You are on page 1of 29
Kebijakan Industri Otomotif Indonesia IGNATIUS ISMANTO ABSTRACT. Indonesia's automotive policies have experienced a substantial change since the 2000s. For a long time, the orientation of industrial automotive policy has been subjected to promote infant industries. A number of policies have been adopted to protect the industry. The idea to pursue national car, in which all of components are produced locally, inspires a national sentiment that provided historical background for the adoption of the protectionist policies. These policies enabled the state to play a dominant role in the development of automotive industry. The birth of a number of automotive capitalist groups, such as Astra Group, Indomobil Group and Krama Yudha Group was due to intervention of the state, The development of capital in the automotive industry was characterized by rent seeking activities. But, along with the country's changing economy and politics in response to the changing global economy, the role of the state declined substantially, implicating the development of the automotive industry. National car became a critical issue along with globalization of production. Changing global economies has a broad and deep implication to development of capital and the automotive industry. The Indonesian automotive industry is a window to recognize the country’s changing political economy in response to the changing global economy. KeyworDs: automotive industry, policy, capital development, rent seeking activities, internationalization of capital Industri otomotif Indonesia merupakan sektor industri yang memperoleh proteksi pemerintah dalam kurun waktu yang relatif panjang. Serangkaian kebijakan proteksi, melalui hambatan tarif maupun hambatan non-tarif, seperti: pengendalian impor, program penanggalan’ hingga ' Program penanggalan (deletion program) yaitu program yang mensyaratkan bagi industri otomotif nasional untuk secara bertahap memproduksi komponen-komponen di dalam negeri Ignatius Ismanio (ignismanto@uph.edu) adalah Dosen Tetap di Jurusan Hubungan internasional, Fakultas Tim ‘Sosial dan Iimu Politik, Universitas Pelita Harapan. VERITY w Volume 2, No. 4, Juli-Desember 2010 © Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas [imu Sosial dan Imu Politik, Universitas Pelita Harapan 35 36m Kebijakan Industri Otomotif Indonesia program mobil nasional, awalnya ditempuh untuk —mendorong pertumbuhan industri itu. Persaingan global di kalangan perusahaan otomotif multinasional (AS, Eropa, Jepang, China dan India), dalam memperluas akses pasar global merupakan faktor yang ikut mempengaruhi percepatan perkembangan industri otomotif Indonesia. Persaingan pasar global pada 1970-an telah memungkinkan diperkenalkannya berbagai merk mobil, khususnya merk-merk mobil buatan Jepang, memasuki pasar domestik Indonesia. Demikian pula, berbagai merk mobil asal Korea mulai memasuki pasar Indonesia sejak 1990-an. Bahkan, sejak 2000-an sejumlah merk mobil buatan China dan India ikut meramaikan persaingan pasar itu}. Kini, berbagai merk mobil ternama di dunia membangun akses pasar di Indonesia. Indonesia merupakan pangsa pasar yang menarik bagi perusahaan-perusahaan otomotif global seiring dengan perkembangan ekonominya. Bahkan sejumlah industri otomotif global-pun telah mulai membangun basis produksi mereka di Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar global4. Perkembangan industri otomotif mengalami kemajuan yang berarti sejak pemerintah menempuh kebijakan yang melarang impor mobil dalam bentuk utuh (CBU, Completely Built Up) pada awal 1970-an. Bersamaan dengan itu, peran dan intervensi pemerintah dalam pembangunan industri otomotif Indonesia memiliki arti yang strategis, yaitu tidak hanya dalam “menjinakkan’ kekuatan-kekuatan perusahaan otomotif multinasional di tengah meningkatnya persaingan global tetapi juga memanfaatkannya dalam membangun kekuatan industri otomotif nasional. Seiring dengan perubahan ekonomi dan politik yang menempatkan negara merupakan kekuatan sosial yang dominan, pemerintah merupakan aktor yang berpengaruh dalam kebijakan pengembangan industri otomotif. Lahirnya sejumlah kelompok perusahaan otomotif nasional, seperti: Kelompok Astra, Kelompok Indomobil dan Kelompok Krama Yudha tak lepas dari proteksi dan intervensi yang diberikan pemerintah dalam pengembangan industri otomotif Indonesia. Satu hal yang menarik bahwa proses akumulasi kapital dalam pembangunan sektor industri otomotif dicirikan oleh fenomena ? Program Nasional (Mobnas) merupakan program yang dimaksudkan untuk memproduksi mobil yang seluruh Komponennya diproduksi di dalam negeri dan dengan mengembangkan merk senditi. > Sejumlah merk mobil buatan China, seperti: Foton, Chery, Geely dan Sokon; serta merk mobil buatan India, seperti Nano, mulai memasuki pasar mobil Indonesia. * 'Sejumlah industri otomotif Jepang, yaitu: Suzuki, Daibatsu dan Toyota mulai menempatkan Indonesia sebagai basis produksi masing-masing untuk merk mobil Suzuki APV, Daihatsu Gran Max dan Toyota Inova untuk memenuhi permintaan pasar ASEAN, Afrika Selatan, Australia dan Amerika Latin, Demikian pula kerjasama Toyota-Daihatsu telah menjadikan Indonesia sebagai basis produksi bagi merk mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia untuk memenuhi permintaan pasar global (Kompas, 11 Agustus 2008). Ignatius Ismanto = 37 konsesi politik. Rent seeking activities merupakan karakteristik yang menyertai tahap awal pembangunan kapital dalam industri otomotif Indonesia. Liberalisasi ekonomi yang ditempuh Indonesia sebagai tanggapan terhadap perubahan ekonomi global, seperti: resesi ekonomi dunia pada pertengahan 1980-an, dampak globalisasi produksi hingga krisis keuangan Asia 1997, membawa pengaruh yang menarik terhadap perubahan politik Indonesia. Liberalisasi ekonomi itu sekaligus merupakan tantangan yang serius dalam mendorong transparansi proses kebijakan di Indonesia. Tulisan ini mengkaji berbagai regulasi dan kebijakan pembangunan industri otomotif Indonesia dari perspektif ekonomi-politik. Negara dan Pembangunan dalam Perspektif Dunia Ketiga Salah satu akar perdebatan intelektual antara kalangan Liberal dan kalangan Strukturalis adalah cara pandang mereka masing-masing dalam memahami peran dan intervensi negara dalam ekonomi. Kalangan Liberal memandang bahwa alokasi sumber-sumber ekonomi yang efisien merupakan kunci dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi masyarakat global. Alokasi sumber-sumber ekonomi yang efisien dimungkinkan dengan membatasi intervensi negara dalam ekonomi dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor dipandang merupakan instrumen yang strategis dalam meningkatkan efisiensi ekonomi. Kebijakan industrialisasi yang berorientasi ekspor tidak saja mendorong setiap negara menfokuskan pada keuanggulan komparatif industri dan ekonominya tetapi juga mendukung kesejahteraan ekonomi global. Sebaliknya, kalangan Strukturalis melihat bahwa pentingnya peran dan intervensi negara dalam ekonomi, terutama didasarkan pada pertimbangan ‘keterlambatan industrialisasi’ (late industrialization) yang dialami oleh suatu negara. Dunia Ketiga umumnya merupakan negara yang dihadapkan pada keterlambatan industrialisasi dibanding dengan negara- negara Barat (Eropa dan Amerika) yang lebih awal mengalami kemajuan industrialisasi mereka. Negara-negara Barat telah memulai industrialisasi mereka pada abad ke-18, Sedangkan negara-negara yang memulai industrialisasi sesudah abad ke-18 merupakan negara yang masuk dalam kategori sebagai negara yang mengalami keterlambatan industrialisasi. Tantangan yang dihadapi oleh negara-negara yang mengalami keterlambatan industrialisasi itu-pun jauh lebih besar dibandingkan dengan negara yang lebih awal dalam menempuh industrialisasi mereka, seperti 38. = Kebijakan Industri Otomotif Indonesia dalam aspek penguasaan teknologi, kekuatan kapital dan penguasaan pasar. Semakin terlambat industrialisasi suatu negara (late-late industrialization) semakin berat tantangan yang dihadapi. Sehubungan dengan itu, untuk mengejar (cafching-up) keterlambatan industrialisasi yang dialami oleh Dunia Ketiga itu diperlukan peran dan intervensi negara yang lebih besar. Sebagaimana dikemukakan Alexander Gerschenkorn (1961) bahwa: ”semakin terlambat industrialisasi suatu negara, semakin diperlukan peran dan intervensi negara yang lebih besar untuk mengatasi keterlambatan industrialisasinya itu”. Aspek peran penting negara dalam industrialisdasi negara Dunia Ketiga tampak dari pengembangan teori negara pembangunan (developmentalist state). Gagasan negara pembangunan merupakan konsep yang, dikembangkan dalam memahami proses industrialisasi negara-negara Asia (Asia’s NICs), seperti: Jepang dan Korea Selatan. Teori negara pembangunan merupakan konsep ‘hibrida’ yang mengadopsi pemikiran Strukturalis, dan tanpa mengabaikan pertimbangan-perimbangan pemikiran Liberal. Gagasan negara pembangunan menekankan pada peran negara sebagai faktor utama (primary factor) dalam pembangunan ekonomi, khususnya bagi negara yang dihadapkan pada _keterlambatan industrialisasinya. Intervensi negara diperlukan untuk mengatasi pasar yang tidak sempurna serta berbagai kendala dalam mendorong industrialisasi. Negara pembangunan, sebagaimana ditegaskan Chalmers Johnson, bukan model pembangunan ekonomi sosialis®. Pendekatan negara pembangunan menekankan _ pentingnya pelembagaan ekonomi