You are on page 1of 37

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan salah
satu dari tiga rangkaian penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga
banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Pada tahun 2001,
menurut National Center for Health Statistics, hipertensi gestasional telah diidentifikasi pada
150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Selain itu, Berg dan kawan-kawan (2003) melaporkan
bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian yang berhubungan dengan kehamilan di Amerika
Serikat dari tahun 1991 - 1997 adalah akibat dari komplikasi-komplikasi hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan.1
Angka kejadian preeklampsia rata-rata sebanyak 6% dari seluruh kehamilan dan 12%
pada kehamilan primigravida. Kejadian penyakit ini lebih banyak dijumpai pada primigravida
terutama primigravida pada usia muda daripada multigravida. Penelitian mengenai prevalensi
preeklampsia dan PEB di Indonesia di lakukan di Rumah sakit Denpasar. Pada primigravida
frekuensi preeklampsia/ eklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida,
terutama primigravida muda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan insidensi preeklampsia
pada primigravida 11,03%. Angka kematian maternal akibat penyakit ini 8,07% dan angka
kematian perinatal 27,42%. Sedangkan pada periode juli 1997 s/d juni 2000 didapatkan 191
kasus (1,21%) PEB dengan 55 kasus diantaranya dirawat konservatif. 2,3
Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade, hipertensi
yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi masalah yang belum
terpecahkan. Secara umum, Preeklampsia merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan
proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20
usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida
biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur
lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.1
Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan
berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi
1

uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat. Morta;itas
janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio plasenta atau
vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat / intrauterine growth
restriction (IUGR). Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan
kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi
berat, dengan komplikasi kejang, dan kerusakan end organ lainnya.1,3,4
Di sisi lain, wanita dengan status gizi berlebihan atau IMT obesitas dikatakan
memiliki risiko tinggi terhadap kehamilan seperti keguguran, persalinan operatif,
Preeklampsiaa, thromboemboli, kematian perinatal dan makrosomia.6 Hal ini dibuktikan
dengan hasil penelitian yang menunjukkan komplikasi kehamilan berupa preeklampsia paling
banyak terdapat pada kelompok IMT obese yaitu IMT>29. Obesitas merupakan faktor resiko
terjadinya Preeklampsiaa pada ibu hamil dan resiko terjadinya Preeklampsiaa meningkat
seiring dengan meningkatnya indeks massa tubuh.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipertensi dalam Kehamilan


Yang dimaksud dengan Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuri
akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.
Sedangkan yang dimaksud dengan Eklampsi adalah kelainan akut pada Preeklampsia dalam
kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa
penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat). Ada pula istilah impending eclampsia
adalah Preeklampsia yang disertai dengan nyeri kepala hebat, penglihatan yang berkurang,
dan atau nyeri epigastrium.5,6
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan sebelum
kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20 minggu, dan yang menetap
setelah 12 minggu pascasalin. Preeklampsia atau Eklampsi yang timbul pada hipertensi
kronis disebut juga Superimposed Preeclampsia.2,5 Sedangkan hipertensi gestasional adalah
timbulnya hipertensi dalam kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal
dan tidak disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12 minggu
pascapersalinan.7
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP (2000)
dibagi menjadi 5 tipe, yaitu :
1. Hipertensi gestasional
2. Preeklampsia
3. Eklampsi
4. Preeklampsia superimposed pada hipertensi kronis
5. Hipertensi kronis.5
2.2 Preeklampsia
Preeklampsia (PE) merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang mengenai wanita
hamil dengan usia kehamilan diatas 20 minggu dengan tanda utama berupa adanya hipertensi
3

dan proteinuria. Bila seorang wanita memenuhi kriteria preeklampsia dan disertai kejang
yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologis atau koma maka ia dikatakan mengalami
eklampsia. Umumnya, wanita hamil tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan
vaskular atau hipertensi sebelumnya.3,8
Kumpulan gejala itu berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer dan penurunan perfusi organ. Kelainan yang berupa lesi vaskular
tersebut mengenai berbagai sistem organ, termasuk plasenta. Selain itu, sering pula dijumpai
peningkatan aktivasi trombosit dan aktivasi sistem koagulasi.9
2.2.1 Etiologi
Menurut Sibai (2003), sebab-sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab
Preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Iskhemi plasenta.
2. Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin, yang menyebabkan
gangguan invasi arteri spiralis oleh sel-sel sinsitiotrofoblast dan disfungsi sel endotel
yang diperantarai oleh peningkatan pelepasan sitokin, enzim proteolitik dan radikal
bebas
3. Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular
4. Faktor nutrisi.
5. Pengaruh genetik.10
Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta. Iskemia plasenta,
yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap arteri spiralis sehingga menyebabkan
berkurangnya sirkulasi uteroplasenta yang dapat berkembang menjadi iskemia plasenta. 11
Implantasi plasenta pada kehamilan normal dan PE berbeda, implantasi plasenta
normal yang memperlihatkan proliferasi trofoblas ekstravilus membentuk satu kolom di
bawah vilus penambat. Trofoblas ekstravilus menginvasi desidua dan berjalan sepanjang
bagian dalam arteriol spiralis. Hal ini menyebabkan endotel dan dinding pembuluh
vaskular diganti diikuti oleh pembesaran pembuluh darah. Namun, banyak faktor yang
menyebabkan preeklampsia dan diantara faktor-faktor yang ditemukan tersebut seringkali
sukar ditentukan apakah faktor penyebab atau merupakan akibat. 11,12
4

Gambar 2.1. Etiologi preeklampsia menurut teori iskemik plasenta14


2.2.2.

Klasifikasi
Preeklampsia

dibagi menjadi

preeklampsia

ringan

preeklampsia

dan

berat (PEB) :
1.

