anestesia blok yang luas. Anestesia spinal yang pertama kali

dikerjakan pada manusia pada tahun 1899 oleh Bier, tetapi karena angka kematian
yang tinggi, teknik tersebut tidak populer. Tetapi setelah diketahui efek fisiologis
dari anestetik lokal didalam ruang subarakhnoid, kini bahaya tersebut dapat
dicegah. Sesudah penyuntikan intratekal yang dipengaruhi lebih dahulu yaitu saraf
simpatis dan parasimpatis diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan
tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar,
dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit
tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan yang
sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali pulih kembali.
Anestesi spinal atau subarakhnoid disebut juga sebagai analgesik
blokspinal intradural atau blok intratekal. Untuk mencapai cairan serebrospinal
maka jarum suntik akan menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater,
kemudian paling akhir adalah ruang subarakhnoid.

Gambar. 1 Tempat penyuntikan anestesi spinal

Anestetik lokal biasanya disuntikan ke dalam ruang subarakhnoid di


anatara konus medularis dan bagian akhir dari ruang subarakhnoid untuk
menghindari kerusakan medula spinalis. Pada orang dewasa, obat anestetik lokal

disuntikkan ke dalam ruang subarakhnoid antara L 2dan L5 dan biasanya antara L3


dan L4. Untuk mendapatkan blokade yang luas, obat harus berdifusi ke atas dan
hal ini bergantung pada banyak faktor, antara lain posisi pasien dan berat jenis
obat.
Obat
Prokain
Lidokain
Tetrakain
Bupivacain

Konsentrasi
1,5% dalam air
2,5% dalam Dextrosa 5%
2% plain
8% dalam 7,5% dekstrosa
0,5% dalam dekstrosa 5%
0,5% dalam air
0,5% dalam 8,25% dekstrosa
0,5% plain

Berat Jenis
1,0052
1,0203
1,0004-1,0066
1,0262-1,0333
1,0133-1,0203
0,9977-0,9997
1,0277-1,0278
0,9990-1,0058

Tabel Konsentrasi dan Berat Jenis obat Anestetik Spinal

Berat jenis cairan anestetik lokal dapat diubah-ubah dengan menukar


komposisinya. Berat jenis normal cairan serebrospinal adalah 1,007. Larutan
anestetik lokal dengan berat jenis yang lebih besar dari 1,007 disebut larutan
hiperbarik, hal ini dapat dicapai dengan jalan menambahkan glukosa ke dalam
larutan. Sebaliknya bila anestetik lokal dilarutkan ke dalam larutan NaCl
hipotonis atau air suling akan didapatkan larutan hipobarik.
Distribusi anestesia dapat diatur dengan mengatur posisi pasien dan
dengan memperhatikan berat jenis obat yang digunakan. Misalnya, bila
diperlukan anestesia bagian bawah tubuh, pasien harus dalam sikap duduk selama
penyuntikan larutan hiperbarik dan 5 menit sesudahnya atau dengan posisi lateral
decubitus, atau pasien dalam posisi berbaring dengan kepala lebih rendah daripada
kaki selama penyuntikan dengan larutan hipobarik.
Ada beberapa indikasi dan kontraindikasi pada spinal anestesi. Indikasi
spinal anestesi adalah bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar
rectum perineum, bedah obstetrik-ginekologi, bedah urologi, dan bedah abdomen.
Kontraindikasi pada spinal anestesi dibagi menjadi kontraindikasi absolute dan
kontraindikasi relative. Kontraindikasi absolute pada spinal anestesi adalah pasien
menolak, infeksi pada tempat suntikan, tekanan intracranial meningkat, fasilitas
resusitasi minim dan kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi
sedangkan kontraindikasi relatife pada anestesi spinal yaitu infeksi sistemik,

infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung dan
hipovolemia ringan.
Persiapan pada anestesia spinal seperti persiapan pada anestesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali
sehingga tak teraba tonjolan prosessus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan halhal seperti, informed consent, pemeriksaan fisik meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi,
perhatikan juga adanya skoliosis atau kifosis, pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan
status fisik ASA dan resiko.
Peralatan