pasar, termasuk pengakuan hak kepemilikan pribadi (private property). Onis (1991) menegaskan bahwa negara pembangunan memainkan peran strategis terutama dengan memadukan kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar dan intervensi pemerintah dalam mendorong efisiensi pembangunan industrialisasi. Negara memainkan peran yang penting terutama dalam merumuskan industrialisasi_ yang dipandang strategis. Sehubungan dengan itu, kemandirian negara merupakan aspek yang diperlukan dalam mendukung pembangunan industrialisasi. Kemandirian negara yang dimaksud disini yaitu kapasitas negara dalam merumuskan dan mengimplementasikan industrialisasi tanpa diganggu oleh _kepentingan-kepentingan _pribadi. _Keberhasilan industrialisasi akan sangat ditentukan pula oleh dukungan aparatur birokrasi yang bersih. Kehadirian negara yang kuat (strong state) dipandang sebagai kunci keberhasilan dalam mendukung industrialisasi. Konsep negara yang kuat dalam konteks ini diartikan sebagai negara yang mampu. § Lihat Alvin ¥. So dan Stephan W.K Chiu, 1998, East Asia and the World Economy. London: Sage Publication, hal. 13. Ignatius Ismanto m 39 mengendalikan kepentingan pribadi (vested interest) kalangan aparatur birokrasi dalam mewujudkan tujuan industrialisasi nasionalnya. Akumulasi kapital merupakan aspek menarik dalam industrialisasi arahan negara. Melalui berbagai kebijakan proteksi yang diberikan oleh pemerintah terhadap industri yang baru berkembang, pemerintah berkepentingan untuk membangun perusahaan-perusahaan nasional yang tangguh, yang nantinya diharapkan menjadi kekuatan nasional dalam menghadapi persaingan pasar global. Pola pembangunan kapital di negara Dunia Ketiga yang dihadapkan pada keterlambatan industrialisasi, yang melahirkan kalangan pengusaha nasional yang tangguh itu, sangat berbeda dengan model akumulasi kapital yang berkembang di negara yang telah maju. Pada negara yang, telah maju, peran pemerintah dalam melayani kepentingan pemilik modal umumnya hanya sebatas melalui kebijakan fiskal dan moneter. Sebaliknya, pembangunan kapital di negara Dunia Ketiga dimungkinkan melalui intervensi langsung oleh pemerintah, yaitu melalui pemberian konsensi, lisensi, dan monopoli seiring dengan kebijakan ekonomi negara yang protektif, Akses politik dengan penyelengara kekuasaan negara merupakan aspek yang penting dalam memperoleh ‘fasilitas’ yang diberikan oleh pemerintah dalam pembangunan kapital itu. Sehubungan itu, rent seeking activities menjadi instrumen penting dalam mendorong proses akumulasi Kapital. Proses akumulasi kapital yang ditempuh melalui perburuan rente itu dikenal dengan sebutan pembangunan kapital yang primitif (primitive capital development). Pendekatan negara pembangunan menekankan bahwa kepentingan negara dalam memanfaatkan kapital internasional untuk mendukung industrialisasi arahan negara sebagai tahapan/strategi yang krusial dalam mengatasi keterbelakangan industrialisasi Dunia Ketiga, Sehubungan dengan itu kehadirian suatu rejim otoritarian seringkali dipandang merupakan kondisi yang diperlukan dalam mendukung tahap awal pembangunan industrialisasinya. Konsep otoritarian yang dimaksudkan merujuk pada proses kebijakan negara yang dirumuskan oleh kalangan yang terbatas, tanpa melibatkan partisipasi politik masyarakat luas. Samuel Huntington menekankan bahwa rejim otoritarian itu sifatnya hanya sementara saja. Rejim otoritarain diperlukan terutama untuk menghindari revolusi sosial, terutama pada tahap dimana pertumbuhan ekonomi diikuti oleh memburuknya kesenjangan ekonomi. Rejim otoritarian akan berakhir seiring dengan kemajuan industrialisasi negara. Sebaliknya, kalangan Marxist radikal bersikap kritis terhadap perkembangan kapitalisme global. Kalangan Marxist radikal pesimis terhadap pandangan bahwa internasionalisasi kapital yaitu industrialisasi yang mengandalkan kapital internasional dapat mengatasi keterbelakangan ekonomi dan keterlambatan 40 m Kebijakan Industri Otomotif Indonesia industrialisasinya. Pendekatan ini memandang bahwa kehadirian rejim yang otoritarian semata-mata hanya diperlukan untuk menjamin kepentingan pengalihan surplus dari negara berkembang ke negara maju. Kalangan Neo-Marxist menfokuskan fenomena kehadiran rejim otoritarian yang menyertai pembangunan ekonomi yang kapitalistik di negara Dunia Ketiga, yaitu dengan mengembangkan pendekatan yang disebut model birokrasi otoriter. Birokrasi otoriter merupakan konsep yang pertama kali dikembangkan oleh Guillermo O’Donnel dalam memahami perubahan ekonomi dan politik di negara-negara Amerika Latin. Namun, konsep itu juga banyak digunakan dalam mengkaji perubahan ekonomi dan politik di negara-negara Asia Timur seiring dengan kemajuan industrialisasi. Isu-isu menarik dari birokrasi otoriter ini adalah: (i) tujuan pembangunan merupakan aliansi kepentingan negara, borjuasi lokal dan kapitalis internasional yang oligopolistik; (i) proses _kebijakan pembangunan bersifat teknis-birokratik, yaitu dirumuskan oleh kalangan teknokrat dan karenanya bersifat a-politis; (iii) kepentingan-kepentingan yang berkembang dalam masyarakat dikendalikan oleh negara melalui mekanisme yang, disebut korporatisme negara. Pendekatan ini menekankan bahwa berkembangnya kekuatan-kekuatan sosial seiring dengan kemajuan ekonomi merupakan faktor yang krusial dalam mengimbangi kekuatan negara. Ditinjau dari hubungan negara dan kekuatan-kekuatan sosial yang berkembang, dalam masyarakat itu, Chalmers mengidentifikasi 4 (empat) model industrialisasi arahan negara di negara pinggiran, yaitu: (i) Negara yang mengalami ketergantungan; (ii) Negara yang nasionalis; (iii) Negara yang menjalankan internasionalisasi; dan (iv) Negara untuk negara. Tabel 1: Model Pembangunan di Negara Dunia Ketiga Isu / Model Negara yang Negara yang Negara yang, Negara untuk Mengalami Nasionalis Menjalankan Negara Ketergantungan Internasionalisasi Intervensi Secara strukturat | Dilakukan Diperlukan untuk | Diarahkan oleh Negara dalam | diperlukan untuk | sebagai mengkoordinasikan | pertimbangan- Pembangunan | mengintegrasikan | tanggapan fraksi-fraksi kapitalis | pertimbangan ‘ekonomi (Dunia tethadap ‘melintasi batas-batas | yang ditentukan Ketiga) ke datam | tekanandari | nasional secara politis pembagian kerja | kapitahis internasional nasional akan proteksi Ignatius Ismanto #41 Isu/Model | Negara yang Negara yang Negara yang | Negara untuk lami Nasionalis Menjalankan Negara Ketergantungan Internasionalisasi Dampak Mengkordinasikan | Mendorong Promosi selektif| Negara pada terhadap Kelas kapitalis yang | perkembangan | kelompok- uumumnya Modal iemah menurut | Kelas kapitalis | Kelompok kapitalis | beroperasi secara Nasional syarat-syarat rasional dan ‘menurut kreteria | terisolasi dari internasional memajukan yangditentukan | kekuatan- pembangunan | negara kekuatan social rasional dengan membatast investasi asing, Asumsi- Fungsi negara Negara secara Otoritas negara Negara Asumsi Dasar | adalah melayani | politis dapat terhadap modal menggantikan modal asing, dimanfaatkan nasional diperoleh | kedudukan modal oleh kekuatan- | dari kontrolnya swasta, awalnya Kekuatan social | tethadap investasi_ | dalam manajemen yang berbeda- | asing Jambat laun’ beda dalam kepemilikan Nasionalisme | Mengungkapkan | Mengungkapkan | Mengungkapkan | Mengungkapkan Ekonomi Kekecewaan ‘ekspansi borjuasi | definisi negara Kemunculan kelas tethadap dominasi_ | nasional tentang tujuan negara yang kaya, asing atau pembangunan ‘mengaburkan nasional fungsi obyektif negara Sumber: Ian Chalmers. 1996. Konglomerasi: Negara dan Modal dalam Industri Otomotif Indonesia, Jakarta: Gramedia. hal. 47. Nasionalisme Ekonomi dalam Pembangunan Industri Otomotif Indonesia Kebijakan pembangunan industri otomotif Indonesia tidaklah berlangsung dalam ruang yang hampa politik. Kajian terhadap kebijakan pembangunan industri otomotif Indonesia, karenanya, tak dapat mengabaikan dinamika ekonomi dan politik. Sejarah perkembangan industri otomotif Indonesia diawali dengan berdirinya pabrik perakitan mobil di kawasan Tanjung Priok, Jakarta pada 1927. Pabrik perakitan mobil yang dibangun pada masa kolonial Hindia Belanda itu dirintis oleh suatu perusahaan otomotif transnasional Amerika, NV General Motor Java 42. w Kebijakan Industri Otomotif Indonesia Handel Mijs, yang umumnya hanya dikenal dengan sebutan NV General Motor. Selama periode 1930-an hingga awal 1950-an, industri otomotif Indonesia tidak mengalami kemajuan yang berarti, yaitu hanya sebatas penjualan mobil impor dalam bentuk jadi (CBU) dan setengah jadi (CKD, Completely Knock Down). Jika-pun ada kegiatan perakitan, kegiatan itu dilakukan sangat terbatas. Perkembangan industri otomotif Indonesia mulai mendapat perhatian nasional seiring dengan politik pembangunan yang berorientasi pada kemandirian ekonomi nasional pada masa awal kemerdekaan. Politik pembangunan itu tidak saja mendorong industrialisasi arahan negara tetapi juga memicu nasionalisasi_ (pengambilalihan) terhadap _perusahaan- perusahaan asing? yang beroperasi di Indonesia. Nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing itu merupakan salah satu manifestasi sentimen nasionalisme ekonomi yang menyertai perubahan ekonomi dan politik Indonesia pada awal kemerdekaan. Nasionalisme Ekonomi Nasionalisme ekonomi merupakan konsep yang dinamis, berkembang seiring dengan konteks sosial yang menyertai perkembangan suatu bangsa. Nasionalisme ekonomi Indonesia yang berkembang pada awal kemerdekaan merupakan ‘kesadaran’ yang terbangun dari pengalaman sejarah kolonialisme yang panjang yang dialami bangsa Indonesia. Sikap kritis terhadap imperialisme dan kapitalisme sangat mewarnai kesadaran itu. Sehubungan dengan itu, gagasan membangun kemandirian ekonomi Indonesia merupakan isu utama dalam sentimen nasionalisme itu, Sejumlah konsep, seperti: “kemandirian ekonomi” dan “kedaulatan ekonomi” merupakan jargon-jargon politik yang digunakan sebagai upaya untuk membebaskan ekonomi nasional dari dominasi kekuatan-kekuatan asing. Nasionalisme ekonomi itu sangat mewarnai pemikiran elit-elit politik nasional dan karenanya amat berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan negara. © Tan Chalmers. 