You are on page 1of 7

TERAPI ESTROGEN DEPENDENT dan

INDEPENDENT pada CARCINOMA ENDOMETRIUM


Sinopsis Sub Bag Onkologi

UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh :

Vera Nirmala
Mira Dewita

Pembimbing

Dr. Pelsi Sulaini, Sp.OG(K)


Dr. Andi Friadi, SpOG(K)

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2014

PENDAHULUAN
Hubungan antara hormon dan kanker endometrium telah lama
diketahui karena beberapa keadaan penyakit, contohnya anovulasi kronik
dan produksi hormon estrogen endogen dari tumor yang memproduksi
hormon/ hormone secreting tumor (contohnya granulose cell tumor of the
ovary), juga berhubungan dengan estrogen eksogen dan konsumsi
unopposed estrogen diduga dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan
endometrium, hiperplasia, dan akhirnya berkembang menjadi kanker
endometrium. Meskipun demikian, kemungkinan penggunaan terapi anti
hormon pada kanker endometrium

dan / atau lesi prekanker, seperti

hyperplasia simpleks dengan atau tanpa atipik dan komplek atipik dengan/
tanpa atipik, yang selalu menyertai , sebagaimana penatalaksanaan
kanker payudara. Selain itu, jika wanita muda didiagnosa kanker
endometrium, beberapa hal penting harus dipertimbangkan, termasuk
kemungkinan

mempertahankan

ovarium

secara

keseluruhan

atau

sebagian terhadap fungsi reproduksi dan kemungkinan mempertahankan


kedua ovarium dan uterus untuk mempertahankan fungsi reproduksi
secara komplit atau sebagian. (1)
TIPE I dan TIPE II KANKER ENDOMETRIUM
Tipe I dan II kanker endometrium memiliki karakter biologi dan
histologi yang berbeda.
Tipe I kanker endometrium berjumlah lebih dari 80% dengan
gambaran yang bervariasi dan sering berhubungan dengan estrogen
terlindungi

dan

endometrioid.

lingkungan

Serial

hiperestrogen,

karsinogenik

berubah

umumnya
pada

tipe

pada
I

tipe

kanker

endometrium yang sering ditemukan pada laporan patologi. Keganasan


dapat bermula dari hyperplasia endometrium tanpa atipik dan meningkat
dengan status keganasan, contohnya hyperplasia endometrial komplek
dengan atipik (komplek hiperplasia atipik, ACH) atau well-differentiated
(grade 1) kanker endometrium. Selain itu, tipe histology dari tipe 1 kanker
endometrium sering endometrioid, dan grade rendah (Grade 1 atau 2),

dan seringkali positif dengan pewarnaan histokimia untuk gen fosfat dan
homolog tensin (PTEN) (berkisar antara 50-80%), atau instabilitas
mikrosatelit (berkisar antara 10-30%) atau -catenin (20%), dan hormon
reseptor , seperti reseptor estrogen, reseptor progesteron atau reseptor
androgen (ARs). Sumber estrogen terlindungi bisa berasal dari eksogen,
termasuk terapi sulih hormon (HRT) pada wanita postmenopause, atau
endogen, seperti obesitas dan keadaan anovulasi. Obesitas berperan
meningkatkan angka kanker endometrium, meskipun estrogen endogen
sering dianggap sebagai faktor yang paling penting. Bagaimanapun, tak
diragukan lagi bahwa endokrin, parakrin, sitokin, dan growth faktor
berhubungan dengan obesitas mungkin lebih jauh berpengaruh. Seperti
contoh, insulin resisten, hiperglikemia, dan hiperinsulinemia dapat secara
signifikan meningkatkan bioavaibilitas insulin growth faktor, yang memicu
proliferasi endometrium oleh reseptor faktor pertumbuhan insulin. Tipe I
kanker endometrium merupakan keganasan ekstra kolon yang sering jika
kanker endometrium terjadi pada