anestesi

spinal

harus

dipersiapkan

dengan

persiapan

perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi


umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestesi spinal disiapkan.
Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumernya dan
ukuran 16G sampai dengan 30G. Obat anestetik lokal yang digunakan adalah
prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu
jenis yang ujungnya runcing sperti ujung bambu runcing (Quincke-Babcock atau
Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil
banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri pasca penyuntikan spinal.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alkohol, dan duk steril
juga harus disiapkan.
Langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal dijelaskan sebagai
berikut:
1. Posisi duduk atau posisi lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di

atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
2. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain memberikan kenyamanan pada pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar
prosessus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
3. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya beresiko
trauma terhadap medulla spinalis.
4. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
5. Beri anestesi lokal (jika perlu) pada tempat suntikan, misalnya dengan
lidokain 1-2% 2-3 ml.
6. Cara tusukan media atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau
29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah
sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock), irisan
jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur
miring bevel mengarah ke atas atau kebawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri pasca spinal.
Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi
jarum tetap baik.
7. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemorroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa kurang lebih 6 cm.
Anestesi spinal juga mempunyai komplikasi, komplikasi yang dapat
ditimbulkan pada anestesi ini adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri
punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera pembuluh darah dan
saraf, serta anestesi spinal total.

Pada pasien ini digunakan Bupivakain hiperbarik sebagai obat anestesi


spinal, Bupivakain 0,5% hiperbarik merupakan anestetik lokal golongan amino
amida yang paling banyak digunakan pada teknik anestesi spinal. Pada pasien ini
digunakan obat anestesi bupivakain sebagai anestesi spinal, nama kimia
bupivakaina adalah 2-Piperidinecarboxamide, 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-,
monohydrochloride, monohydrate.
Bupivacain bekerja dengan cara berikatan secara intraseluler dengan
natrium dan memblok influk natrium ke dalam inti sel sehingga mencegah
terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri
mempunyai serabut saraf yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin,
maka bupivacain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai
selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. Bupivacain mempunyai
lama kerja obat yang lebih lama dibandingkan dengan obat anestesi lokal yang
lain. Pada pemberian dosis yang berlebihan dapat menyebabkan toksik pada
jantung dan sistem saraf pusat. Pada jantung dapat menekan konduksi jantung dan
rangsangan, yang dapat menyebabkan blok atrioventrikular, aritmia ventrikel, dan
henti jantung. Selain itu, kontraktilitas miokard dan depresi vasodilatasi perifer
terjadi, menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri. Efek
pada SSP mungkin termasuk eksitasi SSP (gugup, kesemutan di sekitar mulut,
tinitus, tremor, pusing, penglihatan kabur, dan kejang) diikuti oleh mengantuk,
hilangnya kesadaran, depresi pernapasan, dan apneu.
Bupivakain empat kali lebih kuat dibandingkan lidokain. Sekitar 90%95% obat ini berada dalam protein plasma maternal. Hal ini menyebabkan obat
lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan lidokain. Bupivakain merupakan agen
masuk cepat, keluar lambat. Hal inilah yang menjadi keuntungan yaitu
durasinya yang panjang dan blok motorik lama ketika kita memberikannya
sebagai konsentrasi analgesia. Penggunaan bupivacain untuk anestesi spinal
adalah 2-3 jam, dan memberikan relaksasi otot derajat sedang (moderate). Efek
blockade motorik pada otot perut menjadikan obat ini sesuai untuk digunakan

