Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan salah
satu dari tiga rangkaian penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga
banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Pada tahun 2001,
menurut National Center for Health Statistics, hipertensi gestasional telah diidentifikasi pada
150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Selain itu, Berg dan kawan-kawan (2003) melaporkan
bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian yang berhubungan dengan kehamilan di Amerika
Serikat dari tahun 1991 - 1997 adalah akibat dari komplikasi-komplikasi hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan.1
Angka kejadian preeklampsia rata-rata sebanyak 6% dari seluruh kehamilan dan 12%
pada kehamilan primigravida. Kejadian penyakit ini lebih banyak dijumpai pada primigravida
terutama primigravida pada usia muda daripada multigravida. Penelitian mengenai prevalensi
preeklampsia dan PEB di Indonesia di lakukan di Rumah sakit Denpasar. Pada primigravida
frekuensi preeklampsia/ eklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida,
terutama primigravida muda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan insidensi preeklampsia
pada primigravida 11,03%. Angka kematian maternal akibat penyakit ini 8,07% dan angka
kematian perinatal 27,42%. Sedangkan pada periode juli 1997 s/d juni 2000 didapatkan 191
kasus (1,21%) PEB dengan 55 kasus diantaranya dirawat konservatif. 2,3
Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade, hipertensi
yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi masalah yang belum
terpecahkan. Secara umum, Preeklampsia merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan
proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20
usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida
biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur
lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.1
Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan
berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi
1
uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat. Morta;itas
janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio plasenta atau
vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat / intrauterine growth
restriction (IUGR). Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan
kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi
berat, dengan komplikasi kejang, dan kerusakan end organ lainnya.1,3,4
Di sisi lain, wanita dengan status gizi berlebihan atau IMT obesitas dikatakan
memiliki risiko tinggi terhadap kehamilan seperti keguguran, persalinan operatif,
Preeklampsiaa, thromboemboli, kematian perinatal dan makrosomia.6 Hal ini dibuktikan
dengan hasil penelitian yang menunjukkan komplikasi kehamilan berupa preeklampsia paling
banyak terdapat pada kelompok IMT obese yaitu IMT>29. Obesitas merupakan faktor resiko
terjadinya Preeklampsiaa pada ibu hamil dan resiko terjadinya Preeklampsiaa meningkat
seiring dengan meningkatnya indeks massa tubuh.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dan proteinuria. Bila seorang wanita memenuhi kriteria preeklampsia dan disertai kejang
yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologis atau koma maka ia dikatakan mengalami
eklampsia. Umumnya, wanita hamil tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan
vaskular atau hipertensi sebelumnya.3,8
Kumpulan gejala itu berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer dan penurunan perfusi organ. Kelainan yang berupa lesi vaskular
tersebut mengenai berbagai sistem organ, termasuk plasenta. Selain itu, sering pula dijumpai
peningkatan aktivasi trombosit dan aktivasi sistem koagulasi.9
2.2.1 Etiologi
Menurut Sibai (2003), sebab-sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab
Preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Iskhemi plasenta.
2. Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin, yang menyebabkan
gangguan invasi arteri spiralis oleh sel-sel sinsitiotrofoblast dan disfungsi sel endotel
yang diperantarai oleh peningkatan pelepasan sitokin, enzim proteolitik dan radikal
bebas
3. Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular
4. Faktor nutrisi.
5. Pengaruh genetik.10
Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta. Iskemia plasenta,
yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap arteri spiralis sehingga menyebabkan
berkurangnya sirkulasi uteroplasenta yang dapat berkembang menjadi iskemia plasenta. 11
Implantasi plasenta pada kehamilan normal dan PE berbeda, implantasi plasenta
normal yang memperlihatkan proliferasi trofoblas ekstravilus membentuk satu kolom di
bawah vilus penambat. Trofoblas ekstravilus menginvasi desidua dan berjalan sepanjang
bagian dalam arteriol spiralis. Hal ini menyebabkan endotel dan dinding pembuluh
vaskular diganti diikuti oleh pembesaran pembuluh darah. Namun, banyak faktor yang
menyebabkan preeklampsia dan diantara faktor-faktor yang ditemukan tersebut seringkali
sukar ditentukan apakah faktor penyebab atau merupakan akibat. 11,12
4
Klasifikasi
Preeklampsia
dibagi menjadi
preeklampsia
ringan
preeklampsia
dan
berat (PEB) :
1.