sindrom kanker multiorgan, seperti

karsinoma kolorektal nonpoliposis herediter (HNPCC/Lynch syndrome),


risiko waktu hidup bervariasi antara 32% dan 60% pada sindrom Lynch
dibandingkan pada 1% populasi awam.
Tipe II kanker endometrium sering berhubungan dengan usia.
Seperti contoh, seringkali terjadi pada wanita tua postmenopause, tanpa
ketergantungan terhadap rangsangan estrogen, dan sering muncul pada
lingkungan atropik. Gambaran histologi termasuk papillary serous, clear
cell, dan poorly differentiated carcinoma dengan tendensi menginvasi
limfatik dan vaskuler, metastasis ke kelenjar limfe, dan secara mikroskop
masuk ke dalam struktur intraperitoneal meskipun minimal atau tak
menginvasi ke dalam uterus, dan mengakibatkan stadium lanjut, tingginya
angka keganasan, dan prognosa yang buruk. Pewarnaan imunohistokimia
seringkali positif dengan mutasi p53 (90%), E-cadherin (sekitar 80-90%),
dan HER-2/neu overexpression (sekitar 45-80%), dan yang paling penting
seringkali bereaksi negatif terhadap reseptor hormon, seperti pada ERs
atau PRs.(1)

Terapi kuratif pada pasien dengan kanker endometrium adalah


pembedahan,

termasuk

histerektomi

komplit,

mengangkat

struktur

adneksa dan pembedahan sesuai staging pada pasien yang beresiko


menyebar keluar uterus dan tergantung klasifikasi FIGO tahun 2009. (2)

Hormonal terapi
Bagaimana memilih terapi konservatif yang sesuai terhadap pasien
dengan kanker endometrium juga merupakan hal penting. Berdasarkan
survei seluruh konsultan ginekologis di Inggris (n= 338) dari Royal College
of Obstetricians and Gynecologists menunjukkan bahwa
3

pilihan yang

paling popular terhadap penanganan Complex Endometrial Hyperplasia


(CEH) adalah progestin oral (33,2%) dan Levonorgestrel Intra Uterine
System (LNG-IUS) (52,1%). Umumnya ginekologis melakukan 2 pilihan
konservatif sebelum melakukan histerektomi.

Pada kasus Atypical

Complex Hyperplasia (ACH), lebih dari 80% ginekologis akan melakukan


histerektomi dan menganggap LNG-IUS atau progestin oral sebagai
plihan kedua dan ketiga. Lebih banyak ginekologis (57,6%) lebih
menyukai LNG-IUS sebagai pilihan kedua dalam penanganan ACH.
Disamping itu, progestin oral atau terapi hormon lain contohnya
gonadotropin-releasing hormone agonist (GnRH agonist), antiprogestin,
selective progesterone receptor modulators (SPRMs), estrogen receptor
agonist, seperti ful vestrant, aromatae inhibitors atau progestin geneasi
baru sebaiknya ditambahkan pada pasien yang diterapi dengan LNG-IUS.
(1)
Hormonal terapi menggunakan hormone atau obat blok hormone
untuk melawan kanker. Tipenya tak sama dengan hormone yang diberikan
untuk mengatasi gejala-gejala menopause.
Hormonal terapi hanya pada tipe endometrioid secara histologi
(contohnya papillary serous carcinoma, clear cell carcinoma atau
carcinosarcoma). Sejak diketahui bahwa uterus merupakan organ yang
responsif terhadap hormon sex steroid, hormonal terapi merupakan pilihan
yang masuk akal bagi penderita kanker endometrium. Reseptor estrogen
dan reseptor progesteron

pada

kanker endometrium yang

telah

bermetastasis memiliki nilai yang berarti dalam menentukan respon


terhadap hormonal terapi, dan kenyataan ini didukung oleh pernyataanpernyataan dalam penanganan pasien pada yang telah bermetastasis.
Pada pasien yang statusnya buruk, terapi hormon memberikan pilihan
terapi dengan sedikit efek samping dan rendah morbiditas.
Di awal tahun 1950, progestin dilaporkan memiliki efek antiestrogen
terhadap endometrium dan produksi kelenjar dan stroma. Respon ratarata terhadap progestin 34%, dimana progestin interval bebas antara 16
28 bulan, yang awalnya dilaporkan secara analisa prospektif. Percobaan