pada operasi-operasi perut yang berlangsung 45-60 menit. Lama blockade motorik
ini tidak melebihi durasi anelgesiknya.
Setelah pemberian bupivacaine selanjutnya pasien diberikan obat
premedikasi yaitu pethidine dengan dosis 50mg/IV dan sedacum (midazolam)
3mg/IV. Pethidin merupakan obat golongan opioid yang mempunyai efek
analgesic, pemberian petidin pada pasien ini bertujuan untuk mengurangi rasa
nyeri saat pembedahan. Midazolam merupakan obat derifat dari benzodiazepin.
Obat ini mempunyai sifat ansiolitik, sedative, anti konvulsif dan amnesia
anterograde. Sifat sedative obat ini sangat kuat sehingga dapat dipakai sebagai
obat premedikasi, induksi anestesi maupun pemberian anestesi. Pemberian obat
ini bertujuan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien menjelang
operasi dan memberikan efek amnesia enterograde sehingga pasien tidak trauma
dengan tindakan operasi. Midazolam bekerja mendepresi sistem saraf pusat
termasuk formatio retikularis dan limbik, serta juga meningkatkan GABA.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa pemberian anestesi dapat
menimbukan berbagai macam komplikasi, salah satunya yang paling sering
adalah hipotensi karena terjadinya vasodilatasi pembuluh darah. Oleh karena itu
setelah pemberian bupivacaine dilakukan pemantauan tekanan darah yang ketat.
Pada menit ke 15 tekanan darah pasien turun menjadi 80/50 mmHg, sehingga
tetesan cairan dipercepat namun usaha tersebut belum dapat menaikkan tekanan
darah maka ditambahkan efedrin 20 mg. Efek dari efedrin yaitu menimbulkan
vasokonstriksi sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Sebenarnya dikatakan
hipotensi bila ada penurunan tekanan darah arteri rerata (MAP) lebih dari 40%
atau MAP < 60 mmHg. Tetapi apabila hipotensi berlangsung lama dan tidak
diterapi maka akan menyebabkan hipoksia jaringan, bila keadaan ini berlanjut
terus maka akan mengakibatkan keadaan syok hingga kematian. Pada saat operasi
tidak ditemukan kesulitan dan pasien bernapas dengan spontan.
Setelah selesai pembedahan pasien perlu mendapatkan pemantauan di
ruang pulih sadar. Masalah pulih sadar pada anestesi tidak hanya dinilai asal

pasien telah sadar, tetapi ada hal-hal yang penting yang perlu diperhatikan. Pada
pasien yang dilakukan spinal anestesi, kriteria pemindahan pasien jika skor
Bromage pasien 2 maka pasien boleh pindah ke ruangan perawatan.
Kriteria

Nilai

Dapat memfleksikan kaki dan lutut


(None)
hanya dapat menekuk lutut tetapi tidak
dapat mengangkat kaki (Partial)
Hanya dapat menggerakkan kaki
(Almost Complete)
Tidak dapat mengangkat kaki sama
sekali (Complete)
TOTAL

Skor

1
2
3

Keterangan : Pasien dapat dipindahkan ke bangsal atau ruang perawatan jika


skor kurang dari atau sama dengan 2.
Tabel Penilaian Skor Bromage

Gambar 2. Skor Bromage

Terapi cairan
1. Pre operatif
Pada pasien ini terjadi gangguan volume yang diakibatkan translokasi
cairan dan elektrolit dalam peritoneum oleh karena terjadinya kebocoran

