You are on page 1of 44

Tugas Kelompok

Makalah Mikrobiologi Klinik

AVIAN INFLUENZA H5N1

Oleh
KELOMPOK IV
NANGSIH SULASTRI SLAMET
YUSNITA USMAN
A. DIAN AULIA SAUDI
NURWANA
SELVI RAHMAWATI SARANANI

NIM P2500214008
NIM P2500214010
NIM P2500214011
NIM P501214002
NIM P501214001

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

BAB I
PENDAHULUAN

Virus avian influenza (A/H5N1) yang merupakan penyebab epidemik pada


unggas pertama kali dilaporkan di Indonesia pada akhir tahun 2003. Sampai saat
ini 31 dari 33 propinsi di Indonesia pernah melaporkan adanya epidemi virus ini
pada unggas. Kasus manusia terinfeksi virus influenza A/H5N1 di Indonesia
pertama kali dilaporkan dalam suatu kasus kluster keluarga pada Juli 2005, dan
hingga akhir Juni 2014 telah tercatat 197 kasus konfirm H5N1 dengan 165
kematian. Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa kontak dengan
unggas sakit, baik itu berupa mengolah unggas ataupun memiliki ungags sakit
menjadi faktor risiko penularan virus A/H5N1 dari unggas ke manusia. Contohnya
penelitian pada pekerja peternakan di daerah dengan wabah infeksi virus avian
influenza A/H5N1 pada unggas di Hongkong pada tahun 1997-1998
memperlihatkan bahwa 10% dari para pekerjanya mempunyai titer antibodi
terhadap virus avian influenza A/H5N1 dengan pengujian mikronetralisasi (Vivi
Setiawaty, dkk; 2007 dan Kemenkes; 2014).
Genom virus influenza berbentuk segmen, sehingga sangat mudah terjadi
gen reassortment. Virus dengan patogenisitas rendah dapat mengalami mutasi
menjadi virus yang sangat patogenik. Virus hasil mutasi dapat mengakibatkan
terjadinya pandemik di seluruh dunia, di antaranya virus influenza subtipe H2N2
yang mengakibatkan pandemik di Asia tahun 1957 dan subtipe H3N2 yang
mengakibatkan pandemik di Hongkong pada tahun 1968. Akhir-akhir ini,
ditemukan infeksi virus influenza A subtipe baru yang menyebabkan kejadian luar
biasa (KLB) dan sangat patogenik, yaitu virus influenza A subtipe H5N1, yang
dapat menyebabkan penyakit yang sangat berat pada manusia. Virus galur H5N1
mempunyai

kemampuan

untuk

menghindari

sitokin

dalam

menghadapi

mekanisme pertahanan tubuh (I Made Setiawan; 2009).


Penularan virus ini dapat melalui udara ataupun kontak melalui makanan,
minuman, dan sentuhan. Akan tetapi, virus ini akan mati dalam suhu yang tinggi.
Oleh karena itu kebersihan diri dan lingkungan perlu dijaga dengan baik untuk

mencegah penularannya. Virus dapat bertahan hidup pada suhu dingin, sehingga
bahan makanan yang didinginkan atau dibekukan dapat terkontaminasi oleh virus
ini dengan mudah.
Identifikasi infeksi virus influenza pada manusia dengan pemeriksaan
laboratorium umumnya dilakukan sesuai dengan anjuran WHO, yaitu dengan
mendeteksi antigen virus secara langsung, mengisolasi virus dalam biakan sel,
atau

mendeteksi

RNA

spesifik-influenza

dengan

pemeriksaan

reverse

transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) menggunakan pasangan


primer yang spesifik untuk sekuens HA dan NA virus influenza A/H5N1. Strategi
tes laboratorium tahap pertama dari masing-masing spesimen adalah untuk
mendiagnosis infeksi virus influenza secara cepat, serta menyingkirkan
kemungkinan infeksi yang disebabkan oleh virus lain yang dapat menginfeksi
saluran napas (I Made Setiawan; 2009).
Mengingat betapa pentingnya mengetahui secara lebih lengkap untuk
waspada terhadap virus inilah yang kemudian melatarbelakangi penyusunan
makalah ini yang di dalamnya mencakup diagnosis dan tatalaksana terapi terhadap
infeksi karena Avian Influenza Virus H5N1.