1996. Konglomerasi: Negara dan Modal dalam Industri Otomotif Indonesia. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, al. 116. Perusahaan-perusahaan asing yang dikuasai olch Belanda pada awal kemerdekaan umumnya beroperasi pada sektor-sektor modern, seperti: perkebunan besar, pértambangan, manufaktur yang, padat modal, dan jasa (perbankan, listrik, air, komunikasi dan transportasi). Menurut Higgins, scktor- sektor itu dipandang strategis karena kontribusinya yang relative besar, yaitu 25 persen terhadap pembentukan PDB. Lihat The Kian Wie. “Tantangan Ekonomi Indonesia pada Masa Awal Kemerdekaan.” Kompas. | Juni 2001 Ignatius Ismanto = 43 Pengambilalihan terhadap perusahaan-perusahaan asing merupakan manifestasi dalam upaya membebaskan ekonomi nasional dari dominasi Kekuatan-kekuatan asing. John O’Sutter menggunakan__istilah “Indonesianisasi” sebagai. gerakan dalam mewujudkan_nasionalisme ekonomi itu. Di samping nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, Kebijakan nasional lainnya yang kental dengan muatan sentimen nasionalisme ekonomi adalah pencanangan program Banteng®, Program yang dilancarkan pada 1950 dimaksudkan untuk membangun kekuatan modal nasional, yaitu kalangan pengusaha nasional yang tangguh, Khususnya pengusaha pribumi. Ralp Anspach menggunkanan istilah “pribumisasi” sebagai proses distribusi pengusaan sumber-sumber ekonomi kepada anggota masyarakat nasional. Program itu ditempuh dengan memberikan lisensi impor serta proteksi ekonomi seiring dengan industrialisasi yang diarahkan oleh negara. Sentimen nasionalisme ekonomi sebagaimana telah dijelaskan merupakan faktor yang. sangat berpengaruh dalam pembangunan industri otomotif. Gagasan pentingnya intervensi negara dalam pengembangan industri otomotif dimanifestasikan melalui pendirian industri perakitan mobil NV Indonesia Service Company (ICS) pada 1950. Industri perakitan mobil yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh negara? itu menjadi tonggak sejarah bagi perkembangan industri otomotif Indonesia pasca kemerdekaan. Pendirian NV. ICS sebagai persero yang didirikan oleh pemerintah itu dipandang sebagai simbol nasionalisme ekonomi. Demikian pula pengambil-alihan N.V General Motor? yang merupakan perusahaan asing terbesar, serta industri perakitan mobil pertama di Indonesia merupakan langkah monumental seiring dengan kebijakan pemerintah yang menempatkan industri otomotif sebagai industri nasional yang strategis. Sentimen nasionalisme ekonomi itu. memaksa perusahaan-perusahaan otomotif transnasional lainnya untuk meninjau kembali kegiatan operasi mereka di Indonesia. Kepentingan nasional dalam mendorong, Program Benteng diperkenalkan oleh Menteri Perdagangan dan Perindustrian Soemitro Djojohadikusumo pada 1950 yaitu pada masa Kabinet Natsir. Berbagai bantuan teknis dan dukungan finansial dialokasikan untuk membiayai program tersebut. Program ini pada 1957 yaitu pada masa Kabinet Djuanda dihentikan karena membengkaknya beban kredit macet yang harus ditanggung negara dalam membiayai program tersebut. Mayoritas saham yaitu sebesar 51 persen NV Indonesia Service Company (ISC) pada 1950 dikuasai oleh NV Putera yang merupakan anak perusahaan Bank Industri Negara (BIN), dan pada 1952 BIN mengendalikan 75 persen saham NV ISC. Lihat Chalmers. Op. cit. hal. 329. Pada awal kemerdekaan N.V General Motor diambil-atih oleh pemerintah dan perusahaan itu ‘berganti nama menjadi PT Gaya Motor. Dalam perkernbangann selanjutnya, yaitu pada 1971, usaha itu ‘menjadi usaha patungan antara pemerintah dengan Jepang (Toyota) dan berganti nama menjadi PT Aste. Lihat Agur Sacha 2007, Budo Val Indonesia. Inkl: Penevbt Eton al 106 Industri perakitan mobil Fiat, misalnya, merutuskan untuk menjual keagenan impor mereka kepada pengusaha otomotif yaitu Hasyim Ning dan Dasaad. Lihat Chalmers. Op. cit. hal. 122 44° Kebijakan Industri Otomotif Indonesia pembangunan industri otomotif juga dapat diamati dari rencana pemerintah terhadap pendirian industri baja Dwikora yang dirintis pada masa Presiden Soekarno, yang kini menjadi PT Krakatau Steel. Pendirian industri baja itu semula dirancang untuk mendukung industri otomotif, yaitu memperkuat basis produksi bagi pengembangan industri otomotif Indonesia. Gagasan mewujudkan kemampuan negara dalam menghasilkan mobil yang seluruh komponennya diproduksi di dalam negara telah menjadi cita-cita kalangan pemimpinan nasional sejak awal kemerdekaan. Seiring dengan kepentingan negara dalam mendorong kemajuan industri otomotif, pemerintah menempuh kebijakan otomotif yang protektif, yaitu melalui pengendalian lisensi impor mobil. Sejumlah kalangan pengusaha otomotif pribumi-pun berkembang melalui lisensi importir mobil yang mereka peroleh serta melalui dukungan kebijakan proteksi lainnya yang ditempuh negara. Kebijakan protekst itu telah memungkinkan lahir sejumlah kalangan pengusaha otomotif pribumi, seperti: Hasyim Ning, Koerwet Kartaadiredja, Fritz Eman, Aziz, Suwarna, Markam dan lain-lain’2. Koneksi politik dipandang sebagai akses yang menentukan dalam memperoleh lisensi. Dalam industri yang belum berkembang, fenomena mengandalkan proteksi ekonomi dari negara itu popular dengan sebutan kegiatan perburuan rente (rent seeking activities). Kegiatan perburuan rente merupakan karakteristik yang kuat dalam dalam mendorong lahirnya kekuatan modal di sektor industri otomotif. Rent secking activities merupakan fenomena yang menyertai perkembangan industri otomotif pada masa refim pemerintahan Soekarno, juga berkembang subur pada masa rejim Orde Baru pemerintahan Soeharto. Rent Seeking Activities Rent seeking activities bukan saja fenomena khas yang menyertai perkembangan ekonomi Indonesia. Khan dan Sundaram menjelaskan bahwa rent seeking activities telah memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi sejumlah negara di Asia, ‘Rente’, dalam penjelasan Khan dan Sundaram, secara umum diartikan sebagai penghasilan yang diperoleh di luar batas kewajaran yang diterima secara umum. Dalam struktur pasar dimana kompetisi belum berkembang (melembaga), maka ‘rente’ itu dapat diperoleh melalui berbagai sumber, yaitu: (i) keuntungan yang diperoleh karena struktur pasar yang monopolis maupun oligopolis, ” Tid, hal. 95-129. Mustaq H. Khan dan Jomo Kwame Sundaram (eds). 2000. Rent, Rent-Seeking and Economic Development. Cambridge: Cambridge University Press. Ignatius Ismanto = 45 (ii) subsidi yang dialokasikan negara yang umumnya diberikan dengan pertimbangan untuk melindungi industri yang baru berkembang (infant industries), (iii) transfer yang dilakukan dalam aktivitas politik, (iv) transfer yang dilakukan melalui praktik-praktik yang bertentang dengan hokum, seperti: pencucian uang (money laundering, illegal logging, women trafficking, drug trafficking dan lain-lain), dan (v) pendapatan yang diperoleh karena temuan-temuan baru. Ada beberapa sumber rente yang diharapkan dapat mendorong kegiatan ekonomi yang produktif, seperti: pemberian subsidi bagi industri-industri yang baru berkembang, serta perolehan insentif dalam mendorong temuan-temuan baru. Namun, ada pula sumber-sumber rente yang tidak berkaitan dengan peningkatan kegiatan ekonomi yang produktif. Beberapa sumber rente bersifat legas dan beberapa bersifat illegal. Mengingat ‘rente’ merupakan insentif ekonomi yang menggiurkan maka setiap orang akan berusaha untuk memperoleh atau mempertahankannya. Praktik-praktik untuk mempertahankan _rente, menciptakan insentif ekonomi rente atau memperoleh rente melalui pengalihan sumber rente disebut kegiatan perburuan rente (rent seeking activities). Praktik-praktik perburuan rente dapat bersifat legal, seperti melalui Jobi-lobi yang umumnya dilakukan oleh berbagai kelompok- kelompok kepentingan (interest groups), hingga persaingan dalam meningkatkan efisiensi kegiatan ekonomi. Perburuan kegiatan rente juga dapat ditempuh secara illegal, seperti penyuapan hingga penyalah-gunaan kekuasaan dalam mempengaruhi proses kebijakan. Lahirnya sejumlah kalangan pengusaha otomotif pada masa rejim Orde Baru Soeharto, seperti: Wiliam Suryanjaya, Probo Sutedjo, [bnu Sutowo, Sudono Salim dan lain-lain, tak lepas dari fenomena rent seeking activities. Demikian pula, koneksi politik merupakan akses yang menentukan dalam memperoleh rente itu. Berbagai studi politik Indonesia menjelaskan bahwa peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto pada pertengahan 1960-an tidak membawa perubahan yang berarti terhadap pola hubungan dalam bisnis dan politik, dimana koneksi politik menjadi ciri utama.!