7,13
Preeklampsia
ringan
Dikatakan
preeklampsia
ringan
a.
bila :
Tekanan
darah sistolik
150
140-
mmHg
dan
tekanan
Diastolik 90-
b.
100
c.
antara
mmHg
Proteinuria
3. Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai dengan adanya
kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.
Preeklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu :7,14
a. PEB tanpa impending eklampsia
b. PEB dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala impending
diantaranya nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium
dan nyeri abdomen kuadran kanan atas.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Nullipara
Primigravida (Primigravida muda)
Kehamilan ganda
Obesitas
Riwayat keluarga dengan preeklampsia atau eklampsia
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
Diabetes mellitus gestasional
Hipertensi atau penyakit ginjal
2.2.4. Patofisiologi
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya spasme
pembuluh darah. Bila spasme arteriolar juga ditemukan diseluruh tubuh, maka dapat
dipahami bahwa tekanan darah yang meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan
tahanan perifer agar oksigenase jaringan tetap tercukupi. Sedangkan peningkatan berat badan
dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial
belum diketahui penyebabnya. Beberapa literatur menyebutkan bahwa preeklampsia dijumpai
kadar aldosterone yang rendah dan kadar proloktin yang tinggi dibandingkan pada kehamilan
normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air
serta natrium. Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein
meningkat.14,15
Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi perifer yang
diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol. Hal ini kemungkinan akibat meningkatnya
kadar progesteron di sirkulasi dan atau menurunnya kadar vasokonstriktor seperti angiotensin
II, adrenalin dan noradrenalin dan atau menurunnya respon tehadap zat-zat vasokonstriktor.
Semua hal tersebut akan meningkatkan produksi vasodilator atau prostanoid seperti PGE2
atau PGI2. Pada trimester ketiga akan terjadi peningkatan tekanan darah yang normal seperti
tekanan darah sebelum hamil.3,7,18
7
ditemukan dan mencapai 10 gr/l. Proteinuria hampir selalu timbul kemudian dibandingkan
dengan hipertensi dan biasanya terjadi setelah kenaikan berat badan yang berlebihan.14
Nyeri kepala. Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi sering terjadi pada kasus
yang lebih berat. nyeri kepala sering terasa pada daerah frontalis dan oksipitalis dan tidak
sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Pada wanita hamil yang mengalami serangan
eklampsia, nyeri kepala hebat hampir selalu mendahului serangan kejang pertama.14
Nyeri epigastrium. Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan keluhan
yang sering ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat menjadi prediktor serangan kejang
yang akan terjadi. Keluhan ini mungkin disebabkan oleh regangan kapsula hepar akibat
edema atau perdarahan.14
Gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di antaranya pandangan
yang sedikit kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau total. Keadaan ini disebabkan
oleh vasopasme, dan perdarahan petekie pada korteks oksipital.14
2.2.6. Penatalaksanaan
Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah :19
1. Terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya tidak terdapat trauma pada ibu
maupun janin
2. Kelahiran bayi yang dapat bertahan
3. Pemulihan kesehatan lengkap pada bayi
Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika diketahui atau diperkirakan janin
memiliki usia gestasi preterm, kecenderungan nya adalah mempertahankan janin di dalam
uterus selama beberapa minggu untuk menurunkan risiko kematian neonatus.20
Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan terdiri dari
penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil dengan PEB umumnya
dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun terakhir, sebuah pendekatan
yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai berubah. Pendekatan ini mengedepankan
11
Tirah baring
Oksigen
Kateter menetap
Cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid
maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan berpedoman pada
diuresis, insesible water loos dan central venous pressure (CVP). Balains cairan ini
sentral -2 lewat -metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa.
Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat -2 perifer lewat efek
neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan
dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya
dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis
awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3
jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dalam 4-6 jam
setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering
dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat
ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini. 19,21
g. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia kehamilan 2434 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien dengan PEB.
