Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Anestesi artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai
hilangnya kesadaran. Spinal anestesi telah digunakan secara luas dan aman kurang
lebih 100 tahun, terutama untuk operasi-operai abdomen bawah, perineum dan
ekstremitas bawah. Anestesi regional secara intratekal ini merupakan suatu
alternative yang dapat diberikan untuk analgesia selama tindakan operasi dan
untuk memberikan analgesia pada periode dini pasca operasi.
Anestesi regional dibandingkan dengan anestesi umum mempunyai
banyak keuntungan, diantaranya relative lebih murah, pengaruh sistemik yang
kecil, menghasilkan analgesi yang adekuat dan mampu mencegah respon stress
secara lebih sempurna . saat ini anestesi regional semakin berkembang dan meluas
pemakaiannya.
Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk
menghilangkan sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik
sehingga mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan
dermatom yang diblok. Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih
dominan memblok saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah. Hipotensi adalah efek samping yang paling sering terjadi pada
anestesi spinal. Dikatakan hipotensi jika terjadi penurunan tekanan darah 20-30%
dari tekanan darah awal. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa lebih dari 11.000
pasien yang dilakukan tindakan anestesi spinal, terjadi hipotensi sekitar 38%
dengan penyebab utama adalah blockade saraf simpatis.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Berat Badan
Agama
Alamat
: Tn. S
: 41 Tahun
: Laki-laki
: 60 kg
: Islam
: Desa Pinatu, dusun I
B. ANAMNESIS
Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama
: Perut kembung
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk RSU anutapura dengan keluhan perut kembung yang
dialami kurang lebih 6 hari yang lalu. Keluhan tersebut disertai dengan
mual, muntah, tidak BAB dan tidak kentut. Awalnya pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas yaitu tabrakan motor yang menyebabkan perut
pasien membentur stir motor, dialami kurang lebih 8 hari yang lalu.
Sebelumnya pasien di rawat di RS. Parigi, dalam menjalani masa
perawatan, pasien mengalami perut kembung selama 4 hari, kemudian
pasien dipulangkan setelah pasien mengalami kentut yang terasa pedis.
Saat sampai di rumah pasien mengeluhkan keluhan yang sama yaitu perut
kembung, tidak kentut dan tidak BAB lalu pasien berobat ke RS
anutapura.
3. Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit hati disangkal
- Riwayat penyakit asma disangkal
- Riwayat alergi obat disangkal
- Riwayat diabetes melitus disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Vital Sign
- TD
: Lemah, gelisah
: Compos mentis, GCS: E4V5M6
: 110/80 mmHg
- Nadi
- RR
- Suhu
2. Pemeriksaan Kepala
- Mata
: 118 x/menit
: 30 x/menit
: 39 C
: mata cekung, Conjungtiva anemis -/-,
5. Abdomen :
Inspeksi
: distensi abdomen
Auskultasi : bising usus (-)
Perkusi
: Bunyi
: hypertimpani
Asites
: (-)
Palpasi
: defans muscular (+), nyeri tekan seluruh abdomen (+)
Pekak Hepar
: menghilang
Hati
: sulit dievaluasi
Lien
: sulit dievaluasi
Ginjal
: sulit dievaluasi
6. Ekstremitas : akral hangat, edema tidak ada, turgor menurun, CRT > 3
detik
7. Genitalia
: terpasang kateter
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil
Rujukan
Satuan
Hemoglobin
14,3
L: 14-18, P: 12-16
g/dl
Leukosit
27,5
4.000-12.000
/mm3
Eritrosit
5,06
L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6
Juta/ul
Hematokrit
46,8
L: 40-46 P: 35-47
Trombosit
103.000
150.000-450.000
/mm3
5-11(Duke)
m.det
1-3 (ivy)
m.det
Hasil
Rujukan
Satuan
150
170
mg/dl
HEMATOLOGI
Waktu
perdarahan/CT
Waktu
perdarahan/BT
KIMIA DARAH
GDS
E. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Rontgen BNO : Kesan free air subdiafragma kanan-kiri
F.
DIAGNOSIS
Peritonitis generalisata ec perforasi usus traumatik
G. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
- IVFD RL : Dextrose 5% 3:1 28 tpm
- Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Ketorolak 1 ampl/8 jam
- Ranitidine 1 ampl/12 jam
Tindakan
- Pasang NGT
- Pasang kateter
- Puasakan
- Balance cairan
- Rencana Tindakan: Laparotomi cito
H. TINDAKAN ANESTESI
Jenis anestesi
: Regional Anestesi
Teknik anestesi
: Sub-arachnoid blok
Induksi
: Bupivacaine Hyperbaric 0,5%
Anestesi mulai
: 09:15 WITA
Anestesi selesai
: 10.30 WITA
Operasi mulai
: 09.20 WITA
Operasi selesai
: 10.30 WITA
Anestesiologis
: dr. Taufik Imran Sp.An
Ahli Bedah
: dr. Raymond Sp. B / dr. Salahuddin
A.
1.
2.
3.
Pre-operatif
Pasien puasa > 8 jam pre-operatif.
Infus RL 24 tpm.