¢ Satu hal yang menarik tentang peralihan kekuasaan dari rejim Soekarno ke rejim Soeharto adalah bahwa sebagian besar pengusaha mobil yang tumbuh pada masa rejim Pemerintahan Soekarno dalam perkembangannya tidak lagi dapat bertahan seiring dengan peralihan kekuasaan itu. Hanya sebagian kecil pengusaha mobil yang muncul pada 1950-an, seperti: Hasyim Ning, dan Fritz Eman ™ Richard Robison. “Class, Capital and the State in New Order Indonesia” dalam Richard Higgot dan Richard Robison (eds). 1985. Southeast Asia: Essay in the Political Economy of Structural Change. London: Routledge & Kegan Paul; Juga, Yoshihara Kunio. 1988, The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia. Singapura: Oxford University Press. 46 m Kebijakan Industri Otomotif Indonesia yang mampu bertahan dan itu-pun karena perlindungan politik yang mereka peroleh. Studi yang dilakukan Chalmers menjelaskan bahwa pola kepemilikan keagenan impor pada periode awal peralihan kekuasaan 1970- an mencerminkan struktur kekuasaan politik yang berubah's Peralihan kekuasaan dari rejim pemerintahan Soekarno ke rejim pemerintahan Soeharto merupakan obyek kajian yang menarik dalam memahami peran negara dalam ekonomi, Dilihat dari aspek otonomi negara, kedua rejim pemerintahan itu sesungguhnya tidak jauh berbeda. Negara, baik pada pada masa rejim pemerintahan Soeharto maupun pada masa rejim pemerintahan Soekarno, memiliki otonomi yang relative besar. Kalangan Marxist-strukturalis melihat otonomi negara itu dimungkinkan antara lain karena lemahnya kekuatan-kekuatan ekonomi dalam masyarakat. Warisan sejarah kolonialisme Belanda dipandang sebagai hambatan struktural yang tidak memungkinkan tumbuhnya kalangan kekuatan ekonomi Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh Alawi bahwa ciri negara pasca kolonialisme merupakan ‘negara yang relative otonom’. Demikian pula Indonesia pasca kemerdekaan, baik pada masa rejim Soekarno maupun rejim Soeharto, negara merupakan satu-satunya kekuatan sosial yang dominan dalam masyarakat, “state is the dominant social force in society”, Bahkan, negara pada masa rejim Soeharto, memiliki otonomi relative yang lebih luas, seiring dengan meningkatnya kemampuan finansial negara, sebagai dampak melimpahnya rezeki minyak selama awal 1970an hingga pertengahan 1980-an, faktor yang tidak dimiliki pada masa rejim Soekarno. Meningkatnya kemampuan finansial negara pada awal 1970-an membangkitkan kembali sentiment nasionalisme ekonomi dalam pembangunan industri otomotif Indonesia. Bahkan meningkatnya kemampuan finansial negara juga telah meningkatkan bargaining Indonesia dalam menghadapi kekuatan perusahaan multinasional — otomotif, khususnya MNC Jepang yang berkepentingan untuk memasuki pasar Indonesia. Seiring dengan meningkatnya kemampuan finansial negara, kebijakan industrialisasi semakin mengarah pada kebijakan substitusi impor. Kebijakan industri otomotif-pun semakin bersifat protektif. Kebijakan protektif itu ditempuh tidak hanya melalui hambatan tarif, tetapi juga melalui hambatan non-tarif, seperti: pengendalian lisensi impor hingga diperkenalkan program penanggalan (deletion program) yang mewajibkan perusahaan otomotif untuk secara bertahap melakukan produksi komponen di dalam negeri. Program penanggalan didukung tidak hanya oleh kalangan birokrasi pemerintahan tetapi juga kalangan pengusaha mobil pribumi. Program ini sesungguhnya dapat dipandang sebagai realisasi dalam * Chalmers. Op. cit. hal. 174. Ignatius Ismanto w 47 mewujudkan obsesi yang telah lama tumbuh di kalangan pemimpin nasional, yaitu memproduski mobil yang seratus persen komponennya diproduksi di dalam negeri. Pada saat program penanggalan ini diumumkan, kalangan pengusaha otomotif di dalam negeri berupaya untuk meyakinkan perusahaan principal mereka (TNCs) agar bersedia menanamkan investasi dalam membiayai kegiatan produksi Komponen di dalam negeri. Astra, perusahaan nasional yang merupakan agen pemegang lisensi merk-merk mobil buatan Jepang, berhasil mendapat komitmen investasi dari principal TNC di Jepang dalam mendukung program lokalisasi komponen. Demikian pula Krama Yudha berhasil meyakinkan perusahaan TNC prinsipalnya di Jepang untuk membiayai kegiatan produksi komponen di Indonesia. Namun, tidak semua perusahaan otomotof di dalam negeri itu berhasil meyakinkan perusahaan TNC principal mereka. Pengusaha Fritz Eman, misalnya, pemegang lisensi mobil merk Holden tidak berhasil meyakinkan kesediaan prinsipalnya di Australia untuk terlibat dalam membiayai kegiatan produksi komponen di Indonesia. Kegagalan Fritz Eman dalam meyakinkan prinsipalnya di Australia itu merupakan fenomena yang, menarik, Mengapa Fritz Eman, pengusaha otomotif yang besar pada masa rejim Sockarno, gagal untuk meyakinkan kesediaan perusahaan otomotif transnasional Australia. menanamkan investasi di Indonesia dalam membiayai rencana programnya? Apakah kegagalan itu dipengaruhi oleh lemahnya koneksi politik seiring dengan pergantian rejim kekuasaan? ‘Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kesediaan perusahaan TNC untuk terlibat dalam kegiatan produski komponen di Indonesia. Pertama yaitu meningkatnya persaingan global telah mendorong sejumlah perusahaan TNC dalam membiyai kegiatan invetasi mereka di luar negeri. Kesediaan sejumlah perusahaan TNC otomotif untuk terlibat dalam membiayai investasi dalam kegiatan produksi komponen itu dipandang, sebagai strategi dalam mempertahankan kehadiran mereka dalam pasar otomotif Indonesia yang semakin kompetitif. Kedua adalah potensi pasar domestik yang besar seiring dengan melimpahnya rezeki minyak, Khususnya pada awal 1970-an hingga pertengahan 1980-an. Ketiga adalah koneksi politik yang dibangun oleh kalangan pengusaha otomotif dan elit birokrasi. pemerintahan. Faktor ketiga ini menjadi pertimbangan bagi kesediaan TNC dalam menanamkan investasi mereka pada kegiatan produksi komponen di Indonesia. Kalangan pengusaha otomotif nasional yang tidak memiliki koneksi politik yang kuat dengan elit-elit birokrasi akan mengalami kesulitan untuk meyakinkan prinsipal mereka di luar negeri dalam berpartisipasi membiayai kegiatan industri komponen. 48 Kebijakan Industri Otomotif Indonesia Internasionalisasi Kapital dalam Industri Otomotif Peralihan kekuasaan dati Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto membawa pengaruh terhadap politik pembangunan industri otomotif Indonesia. Pemerintahan baru di bawah rejim Orde Baru Soeharto menyadari bahwa kemampuan finansial negara merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam pendukung kelangsungan industrialisasi arahan negara. Salah satu faktor yang mempengaruhi kegagalan industrialisasi arahan negara pada masa pemerintahan Soekarno tak lepas dari keterbatasan kemampuan finansial negara dalam membiayai industrialisasinya. Keterbatasan dalam memobilisasi pendanaan_ dari kekuatan-kekuatan domestik dalam pembiayai pembangunan industrialisasi membuka peluang alternatif bagi negara Dunia Ketiga untuk memanfaatkan kekuatan kapital internasional dalam = mendukung — pembiayaan pembangunan industrialisasinya!®, Fenomena untuk memanfaatkan kapital internasional dalam pembangunan industri otomotif ini mulai tampak dari serangkaian kebijakan yang ditempuh pemerintah Orde Baru Soeharto sejak awal 1970-an. Mengakhiri Dirigisme Ekonomi Salah satu aspek yang menarik dari dampak peralihan kekuasaan, yaitu dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto adalah orientasi politik terhadap modal asing, khususnya terhadap negara-negara kapitalis Barat, bagi kepentingan pembangunan ekonomi Indonesia. Sikap Presiden Soeharto lebih moderat dibandingkan sikap Presiden Soekarno dalam melihat peran modal asing dalam pembangunan ekonomi nasional. Pengesahan UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing menunjukan orientasi Indonesia yang lebih moderat terhadap modal asing dibandingkan orientasi pada periode-periode sebelumnya. Aspek lain yang menarik yang menyertai peralihan kekuasaan Indonesia pada pertengahan 1970-an adalah orientasi politik luar negeri yang menekankan pada kerjasama ekonomi dengan negara-negara Barat dalam pemulihan ekonomi Indonesia. Presiden Soeharto melihat bantuan ekonomi negara Barat diperlukan dalam mengatasi kesulitan ekonomi Indonesia yang diwariskan oleh rejim pendahulunya. Program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi serta didukung ‘S Pengesahan UU 12/1967 tentang PMA (Penanaman Modal Asing) pada masa awal pemerintahan baru Orde Baru Soeharto menunjukan sikap negara yang lebih moderat terhadap modal asing dibanding dengan rejim pada masa sebelumnya. Ignatius Ismanto m 49 oleh komitmen negara-negara Barat dalam mengatasi kesulitan ekonomi nasional itu membawa implikasi yang luas, yaitu menyurutnya praktik- praktik pengendalian negara secara langsung dalam kegiatan ekonomi nasional, yang dikenal dengan istilah deregisme ekonomi Namun, dorongan untuk memanfaatkan kapital internasional dalam pembiayaan pembangunan industri otomotif menjelang awal 1970-an tidak berarti menanggalkan sentimen nasionalisme yang diwariskan oleh gagasan-gagasan yang lahir dalam perkembangan industri otomotif selama periode 1950-an hingga 1960-an. Model pembangunan industri otomotif selama 195’an hingga 1970-an sesungguhnya lebih merupakan suatu model yang disebut negara yang nasionalis, Tuntutan intervensi negara dalam pembangunan industri otomotif terutama dihadapkan pada lemahnya kekuatan-kekuatan ekonomi nasional. Kelemahan borjuasi nasional ini-lah yang memicu intervensi negara yang diharapkan mendorong