Preeklampsia sendiri merupakan penyebab 15% dari seluruh kelahiran prematur. Ada
pendapat bahwa janin penderita preeklampsia berada dalam stres sehingga mengalami
percepatan pematangan paru. Akan tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi percepatan
pematangan paru pada penderita preeklampsia.20,22
Gluck pada tahun 1979 menyatakan bahwa produksi surfaktan dirangsang oleh
adanya komplikasi kehamilan antara lain hipertensi dalam kehamilan yang
berlangsung lama. Hal yang sama juga dilaporkan Chiswick (1976) dan Morrsion
(1977) yaitu rasio L/S yang matang lebih tinggi pada penderita hipertensi dalam
kehamilan yang lahir prematur. Sementara itu, Owen dkk (1990) menyimpulkan
bahwa komplikasi kehamilan terutama hipertensi dalam kehamilan tidak memberikan
keuntungan terhadap kelangsungan hidup janin. Banias dkk dan Bowen dkk juga
melaporkan terjadi peningkatan insidens respiratory distress syndrome (RDS) pada
bayi yang lahir dari ibu yang menderita hipertensi dalam kehamilan.22
Dalam lebih dari dua dekade, kortikosteroid telah diberikan pada masa antenatal
dengan maksud mengurangi komplikasi, terutama RDS, pada bayi prematur. Apabila
dilihat dari lamanya interval waktumulai saat pemberian steroid sampai kelahiran,
tampak bahwa interval 24 jam sampai tujh hari memberi keuntungan yang lebih besar
13
dengan rasio kemungkinan (odds rasio/OR) 0,38 terjadinya RDS. Sementara apabila
interval kurang dari 24 jam OR 0,70 dan apabila lebih dari 7 hari OR 0,41. 2,12
Penelitian US Colaborative tahun 1981, melaporkan perbedaan bermakna insiden
RDS dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan 30-34 minggu dengan
interval antara 24 jam sampai dengan tujuh hari. Sementara penelitian Liggins dan
Howie mendapati insidensi RDS lebih rendah apabila interval waktu antara saat
pemberian steorid sampai kelahiran adalah dua hari sampai kurang dari tujuh hari dan
perbedaan ini bermakna. Mereka menganjurkan steroid harus diberikan paling tidak
24 jam sebelum terjadi kelahiran agar terlihat manfaatnya terhadap pematangan paru
janin. Pemberian steroid setelah lahir tidak bermanfaat karena kerusakan telah terjadi
sebelum steroid bekerja. National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan : 20
1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 24-34 minggu yang dalam persalian
prematur mengancam merupakan kandidat
14
Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu untuk mencegah
progresifitas PEB.17
Indikasi untuk penatalaksanaan aktif pada PEB :
a. Kegagalan terapi medikamentosa :
Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan darah
yang persisten.
b. Tanda dan gejala impending eklampsia.
c. Gangguan fungsi hepar
d. Gangguan fungsi ginjal
e. Dicurigai terjadi solusio plasenta
f. Timbulnya onse partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan
g. Umur kehamilan 37 minggu
h. Intra uterine growth restriction (IUGR) berdasrakan pemeriksaan USG
i. Timbulnya oligohidramnion
Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom HELLP
(hemoytic anemia, elevated liver enzymes, dan low platelet count). Dimana HELLP
syndrome ini tidak jarang terjadi pada penderita PEB.
Dalam ACOG practice bulletin mencatat terminasi sebagai terapi untuk PEB. Akan tetapi,
keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan janinnya. Sementara Nowtz ER dkk
membuat ketentuan penanganan PEB dengan terminasi kehamilan dilakukan ketika diagnosis
PEB ditegakkan. Hasil penelitian juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu untuk
melanjutkan kehamilan jika diagnosis PEB telah ditegakkan. 18
Amed M, dkk pada sebuah review terhadap PEB melaporkan bahwa terminasi
kehamilan adalah terapi efektif untuk PEB. Sebelum terminasi, pasien diberikan dengan anti
kejang, magnesium sulfat, dan pemberian anti hipertensi. Wagner LK juga mencatat bahwa
terminasi adalah terapi efektif untuk PEB. Pemilihan terminasi secara vaginal lebih
diutamakan untuk menghindari faktor risiko stres dari operasi sesar.
kehamilan sampai seaterm mungkin sampai tercapainya pematangan paru atau sampai usia
kehamilan diatas 37 minggu. Adapun penatalaksanaan ekspektatif bertujuan : 16,18
1. Mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang memenuhi
syarat janin dapat dilahirkan.
2. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu.
Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada pasien PEB yang
timbul dengan usia kehamilan di bawah 24 minggu, terminasi kehamilan lebih
diutamakan untuk menghindari komplikasi yang dapat mengancam nyawa ibu (misalnya
perdarahan otak). Sedangkan pada pasien PEB dengan usia kehamilan 25 sampai 34
minggu penanganan ekspektatif lebih disarankan. Penelitian awal mengenai terapi
ekspektatif ini dilakukan oleh Nochimson dan Petrie pada tahun 1979. Mereka menunda
kelahiran pada pasien PEB dengan usia kehamilan 27-33 minggu selema 48 jam untuk
memberi waktu kerja steroid mempercepat pematangan paru.
Kemudian Rick dkk pada tahun 1980 juga menunda kelahiran pasien dnegan PEB
selama 48-72 jam bila diketahui rasio lecitin/ spingomyelin (L/S) menunjukkan
ketidakmatangan paru.
Banyak peneliti lain yang juga meneliti efektivitas penatalaksanaan ekspektatif ini
terutama pada kehamilan preterm. Diantaranya yaitu Odendaal dkk yang melaporkan
hasil perbandingan penatalaksanaan ekspektatif dan aktif pada 58 wanita dengan PEB
dengan usia kehamilan 28-34 minggu. Pasien ini diterapi dengan MgSO4, hidralazine dan
kortikosterid untuk pematangan paru. Semua pasien dipantau ketat di ruang rawat inap.
Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi karena indikasi ibu dan janin setelah 48
jam dirawat inap. Pasien dengan kelompok penanganan aktif diterminasi kehamilannya
setelah 72 jam, sedangkan pasien pada kelompok ekspektatif melahirkan pada usia
kehamilan rata-rata 34 minggu. Odendaal dkk juga menemukan penurunan komplikasi
perinatal pada kelompok dengan penanganan ekspektatif. Penelitian lain yang dilakukan
oleh Witlin dkk melaporkan peningkatan angka pertumbuhan janin terhambat yang
sejalan dengan peningkatan usia kehamilan selama penanganan secara ekspektatif.
Sedangkan Haddad B dkk yang meneliti 239 penderita PEB dnegan usia kehamilan 24-33
17
minggu mendapatkan 13 kematian perinatal dnegan rincian 12 bayi pada kelompok aktif
dan 1 kematian perinatal pada kelompok ekspektatif. Sementara angka kematian ibu sama
pada kedua kelompok. Penelitian ini menyimpulkan penanganan PEB secara ekspektatif
pada usia kehamilan 24-33 minggu menghasilkan luaran perinatal yang lebih baik dengan
risiko minimal pada ibu.
Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam dengan
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Penderita belum inpartu
a. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop 8
Dalam melakukan induksi persalinan,bila perlu dapat dilakukan pematangan
serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II
dalam waktu 24 jam. bila tidak, induksi persalinan dianggap gagal dan harus
disusul dengan pembedahan sesar.
b. Pembedahan sesar dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk persalinan
pervaginam atau bila induksi persalinan gagal, terjadi maternal distress, terjadi
fetal distress, atau umur kehamilan < 33 minggu.
2. Bila penderita sudah inpartu
a. Memperpendek kala II
b. Pembedahan cesar dilakukan bila terdapat maternal distress dan fetal distress
c. Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar
18
LAPORAN KASUS
Nama
Umur
: 32 tahun
CM
: 095846
Alamat
: Pulutan , Remboken
Pekerjaan
: IRT
G2P1A0, 32 tahun MRS tanggal 17 Juli 2015, jam 12.00 dengan membawa surat pengantar
dokter spesialis obstetri ginekelogi dengan Diagnosa : G2P1A0 32tahun hamil 37-38 minggu
+ PEB + Bekas SC 1x.