7,13

Preeklampsia
ringan
Dikatakan
preeklampsia
ringan
a.

bila :
Tekanan
darah sistolik

150

140-

mmHg

dan

tekanan
Diastolik 90-

b.
100
c.

antara

mmHg
Proteinuria

minimal (300mg/L/24 jam) atau positif 1 atau 2 pada pemeriksaan kuantitatif


d. Tidak disertai gangguan fungsi organ.
2. Preeklampsia berat
Dikatakan preeklampsia berat bila :
a. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
b. Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif.
c. Disertai dengan :
i.
Hematologi : Trombositopenia (<100.000/ul), hemolysis mikroangiopati
ii.
Hepar : peningkatan SGOT, SGPT, Nyeri epigastrium/ kuadran kanan atas
iii.
Neurologis : sakit kepala persisten, skotoma penglihatan.
iv.
Janin : pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
v.
Paru : edema paru dan atau gagal jantung kongestif
vi.
Ginjal : oliguria (500cc/24jam), kreatinin 1,2mg/dl
5

3. Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai dengan adanya
kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.
Preeklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu :7,14
a. PEB tanpa impending eklampsia
b. PEB dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala impending
diantaranya nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium
dan nyeri abdomen kuadran kanan atas.

2.2.3. Insidensi dan faktor risiko


Insiden preeklampsia sebesar 4-5 kasus per 10.000 kelahiran hidup pada negara
maju.7 Di negara berkembang insidensinya bervariasi antara 6-10 kasus per 10.000 kelahiran
hidup.15 Angka kematian ibu akibat kasus preeklampsia bervariasi antara 0-4%. Angka
kematian ibu meningkat karena komplikasi yang dapat mengenai berbagai sistem tubuh. 16
Penyebab kematian terbanyak wanita hamil akibat preeklampsia adalah perdarahan
intraserebral dan edema paru. Efek preeklampsia pad akematian perinatal berkisar antara 1028%. Penyebab terbanyak kematian perinatal disebabkan prematuritas, pertumbuhan janin
terhambat, dan solutio plasenta. Sektiar 75% eklampsia terjadi antepartum dan sisanya terjadi
pada post partum. Hampir semua kasus (95%) eklampsia antepartum terjadi pada trimester
ketiga.17
Angka kejadian preeklampsia rata-rata sebanyak 6% dari seluruh kehamilan dan 12%
pada kehamilan primigravida. Kejadian penyakit ini lebih banyak dijumpai pada primigravida
terutama primigravida pada usia muda daripada multigravida. 3 Penelitian mengenai
prevalensi preeklampsia dan PEB di Indonesia di lakukan di Rumah sakit Denpasar. Pada
primigravida frekuensi preeklampsia/ eklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan
multigravida, terutama primigravida muda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan insidensi
preeklampsia pada primigravida 11,03%. Angka kematian maternal akibat penyakit ini 8,07%
dan angka kematian perinatal 27,42%. Sedangkan pada periode juli 1997 s/d juni 2000
didapatkan 191 kasus (1,21%) PEB dengan 55 kasus diantaranya dirawat konservatif.2,3
Selain primigravida, faktor risiko preeklampsia lain diantaranya adalah:3
6

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Nullipara
Primigravida (Primigravida muda)
Kehamilan ganda
Obesitas
Riwayat keluarga dengan preeklampsia atau eklampsia
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
Diabetes mellitus gestasional
Hipertensi atau penyakit ginjal

2.2.4. Patofisiologi
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya spasme
pembuluh darah. Bila spasme arteriolar juga ditemukan diseluruh tubuh, maka dapat
dipahami bahwa tekanan darah yang meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan
tahanan perifer agar oksigenase jaringan tetap tercukupi. Sedangkan peningkatan berat badan
dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial
belum diketahui penyebabnya. Beberapa literatur menyebutkan bahwa preeklampsia dijumpai
kadar aldosterone yang rendah dan kadar proloktin yang tinggi dibandingkan pada kehamilan
normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air
serta natrium. Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein
meningkat.14,15
Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi perifer yang
diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol. Hal ini kemungkinan akibat meningkatnya
kadar progesteron di sirkulasi dan atau menurunnya kadar vasokonstriktor seperti angiotensin
II, adrenalin dan noradrenalin dan atau menurunnya respon tehadap zat-zat vasokonstriktor.
Semua hal tersebut akan meningkatkan produksi vasodilator atau prostanoid seperti PGE2
atau PGI2. Pada trimester ketiga akan terjadi peningkatan tekanan darah yang normal seperti
tekanan darah sebelum hamil.3,7,18
7

1. Regulasi volume darah


Pengendalian garam dan homeostasis pada preeklampsia. Kemampuan untuk
mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada derajat mana hal ini terjadi sangat
bervariasi dan pada keadaan berat mungkin tidak dijumpai adanya edema. Bahkan
jika dijumpai edema intersttial, volume plasma adalah lebih rendah dibandingkan
pada wanita hamil normal dan akan terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu
penurunan atau suatu peningkatan ringan volume plasma dapat menjadi tanda awal
hipertensi.
2. Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah
Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia dibandingkan hamil
normal, penurunan ini lebih erat hubungannya dengan wanita yang melahirkan bayi
dengan berat bayi lahir rendah (BBLR).
3. Aliran darah di organ-organ
a. Aliran darah di otak
Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%. Hal ini
berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak yang mungkin merupakan
suatu faktor penting dalam terjadinya kejang pada preeklampsia maupun
perdarahan otak.
b. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang serinig menjadi
penanda pada kehamilan muda. pada preeklampsia arus darah efektif ginjal ratarata 20% dari 750 ml menjadi 600 ml/menit, dan filtrasi glomerulus berkurang
rata-rata 30%, dari 170 menjadi 120 ml/menit, sehingga terjadi penurunan fltrasi.
Pada kasus berat akan terjadi oligouria, uremia pada sedikit kasus dapat terjadi
nekrosis tubular dan kortikal.
Plasenta ternyata membentuk renin dalam jumlah besar, yang fungsinya mungkin
sebagai cadangan menaikkan tekanan darah dan menjamin perfusi plasenta yang
adekuat. Pada kehamilan normal renin plasma, angiotensinogen, angiotensinogen
II, dan aldosteron meningkat nyata di atas nilai normal wanita tidak hamil.
perubahan ini merupakan kompensasi akibat meningkatnya kadar progesteron
dalam sirkulasi. Pada kehamilan normal efek progesteron diimbangi oleh renin,
8

angiotensin, dan aldosteron, tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada


preeklampsi.
Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia adalah iskemik
uteroplasenta dimana terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang
meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang. Apabila
terjadi hipoperfusi uterus, akan dihasilkan lebih banyak renin uteus yang
mengakibatkan vasokonstriksi dan meningkatnya kepekaan pembuluh darah. Di
samping itu angiotensin menimbulkan vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek
prostaglandin sebagai mekanisme kompensasi dari hipoperfusi uterus.4
Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada preeklampsia, tetapi
karena hemodinamik pada kehamilan normal meningkat 30% sampai 50%, nilai
pada preeklampsia masih diatas atau sama dengan nilai wanita tidak hamil. klirens
fraksi asam urat yang menurun, kadang-kadang beberapa minggu sebelum ada
perubahan pada GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan gejala awal. Dijumpai
pula peningkatan pengeluaran protein biasanya ringan sampai sedang.
Preeklampsia merupakan penyebab terbesar sindrom nefrotik pada kehamilan.
Penurunan hemodinamik ginjal dan peningkatan protein urin adalah bagian dari
lesi morfologi khusus yang melibatkan pembengkakan sel-sel intrakapiler
glomerulus yang merupakan tanda khas patologi ginjal pada preeklampsia.
c. Aliran darah uterus dan choriodesidua
Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan patofisiologi
terpenting pada preeklampsia, dan mungkin merupakan faktor penentu hasil
kehamilan. Namun yang disayangkan adalah belum ada satu pun metode
pengukuran arus darah yang memasukan baik di uterus maupun di desidua.
d. Aliran darah di paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya karena edema paru yang
menimbulkan dekompensasi cordis.
e. Aliran darah di mata
Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah orbital. Bila terjadi
hal-hal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya preeklampsia berat. gejala lain
yang mengarah ke eklampsia adalah skotoma, diplopia dan ambliopia. Hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan peredarah darah dalam pusat penglihatan di
korteks serebri atau dalam retina.
9

f. Keseimbangan air dan elektrolit


Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk sementara, asam
laktat dan asam organik lainnya, sehingga konvulsi selesai, zat-zat organik
dioksidasi dan dilepaskan natrium yang lalu bereaksi dengan karbonik dengan
terbentuknya natrium bikarbonat. Dengan demikian cadangan alkali dapat pulih
kembali.

2.2.5. Manifestasi klinis


Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi dan proteinuria.
Gejala ini merupakan keadaan yang biasanya tidak disadari oleh wanita hamil. pada waktu
keluhan lain seperti sakit kepala, gangguan penglihatan, dan nyeri epigastrium mulai timbul,
hipertensi dan proteinuria yang terjadi biasanya sudah berat.3
Tekanan darah. Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme arteriol sehingga
tanda peringatan awal muncul adalah peningkatan tekanan darah. Tekanan diastolik
merupakan tanda prognostik yang lebih baik dibandingkan tekanan sistolik dan tekanan
diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih menetap menunjukkan keadaan abnormal.14
Kenaikan berat badan. Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba dan kenaikan berat
badan yang lebihan merupakan tanda pertama preeklapmsia. Peningkatan berat badan sektiar
0,45 kg per minggu adalah normal, tetapi bila lebih dari 1 kg dalam seminggu atau 3 kg
dalam sebulan maka kemungkinan terjadi preeklampsia dicurigai.14
Peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan terutama disebbakan oleh retensi
cairan dan selalu dapat ditemukan sebelum timbul gejala edmea nondependen yang terlihat
jelas, seperti edema kelopak mat, kedua lengan atau tungkai yang membesar.
Proteinuria. Derajat proteinuria sangat bervariasi munjukkan adanya suatu penyebab
fungsional dan bukan organik. Pada preeklampsia awal, proteinuria mungkin hanya minimal
atau tidak ditemukan sama sekali. Pada kasus yang berat, proteinuria biasanya dapat
10

ditemukan dan mencapai 10 gr/l. Proteinuria hampir selalu timbul kemudian dibandingkan
dengan hipertensi dan biasanya terjadi setelah kenaikan berat badan yang berlebihan.14
Nyeri kepala. Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi sering terjadi pada kasus
yang lebih berat. nyeri kepala sering terasa pada daerah frontalis dan oksipitalis dan tidak
sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Pada wanita hamil yang mengalami serangan
eklampsia, nyeri kepala hebat hampir selalu mendahului serangan kejang pertama.14
Nyeri epigastrium. Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan keluhan
yang sering ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat menjadi prediktor serangan kejang
yang akan terjadi. Keluhan ini mungkin disebabkan oleh regangan kapsula hepar akibat
edema atau perdarahan.14
Gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di antaranya pandangan
yang sedikit kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau total. Keadaan ini disebabkan
oleh vasopasme, dan perdarahan petekie pada korteks oksipital.14

2.2.6. Penatalaksanaan
Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah :19
1. Terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya tidak terdapat trauma pada ibu
maupun janin
2. Kelahiran bayi yang dapat bertahan
3. Pemulihan kesehatan lengkap pada bayi
Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika diketahui atau diperkirakan janin
memiliki usia gestasi preterm, kecenderungan nya adalah mempertahankan janin di dalam
uterus selama beberapa minggu untuk menurunkan risiko kematian neonatus.20
Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan terdiri dari
penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil dengan PEB umumnya
dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun terakhir, sebuah pendekatan
yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai berubah. Pendekatan ini mengedepankan
11

penatalaksanaan ekspektatif pada beberapa kelompok wanita dengan tujuan meningkatkan


luaran pada bayi yang dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu.20
Penatalaksaan pada pasien dengan PEB antara lain : 19,20
a.
b.
c.
d.