pembangunan Kapital nasional. Pembukaan kran impor seiring dengan pergantian kekuasaan telah memungkinkan munculnya ‘pemain-pemain’ baru. Ada 2 (dua) isu menarik sehubungan dengan dibukanya kran impor menjelang 1970-an. Pertama, pemberian lisensi impor mobil (distribution of rent) tidak lagi mengandalkan pada pemilahan garis etnis (pri dan non-pribumi) sebagaimana yang berkembang pada 1950-an. Kedua, munculnya sejumlah kalangan pengusaha otomotif yang baru, yaitu yang berkembang pada masa awal Orde Baru, berbeda dengan kalangan pengusaha yang telah berkembang sebelumnya, yaitu selama periode 1950-an - 1960-an. Pengusaha otomotif yang berkembang pada masa pemerintahan Soekarno umumnya adalah kalangan importer mobil-mobil merk buatan Eropa dan Amerika. Sedangkan, pengusaha otomotif yang muncul pada awal 1970-an umumnya adalah importir mobil-mobil merk buatan Jepang. Pembukaan kran baru import mobil itu mengakibatkan semakin meningkatkan jumlah merk dan tipe mobil yang beredar di pasar domestik Indonesia. Aspek lain yang menarik dari karakteristik model negara yang nasionalis yaitu pandangan negara terhadap kekuatan modal asing. Seiring dengan rencana pemerintah dalam mendorong kegiatan perakitan serta ‘mengendalikan’ keterlibatan modal asing dalam pembangunan industri otomotif, pemerintah melancarkan rasionalisasi prosedur impor’? yaitu dengan menegaskan bahwa: (i) Perusahaan transnasional (TNC) hanya diperbolehkan untuk berurusan dengan satu importir nasional saja, yang dalam hal ini disebut sebagai agen tunggal (sole agent); (ii) Lisensi impor mobil diberikan pada ‘agen tunggal’ yang dapat membuktikan bahwa ia (agen tunggal) telah memiliki kontrak yang mantap dengan perusahaan ” Lihat Keputusan Menteri Perdagangan tentang Pabrik Perakitan dan Pengimpor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan pada 16 Januari 1969. 50m Kebijakan Industri Otomotif Indonesia TNC dan agen tunggal itu akan merakit kendaraan di salah satu perusahaan perakitan yang ditunjuk oleh Departemen Perindustrian; dan (iii) Modal asing diizinkan untuk masuk dalam keagenan tunggal asalkan mayoritas saham dipegang oleh pihak Indonesia. Ada 2 (dua) isu menarik dari rasionalisasi prosedur impor itu. Pertama, kebijakan rasionalisasi prosedur impor itu dilatarbelakangi oleh komitmen di kalangan_birokrasi pemerintahan, yaitu untuk membangun industri otomotif dengan mendorong tumbuhnya industri perakitan nasional melalui proteksi yang diberikan oleh pemerintah. Kedua, isu yang paling menarik adalah bahwa rasionalisasi prosedur impor mobil itu membuka peluang bagi modal asing untuk memasuki keagenan impor dan kegiatan perakitan. Kebijakan pemerintah yang membuka peluang bagi modal asing untuk memasuki industri perakitan mobil menimbulkan kekawatiran di kalangan industri-industri perakitan yang telah ada. Situasi industri perakitan hingga menjelang awal 1970-an dihadapkan pada situasi yang sulit. Mereka umumnya beroperasi di bawah kapasitas produksi'. Oleh sebab itu, terbukanya peluang bagi modal asing untuk memasuki industri perakitan ini dipandang hanya akan semakin melemah industri-industri perakitan yang telah ada, yang umumnya dikuasai oleh kalangan pengusaha pribumi. Tekanan dari kalangan industri perakitan yang dikuasai oleh pengusaha pribumi itu mendorong pemerintah untuk menetapkan kebijakan yang memisahkan keagenan impor dari kegiatan perakitan. Aspek lainnya yang menarik dalam pemisahan kegiatan perakitan dari kegiatan impor yaitu bahwa pemisahan kegiatan itu akan mengurangi ketergantungan industri perakitan mobil terhadap salah satu pemasok luar negeri, dengan demikian membuka kesempatan bagi industri- industri perakitan untuk memproduksi lebih dari satu merk!®. Sebaliknya, kebijakan pemisahan kegiatan perakitan dari kegiatan impor yang dimaksudkan untuk memberi perlindungan bagi kalangan pengusaha perakitan itu justru melemahkan minat kalangan modal asing untuk memasuki industri otomotif Indonesia. Kebangkitan Kembali Nasionalisme Ekonomi Kenaikan harga minyak di pasar internasional menjelang awal 1970- an membawa pengaruh yang luas terhadap ekonomi Indonesia. Kenaikan Menjelang awal 1970-an tercatat sebanyak 21 industri perakitan, dari jumtah itu hanya 6 industri perakitan yang aktif, dan itu-pun industri-industri perakitan yang sebagian besar saham- sahamnya dimiliki oleh negara. * Chalmers. Op. cit. hal. 176. Ignatius Ismanto @ 51 harga minyak itu memberi sumbangan yang besar artinya bagi sumber devisa dan penerimaan anggaran pembangunan. Kenaikan harga minyak tidak saja meningkatkan kemampuan finansial negara dalam membiayai pembangunan ekonomi, tetapi juga membangkitkan kembali gagasan industrialisasi arahan negara. Dukungan kemampuan finansial negara itu telah menempatkan pemerintah sebagai penggerak utama (prime mover) perekonomian nasional. Melalui_ kebijakan moneter, pemerintah berkemampuan mengalokasikan kredit dalam jumlah yang besar dalam membiayai industri-industri yang dipandang strategis. Sehubungan dengan ini, bank-bank pemerintah tidak hanya berperan sebagai ‘intermediary function’ tetapi juga sebagai ‘agent of development’ yaitu menyalurkan kredit pinjaman untuk membiayai program-program pembangunan. Demikian pula, melalui Kebijakan fiskal, pemerintah berkemampuan mengalokasi anggaran untuk membiayai pembangunan. Sektor publik merupakan penyerap terbesar dari seluruh kegiatan ekonomi dan industrialisasi yang digerakkan oleh insentif negara. Masa melimpahnya rezeki minyak (oil boom years), yaita awal 1970-an hingga pertengahan 1980-an membawa pengaruh yang besar artinya bagi kebijakan pengembangan industri otomotif Indonesia. Restrukturisasi birokrasi_ merupakan langkah strategis dalam persiapan memperluas kegiatan produksi otomotif Indonesia. Restrukturisasi birokrasi dilakukan dengan menempatkan lokus kekuasaan pengembangan industri otomotif berada pada Departemen Perindustrian®. Sebelum keputusan ini dikeluarkan, kebijakan pengembangan industri otomotif dikoordinasikan oleh 2 (dua) departemen pemerintahan, yaitu Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian. Departemen Perdagangan lebih menfokuskan pada pengendalian perizinan. Sedangkan Departemen Perindustrian lebih bertanggung-jawab pada proses produksi. Ada perbedaan orientasi yang mendasar antara Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian” terutama dalam melihat aspek pembiyaan investasi industri otomotif. Departemen Perindustrian saat itu lebih menekankan pada pengusaha nasional, khususnya kalangan pengusaha “pribumi”. Tambuhnya pengusaha pribumi dalam sektor industri otomotif nantinya diharapkan untuk ‘menyingkirkan’ peran modal asing dalam sektor industri otomotif. Sedangkan Departemen Perindustrian lebih menekankan pada pengusaha nasional yang efisien, yang tampaknya tidak terlalu menekankan pada isu pembelahan garis etnis. Tumbuhnya * Lihat Keputusan Presiden No. 44/1972 memberikan kewenangan kepada Departemen Perindustrian dalam pengembangan industri otomotif Indonesia. ® Departemen Perdagangan saat itu dipimpin oleh Soemitro Djojohadikusumo yang juga pencetus program Benteng pada 1950-an, Sedangkan fokus penyusunan kebijakan Departemen Perindustrian saat itu berada pada Dirjen Industri Dasar yang dipimpin oleh Ir Sochartojo. 52. w@ Kebijakan Industri Otomotif Indonesia pengusaha nasional yang efisien, (pribumi maupun non-pribumi) diharapkan untuk mengimbangi kekuatan modal asing, yang awalnya diperlukan untuk mendukung industrialisasi arahan negara. Dengan restrukturisasi birokrasi yaitu dengan diberikannya kewenangan kepada Departemen Perindustrian dalam merumuskan kebijakan pengembangan industri otomotif, strategi pengembangan industri otomotif mulai diarahkan pada pemanfaatan investasi asing dalam mendukung pembiayaan rencana industrialisasi otomotif. Keputusan Departemen Perindustrian No. 544/M/SK/VII/1972 membuka kesempatan bagi modal asing tidak hanya untuk memasuki keagenan impor, tetapi juga berpartisipasi dalam kegiatan perakiatan mobil. Dalam waktu yang bersamaan, Departemen Perindustrian juga menetapkan keputusan No. 545/SK/VII/1972 yang mewajibkan semua agen tunggal (importir) untuk membangun kapasitas perakitannya sendiri dan tidak lagi menyerahkan perakitan kendaraan mereka kepada pihak lain. Kebijakan penggabungan kembali kegiatan keagenan (importir) dan kegiatan perakitan itu dapat dipandang sebagai kebijakan yang rasional dalam meningkatkan efisiensi industri otomotif. Departemen Perindustrian ini tidak hanya mendorong penggabungan perusahaan perakitan dan keagenan, tetapi juga mendorong bagi perusahaan-perusahaan perakitan kecil bergabung dengan perusahaan perakitan besar. Penggabungan industri perakitan dan agen ini akhirnya menghasilkan 20 pengelompokan. Kebijakan pengelompokan yang sering disebut sebagai ‘kawin paksa’ itu merupakan langkah rasionalisasi yang dimaksudkan untuk mengatasi fragmentasi dalam industri otomotif Indonesia, Kebijakan rasionalisasi itu sendiri ditempuh sebagai persiapan sebelum Departemen Perindustrian pada akhimya melancarkan program nasional yang disebut program penanggalan (deletion program). Program penanggalan merupakan kebijakan yang mewajibkan bagi industri otomotif untuk secara bertahap memproduksi sendiri seluruh komponen yang digunakan, dan proses produksi komponen itu dilakukan di dalam negeri. Program penanggalan yang juga dikenal dengan “Iokalisasi komponen” awalnya diperjuangkan oleh kalangan