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Definisi
Avian Influensa merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus influensa
A subtype H5N1 (H=hemaglutinin; N=neuraminidase) yang pada umumnya
menyerang unggas (burung dan Ayam) (Depkes; 2006).
Penyakit ini menular dari unggas ke unggas tetapi dapat juga menular ke
manusia (Zoonosis). Sebagian besar kasus infeksi pada manusia berhubungan
dengan adanya riwayat kontak dengan peternakan unggas atau benda yang
terkontaminasi. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan
transportasi unggas yang terinfeksi (Nataprawira; 2006).
II.2 Epidemiologi
Virus awal, dijumpai untuk pertama kalinya di tahun 1997, adalah
hasil proses re-assortant termasuk paling tidak sebuah virus H5N1 yang berasal
dari angsa domestik (A/goose/Guangdong/1/96, yang menumbangkan unsur
HA) dan virus H6N1 yang diduga berasal dari bebek (A/teal/Hong
Kong/W312/97) yang menumbangkan NA dan segmen-segmen untuk protein
internal), yang kemudian mengalami banyak siklus re-asortasi dengan virus
influensa unggas lain yang tidak dikenal (Xu; 1999, Hoffmann; 2000, dan
Guan; 2002).
Beberapa genotip garis H5N1 yang berbeda juga pernah dilaporkan
(Cauthen; 2000, Guan; 2002-2003). Apa yang disebut sebagai genotip Z
telah mendominasi wabah yang terjadi sejak desember 2003 (Li; 2004). Dalam
bulan April 2005, tingkat epidemi baru terjadi ketika untuk pertama kalinya
strain H5N1 dapat menulari populasi ungas-unggas liar dalam skala besar
(Chen; 2005, dan Liu ;2005). Di danau Qinghai di Barat Laut China beberapa
ribu angsa berkepala bergaris, sebuah spesies unggas berpindah, sakit dan mati
terkena infeksi virus tersebut. Beberapa spesies burung camar dan juga burung
laut lain (cormorants) juga terserang di tempat ini. Ketika di musim panas dan

awal musim gugur tahun 2005, wabah H5N1 dilaporkan untuk pertama kalinya
di wilayah yang secara geografis berdekatan dengan Mongloia, Kazakhstan
dan Siberia Selatan, timbul dugaan bahwa virus tersebut telah disebarkan oleh
kawanan unggas berpindah. Penyebaran wabah ini kemudian meluas di
sepanjang jalur perpindahan unggas dari Asia Dalam ke Timur Tengah dan
Afrika, mengenai Turki, Romania, Kroasia, dan semenanjung Krimea di akhir
tahun 2005. Dalam semua kejadian (kecuali di Mongolia dan Kroasia) wabah
ini mengenai baik unggas ternak maupun unggas liar. Banyak kasus yang
dilaporkan yang mengenai unggas ternak terjadi di daerah yang berdekatan
dengan danau dan rawa-rawa yang menjadi tempat singgah unggas air liar.
Infeksi H5N1 ganas yang terjadi pada burung gereja secara individual (sakit
atau mati) di lokasi yang terbatas pernah dilaporkan dari Thailand dan Hong
Kong. Endemisitas HPAIV pada burung-burung seperti burung gereja, 24 FLU
BURUNG walet dan murai yang hidup dekat dengan hunian manusia bukan
saja dapat mendekatkan bahaya pada industri ternak unggas tetapi juga
meningkatkan risiko penularan kepada manusia (Nestorowicz; 1987).