Tirah baring
Oksigen
Kateter menetap
Cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid
maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan berpedoman pada
diuresis, insesible water loos dan central venous pressure (CVP). Balains cairan ini

harus selalu diawasi.


e. Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 10 cc MgSO4 40%
secara intravena loading dosis dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan
MgSO4 sebanyak 15 cc dalam 500 cc ringer laktat (RL)/ 6jam atau sektiar 28
tetes/menit. Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu :
1. Refleks patela normal
2. Frekuensi respirasi > 16 x per menit
3. Produksi urine > 100cc dalam 4 jam atau 0,5 cc/kgBB/jam
4. Disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10cc sebagai antidotum. Bila nantinya
ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium glukonas tersebut diberikan
dalam tiga menit.
f. Anti hipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg. Pilihan anti
hipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipine 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan
darah masih tinggi dapat diberikan nifedipine ulangan 10 mg dengan interval satu
jam, dua jam atau tiga jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah pada PEB
tidak boleh terlalu agresif yaitu tekanan darah diastol tidak kurang dari 90 mmHg atau
maksimal 30%. Penggunaan nifedipine ini sangat dianjurkan karena harganya murah,
mudah didapat dan mudah mengatur dosisnya dengan efektivtias yang cukup baik.
Selain itu juga yang menjadi pilihan adalah Metildopa.
Metildopa, merupakan agonis -adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti
hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini
menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung
dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor
12

sentral -2 lewat -metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa.
Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat -2 perifer lewat efek
neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan
dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya
dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis
awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3
jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dalam 4-6 jam
setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering
dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat
ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini. 19,21
g. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia kehamilan 2434 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien dengan PEB.
Preeklampsia sendiri merupakan penyebab 15% dari seluruh kelahiran prematur. Ada
pendapat bahwa janin penderita preeklampsia berada dalam stres sehingga mengalami
percepatan pematangan paru. Akan tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi percepatan
pematangan paru pada penderita preeklampsia.20,22
Gluck pada tahun 1979 menyatakan bahwa produksi surfaktan dirangsang oleh
adanya komplikasi kehamilan antara lain hipertensi dalam kehamilan yang
berlangsung lama. Hal yang sama juga dilaporkan Chiswick (1976) dan Morrsion
(1977) yaitu rasio L/S yang matang lebih tinggi pada penderita hipertensi dalam
kehamilan yang lahir prematur. Sementara itu, Owen dkk (1990) menyimpulkan
bahwa komplikasi kehamilan terutama hipertensi dalam kehamilan tidak memberikan
keuntungan terhadap kelangsungan hidup janin. Banias dkk dan Bowen dkk juga
melaporkan terjadi peningkatan insidens respiratory distress syndrome (RDS) pada
bayi yang lahir dari ibu yang menderita hipertensi dalam kehamilan.22
Dalam lebih dari dua dekade, kortikosteroid telah diberikan pada masa antenatal
dengan maksud mengurangi komplikasi, terutama RDS, pada bayi prematur. Apabila
dilihat dari lamanya interval waktumulai saat pemberian steroid sampai kelahiran,
tampak bahwa interval 24 jam sampai tujh hari memberi keuntungan yang lebih besar
13

dengan rasio kemungkinan (odds rasio/OR) 0,38 terjadinya RDS. Sementara apabila
interval kurang dari 24 jam OR 0,70 dan apabila lebih dari 7 hari OR 0,41. 2,12
Penelitian US Colaborative tahun 1981, melaporkan perbedaan bermakna insiden
RDS dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan 30-34 minggu dengan
interval antara 24 jam sampai dengan tujuh hari. Sementara penelitian Liggins dan
Howie mendapati insidensi RDS lebih rendah apabila interval waktu antara saat
pemberian steorid sampai kelahiran adalah dua hari sampai kurang dari tujuh hari dan
perbedaan ini bermakna. Mereka menganjurkan steroid harus diberikan paling tidak
24 jam sebelum terjadi kelahiran agar terlihat manfaatnya terhadap pematangan paru
janin. Pemberian steroid setelah lahir tidak bermanfaat karena kerusakan telah terjadi
sebelum steroid bekerja. National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan : 20
1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 24-34 minggu yang dalam persalian
prematur mengancam merupakan kandidat

untuk pemberian kortikosteroid

antenatal dosis tunggal.


2. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg sebanyak dua dosis
dengan selang waktu 24 jam atau deksametason 6 mg sebanyak 4 dosis
intramuskular dengan interval 12 jam.
3. Keuntungan optimal dicapai 24 jam setelah dosis inisial dan berlangsung selama
tujuh hari.

14

Gambar 2.2. Penanganan Preeklampsia Berat20


2.2.6.1 Penanganan aktif
Penanganan aktif. Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dnegan peningkatan
mortalitas perinatal dan peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu. Sehingga beberapa ahli
berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia kehamilan mencapai 34 minggu.
15

Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu untuk mencegah
progresifitas PEB.17
Indikasi untuk penatalaksanaan aktif pada PEB :
a. Kegagalan terapi medikamentosa :
Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan darah
yang persisten.
b. Tanda dan gejala impending eklampsia.
c. Gangguan fungsi hepar
d. Gangguan fungsi ginjal
e. Dicurigai terjadi solusio plasenta
f. Timbulnya onse partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan
g. Umur kehamilan 37 minggu
h. Intra uterine growth restriction (IUGR) berdasrakan pemeriksaan USG
i. Timbulnya oligohidramnion
Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom HELLP
(hemoytic anemia, elevated liver enzymes, dan low platelet count). Dimana HELLP
syndrome ini tidak jarang terjadi pada penderita PEB.
Dalam ACOG practice bulletin mencatat terminasi sebagai terapi untuk PEB. Akan tetapi,
keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan janinnya. Sementara Nowtz ER dkk
membuat ketentuan penanganan PEB dengan terminasi kehamilan dilakukan ketika diagnosis
PEB ditegakkan. Hasil penelitian juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu untuk
melanjutkan kehamilan jika diagnosis PEB telah ditegakkan. 18
Amed M, dkk pada sebuah review terhadap PEB melaporkan bahwa terminasi
kehamilan adalah terapi efektif untuk PEB. Sebelum terminasi, pasien diberikan dengan anti
kejang, magnesium sulfat, dan pemberian anti hipertensi. Wagner LK juga mencatat bahwa
terminasi adalah terapi efektif untuk PEB. Pemilihan terminasi secara vaginal lebih
diutamakan untuk menghindari faktor risiko stres dari operasi sesar.