pengusaha otomotif pribumi. Program penanggalan dipicu oleh inspirasi bahwa suatu saat, Indonesia akan mampu mewujudkan suatu mobil yang seratus persen buatan Indonesia. Mobil buatan Indonesia yang seluruh komponennya diproduksi di dalam negeri dengan menggunakan merk sendiri itu * Industri otomotif Indonesia yang terfragmentasi ini dicirikan oleh banyaknya jumlah merk dan tipe mobil yang beredar dalam pasar domestik, sementera itu daya serap pasar pasar domestik masih terbatas. Jumlah merk dan tipe mobil itu semakin meningkat terutama sejak dibukanya kran impor mobil seiring dengan peralihan kekuasaan pada pertengahan 1960-an. Ignatius Ismanto = 53 merupakan wujud kemandirian industri otomotif nasional. Gagasan untuk mewujudkan ‘kemandirian industri otomotif’ ini-pun telah lama menjadi obsesi di kalangan pemimpin-pemimpin nasional sejak Indonesia merdeka. Industri Otomotif di tengah Perubahan Ekonomi Indonesia Dalam “Wheels of Change: the Automobile Industry”, Dicken menjelaskan bahwa: [T]he automotive industry is essentially. an ‘assembly’ industry. It brings together an immense number and varieties of components, many of which are manufactured by independent firms in other country. There are three major processes prior to final assembly: (i) the manufacture of bodies, (ii) of components and (ii) of engine and transmissions. The nature of industry offers possibility of organizational and geographical separation of the individual processes. Dari gambaran itu dapat disimpulkan bahwa gagasan untuk mewujudkan kemampuan suatu negara dalam memproduksi mobil dengan menggunakan komponen yang seluruh komponen itu diproduksi di dalam negeri, sebagaimana yang diperjuangkan Indonesia, merupakan impian yang sulit diwujudkan, terlebih di tengah menguatnya arus globalisasi produksi dewasa ini. Kebijakan liberalisasi ekonomi yang ditempuh Indonesia sejak pertengahan 1980-an serta krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada 1997 telah mendorong perubahan ekonomi yang, bararti. Perubahan ekonomi itu pada akhirnya membawa dampak yang luas terhadap perubahan politik, termasuk dinamika hubungan bisnis dan politik dalam pembangunan industri otomotif Indonesia. Program Penanggalan dan Konsentrasi Industri Program penanggalan merupakan strategi pemerintah dalam mendorong industrialisasi otomotif Indonesia. Program ini mewajibkan bagi setiap perusahaan otomotif untuk secara bertahap memproduksi di dalam negeri terhadap komponen-komponen yang digunakannya. Program penanggalan mulai dijalankan pada 1976 yaitu dengan dikeluarkannya SK 307/M/1976 tentang Ketentuan Keharusan Mempergunakan Komponenan Buatan Dalam Negeri dalam Kendaraan Perakitan Bermotor Komersiil. Dalam mendukung program penanggalan itu, pemerintah menyusun * Peter Dicken. 1992. Global Shift. New York: The Guildford Press. hal. 269. 54 = Kebijakan Industri Otomotif Indonesia rencana terhadap sejumlah komponen yang secara bertahap akan dihapus dari kemasan impor. Pada 1977 impor sejumlah komponen sederhana, seperti: cat, accu dan ban dilarang, dan larangan impor terhadap sejumlah komponen, seperti: penahan guncangan, jendela, knalpot dan radiator diberlakukan pada 1978, serta larangan impor terhadap sejumlah Komponen, seperti: sasis dan kabin pada 1979 dan pada 1984 diberlakukan larangan impor komponen penting, seperti: mesin, gandar dan perseling. Program penanggalan ini sangat dipengaruhi oleh sentimen nasionalisme dalam mewujudkan kemandirian industri otomotif. Kemandirian industri otomotif merupakan gagasan dimana Indonesia suatu saat diharapkan akan mampu menghasilkan mobil yang seratus persen komponennya diproduksi di dalam negeri, dan harapan itu-pun telah lama menjadi obsesi di kalangan pemimpin-pemimpin nasional sejak Indonesia merdeka. Kalangan industri otomotif yang tergabung dalam GAIKONDO (Gabungan Agen Tunggal dan Industri Perakitan) memberikan dukungan terhadap rencana program penanggalan itu. Program penanggalan yang juga dikenal dengan lokalisasi komponen awalnya diperjuangkan oleh kalangan pengusaha pribumi. Namun, program yang diharapkan mewujudkan kemandirian industri otomotif nasional itu menuai sejumlah kontroversi. Program penanggalan ini mengalami_penundaan pada 1978 seiring dengan pergantian Menteri Perindustrian, yaitu dari M. Jusuf kepada AR Soehoed. Satu isu yang menarik dari pergantian itu adalah pembentukan Tim Interdepartemental pada 1978 oleh Menteri Perindustrian yang baru. Pembentukan Tim Interdepartemental itu sekaligus menggeser lokus kekuasaan dalam perumusan kebijakan industri otomotif yang sebelumnya dikendalikan oleh Dirjen Industri Dasar Departemen Perindustrian, Soehartoyo™. Pembentukan Tim Interdepartemental ini mencerminkan persaingan yang tajam di kalangan birokrasi pemerintahan dalam pembangunan industri otomotif nasional. Tujuan dari pembentukan Tim Interdepartemental ini adalah (i) mengurangi pengaruh Soehartoyo, dan (ii) sebagai upaya untuk membangun konsensus baru di kalangan birokrasi pemerintahan dalam penyusunan kebijakan industri otomotif yang terbebas dari pengaruh kepentingan swasta. Penangguhan program penanggalan itu dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan, seperti: semakin terbatasnya peluang bagi industri skala kecil dan menengah untuk berpartisipasi dalam pengembangan industri otomotif, kekawatiran dominasi perusahan TNC Jepang dalam industri otomotif, hingga persoalan sentimen etnis yang mewarnai * Pada saat M, Jusuf menjadi Menteri Perindustrian, proses kebijakan pengembangan industri otomotif dijalankan oleh Dirjen Industri Dasar yang dipimpin oleh Soehartoyo. Ignatius Ismanto = 55 perkembangan industri otomotif. Sejumlah studi menyimpulkan bahwa kebijakan pengembangan industri otomotif selama itu dipandang tidak cukup memberi peluang bagi industri berskala kecil dan menengah untuk memasuki industri otomotif, bahkan kebijakan itu hanya menguntungkan perusahaan yang kuat secara finansial, dan perusahaan ini umumnya dimiliki oleh kalangan pengusaha non-pribumi, khususnya kalangan pengusaha etnis Cina Penangguhan program penanggalan itu. menimbulkan ketidakpastian kalangan industri otomotif. Perusahaan otomotif nasional yang terinternasionalisasi_ (berhasil membangun jaringan dengan prinsipalnya di luar negeri) merasa kecewa dengan penangguhan itu. Program penanggalan akhirnya diberlakukan kembali melalui SK No. 168/1979 dengan sejumlah revisi dalam penentuan target yang hendak dicapai. Sejumlah kompomen, seperti: radiator, wheel rims, shock absorber yang semula ditargetkan sudah harus diproduksi di dalam negeri pada 1977, diperpanjang hingga sampai 1979. Demikian pula, sejumlah komponen, seperti: kabin, tangkin bahan bakar, dan sasis yang semula ditargetkan diproduksi pada 1979 dijadwal ulang menjadi hingga 1981. Sedangkan produksi bagi komponen yang lebih rumit, seperti: mesin, transmisi, yang sebelumnya dijadwalkan akan diproduksi di dalam negeri menjelang 1984 dijadwal ulang hingga 1990. SK No. 168/1979 juga menetapkan pengurangan jumlah merek dari 51 menjadi 42, dan jumlah model dari 174 menjadi 71. Kebijakan pengurangan jumlah merk dan jumlah model ini dircalisasikan melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian pada 1 April 1980. Menteri Perindustrian A-R Sochoed mengusulkan sebanyak 15 jumlah merk yang ideal untuk dikembangkan. Kelimabelas merk itu dipilih dengan mempertimbangkan aspek representasi geografis, yaitu: (i) sebanyak 6 merk dari Eropa, (ii) sebanyak 2 merk dari Australia, (iii) sebanyak 2 merk dari Amerika, (iv) sebanyak 1 merk dari Korea Selatan, dan (v) sebanyak 4 merk dari Jepang, Selain pengurangan jumlah merk dan model, SK 168/1979 ini mendorong menggabungkan jumlah agen dan jumlah industri perakitan menjadi 8 kelompok. Gagasan pengelompokan dalam industri otomotif tidak hanya dipandang sebagai rasionalisasi yang diharapkan untuk untuk mendorong efisiensi. Pengelompokan itu juga dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan pengusaha pribumi dan perusahaan TNC Barat dalam mengimbangi perusahaan TNC Jepang. Program penanggalan yang mewajibkan semakin besar kandungan Komponen lokal semakin menuntut kemampuan teknologi yang lebih * Richard F, Doner 1991. Driving in a Bargain: Automobile Industrialization and Japanese Firms in Southeast Asia, Berkeley: University of California Press. hal. 54. 