Pasien mengeluh nyeri kepala dan penglihatan berkurang sejak 1 hari SMRS.
Anamnesis
Riwayat darah tinggi pada hamil anak I, tekanan darah kembali normal setelah
kurang lebih 1 bulan setelah melahirkan. Minum obat rutin 1 bulan, ibu lupa nama
obat.
P1, 2009, preterm, seksio sesarea a/i PEB, , 1600 gr, hidup
Status praesens :
Keadaan umum
: Cukup
Kesadaran
: CM
Tekanan darah
: 210/110 mmHg
Nadi
: 86 x/mt
Respirasi
: 22 x/mt
Suhu
: 36,5 0 C
Konjungtiva
: anemis (-)
Sklera
: ikterik (-)
Berat badan
: 63 kg
: dbn
Tinggi badan
: 145 cm
Extremitas
: Edema +/+
Status Obstetrik :
TFU
kanan
: 30 cm
BJA
: 148-155 x/menit
TBBA
: 2480 gram
: - // -
20
Urinalisis : Glukosa : -, Bilirubin : -, Keton : -, PH: 6,5, BJ: 1,020, Protein : +3,
Urobilinogen : 0,2, Leukosit -.
PD:
Portio tebal lunak arah axial, pembukaan 1 jari ketat, PP masih tinggi.
Dopamed 3 x 500mg
Nifedipinee 3 x 10 mg
T :190/100 mmHg
N : 84x/m
RR
: 22 x/m
Jam 16.00
Jam 16.30
Jam 16.37
: Operasi selesai
Follow up:
Tanggal 18 Juli 2015
S
: Nyeri luka post op, penglihatan kabur, nyeri kepala, perut kembung
: KU:cukup, Kes : CM
T:190/110, N:88x/m, RR: 20x m, S: 36,30
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :
Abdomen:
Auskultasi : BU +
TFU 2 jari bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Luka operasi terawat, darah (-), pus (-), tampak hematom daerah
diatas luka operasi
Genitalia
: terpasang kateter
Extremitas
: Edema +/+
: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-I a/i Impending Eklampsi + Bekas SC 1x
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.
- Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
- Drip Metronidazole 2 x 500 gr
- Inj Vit C 1 x 1 amp
- Cek Hb 6jam post op
- Jikan Hb < 8gr/dl pro/ transfusi
: Nyeri luka post op, penglihatan kabur, nyeri kepala, perut kembung
: KU:cukup, Kes : CM
T:130/90, N:86x/m, RR: 18x m, S: 36,50
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :
Abdomen:
Auskultasi : BU +
TFU 2 jari bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Luka operasi terawat, darah (-), pus (-), tampak hematom daerah
diatas luka operasi
Genitalia
: terpasang kateter
Extremitas
: Edema +/+
: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-II a/i Impending Eklampsi + Bekas SC 1x
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
- Drip Metronidazole 2 x 500 gr
- Inj Vit C 1 x 1 amp
- Aff Kateter
: KU:cukup, Kes : CM
T:180/100, N:82x/m, RR: 18x m, S: 36,30
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :
Abdomen:
Extremitas
: Edema +/+
: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-III a/i Impending Eklampsi+Bekas SC1x
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.
: KU:cukup, Kes : CM
T:160/100, N:82x/m, RR: 18x m, S: 36,30
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :
Abdomen:
Extremitas
: Edema +/+
Laboratorium: Alb 2.3 gr/dl, Glob 2.4 gr/dl, Protein total 4.7gr/dl, SGOT : 27, SGPT : 19,
Ureum : 36, Asam urat 7.5
A
: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-IV a/i Impending Eklampsi+Bekas SC1x
+ Hipoalbumin
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.
: Keluhan (-)
: KU:cukup, Kes : CM
T:160/100, N:84x/m, RR: 18x m, S: 36,50
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :
Abdomen:
Extremitas
A
: Edema +/+
: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-V a/i Impending Eklampsi+Bekas SC1x
+ Hipoalbumin
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.