2.2.6.2. Penanganan Ekspektatif 21


Penanganan ekspektatif. Terdapat kontroversi mengenai terminasi kehamilan pada
PEB yang belum cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk memperpanjang usia
16

kehamilan sampai seaterm mungkin sampai tercapainya pematangan paru atau sampai usia
kehamilan diatas 37 minggu. Adapun penatalaksanaan ekspektatif bertujuan : 16,18
1. Mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang memenuhi
syarat janin dapat dilahirkan.
2. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu.
Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada pasien PEB yang
timbul dengan usia kehamilan di bawah 24 minggu, terminasi kehamilan lebih
diutamakan untuk menghindari komplikasi yang dapat mengancam nyawa ibu (misalnya
perdarahan otak). Sedangkan pada pasien PEB dengan usia kehamilan 25 sampai 34
minggu penanganan ekspektatif lebih disarankan. Penelitian awal mengenai terapi
ekspektatif ini dilakukan oleh Nochimson dan Petrie pada tahun 1979. Mereka menunda
kelahiran pada pasien PEB dengan usia kehamilan 27-33 minggu selema 48 jam untuk
memberi waktu kerja steroid mempercepat pematangan paru.
Kemudian Rick dkk pada tahun 1980 juga menunda kelahiran pasien dnegan PEB
selama 48-72 jam bila diketahui rasio lecitin/ spingomyelin (L/S) menunjukkan
ketidakmatangan paru.
Banyak peneliti lain yang juga meneliti efektivitas penatalaksanaan ekspektatif ini
terutama pada kehamilan preterm. Diantaranya yaitu Odendaal dkk yang melaporkan
hasil perbandingan penatalaksanaan ekspektatif dan aktif pada 58 wanita dengan PEB
dengan usia kehamilan 28-34 minggu. Pasien ini diterapi dengan MgSO4, hidralazine dan
kortikosterid untuk pematangan paru. Semua pasien dipantau ketat di ruang rawat inap.
Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi karena indikasi ibu dan janin setelah 48
jam dirawat inap. Pasien dengan kelompok penanganan aktif diterminasi kehamilannya
setelah 72 jam, sedangkan pasien pada kelompok ekspektatif melahirkan pada usia
kehamilan rata-rata 34 minggu. Odendaal dkk juga menemukan penurunan komplikasi
perinatal pada kelompok dengan penanganan ekspektatif. Penelitian lain yang dilakukan
oleh Witlin dkk melaporkan peningkatan angka pertumbuhan janin terhambat yang
sejalan dengan peningkatan usia kehamilan selama penanganan secara ekspektatif.
Sedangkan Haddad B dkk yang meneliti 239 penderita PEB dnegan usia kehamilan 24-33
17

minggu mendapatkan 13 kematian perinatal dnegan rincian 12 bayi pada kelompok aktif
dan 1 kematian perinatal pada kelompok ekspektatif. Sementara angka kematian ibu sama
pada kedua kelompok. Penelitian ini menyimpulkan penanganan PEB secara ekspektatif
pada usia kehamilan 24-33 minggu menghasilkan luaran perinatal yang lebih baik dengan
risiko minimal pada ibu.
Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam dengan
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Penderita belum inpartu
a. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop 8
Dalam melakukan induksi persalinan,bila perlu dapat dilakukan pematangan
serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II
dalam waktu 24 jam. bila tidak, induksi persalinan dianggap gagal dan harus
disusul dengan pembedahan sesar.
b. Pembedahan sesar dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk persalinan
pervaginam atau bila induksi persalinan gagal, terjadi maternal distress, terjadi
fetal distress, atau umur kehamilan < 33 minggu.
2. Bila penderita sudah inpartu
a. Memperpendek kala II
b. Pembedahan cesar dilakukan bila terdapat maternal distress dan fetal distress
c. Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar

18

LAPORAN KASUS
Nama

: Ny. Marlini Loho

Umur

: 32 tahun

CM

: 095846

Alamat

: Pulutan , Remboken

Pekerjaan

: IRT

G2P1A0, 32 tahun MRS tanggal 17 Juli 2015, jam 12.00 dengan membawa surat pengantar
dokter spesialis obstetri ginekelogi dengan Diagnosa : G2P1A0 32tahun hamil 37-38 minggu
+ PEB + Bekas SC 1x.
Pasien mengeluh nyeri kepala dan penglihatan berkurang sejak 1 hari SMRS.
Anamnesis

Nyeri kepala (+)

Penglihatan kabur (+)

Nyeri Ulu hati (-)

Nyeri perut bagian bawah ingin melahirkan belum dirasakan teratur

Pelepasan lendir campur darah (-)

Pelepasan air dari jalan lahir (-)

Pergerakan janin (+) dirasakan saat MRS

Riwayat darah tinggi pada hamil anak I, tekanan darah kembali normal setelah
kurang lebih 1 bulan setelah melahirkan. Minum obat rutin 1 bulan, ibu lupa nama
obat.

Riwayat penyakit jantung, paru-paru, ginjal, hati, kencing manis, disangkal

PAN: 4 kali di RS Bethesda (dr.NW,Sp.OG dan dr.GS,SpOG)

HPHT : 15 Oktober 2014

TP: 22 Juli 2015

Kawin : 1 kali selama 6 tahun.

KB: Suntik (2014)


19

P1, 2009, preterm, seksio sesarea a/i PEB, , 1600 gr, hidup

G2, Hamil ini

Status praesens :
Keadaan umum

: Cukup

Kesadaran

: CM

Tekanan darah

: 210/110 mmHg

Nadi

: 86 x/mt

Respirasi

: 22 x/mt

Suhu

: 36,5 0 C

Konjungtiva

: anemis (-)

Sklera

: ikterik (-)

Berat badan

: 63 kg

refleks cahaya +/+


C/P

: dbn

Tinggi badan

: 145 cm

Extremitas

: Edema +/+

Status Obstetrik :
TFU
kanan

: 30 cm

BJA

: 148-155 x/menit

TBBA

: 2480 gram

Letak janin : letak kepala U punggung


His

: - // -

Proteinuri (kualitatif) : ++++/ + 4


USG : Janin Intrauterin tunggal letak kepala
FM(+), FHM (+)
Placenta implantasi di fundus
AFL > 2 cm, EFW: 2300-2400 gram
Kesan: Hamil aterm + letak kepala
Laboratorium :
Hb 14,7 gr/dll, Leukosit: 12.540/mm3, Trombosit: 209.000/mm3, SGOT : 23U/l, SGPT:
14U/l, GDS : 82mg%, Ureum : 44mg%, Kreatinin: reagen habis, Asam urat : 7,7mg%

20

Urinalisis : Glukosa : -, Bilirubin : -, Keton : -, PH: 6,5, BJ: 1,020, Protein : +3,
Urobilinogen : 0,2, Leukosit -.
PD:

Portio tebal lunak arah axial, pembukaan 1 jari ketat, PP masih tinggi.