prospektif terbaru, membuktikan respon secara keseluruhan rata-rata


antara

11

dan

16%

pada

wanita

yang

diterapi

dengan

medroxyprogesteron asetat atau megestrol asetat, dengan progresifitas


bebas interval hanya 4 6 bulan. Karena progestin mengakibatkan
downregulasi ikatan aktivasi reseptor progesteron, penggunaan progestin
yang lama dapat mengakibatkan hilangnya efek dalam endometrium. Dua
macam progestin yang biasa dipakai adalah medroxyprogesteron acetat
(Provera, yang dapat digunakan dalam bentuk pil atau suntik) dan
megestrol acetat (Megace, berupa pil). Efek samping dapat berupa
peningkatan kadar gula darah pada pasien Diabetes. Hot flashes,
berkeringat malam, dan peningatan berat badan (dari retensi cairan dan
peningkatan napsu makan) yang jarang berupa pembekuan darah yang
serius pada pemakaian progestin.
Tamoxifen, yang secara luas digunakan dalam terapi dan
pencegahan kanker mammae malah menyebabkan peningkatan resiko
kanker endometrium. Tujuan utama tamoxifen adalah mencegah produksi
estrogen. Walaupun tamoxifen dapat mencegah estrogen, dia bereaksi
estrogen lemah dibagian tubuh yang lain. Tamoxifen tidak menyebabkan
kehilangan struktur tulang, tetapi dapat menyebabkan hot flashes dan
kekeringan pada vagina. Tetapi sebagaimana terapi progestin, kanker
endometrium derajat rendah lebih berespon dalam terapi dengan
tamoxifen. GOG melakukan 2 penelitian yang menggabungkan progestin
dengan tamoxifen dalam waktu yang berbeda. Hal ini dipilih untuk
mencegah proses downregulasi reseptor progesteron yang biasa terjadi
bila hanya diberikan progestin saja, hipotesa ini terjadi karena terapi
intermiten dengan progestin akan menyebabkan tamoxifen menginduksi
reseptor progesteron dan berlanjut kepada efek terapi progestin.
Meskipun respon ini rata-rata lebih tinggi daripada bila hanya memakai
progestin saja,
Sebagian wanita dengan kanker endometrium diterapi dengan
mengangkat kedua ovariumnya. Cara lain dengan radiasi, yang
menyebabkan ovarium jadi tidak aktif, mengakibatkan berkurangnya

produksi

estrogen

dan

dapat

menghambat

munculnya

kanker

endometrium. Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonist juga


merupakan cara untuk mengurangi produksi estrogen, contoh GNRH
agonist adalah geserelin (Zoladex) dan leuprolide (Lupron). Obat-obat ini
disuntikkan setiap 1-3 bulan. Efek samping dapat berupa menopause,
tetapi pemakaian yang lama dapat melemahkan tulang (kadang sampai
terjadi ostroporosis)
Setelah ovarium diangkat (atau tidak berfungsi), estrogen masih
tetap diproduksi di sel lemak, hal ini merupakan sumber estrogen. Obatobat jenis aromatase inhibitor dapat mengurangi dan menghentikan
estrogen. Contohnya aromatase inhibitor termasuk letrozole (Femara),
anastrozole (Arimidex), dan exemestane (Aromasin). Obat-obat ini sering
digunakan untuk mencegah kanker mammae, tetapi dapat juga membantu
mengobati kanker endometrium.

DAFTAR PUSTAKA
1. Wen-Ling Lee, et al. hormone therapy for younger patients with
endometrial

cancer.

Taiwanese

Journal

of

Obstetric

and

Gynecology. SciVerse ScienceDirect. 2012. 51 : 495-505


2. Panagiotis Tsikouras, et al. Endometrial cancer : molecular and
therapeutic

aspects.

European

journal

of

Obstetrics

Gynecology and Reproductive Biology. Elsevier 2013. 169 :1-9

and

You might also like