isi rongga abdomen ke dalam rongga abdomen. Pada pasien ini dapat
dikategorikan dehidrasinya berdasarkan dari gejala klinis dan pemeriksaan
kadar elektrolit. Dari pemeriksaan klinis tampak pasien lemah, dengan
GCS E4V5E6, tekanan darah 110/80 mmHg, pernafasan 30 kali per menit,
nadi cepat dan lemah dengan frekuensi 118 kali per menit, mata cekung,
mukosa bibir kering, capillary refill time lebih dari 3 detik, produksi urin
menurun dan diketahui pada peritonis setiap penebalan peritoneum 2-3
mm saja dapat dapat mengandung cairan dan elektrolit sebanyak 3-5 liter,
sehingga dapat dikategorikan sebagai dehidrasi berat.
Derajat dehidrasi berat (12%) x BB (60 kg) x 1000 cc = 7200 cc
Cairan maintenance
10 kg pertama
: 10 kg x 4cc = 40 cc
10 kg kedua
: 10 kg x 2 cc = 20 cc
Sisa BB
: 40 kg x 1 cc = 40 cc
Total
: 100 cc/jam (2.400 ml/24 jam)
Pemberian cairan dehidrasi diberikan dalam 2 waktu:
8 jam pertama
: Rehidrasi (3600) + maintenance (100)
= 3700 cc
16 jam berikutnya : 3700 cc
Pada kasus ini sebelum operasi telah dimasukkan cairan sebanyak
1200 cc selama kurang lebih 8 jam. Sehingga masih tersisa 6200 cc
untuk pemberian 16 jam berikutnya, yang akan ditambahkan pada
cairan pasca operasi.
2. Perioperatif
Untuk terapi cairan perioperatif dapat digunakan formula M O P, dengan
keterangan sebagai berikut:
M : Maintenance, dapat dihitung menggunakan rumus holyday Zegar
untuk anak-anak yaitu rumus 421
O : prediksi cairan yang hilang selama operasi dapat dihitung dari jenis
operasi x BB
- Operasi kecil
: 4-6 ml x BB
- Operasi sedang : 6-8 ml x BB
- Operasi besar
: 8-10 ml x BB
P : Lamanya puasa dihitung dari jumlah jam puasa x maintenance
Perhitungan cairan menggunakan rumus:
Jam I
: M + O + 1/2 P
Jam II-III : M + O + 1/4 P
Jam IV
:M+O

Berikut merupakan perhitungan pada saat operasi:


a. Maintenance : 100cc
b. Pengganti puasa: lama jam puasa (72 jam) x maintenance (100cc) =
7200 cc
c. Stress operasi : pada kasus ini termasuk jenis operasi besar karena
merupakan operasi laparatomi eksplorasi sehingga stress operasi = 8 x
60 kg = 480 cc
Jadi kebutuhan cairan pada jam 1:
M + SO + 50% PP
100 + 480 + 50% (7200) = 4180 cc
Operasi berlangsung selama 1 jam 10 menit, cairan masuk pada saat
operasi sebanyak 1750 cc sehingga sisa cairan yang akan diberikan post operasi
adalah 2430 cc.
Perdarahan
Jumlah perdarahan saat dilakukan operasi adalah 1500 cc
Rumus = BB x 70%
60 x 70% = 42
Perkiraan perdarahan x 100%
EBV
1500

x 100%

= 35,7%

42
Pada pasien ini diberikan whole blood karena perdarahan > 30% TBV
merupakan indikasi pemberian whole blood pemberian whole blood sesuai
dengan perkiraan perdarahan yang hilang.
3. Post operatif
Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar
kurang lebih 50 ml/kgBB/24jam. Sehingga kebutuhan air untuk pasien ini adalah:
50 cc/kgBB/24 jam = 3000cc/24jam
Kemudian melanjutkan penggantian deficit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai yaitu sebanyak 6200cc untuk 16 jam berikutnya.
Selain itu masih tersisa cairan perioperatif, yaitu 2430 cc. Jumlah pengganti
perdarahan dengan whole blood sebanyak 1500cc. Sehingga kebutuhan cairan

untuk kurang lebih 24 jam kedepan adalah kebutuhan cairan pasca operasi + sisa
cairan rehidrasi + sisa cairan perioperatif + jumlah pengganti perdarahan, jadi di
dapatkan 10.130cc yang merupakan suatu jumlah yang banyak. Karena pasien
masih dipuasakan setelah operasi maka cairan sisa akan dimasukkan secara
parenteral.

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief S A, Suryadi K A, Dachlan M R. Anestetik Inhalasi Petunjuk Praktis


Anestesiologi. 2nded. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI;
2002.
2. Samsuhidajat R, Wim de Jong. Buku ajar ilmu bedah. Ed 3th. EGC; Jakarta:
2010.
3. Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar A, Arif A, Bahry B et all.
Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
4. Mangku G. AnestesiInhalasi dan Buku Standar Pelayanan dan Tatalaksana
Anestesia-Analgesia dan Terapi Intensif. Denpasar: Bagian Anestesiologi dan
Reanimasi FK UNUD; 2002.
5. Boulton, BT. Blogg, CE. Anestesiologi. 10thed. Jakarta: EGC; 1994.

You might also like