Diagnosis : G2P1A0 32 tahun hamil 39 40 minggu belum inpartu + impending eklampsi +


bekas SC 1x
Janin intra uterin tunggal hidup letak kepala
Sikap :

MgSO4 40% 4gr IV Bolus

IVFD MgSO4 40 % 6 gr dalam RL 500 cc/ 6jam 28 tts/menit (sampai 24jam


post op)

Dopamed 3 x 500mg

Nifedipinee 3 x 10 mg

Seksio Sesarea Cito

Konseling, informed consent

Lab, EKG, Urinalisis, Crossmatch

SGOT, SGPT, Asam urat, GDS, Ureum, Kreatinin

Observasi T, N, R, His , BJJ

Tanggal 17 juli 2015


Jam 13.00 16.00

T :190/100 mmHg

N : 84x/m

RR

: 22 x/m

Jam 16.00

: Pasien di dorong ke OK cito

Jam 16.30

: Operasi dimulai, dilakukan SCTP

Jam 16.37

: Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.


Dilanjutkan dengan tubektomi
21

Didapatkan banyak cairan asites, dilakukan suction cairan.


Jam 16.50

: Operasi selesai

Follow up:
Tanggal 18 Juli 2015
S

: Nyeri luka post op, penglihatan kabur, nyeri kepala, perut kembung

: KU:cukup, Kes : CM
T:190/110, N:88x/m, RR: 20x m, S: 36,30
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :

Laktasi -/-, Infeksi -/-

Abdomen:

Auskultasi : BU +
TFU 2 jari bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Luka operasi terawat, darah (-), pus (-), tampak hematom daerah
diatas luka operasi

Genitalia

: terpasang kateter

Extremitas

: Edema +/+

Laboratorium (6jam post op) : Hb 12,7 gr/dll, Leukosit: 20.670/mm3, Trombosit:


185.000/mm3,
A

: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-I a/i Impending Eklampsi + Bekas SC 1x
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.

: -IVFD MgSO4 40 % 6 gr dalam RL 500 cc/ 6jam 28 tts/menit menit (sampai


24jam post op)
- Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
22

- Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
- Drip Metronidazole 2 x 500 gr
- Inj Vit C 1 x 1 amp
- Cek Hb 6jam post op
- Jikan Hb < 8gr/dl pro/ transfusi

Tanggal 19 Juli 2015


S

: Nyeri luka post op, penglihatan kabur, nyeri kepala, perut kembung

: KU:cukup, Kes : CM
T:130/90, N:86x/m, RR: 18x m, S: 36,50
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :

Laktasi -/-, Infeksi -/-

Abdomen:

Auskultasi : BU +
TFU 2 jari bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Luka operasi terawat, darah (-), pus (-), tampak hematom daerah
diatas luka operasi

Genitalia

: terpasang kateter

Extremitas

: Edema +/+

: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-II a/i Impending Eklampsi + Bekas SC 1x
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.

: - IVFD MgSO4 40 % 6 gr dalam RL 500 cc/ 6jam 28 tts/menit (sampai 24jam


post op)
- Dopamed 3 x 500mg
23

- Nifedipinee 3 x 10mg
- Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
- Drip Metronidazole 2 x 500 gr
- Inj Vit C 1 x 1 amp
- Aff Kateter

Tanggal 20 Juli 2015


S

: Nyeri luka post op, penglihatan kabur

: KU:cukup, Kes : CM
T:180/100, N:82x/m, RR: 18x m, S: 36,30
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :

Laktasi -/-, Infeksi -/-

Abdomen:

TFU 3 jari bawah pusat


Kontraksi uterus baik
Luka operasi terawat, darah (-), pus (-), tampak hematom daerah
diatas luka operasi

Extremitas

: Edema +/+

Laboratorium: Hb 8,6 gr/dl, Leukosit: 11.820/mm3, Trombosit: 210.000/mm3,


A

: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-III a/i Impending Eklampsi+Bekas SC1x
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.

: - IVFD RL 500 cc 20 tts/menit


- Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
24

- Cek Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Asam urat.


- Rawat Luka

Tanggal 21 Juli 2015


S

: Penglihatan kabur <<

: KU:cukup, Kes : CM
T:160/100, N:82x/m, RR: 18x m, S: 36,30
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :

Laktasi -/-, Infeksi -/-

Abdomen:

TFU 3 jari bawah pusat


Kontraksi uterus baik
Luka operasi terawat, darah (-), pus (-), tampak hematom daerah
diatas luka operasi

Extremitas

: Edema +/+

Laboratorium: Alb 2.3 gr/dl, Glob 2.4 gr/dl, Protein total 4.7gr/dl, SGOT : 27, SGPT : 19,
Ureum : 36, Asam urat 7.5
A

: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-IV a/i Impending Eklampsi+Bekas SC1x
+ Hipoalbumin
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.

: - IVFD NaCl 500 cc 20 tts/menit


- Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
25

- R/ Transfusi Albumin / WB 2 kantong

Tanggal 22 Juli 2015


S

: Keluhan (-)

: KU:cukup, Kes : CM
T:160/100, N:84x/m, RR: 18x m, S: 36,50
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :

Laktasi -/-, Infeksi -/-

Abdomen:

TFU 3 jari bawah pusat


Kontraksi uterus baik
Luka operasi terawat, darah (-), pus (-), tampak hematom daerah
diatas luka operasi

Extremitas
A

: Edema +/+

: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-V a/i Impending Eklampsi+Bekas SC1x
+ Hipoalbumin
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.