Status Fisik ASA II
B. Intra operatif
Pemantauan tanda-tanda vital selama operasi sebagai berikut:
Pukul (WITA)
09.15
09.20
09.25
09.30
09.35
09.40
09.45
09.50
09.55
10.00
10.05
10.10
10.15
10.20
10.25
10.30
Nadi (kali/menit)
100
100
110
110
120
125
120
125
120
120
110
110
100
90
90
90
C. Post operatif
Pemantauan di Recovery Room :
1. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Beri O2 2L/menit nasal canul.
PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menentukan status fisik ASA
dan risiko operasi. Pada pasien ini termasuk ASA II.
Jenis anestesi yang dipilih adalah regional anestesi cara spinal. Anestesi
spinal dengan blok saraf setinggi L3-L4. Teknik ini mudah, awitannya cepat, dan
harganya murah. Selain itu, pemilihan jenis anestesi regional anestesi dengan
teknik sub-arachnoid block (SAB) karena pembedahan dilakukan didaerah
abdomen, berada dibawah bagian yang dipersarafi oleh T4, yang merupakan
indikasi dilakukannya anestesi SAB.
Anestesi spinal atau biasa disebut blokade subarachnoid atau intratekal
merupakan anestesia blok yang luas. Anestesia spinal yang pertama kali
dikerjakan pada manusia pada tahun 1899 oleh Bier, tetapi karena angka kematian
yang tinggi, teknik tersebut tidak populer. Tetapi setelah diketahui efek fisiologis
dari anestetik lokal didalam ruang subarakhnoid, kini bahaya tersebut dapat
dicegah. Sesudah penyuntikan intratekal yang dipengaruhi lebih dahulu yaitu saraf
simpatis dan parasimpatis diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan
tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar,
dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit
tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan yang
sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali pulih kembali.
Anestesi spinal atau subarakhnoid disebut juga sebagai analgesik
blokspinal intradural atau blok intratekal. Untuk mencapai cairan serebrospinal
maka jarum suntik akan menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater,
kemudian paling akhir adalah ruang subarakhnoid.
Konsentrasi
1,5% dalam air
2,5% dalam Dextrosa 5%
2% plain
8% dalam 7,5% dekstrosa
0,5% dalam dekstrosa 5%
0,5% dalam air
0,5% dalam 8,25% dekstrosa
0,5% plain
Berat Jenis
1,0052
1,0203
1,0004-1,0066
1,0262-1,0333
1,0133-1,0203
0,9977-0,9997
1,0277-1,0278
0,9990-1,0058
infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung dan
hipovolemia ringan.
Persiapan pada anestesia spinal seperti persiapan pada anestesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali
sehingga tak teraba tonjolan prosessus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan halhal seperti, informed consent, pemeriksaan fisik meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi,
perhatikan juga adanya skoliosis atau kifosis, pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan
status fisik ASA dan resiko.
Peralatan
anestesi
spinal
harus
dipersiapkan
dengan
persiapan
atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
2. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain memberikan kenyamanan pada pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar
prosessus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
3. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya beresiko
trauma terhadap medulla spinalis.
4. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
5. Beri anestesi lokal (jika perlu) pada tempat suntikan, misalnya dengan
lidokain 1-2% 2-3 ml.
6. Cara tusukan media atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau
29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah
sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock), irisan
jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur
miring bevel mengarah ke atas atau kebawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri pasca spinal.
Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi
jarum tetap baik.
7. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemorroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa kurang lebih 6 cm.
Anestesi spinal juga mempunyai komplikasi, komplikasi yang dapat
ditimbulkan pada anestesi ini adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri
punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera pembuluh darah dan
saraf, serta anestesi spinal total.
pada operasi-operasi perut yang berlangsung 45-60 menit. Lama blockade motorik
ini tidak melebihi durasi anelgesiknya.
Setelah pemberian bupivacaine selanjutnya pasien diberikan obat
premedikasi yaitu pethidine dengan dosis 50mg/IV dan sedacum (midazolam)
3mg/IV. Pethidin merupakan obat golongan opioid yang mempunyai efek
analgesic, pemberian petidin pada pasien ini bertujuan untuk mengurangi rasa
nyeri saat pembedahan. Midazolam merupakan obat derifat dari benzodiazepin.
Obat ini mempunyai sifat ansiolitik, sedative, anti konvulsif dan amnesia
anterograde. Sifat sedative obat ini sangat kuat sehingga dapat dipakai sebagai
obat premedikasi, induksi anestesi maupun pemberian anestesi. Pemberian obat
ini bertujuan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien menjelang
operasi dan memberikan efek amnesia enterograde sehingga pasien tidak trauma
dengan tindakan operasi. Midazolam bekerja mendepresi sistem saraf pusat
termasuk formatio retikularis dan limbik, serta juga meningkatkan GABA.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa pemberian anestesi dapat
menimbukan berbagai macam komplikasi, salah satunya yang paling sering
adalah hipotensi karena terjadinya vasodilatasi pembuluh darah. Oleh karena itu
setelah pemberian bupivacaine dilakukan pemantauan tekanan darah yang ketat.