56 = Kebijakan Industri Otomotif Indonesia canggih dan biaya investasi yang lebih besar. Namun, realisasi program penanggalan ini pula yang pada akhirnya justru menenggelamkan perusahaan perakitan kecil yang tidak mampu membiayai investasi kegiatan produksi komponen. Mereka ini umumnya adalah kalangan pengusaha pribumi. Sebagaimana dikemukakan Doner bahwa semakin besar kandungan penggunaan komponen-komponen lokal yang diproduksi di dalam negeri justru lebih memicu proses integrasi vertikal dalam sektor industri otomotif daripada menguatkan kedudukan pengusaha pribumi sebagaimana yang direncanakan oleh pemerintah.2 Sejumlah faktor diduga menjadi kendala dalam mewujudkan tujuan program penanggalan itu, Pertama, yaitu keterbatasan kemampuan teknologi. Kalangan pengusaha yang terjun dalam sektor industri otomotif umumnya tumbuh dari kegiatan perdagangan. Mereka ini umumnya tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam pengembangan teknologi proses produksi di bidang industri otomotif, Kedua, yaitu rendahnya skala produksi perusahaan-perusahan otomotif, Skala produksi yang rendah disebabkan karena banyak jumlah model dan merk mobil yang beredar di pasaran, Skala produksi yang rendah menyebabkan kendala bagi industra otomotif ini dalam mewujudkan skala ekonomi yang efisien. Ketiga, yaitu perusahaan mobil lebih tertarik menjadi agen distributor daripada sekaligus harus memasuki kegiatan produksi komponen. Keuntungan menjadi agen distributor justru lebih menggiurkan daripada keuntungan yang diperoleh perusahaan agen distributor itu sekaligus ikut terlibat dalam produksi komponen. Keempat, yaitu TNC (prinsipal pemegang merk) juga lebih tertarik mempertahankan keberadaan mereka sebagai distributor daripada ikut terlibat dalam kegiatan produksi komponen. Program Mobnas: Proteksi di Tengah Ekonomi Indonesia yang Berubah? Setidaknya ada 2 dua faktor penting dalam mengkaji arah kebijakan industri otomotif Indonesia memasuki dasawarsa 1990-an, yaitu: liberalisasi ekonomi yang ditempuh Indonesia sejak pertengahan 1980-an, serta tumbuhnya kekuatan industri. otomotif nasional menjelang 1990-an. Program Mobnas (Mobil Nasional) yang dicanangkan pada pertengahan 1990-an merupakan isu yang menarik di tengah perubahan ekonomi Indonesia. Kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia sebagai dampak krisis ekonomi global pada pertengahan 1980-an telah mendorong Indonesia merestrukturisasi. ekonominya. Krisis ekonomi global yang ditandai * Ibid. hal, $7. Ignatius Ismanto @ 57 penurunan harga-harga komoditi primer membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia yang ekonominya saat itu sangat tergantung pada komoditi migas (minyak bumi dan gas). Penurunan harga minyak bumi dan gas di pasar internasional itu mengurangi kemampuan finansial negara dalam menggerakkan ekonomi nasional??, Serangkaian liberalisasi ekonomi dimaksudkan memberikan peluang yang lebih besar bagi sektor swasta dalam mendorong kegiatan ekonomi nasional. Liberalisasi ekonomi juga membawa dampak terhadap pergeseran kebijakan pengembangan sektor industri otomotif nasional yang telah mulai berkembang. Kebijakan pengembangan industri otomotif tidak lagi dikembangkan melalui program penanggalan. Pemerintah menerapkan kebijakan baru dalam pengembangan industri otomotif yaitu melalui kebijakan insentif, Kebijakan insentif yang diperkenalkan pemerintah yaitu Paket Deregulasi yang dikeluarkan pada 10 Juni 1993. Paket Kebijakan Deregulasi Otomotif itu meliputi: (1) Keputusan Menteri Keuangan No. 645/KMK.01/1993 tentang Keringanan Bea Masuk terhadap Impor Bagian dan Perlengkapan untuk Tujuan Perakitan atau Pembuatan Kendaraan Bermotor, (2) Keputusan Menteri Keuangan No. 647/KMK.04/1993 tentang Macam dan Jenis Kendaraan yang dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan (iii) Keputusan Menteri Keuangan No. 643/KMK,01/1993 tentang Penyempurnaan Klasifikasi serta Perubahan Tarif Bea Masuk atas Kendaraan Impor. Keputusan Menteri Keuangan No. 645/KMK/ 1993 ini memberikan insentif tarif impor terhadap bagian atau perlengkapan untuk tujuan perakitan kendaraan yang besaran tarif bea masuk ditentukan berdasarkan kandungan local yang telah dicapai oleh industri otomotif. Keputusan Menteri Keuangan itu dalam perkembangannya direvisi dengan ditetapkannya keputusan yang baru No. 223/KMK.01/1995 yang memberikan keringan tarif bea masuk bagi perusahaan otomotif berdasarkan tingkat kandungan lokal yang dicapai. Ketetapan itu menetapkan bahwa jenis kendaraan sedan dan station wagon yang mencapai kandungan lokal: (i) lebih dari 60 persen dikenakan tarif bea masuk sebesar nol persen, (ii) 50-60%persen dikenakan tarif bea masuk sebesar 10%, (iti) 40-50% dikenakan tarif bea masuk sebesar 20%, (iv) 30-40% dikenakan tarif bea masuk sebesar 35%, (v) 20-30% dikenakan tarif bea masuk sebesar 5%, dan (vi) kurang dari 60% dikenakan tarif bea masuk sebesar 65%. Kebijakan ” Migas merupakan sumber utama penerimaan devisa negara dan sumbangan terbesar dalam pembiayaan pembangunan melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Selama masa ‘oil boom years’ (awal 1970-an hingga pertengahan 1980-an), penerimaan migas telah meni kemampuan finansial negara dalam menggerakan kegiatan ekonomi nasional. Meningkatnya kemampuan finansial negara itu pula yang mendorong peran dan intervensi negara yang semakin besar dan meluas dalam kegiatan ekonomi nasional. 58. m= Kebijakan Industri Otomotif Indonesia yang memberikan insentif keringanan tariff bea masuk itu dimaksudkan mendorong pengembangan industri otomotif, khusus dalam upaya mempercepat penggunaan komponen yang diproduksi di dalam negeri. Semakin besar kandungan komponen lokal yang dicapai industri otomotif semakin kecil tarif bea masuk yang dikenakan untuk mendatangkan kelengkapan komponen lainnya. Kebijakan insentif yang lain yaitu Keputusan Menteri Keuangan No. 647/KMK.04/1993 yang menetapkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 20% bagi kendaraan station wagon, dan sedan dengan mesin 1600cc yang telah mencapai kandungan lokal lebih dari 60%. Bila kendaraan itu kandungan lokalnya kurang dari 60%, PPnBM ditetapkan lebih besar yaitu 35%. Disamping itu, kebijakan insentif juga diberikan melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 643/KMK.01/1993 yang menetapkan bea masuk sebesar 335% untuk impor kendaraan dalam bentuk CBU (Completely Build Up). Kebijakan ini menarik karena untuk pertama kali sejak 1970-an, kendaraan yang dirakit di dalam negeri dipaksa untuk berkompetisi dengan kendaraan yang dimport dalam bentuk CBU, yaitu kendaraan impor dalam bentuk CBU yang telah dikenakan biaya masuk sebesar 200-300%. Di tengah serangkaian liberalisasi ekonomi yang diarahkan untuk mendorong daya saing industri otomotif nasional, _pemerintah mencanangkan program pembangunan mobil nasional yaitu melalui penetapan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2/1996. Instruksi Presiden yang dikeluarkan pada 19 Februari 1996 ini memerintahkan tiga menteri ekonomi, yaitu: Menteri Perindustrian dan Perdangangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Pengerak Dana Inventasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk mengkoordinasikan dan mengambil langkah-langkah dalam pembangunan mobil nasional. Inpres No. 2/1996 ini lebih lanjut dioperasionalkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 42/1996 yang memberikan berbagai fasilitas dalam pengembangan mobil nasional, seperti; pembebasan tarif bea masuk, keringanan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) hingga Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Keppres No. 42/1996 juga menetapkan PT Timor Putera Nasional (PTN) sebagai pioner dalam memproduksi mobil nasional. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan mobil nasional yang memberikan perlakuan khusus kepada PT Timor Putera Nasional ini mengundang reaksi luas dari kalangan industri otomotif nasional yang telah mulai berkembang. Bahkan, oleh kalangan otomotif transnasional, kebijakan yang ditempuh oleh Indonesia itu dianggap bertentangan dengan WTO. ‘Apakah kebijakan pembangunan mobnas yang memberikan perlakuan khusus kepada PT Timor itu dapat dianggap sebagai proteksi bagi industri Igpatius Ismanto @ 59 yang baru berkembang? Kebijakan proteksi yang diberikan negara kepada PT Timor itu seperti halnya dengan kebijakan yang diberikan negara pada industri otomotif nasional pada awall970-an. Namun, perbedaannya kebijakan itu terletak pada perkembangan ekonomi yang telah berubah. Kebijakan proteksi pada awal 1970-an diberikan pada masa dimana industri otomotif Indonesia masih dalam tahap awal pertumbuhan (infant industry). Sedangkan proteksi pada pertengahan 1990-an diberikan pada saat industri telah mulai berkembang. Status infant industry bagi industri otomotif memasuki tahun 1990-an merupakan isu yang semakin diperdebatkan. Industri Otomotif Indonesia Pasca Mobnas Kebijakan mobnas merupakan isu yang menarik di tengah perubahan ekonomi Indonesia. Liberalisasi ekonomi serta internasionalisasi kapital telah membuka peluang bagi kekuatan-kekuatan ekonomi nasional untuk membangun jaringan dengan kekuatan-kekuatan _ kapital internasional. Namun, internasionalisasi kapital itu tidak diikuti oleh pelembagaan transparansi dalam kegiatan ekonomi. Mengapa internasionalisasi kapital yang menyertai perubahan ekonomi Indonesia gagal dalam mendorong transparansi ekonomi? Kegagalan Indonesia dalam melembagakan transparansi ekonomi seiring dengan perubahan ekonomi nasionalnya dimungkinkan karena semakin tajamnya fragmentasi kekuatan modal seiring dengan semakin terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi regional yang lebih luas. Kekuatan modal yang mampu membangun jaringan dengan kekuatan kapital internasional tidak lagi melihat pentingnya patrimonialisme dipertahankan di tengah ekonomi yang telah berubah itu. Mereka cenderung mendukung liberalisasi ekonomi dilanjutkan sambil menekankan pentingnya perubahan politik yang mulai melembagakan transparansi ekonomi. Namun, mereka yang berhasil membangun jaringan dengan kekuatan kapital internasional itu umumnya adalah kalangan kapitalis non-pribumi, khususnya warga negara Indonesia keturunan ethnis Cina yang secara politis relatif lemah. Sedangkan mereka yang, gagal dalam membangun jaringan dengan kekuatan kapital internasional cenderung menuntut proteksi negara dan menyerukan agar liberalisasi ekonomi dihentikan. Mereka ini umumnya adalah kalangan kapitalis pribumi. Perubahan