: - IVFD WB kantong I
- IVFD NaCl 500 cc 20 tts/menit
- Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
- R/ Transfusi WB II

26

Tanggal 23 Juli 2015


S

: Keluhan (-)

: KU:cukup, Kes : CM
T:140/90, N:88x/m, RR: 18x m, S: 36,20
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :

Laktasi -/-, Infeksi -/-

Abdomen:

TFU pertengahan pusat simphysis


Kontraksi uterus baik
Luka operasi terawat, darah (-), pus (-), tampak hematom daerah
diatas luka operasi <<

Extremitas
A

: Edema +/+

: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-VI a/i Impending Eklampsi+Bekas SC1x
+ Hipoalbumin
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.

: - IVFD WB II
- IVFD NaCl 500 cc 20 tts/menit
- Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
- Cek Lab post transfusi

Tanggal 24 Juli 2015


S

: Keluhan (-)
27

: KU:cukup, Kes : CM
T:160/100, N:86x/m, RR: 18x m, S: 36,20
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :

Laktasi -/-, Infeksi -/-

Abdomen:

TFU pertengahan pusat simphysis


Kontraksi uterus baik
Luka operasi terawat, darah (-), pus (-), tampak hematom daerah
diatas luka operasi <<

Extremitas

: Edema +/+

Laboratorium: Hb 11,3 gr/dl, Leukosit: 8.560/mm3, Trombosit: 307.000/mm3,


A

: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-VII a/i Impending Eklampsi+Bekas SC1x
+ Hipoalbumin
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.

: - Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
- Cek Albumin, Protein Total

Tanggal 25 Juli 2015


S

: Keluhan (-)

: KU:cukup, Kes : CM
T:170/100, N:86x/m, RR: 18x m, S: 36,20
28

Conj.anemia -/-, RC +/+


Mammae :

Laktasi -/-, Infeksi -/-

Abdomen:

TFU pertengahan pusat simphysis


Kontraksi uterus baik
Luka operasi berdarah, tampak hematom daerah
diatas luka operasi <<

Extremitas

: Edema +/+

Laboratorium: Alb 2,4 gr/dl, Globulin 2.1gr/dl, Total protein 4.5gr/dl


A

: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-VIII a/i Impending Eklampsi +


Bekas SC1x + Hipoalbumin
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.

: - Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
- Rawat luka pagi - sore

29

Tanggal 26 Juli 2015


S

: Keluhan (-)

: KU:cukup, Kes : CM
T:140/90, N:86x/m, RR: 18x m, S: 36,20
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :

Laktasi -/-, Infeksi -/-

Abdomen:

TFU pertengahan pusat simphysis


Kontraksi uterus baik
Luka operasi berdarah, tampak hematom daerah
diatas luka operasi <<

Extremitas
A

: Edema +/+

: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-IX a/i Impending Eklampsi +


Bekas SC1x + Hipoalbumin
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.

: - Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
- Rawat luka pagi sore

30

Tanggal 27 Juli 2015


S

: Keluhan (-)

: KU:cukup, Kes : CM
T:140/90, N:86x/m, RR: 18x m, S: 36,20
Conj.anemia -/-, RC +/+
Mammae :

Laktasi -/-, Infeksi -/-

Abdomen:

TFU pertengahan pusat simphysis


Kontraksi uterus baik
Luka operasi terawat , darah (-), hematom <<

Extremitas
A

: Edema + << /+ <<

: P2A0 32 tahun post SCTP + Tubektomi H-X a/i Impending Eklampsi +


Bekas SC1x + Hipoalbumin
Lahir bayi , BBL : 2300 gr, PBL : 47 cm, AS : 8-9.

: - Dopamed 3 x 500mg
- Nifedipinee 3 x 10mg
- Cefixim 2 x 100mg
- Trombophob Salep
- Rawat luka pagi - sore

31

BAB III
PEMBAHASAN

Dalam diskusi berikut ini akan di bahas beberapa permasalahan :


1. Diagnosis pada kasus ini
2. Penanganan pada kasus ini
1. Diagnosis pada kasus ini
Diagnosis Impending Eklampsi ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari definisinya sendiri, Preeklampsia adalah timbulnya
hipertensi disertai proteinuri akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan. Eklampsi adalah kelainan akut pada Preeklampsia dalam
kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau
tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat). Sedangkan impending
eclampsia adalah Preeklampsia yang disertai dengan nyeri kepala hebat, penglihatan
yang berkurang, dan atau nyeri epigastrium.7
Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat (PEB) : 7,16
a. Preeklampsia ringan
Dikatakan preeklampsia ringan bila :
- Tekanan darah sistolik antara 140-150 mmHg dan tekanan
- Diastolik 90-100 mmHg
- Proteinuria minimal (< 2 g/L/24 jam) atau positif 1 atau 2 pada pemeriksaan
kuantitatif
- Tidak disertai gangguan fungsi organ.
b. Preeklampsia berat
Dikatakan preeklampsia berat bila :
- Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
- Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif.
d. Disertai dengan :
vii.
Hematologi : Trombositopenia (<100.000/ul), hemolysis mikroangiopati
viii. Hepar : peningkatan SGOT, SGPT, Nyeri epigastrium/ kuadran kanan atas
ix.
Neurologis : sakit kepala persisten, skotoma penglihatan.
32

x.
Janin : pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
xi.
Paru : edema paru dan atau gagal jantung kongestif
xii.
Ginjal : oliguria (500cc/24jam), kreatinin 1,2mg/dl
c. Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai dengan adanya
kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.
Preeklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu :2,4
- PEB tanpa impending eklampsia
- PEB dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala impending diantaranya
nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium dan nyeri abdomen
kuadran kanan atas.
Diagnosis impending Eklampsi pada pasien ini didasarkan atas anamnesis
ditemukannya gejala klinis berupa nyeri kepala dan penglihatan yang kabur. Serta
didukung juga dengan pemeriksaan fisik berupa tekanan darah yang tinggi yaitu
210/110, proteinuri kuantitatf +4. Kemudian untuk memastikan proteinuri dilakukan
pemeriksaan urinalisis dan didapatkan proteinuri +3.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 14,7 gr/dll, Leukosit: 12.540/mm3,
Trombosit: 209.000/mm3, SGOT : 23U/l, SGPT: 14U/l, Asam urat : 7,7mg%. Maka
dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini tidak didapatkan sindrom HELLP (hemoytic
anemia, elevated liver enzymes, dan low platelet count) dimana sindrom HELLP ini
tidak jarang terjadi pada penderita PEB.
2. Penanganan pada kasus ini
Penanganan pada pasien preeklampsia dengan faktor resiko penyerta dan
komplikasi merupakan hal yang kompleks. Penggunaan MgSO4 pada pasien sudah tepat,
karena sampai saat ini MgSO4 tetap digunakan sebagai agen profilaksis dan definitif pada
kasus preeclampsia. MgSO4 telah direkomendasikan oleh WHO sebagai terapi utama
pada pasien dengan preeclampsia, mengingat efektifitas, safety, dan cost effective pada
penggunaannya. Pada pasien ini sebagai profilaksis eklampsi diberikan MgSO4 40 %
4gr(10cc) iv bolus perlahan 5-10 menit, dilanjutkan dengan MgSO4 40% 6gr(15cc) drips
dalam 500cc RL /6jam.