Gambar 1 Bagan Patogenesis dan Epidemologi Influenza Unggas


LPAIV = Low Pathogenic Avian Influenza Virus (Virus Influenza Unggas
Berpatogenesis); HPAIV = High Pathogenic Avian Influenza Virus (Virus Influenza

Unggas yang Sangat Patogen); HA = protein hemagglutinin. Garis terputus-putus dengan


panah menunjukkan penghalang (barrier) spesies

II.3 Patofisiologi
II.3.1 Patogenesis
Virus influenza mengikat residu asam sialat dari host permukaan sel
melalui protein virus hemagglutinin. Avian virus influenza mengikat dengan
reseptor asam sialic 2,3 terkait hadir pada sel alveolar (makrofag, pneumocytes)
dari jalur pernapasan (MN. Matrosovich et al; 2004) bagian bawah dan jarang
melampirkan epitel sel-sel jalur pernapasan (D. Van Riel. Et al; 2010). Keterikatan
Virus ke sel saluran pernapasan atas mungkin penting untuk efisien transmisi dan
dapat menjelaskan sebagian tidak adanya H5N1 pandemi influenza hingga saat
ini. Tingginya kadar replikasi virus dan infeksi disebarluaskan sangat penting
untuk patogenesis influenza A H5N1. Pada kasus yang parah virus H5N1 telah
terdeteksi di darah (MD de Jong et al; 2006 dan WHO; 2008). Virus H5N1 dapat
menginfeksi dan mereplikasi dalam usus epithelium manusia dan tidak seperti
subtipe virus influenza manusia yang disesuaikan, secara rutin terdeteksi di feses.
Respon imun host sebagian besar bertanggung jawab untuk penyakit berat dan
kematian yang terkait dengan influenza disebabkan oleh virus H5N1. Sebuah
respon sitokin yang kuat, diasosiasikan-diciptakan dengan tingkat replikasi virus,
menyebabkan cairan accu-formulasi dan jaringan kerusakan pada paru-paru.
Pengelompokan kasus influenza H5N1 menunjukkan host yang faktor genetik
mungkin memainkan peran dalam kerentanan terhadap H5N1 influenza.
II.4 Ciri Ciri Virus
II.4.1 Virologi Influenza
Struktur virus
Influenza adalah anggota dari keluarga Orthomyxovirus. Memiliki
tersegmentasi, untai tunggal RNA genom. Virus influenza dapat dibagi menjadi
3 kelompok - influenza A, B, dan C - atas dasar perbedaan antigenik dalam
matriks dan nukleoprotein:
Influenza C hanya menyebabkan penyakit ringan pada manusia dan tidak
terkait dengan epidemi atau pandemi.

Influenza B dapat menyebabkan penyakit pada manusia, tetapi biasanya lebih


ringan daripada influenza A. Hal ini terjadi selama wabah tahunan namun
belum dikaitkan dengan pandemi.
Influenza A dikaitkan baik dengan epidemi tahunan dan dengan pandemi
sebelumnya. Beredar strain flu burung saat ini juga influenza A.
Influenza A memiliki 2 protein permukaan penting yang mempengaruhi
penyebarannya. Protein hemagglutinin (H) memfasilitasi masuknya virus ke
dalam sel inang. Sampai saat ini, 16 protein hemagglutinin yang berbeda telah
diidentifikasi, nomor H1-H16. Protein ini memunculkan respon antibodi
pelindung di host yang terinfeksi. Ini memiliki 4 daerah variabel antigenik
utama yang mungkin terlibat dalam kekhususan spesies strain influenza A
sampai tropisme reseptor. Protein neuraminidase (N) memfasilitasi pelepasan
partikel virus baru dari permukaan sel inang yang terinfeksi. Protein ini juga
memunculkan respon antibodi pelindung, dan sampai saat ini, 9 protein telah
diidentifikasi, N1-N9. Beredar strain diidentifikasi oleh yang hadir satu
protein, misalnya, H1N1 atau H2N3.
Perubahan 2 protein ini terjadi terus menerus. Mutasi titik kecil di
permukaan protein yang dikenal sebagai antigenic drift dan bertanggung jawab
untuk kerentanan populasi epidemi influenza tahunan. Perubahan kecil
memungkinkan virus untuk setidaknya sebagian melarikan diri pertahanan
kekebalan tubuh dan menyebabkan penyakit tahun demi tahun. Perubahan ini
memerlukan persiapan vaksin influenza baru setiap tahun untuk melindungi
terhadap strain yang saat ini beredar. Penamaan masing-masing virus influenza
regangan mencerminkan variasi ini (Gambar 1).