ekonomi Indonesia seiring dengan semakin terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam kawasan ekonomi yang lebih luas tidak diikuti oleh perubahan politik dalam mengendalikan praktik- praktik perburuan rente. Mobnas mencerminkan indikasi bahwa perubahan 60. = Kebijakan industri Otomotif Indonesia ekonomi Indonesia sejak pertengahan 1980-an tidak diikuti oleh perubahan politik yang berarti, khususnya dalam mengakhiri pola patrimonialisme dalam hubungan bisnis dan politik. Bahkan kegagalan Indonesia dalam mengendalikan praktik-praktik perburuan rente di tengah ekonomi yang telah berubah itu merupakan potensi sumber penyalah-gunaan kekuasaan. Kebijakan pemerintah yang menetapkan PT Timor sebagai pioner dalam pembangunan mobil nasional dengan memberikan fasilitas khusus kepada PT Timor, seperti: pembebasan tarif bea masuk, keringanan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan keringan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPrBM) - merupakan fenomena yang sarat dengan muatan kolusi, korupsi dan nepotisme yang populer dengan akronim KKN. Kolusi, korupsi dan nepotisme merupakan bentuk manifestasi penyalah-gunaan kekuasaan negara. Fenomena mobnas sekaligus mengindikasikan praktik-praktik perburuan rente yang melembaga di tengah perubahan ekonomi nasional yang menuntut transparansi dalam kegiatan ekonomi. Fenomena mobnas sekaligus menjelaskan kegagalan Indonesia dalam mendorong perubahan politik yang demokratis di tengah perubahan ekonominya. Kemajuan ekonomi justru semakin melanggengkan rejim otoritarian. Krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter yang menghantam Indonesia pada 1997 membawa dampak yang luas bagi perubahan ekonomi dan politik Indonesia. Krisis moneter itu tidak hanya berdimensi ekonomi, yaitu penuruan nilai mata uang rupiah terhadap nilai mata uang asing dolar Amerika Serikat, tetapi juga berdimensi politik yaitu menurunnya kepercayaan masyarakat (nasional dan internasional) terhadap rejim Orde Baru Soeharto. Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik akhirnya memaksa Presiden Soeharto meangakhiri kekuasaan pada 1998. Perubahan politik sejak berakhirnya kekuasaan rejim Orde Baru Soeharto membawa implikasi yang Iuas terhadap hubungan negara dan Kapital serta kebijakan pembangunan industri otomotif Indonesia. Negara pasca Orde Baru Soeharto dihadapkan pada otonomi yang semakin terbatas dalam menghadapi aliansi kekuatan kapital nasional dan global. Kekalahan Indonesia dalam WTO karena kasus mobnas membawa tekanan perubahan terhadap kebijakan industri otomotif Indonesia. Penetapan Inpres No. 20/1998 akhirnya mengakhiri Inpres No. 2/1996 yang memberikan perlakuan khusus pada industri domestik dalam pengembangan mobil nasional. Sejak 1998 kebijakan industri otomotif Indonesia yang menekankan pada pembangunan kemandirian industri otomotif itu-pun semakin redup. Pengembangan fasilitas produksi komponen yang berhasil dibangun selama program lokalisasi sejak 1970-an hingga menjelang 1990-an kini menjadi basis pengembangan industri komponen otomotif global. Di samping itu, gagasan untuk mewujudkan Ignatius Ismanto = 61 kemandirian industri otomotif kini-pun semakin sulit diwujudkan seiring dengan tekanan globalisasi produksi yang dipicu oleh kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi. Globalisasi produksi mendorong realokasi industri untuk meminimalisir biaya produksi. Sesuai dengan sifat industri otomotif yang pada hakekatnya merupakan industri perakitan yang menggabungkan berbagai komponen yang diproduksi oleh berbagai perusahaan yang tersebar di berbagai negara, maka mengkonsentrasikan seluruh fasilitas produksi di suatu negara akan semakin sulit diwujudkan. Konsep lain yang digunakan untuk menggambarkan proses produksi yang melibatkan pengembangan fasilitas produksi di berbagai negara ini adalah “production sharing”. Perubahan ekonomi-politik Indonesia di tengah tekanan perubahan ekonomi global semakin memperiemah kontrol negara terhadap pembangunan industri otomotif nasional. Sebaliknya, aliansi_ kekuatan industri otomotif transasional dan perusahaan otomotif nasional semakin memainkan peran yang lebih besar dalam perkembangan industri otomotif. Aliansi_ kerjasama industri otomotif nasional dan industri otomotif transnasional itu tidak hanya untuk kepentingan pasar domestik tetapi juga pasar global. Fenomena ini dapat diamati dari kerjasama TNC otomotif Jepang Suzuki dengan Indomobil-Group yang menempatkan Indonesia sebagai basis produksi dalam memproduksi mobil APV untuk pasar Asia Tenggara, Australia, Afrika dan Amerika Latin. Penutup Kebijakan pembangunan industri otomotif Indonesia mengalami perubahan struktural seiring dengan tekanan perubahan ekonomi global. Selama kurun waktu yang panjang, pembangunan industri otomotif nasional dicirikan oleh besarnya peran dan intervensi negara. Intervensi dan dominasi negara dalam pembangunan industri otomotif itu dimungkinkan karena sejumlah faktor, yaitu: (i) lemahnya kekuatan kapital nasional dalam membiayai industrialisasi_ otomotif; (ii) tuntutan proteksi_ yang diperjuangkan kalangan industri otomotif nasional, terlebih sejak dibukanya kran bagi perusahaan otomotif transnasional dalam kegiatan fasilitas produksi sejak pertengahan 1970-an; (iii) fragmentasi di kalangan pengusaha otomotif nasional semakin menguatkan intervensi negara dalam mendorong industrialisasi otomotif; dan (iv) meningkatnya kemampuan 78 Ramkishen $ Rajan dan Sunil Ronggala. 2009. Asia in the Global Economy. Singapura: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. hal. 139-147. 62m Kebijakan Industri Otomotif Indonesia finansial negara yang diperoleh dari rezeki minyak selama periode pertengahan 1970-an hingga pertengahan 1980-an. Peran dan intervensi negara dalam pembangunan industri otomotif nasional memberikan sumbangan yang penting dalam mendorong proses akumulasi kapital. Lahirnya sejumiah kekuatan industri otomotif nasional, seperti: Kelompok Astra, Kelompok Indo-Mobil dan Kelompok Krama Yudha dimungkinkan melalui serangkaian kebijakan pembangunan industri otomotif yang protektif. Rent seckinig activities dan koneksi politik merupakan ciri dalam pembangunan kapital itu, Internasionalisasi kapital telah membuka peluang bagi kekuatan-kekuatan industri otomotif nasional untuk membangun aliansi dengan kekuatan otomotif transnasional. Satu hal yang menarik yaitu bahwa kekuatan kapital yang mampu membangun aliansi dengan kekuatan kapital internasional tidak lagi menekankan pentingnya koneksi politik serta perburuan ekonomi rente untuk dipertahankan dalam pembangunan industri di tengah ekonomi Indonesia yang telah berubah itu. Sebaliknya, kalangan pengusaha nasional yang gagal dalam membangun aliansi dengan kekuatan internasional semakin menuntut dipertahankannya proteksi negara. Fragmentasi di kalangan pengusaha nasional inilah yang mempengaruhi kepentingan di balik liberalisasi ekonomi. Kesulitan ekonomi yang dialami Indonesia sejak pertengahan 1980- an dan diperburuk oleh krisis ekonomi pada 1997 telah mendorong Indonesia menempuh liberalisasi ekonominya. Tekanan liberalisasi ekonomi itu telah membawa dampak yang mendasar terhadap peran dan intervensi negara dalam ekonomi. Dalam pembangunan industri otomotif, tekanan liberalisasi ekonomi itu semakin membatasi otonomi negara dalam proses kebijakan. Sebaliknya, proses kebijakan industri otomotif semakin dipengaruhi oleh aliansi antara kekuatan otomotif nasional dan kekuatan otomotif transnasional. Seiring dengan perubahan ekonomi dan politik Indonesia, peran negara dalam pembangunan industri otomotif-pun mengalami pergeseran dari negara yang relatif otonom menjadi negara yang semakin terbatas otonominya. Dalam struktur yang telah berubah itu, peran negara dalam pembangunan industri, otomotif lebih menekankan pada koordinasi terhadap aliansi-aliansi ‘kekuatan Kapital (nasional dan internasional) dalam kegiatan proses produksi, baik untuk kepentingan pasar domestik maupun pemenuhan permintaan pasar global. Model kebijakan pembangunan industri otomotif-pun bergeser dari model negara yang nasionalis menuju negara yang menjalankan internasionalisasi. Ignatius Ismanto m 63 Daftar Pustaka So, Alvin Y dan Stephan W.K Chiu. 1995. East Asia and the World Economy. London: Sage Publication. Chalmers, Ian. 1996. Konglomerasi: Negara dan Modal dalam Industri Otomotif Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Dicken, Peter. 1992. Global Shift. New York: The Guildford Press. Doner, Richard F. 1991. Driving in a Bargain: Auiomobile Industrialization and Japanese Firms in Southeast Asia, Berkeley: University of California Press. Khan, Mushtaq H dan Jomo Kwame Sundaram (eds). 2000. Rent, Rent-Seeking Activities and Economic Development. Camiridge: Cambridge University Press, Kunio, Yoshihara. 1988. The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia. Singapura: Oxford University Press. Macintyre, Andrew (ed). 1994. Business and Government in Industrializing Asia. Ithaca, New York: Cornell University Press. Rajan, Ramkishen S dan Sunil Ronggala. 2009. Asia in the Global Economy. Singapura: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Robison, Richard. “Class, Capital and the State in New Order Indonesia” dalam Richard Higgot dan Richard Robison (eds). 1985. Southeast Asia: Essay in the Political Economy of Structural Change. London: Routledge & Kegan Paul.

You might also like