You are on page 1of 9

TATALAKSANA DAN ASUHAN GIZI PADA BALITA KURANG ENERGI PROTEIN

(KEP)

Rifka Laily Mafaza

A. Kekurangan Energi Protein (KEP)


Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan
penyakit tertentu.

Anak disebut KEP apabila berat badannya kurang dari berat badan

menurut umur (BB/U) baku WHO-NCHS. KEP merupakan defisiensi gizi (energi dan
protein) yang paling berat dan meluas terutama pada balita. Pada umumnya penderita KEP
berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah (Supariasa, 2002).

B. Etiologi Kekurangan Energi Protein (KEP)


Penyebab langsung KEP adalah defisiensi kalori maupun protein dengan beberapa
gejala-gejala, sedangkan penyebab tidak langsung KEP sangat banyak, sehingga penyakit ini
sering disebut juga dengan kausa multifaktorial. Salah satu penyebabnya adalah keterkaitan
dengan waktu pemberian ASI dan makanan tambahan setelah disapih (Khumaedi, 1989
dalam Suyadi, 2009).
Menurut Departemen Kesehatan RI (1999) dalam buku pedoman Tata Laksana KEP
pada anak di puskesmas dan di rumah tangga, KEP berdasarkan gejala klinis ada 3 tipe yaitu
KEP ringan, sedang dan berat (gizi buruk). Pada KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang
ditemukan hanya anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar
dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwasiorkor.
Salah satu sebab yang megakibatkan terjadinya masrasmus adalah kehamilan
berturur-turut dengan jarak kehamilan yang masih terlalu dini. Selain itu marasmus juga
disebabkan karena pemberian makanan tambahan yang tidak terpelihara kebersihannya serta
susu buatan yang terlalu encer dan jumlahnya tidak mencukupi karena keterbatasan biaya,
sehingga kandungan protein dan kalori pada makanan anak menjadi rendah.

Keadaan

perumahan dan lingkungan yang kurang sehat juga dapat menyebabkan penyajian yang
kurang sehat dan kurang bersih. Demikian juga dengan penyakit infeksi terutama saluran

pencernaan.

Pada keadaan lingkungan yang kurang sehat, dapat terjadi infeksi yang

berulang sehingga menyebabkan anak kehilangan cairan tubuh dan zat-zat gizi sehingga
menjadi kurus serta turun berat badannya.
Kwasiorkor dapat ditemukan pada anak-anak yang setelah mendapatkan ASI dalam
jangka waktu lama, kemudian disapih dan langsung diberikan makan seperti anggota
keluarga yang lain. Makanan yang diberikan pada umumnya rendah protein. Kebiasaan
makan yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya kwashiorkor. Selain itu tingkat
pendidikan orang tua yang rendah dapat juga mengakibatkan terjadinta kwashiorkor karena
berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi yang rendah (Depkes, 1999).

C. Gejala Klinis dan Patofisiologi Terjadinya Kekurangan Energi Protein (KEP)


Gejala klinis KEP berat/ gizi buruk yang dapat ditemukan antara lain yaitu :
1. Kwasiorkor
- Adanya edema seluruh tubuh terutama pada kaki, tangan dan anggota badan lainya.
- Wajah tampak membulat dan sembab
- Pandangan mata sayu
- Rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung
- Perubahan status mental :cengeng dan rewel
- Pembesaran hati
- Otot mengecil
- Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas
- Diare
- Anemia
2. Marasmus
- Tampak sangat kurus (tulang dan kulit)
- Wajah Nampak seperti orang tua
- Cengeng
- Kulit keriput
- Perut cekung
- Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan berkurang

3. Marasmus- kwashiorkor
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus disertai dengan edema yang mencolok (Depkes, 2001).

Patofisiologi KEP:

Terjadinya KEP bermula dari kondisi status social ekonomi rendah, pengetahuan
kurang asupan kurang, adanya penyakit dan sistem dukungan social yang tidak memadai.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya defisit protein ataupun defisit energi. Defisit protein
akan mengakibatkan peningkatan katabolisme lemak dan protein cadangan sehingga jika
terjadi berulang akan mengalami kehilangan cadangan selain itu akan mnegakibatkan
defisiensi asam amino esensial dan berdampak pada gangguan sintesis sel, gangguan sistesis
sel akan berakibat pada gangguan perkembangan motorik dan social mental dan gangguan
perkembangan fisik serta adanya gangguan pada sintesis sel darah merah yang akhirnya
menyebabkan terjadinya anemia dan gangguan imunitas sehingga anak akan mudah
terserang penyakit infeksi seperti diare, bronchitis dan bronkopnumonia.
Mekanisme defisit energi juga akan menyebabkan pemecahan protein dan lemak
cadangan secara berlebih sehingga anak akan mengalami hipopriteinemia yang dapat
berdampak odema dan hilangnya integritas kulit. Defisit energi juga akan mengakibatkan
defisiensi energi fisik yang selanjutnya akan berdampak pada hipoalbuminuria dan
munculnya gejala gejala seperti odema, sembab, cengeng, apatis selain itu juga mudah
terkena penyakit infeksi.