Pada menit ke 15 tekanan darah pasien turun menjadi 80/50 mmHg, sehingga
tetesan cairan dipercepat namun usaha tersebut belum dapat menaikkan tekanan
darah maka ditambahkan efedrin 20 mg. Efek dari efedrin yaitu menimbulkan
vasokonstriksi sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Sebenarnya dikatakan
hipotensi bila ada penurunan tekanan darah arteri rerata (MAP) lebih dari 40%
atau MAP < 60 mmHg. Tetapi apabila hipotensi berlangsung lama dan tidak
diterapi maka akan menyebabkan hipoksia jaringan, bila keadaan ini berlanjut
terus maka akan mengakibatkan keadaan syok hingga kematian. Pada saat operasi
tidak ditemukan kesulitan dan pasien bernapas dengan spontan.
Setelah selesai pembedahan pasien perlu mendapatkan pemantauan di
ruang pulih sadar. Masalah pulih sadar pada anestesi tidak hanya dinilai asal
pasien telah sadar, tetapi ada hal-hal yang penting yang perlu diperhatikan. Pada
pasien yang dilakukan spinal anestesi, kriteria pemindahan pasien jika skor
Bromage pasien 2 maka pasien boleh pindah ke ruangan perawatan.
Kriteria
Nilai
Skor
1
2
3
Terapi cairan
1. Pre operatif
Pada pasien ini terjadi gangguan volume yang diakibatkan translokasi
cairan dan elektrolit dalam peritoneum oleh karena terjadinya kebocoran
isi rongga abdomen ke dalam rongga abdomen. Pada pasien ini dapat
dikategorikan dehidrasinya berdasarkan dari gejala klinis dan pemeriksaan
kadar elektrolit. Dari pemeriksaan klinis tampak pasien lemah, dengan
GCS E4V5E6, tekanan darah 110/80 mmHg, pernafasan 30 kali per menit,
nadi cepat dan lemah dengan frekuensi 118 kali per menit, mata cekung,
mukosa bibir kering, capillary refill time lebih dari 3 detik, produksi urin
menurun dan diketahui pada peritonis setiap penebalan peritoneum 2-3
mm saja dapat dapat mengandung cairan dan elektrolit sebanyak 3-5 liter,
sehingga dapat dikategorikan sebagai dehidrasi berat.
Derajat dehidrasi berat (12%) x BB (60 kg) x 1000 cc = 7200 cc
Cairan maintenance
10 kg pertama
: 10 kg x 4cc = 40 cc
10 kg kedua
: 10 kg x 2 cc = 20 cc
Sisa BB
: 40 kg x 1 cc = 40 cc
Total
: 100 cc/jam (2.400 ml/24 jam)
Pemberian cairan dehidrasi diberikan dalam 2 waktu:
8 jam pertama
: Rehidrasi (3600) + maintenance (100)
= 3700 cc
16 jam berikutnya : 3700 cc
Pada kasus ini sebelum operasi telah dimasukkan cairan sebanyak
1200 cc selama kurang lebih 8 jam. Sehingga masih tersisa 6200 cc
untuk pemberian 16 jam berikutnya, yang akan ditambahkan pada
cairan pasca operasi.
2. Perioperatif
Untuk terapi cairan perioperatif dapat digunakan formula M O P, dengan
keterangan sebagai berikut:
M : Maintenance, dapat dihitung menggunakan rumus holyday Zegar
untuk anak-anak yaitu rumus 421
O : prediksi cairan yang hilang selama operasi dapat dihitung dari jenis
operasi x BB
- Operasi kecil
: 4-6 ml x BB
- Operasi sedang : 6-8 ml x BB
- Operasi besar
: 8-10 ml x BB
P : Lamanya puasa dihitung dari jumlah jam puasa x maintenance
Perhitungan cairan menggunakan rumus:
Jam I
: M + O + 1/2 P
Jam II-III : M + O + 1/4 P
Jam IV
:M+O
x 100%
= 35,7%
42
Pada pasien ini diberikan whole blood karena perdarahan > 30% TBV
merupakan indikasi pemberian whole blood pemberian whole blood sesuai
dengan perkiraan perdarahan yang hilang.
3. Post operatif
Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar
kurang lebih 50 ml/kgBB/24jam. Sehingga kebutuhan air untuk pasien ini adalah:
50 cc/kgBB/24 jam = 3000cc/24jam
Kemudian melanjutkan penggantian deficit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai yaitu sebanyak 6200cc untuk 16 jam berikutnya.
Selain itu masih tersisa cairan perioperatif, yaitu 2430 cc. Jumlah pengganti
perdarahan dengan whole blood sebanyak 1500cc. Sehingga kebutuhan cairan
untuk kurang lebih 24 jam kedepan adalah kebutuhan cairan pasca operasi + sisa
cairan rehidrasi + sisa cairan perioperatif + jumlah pengganti perdarahan, jadi di
dapatkan 10.130cc yang merupakan suatu jumlah yang banyak. Karena pasien
masih dipuasakan setelah operasi maka cairan sisa akan dimasukkan secara
parenteral.
DAFTAR PUSTAKA