: - IVFD WB kantong I
- IVFD NaCl 500 cc 20 tts/menit
- Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
- R/ Transfusi WB II
26
: Keluhan (-)
: KU:cukup, Kes : CM
T:140/90, N:88x/m, RR: 18x m, S: 36,20
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :
Abdomen:
Extremitas
A
: Edema +/+
: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-VI a/i Impending Eklampsi+Bekas SC1x
+ Hipoalbumin
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.
: - IVFD WB II
- IVFD NaCl 500 cc 20 tts/menit
- Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
- Cek Lab post transfusi
: Keluhan (-)
27
: KU:cukup, Kes : CM
T:160/100, N:86x/m, RR: 18x m, S: 36,20
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :
Abdomen:
Extremitas
: Edema +/+
: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-VII a/i Impending Eklampsi+Bekas SC1x
+ Hipoalbumin
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.
: - Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
- Cek Albumin, Protein Total
: Keluhan (-)
: KU:cukup, Kes : CM
T:170/100, N:86x/m, RR: 18x m, S: 36,20
28
Abdomen:
Extremitas
: Edema +/+
: - Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
- Rawat luka pagi - sore
29
: Keluhan (-)
: KU:cukup, Kes : CM
T:140/90, N:86x/m, RR: 18x m, S: 36,20
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :
Abdomen:
Extremitas
A
: Edema +/+
: - Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
- Rawat luka pagi sore
30
: Keluhan (-)
: KU:cukup, Kes : CM
T:140/90, N:86x/m, RR: 18x m, S: 36,20
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :
Abdomen:
Extremitas
A
: - Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
- Rawat luka pagi - sore
31
BAB III
PEMBAHASAN
x.
Janin : pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
xi.
Paru : edema paru dan atau gagal jantung kongestif
xii.
Ginjal : oliguria (500cc/24jam), kreatinin 1,2mg/dl
c. Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai dengan adanya
kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.
Preeklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu :2,4
- PEB tanpa impending eklampsia
- PEB dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala impending diantaranya
nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium dan nyeri abdomen
kuadran kanan atas.
Diagnosis impending Eklampsi pada pasien ini didasarkan atas anamnesis
ditemukannya gejala klinis berupa nyeri kepala dan penglihatan yang kabur. Serta
didukung juga dengan pemeriksaan fisik berupa tekanan darah yang tinggi yaitu
210/110, proteinuri kuantitatf +4. Kemudian untuk memastikan proteinuri dilakukan
pemeriksaan urinalisis dan didapatkan proteinuri +3.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 14,7 gr/dll, Leukosit: 12.540/mm3,
Trombosit: 209.000/mm3, SGOT : 23U/l, SGPT: 14U/l, Asam urat : 7,7mg%. Maka
dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini tidak didapatkan sindrom HELLP (hemoytic
anemia, elevated liver enzymes, dan low platelet count) dimana sindrom HELLP ini
tidak jarang terjadi pada penderita PEB.
2. Penanganan pada kasus ini
Penanganan pada pasien preeklampsia dengan faktor resiko penyerta dan
komplikasi merupakan hal yang kompleks. Penggunaan MgSO4 pada pasien sudah tepat,
karena sampai saat ini MgSO4 tetap digunakan sebagai agen profilaksis dan definitif pada
kasus preeclampsia. MgSO4 telah direkomendasikan oleh WHO sebagai terapi utama
pada pasien dengan preeclampsia, mengingat efektifitas, safety, dan cost effective pada
penggunaannya. Pada pasien ini sebagai profilaksis eklampsi diberikan MgSO4 40 %
4gr(10cc) iv bolus perlahan 5-10 menit, dilanjutkan dengan MgSO4 40% 6gr(15cc) drips
dalam 500cc RL /6jam.
33
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, Hypertensive
Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New York: McGrawHill, 2005 : 761-808.
2. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Rouse D, Spong C, et al. Pregnancy
Hypertension, dalam William Obstetrics, edisi ke-23, New York: McGraw-Hill, 2010 :
706-756.