D. Penatalaksanaan Gizi pada Kekurangan Energi Protein (KEP)

Tata laksana diet pada balita KEP berat/gizi buruk ditujukan untuk memberikan
makanan tinggi energi, tinggi protein serta cukup vitamin dan mineral secara bertahap, guna
mencapai status gizi optimal. Ada 4 kegiatan penting dalam tata laksana diet, yaitu
pemberian diet, pemantauan dan evaluasi, penyuluhan gizi, serta tindak lanjut.
1. Pemberian Diet
Pemberian diet pada KEP berat/gizi buruk harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Melalui 3 periode yaitu periode stabilisasi, periode transisi, dan periode rehabilitasi.
b. Kebutuhan energi mulai dari 80 sampai 200 kalori per kg BB/hari.
c. Kebutuhan protein mulai dari 1 sampai 6 gram per kg BB/hari.
d. Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi atau pemberian
bahan makanan sumber mineral tertentu, sebagai berikut :
Bahan makanan sumber mineral khusus :
Sumber Zn : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam.

Sumber Cuprum : tiram, daging, hati


Sumber Mangan : beras, kacang tanah, kedelai
Sumber Magnesium : daun seledri, bubuk coklat, kacang-kacangan, bayam,
Sumber Kalium : jus tomat, pisang, kacang-kacangan, kentang, apel, alpukat,
bayam, daging tanpa lemak.
e. Jumlah cairan 130-200 ml per kg BB/hari, bila terdapat edema dikurangi.
f. Cara pemberian : per oral atau lewat pipa nasogastrik (NGT).
g. Porsi makanan kecil dan frekuensi makan sering.
h. Makanan fase stabilisasi hipoosmolar/isoosmolar dan rendah laktosa dan rendah
serat.
i. Meneruskan pemberian ASI.
j. Membedakan jenis makanan berdasarkan berat badan, yaitu:
BB<7 kg diberikan kembali makanan bayi dan BB >7 kg dapat langsung diberikan
makanan anak secara bertahap.
k. Mempertimbangkan hasil anamnesis riwayat gizi.

2. Evaluasi dan Pemantauan Pemberian Diet


a. BB sekali seminggu: Bila tidak naik, kaji penyebab antara lain: masukkan zat gizi
tidak adekuat, defisiensi zat tertentu, misalnya iodium, adanya infeksi, adanya
masalah psikologis.
b. Pemeriksaan laboratorium: Hb, Gula darah, feses (adanya cacing), dan urin
c. Masukan zat gizi: bila kurang, modifikasi diet sesuai selera
d. Kejadian diare: gunakan formula rendah atau bebas laktosa dan hiperosmolar, misal:
susu rendah laktosa, tempe, dan tepung-tepungan
e. Kejadian hipoglikemi: beri minum air guila atau makan setiap 2 jam
3. Penyuluhan Gizi di Rumah Sakit
a. Menggunakan leaflet khusus yang berisi: jumlah, jenis, dan frekuensi pemberian
makanan
b. Selalu memberikan contoh menu
c. Mempromposikan ASI
d. Memperhatikan riwayat gizi

e. Mempertimbangkan sosial-ekonomi keluarga


f. Memberikan demonstrasi atau praktek memasak makanan balita untuik ibu
4. Tindak lanjut
a. Merujuk ke puskesmas
b. Merencanakan dan mengikuti kunjungan rumah
c. Merencanakan pemberdayaan keluarga

Pada proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase
transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana yang
cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita kwashiorkor,
marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.
1. Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga
ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini
dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung
pada kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan
pasien kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama
adalah formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2%
tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada,
berikan ASI. Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti
makanan untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair,
kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk meningkatkan
energi ditambahkan 5% glukosa
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3 jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat
pipa (per-sonde).

2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara
berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai
150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.

3. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh
makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya
diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan, memilih
bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya. Suplementasi
zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tandatanda hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.
d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI
peroral atau 100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia,
vitamin A diberikan dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis
maksimal 400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat
besi (Fe) dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya
menyertai KKP berat

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2004. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Riskesdas Tahun 2010

Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. 2000. Tatalaksana Rumah Sakit pada Penderita Gizi Buruk

Kementerian Kesehatan R.I. 2011.Bagan Tatalaksanaan Balita Gizi Buruk. Direktorat Jenderal
Kesehatanmasyarakat Direktorat Gizi Masyarakat, Jakarta.
Scrhimsaw, N, S, Viteri, F, E 2010, INCAP Studies Of Kwashiorkor and Marasmus, Food and
Nutrition Bulletin vol. 3rd no.1, The United State University, USA.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional.

Supariasa, I Dewa Nyoman dkk. 2012. Penilaian Status Gizi Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Suyadi, E.S. 2009. Kejadian KEP Balita dan Faktor yang Berhubungan di Wilayah Kelurahan
Pancoran Mas Depok. Skripsi. Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia Jakarta.

You might also like