33

Penggunaan obat antihipertensi berupa Dopamed 3x500mg dan Nifedipine


3x10mg pada pasien sudah tepat. Berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan oleh
Jayasutha et al, menemukan bahwa penggunaan kombinasi metildopa dan kombinasi
merupakan terapi yang sangat efektif pada pasien PEB dengan atau tanpa komplikasi,
dibandingkan penggunaan tunggal metildopa.
Kemudian diputuskan untuk dilakukan terminasi kehamilan segera merupakan
tindakan yang harus dilakukan, karena penanganan terpenting pada kasus-kasus
preeklampsi berat terutama dengan komplikasi adalah terminasi kehamilan segera
mungkin. Pada pasien ini usia kehamilan 39-40minggu sehingga untuk pematangan paru
janin sudah tidak perlu diberikan kortikosteroid injeksi.

34

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, Hypertensive
Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New York: McGrawHill, 2005 : 761-808.
2. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Rouse D, Spong C, et al. Pregnancy
Hypertension, dalam William Obstetrics, edisi ke-23, New York: McGraw-Hill, 2010 :
706-756.
3. Brooks M, Pregnancy&Preeclampsia, 5 Januari 2005, diakses tanggal 21 Juli 2015,
dari http : //www.emedicine.com.
4. Gibson P, Carson M, Hypertension and Pregnancy, 30 Juli 2009, diakses tanggal 21
Juli 2015, dari http : //emedicine.medscape.com/article/261435.
5. Seely E, Maxwell C, Chronic Hypertension in Pregnancy. 2007, diakses tanggal 21
Juli 2015, dari http : //circ.ahajournals.org/cgi/content/full/115.
6. Roeshadi RH. Ilmu Kedokteran Fetomaternal : Hipertensi dalam kehamilan. 2004.
Medan. 494 499
7. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman
Diagnosis dan terapi Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian pertama,
edisi ke-2, Bandung : Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran RS dr.Hasan Sadikin, 2005 : 60-70.
8. Eruo FU, et all. Clinical Obstetrics the Fetus and Mother : Hypertensive disease in
pregnancy. Edisi 3. Blackwell Publishing. Massachusetts. 2007. 684-695
9. Marchiano D. NMS Obstetrics and Gynecology : Hipertensi in pregnancy. Edisi 6.
Lippincott Williams & Wilkins. New York. 2008. 164-171
10. Shennan A, Hypertensive disorders, dalam Dewhursts textbook of Obstetrics &
Gynaecology, edisi ke-7, USA : Blackwell Publishing, 2007 : 227-234.
11. Dekker A, Sibai M. Current diagnosis and treatments in obstetrics and gynecology :
Hypertension in pregnancy. Amerika Serikat. 2006. 209-215
12. Gerda G, et all. Chesleys hypertensive disorders in pregnancy. Edisi 3. Elsevier.
Amerika Serikat. 2009. 227-240
35

13. Barton JR, Sibai BM. Manual of Obstetric : Preeclampsia. Edisi 7. Lippincott
Williams & Wilkins. New York. 2007. 178-189
14. Bailis A, Witter FR. The Johns Hopkins manual of Obstetrics and Gynecology:
Hypertensive disorders of pregnancy. Edisi 3: Lippincott Williams & Wilkins. New
York. 2007. 181-191
15. Tamas P, et all. Gynecology perinatology : Hypertensive disorders of pregnancy.
Volume 19 no 4. University of Pecs. Hunggaria. 2010
16. August P, Management of Hypertension in Pregnancy, 2009, diakses tanggal 21 Juli
2015, dari http : //www.uptodate.com/patients/content/topic.
17. Sibai B, Diagnosis, Prevention, and Management of Eclampsia, 18 November 2004,
diakses tanggal 21 Juli 2015, dari http://www.greenjournal.org.
18. CunninghamGF, Leveno KJ, Bloom SL et all. Williams Obstetri; ed. 2. New York:
McGray Hill-Companies, 2010: 853-55.Schrauwers C, Dekker G. Maternal and
perinatal outcome in obese pregnant patients. The Journal of Maternal-Fetal and
Neonatal Medicine 22[3], 218-226. 2009.
19. Soni BL. Alternative Magnesium Sulfate Regimens for Women with Pre-eclampsia

and Eclampsia: RHL commentary (last revised: March 1, 2011). The WHO
Reproductive Health Library; Geneva: World Health Organization. Available at:
http://apps.

who.int/rhl/pregnancy_childbirth/medical/hypertension/

cd007388_sonibl_com/en/.
20. Euser A, Cipolla M. Magnesium Sulfate for the Treatment of Eclampsia. A Brief

Review. Stroke; Journal of the American Heart Association. 2009; Print ISSN: 00392499; Online ISSN: 1524-4628. Available at: http://stroke.ahajournals.org/content/
early/2009/02/10/STROKEAHA.108.527788.short
21. Jayasutha, Ismail A.M, Senthamarai R. Evaluation on efficacy of Methyldopa

monotherapy and combination therapy with Nifedipinee in pregnancy-induced


hypertension.

Der

Pharmacia

Lettre,

2011,

3(3):

383-387

(http://scholarsresearchlibrary.com/archive.html)
22. Obesity in pregnancy. Committee in opinion no.549. American College of
Obstetricians and Gynecologists. Obstet Gynecol 2013. 121;213-217
36

37

You might also like