3. Brooks M, Pregnancy&Preeclampsia, 5 Januari 2005, diakses tanggal 21 Juli 2015,
dari http : //www.emedicine.com.
4. Gibson P, Carson M, Hypertension and Pregnancy, 30 Juli 2009, diakses tanggal 21
Juli 2015, dari http : //emedicine.medscape.com/article/261435.
5. Seely E, Maxwell C, Chronic Hypertension in Pregnancy. 2007, diakses tanggal 21
Juli 2015, dari http : //circ.ahajournals.org/cgi/content/full/115.
6. Roeshadi RH. Ilmu Kedokteran Fetomaternal : Hipertensi dalam kehamilan. 2004.
Medan. 494 499
7. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman
Diagnosis dan terapi Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian pertama,
edisi ke-2, Bandung : Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran RS dr.Hasan Sadikin, 2005 : 60-70.
8. Eruo FU, et all. Clinical Obstetrics the Fetus and Mother : Hypertensive disease in
pregnancy. Edisi 3. Blackwell Publishing. Massachusetts. 2007. 684-695
9. Marchiano D. NMS Obstetrics and Gynecology : Hipertensi in pregnancy. Edisi 6.
Lippincott Williams & Wilkins. New York. 2008. 164-171
10. Shennan A, Hypertensive disorders, dalam Dewhursts textbook of Obstetrics &
Gynaecology, edisi ke-7, USA : Blackwell Publishing, 2007 : 227-234.
11. Dekker A, Sibai M. Current diagnosis and treatments in obstetrics and gynecology :
Hypertension in pregnancy. Amerika Serikat. 2006. 209-215
12. Gerda G, et all. Chesleys hypertensive disorders in pregnancy. Edisi 3. Elsevier.
Amerika Serikat. 2009. 227-240
35
13. Barton JR, Sibai BM. Manual of Obstetric : Preeclampsia. Edisi 7. Lippincott
Williams & Wilkins. New York. 2007. 178-189
14. Bailis A, Witter FR. The Johns Hopkins manual of Obstetrics and Gynecology:
Hypertensive disorders of pregnancy. Edisi 3: Lippincott Williams & Wilkins. New
York. 2007. 181-191
15. Tamas P, et all. Gynecology perinatology : Hypertensive disorders of pregnancy.
Volume 19 no 4. University of Pecs. Hunggaria. 2010
16. August P, Management of Hypertension in Pregnancy, 2009, diakses tanggal 21 Juli
2015, dari http : //www.uptodate.com/patients/content/topic.
17. Sibai B, Diagnosis, Prevention, and Management of Eclampsia, 18 November 2004,
diakses tanggal 21 Juli 2015, dari http://www.greenjournal.org.
18. CunninghamGF, Leveno KJ, Bloom SL et all. Williams Obstetri; ed. 2. New York:
McGray Hill-Companies, 2010: 853-55.Schrauwers C, Dekker G. Maternal and
perinatal outcome in obese pregnant patients. The Journal of Maternal-Fetal and
Neonatal Medicine 22[3], 218-226. 2009.
19. Soni BL. Alternative Magnesium Sulfate Regimens for Women with Pre-eclampsia
and Eclampsia: RHL commentary (last revised: March 1, 2011). The WHO
Reproductive Health Library; Geneva: World Health Organization. Available at:
http://apps.
who.int/rhl/pregnancy_childbirth/medical/hypertension/
cd007388_sonibl_com/en/.
20. Euser A, Cipolla M. Magnesium Sulfate for the Treatment of Eclampsia. A Brief
Review. Stroke; Journal of the American Heart Association. 2009; Print ISSN: 00392499; Online ISSN: 1524-4628. Available at: http://stroke.ahajournals.org/content/
early/2009/02/10/STROKEAHA.108.527788.short
21. Jayasutha, Ismail A.M, Senthamarai R. Evaluation on efficacy of Methyldopa
Der
Pharmacia
Lettre,
2011,
3(3):
383-387
(http://scholarsresearchlibrary.com/archive.html)
22. Obesity in pregnancy. Committee in opinion no.549. American College of
Obstetricians and Gynecologists. Obstet Gynecol 2013. 121;213-217
36
37