Gambar 2. Naming influenza virus.


Virus influensa adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau
bulat panjang, merupakan genome RNA rangkaian tunggal dengan jumlah
lipatan tersegmentasi sampai mencapai delapan lipatan, dan berpolaritas
negatif. Virus influensa merupakan nama

generik dalam keluarga

Orthomyxoviridae dan diklasifikasikan dalam tipe A, B atau C berdasarkan


perbedaan sifat antigenik dari nucleoprotein dan matrix proteinnya. Virus
influensa unggas (Avian Influenza Viruses, AIV) termasuk tipe A. Telaahan
yang sangat bagus mengenai struktur dan pola replikasi virus-virus influensa
sudah dipublikasikan baru-baru ini (mis. Sidoronko dan Reichi 2005).
Determinan antigenik utama dari virus influensa A dan B adalah glikoprotein
transmembran hemaglutinin (H atau HA) dan neuroaminidase (N atau NA),
yang mampu memicu terjadinya respons imun dan respons yang spesifik
terhadap subtipe virus. Respons in sepenuhnya bersifat protektif di dalam,
tetapi 4 FLU BURUNG bersifat protektif parsial pada lintas, subtipe yang
berbeda. Berdasarkan sifat antigenisitas dari glikoprotein-glikoprotein
tersebut, saat ini virus influensa dikelompokkan ke dalam enambelas subtipe
H (H1-H16) dan sembilan N (N1-N9). Kelompok-kelompok tersebut

ditetapkan ketika dilakukan analisis filogenetik terhadap nukleotida dan


penetapan urutan (sequences) gen-gen HA dan NA melalui cara deduksi asam
amino (Fouchier; 2005). Cara pemberian nama yang sesuai nomenklatur
konvensional untuk isolat virus influensa harus mengesankan tipe virus
influensa tersebut, spesies penjamu (tidak perlu disebut kalau berasal dari
manusia), lokasi geografis, nomor seri, dan tahun isolasi. Untuk virus
influensa tipe A, subtipe hemaglutinin dan neuroamidasenya ditulis dalam
kurung. Salah satu induk strain virus influensa unggas dalam wabah H5N1
garis Asia yang terjadi akhir-akhir ini, berhasil diisolasikan dari seekor angsa
dari provinsi Guangdong, China. Oleh karena itu ia diberi nama
A/angsa/Guangdong/1/96 (H5N1) (Xu;1999). Sedangkan isolat yang berasal
dari kasus infeksi H5N1 garis Asia pada manusia yang pertama kali
terdokumentasikan terjadi di Hong Kong (Claas; 1998), dan dengan demikian
disebut sebagai A/HK/156/97 (H5N1).
Hemaglutinin, sebuah protein yang mengalami glikosilasi dan asilasi
(glycosylated and acylated protein) terdiri dari 562-566 asam amino yang
terikat salam sampul virus. Kepala membran distalnya yang berbentuk bulat,
daerah eskternal yang berbentuk seperti tombol dan berkaitan dengan
kemampuannya melekat pada reseptor sel, terdiri dari oligosakharida yang
menyalurkan derivat asam neuroaminic (Watowich; 1994). Daerah eksternal
(exodomain) dari glikoprotein transmembran yang kedua, neuroamidase
(NA), melakukan aktivitas ensimatik sialolitik (sialolytic ensymatic activity)
dan melepaskan progeni virus yang terjebak di permukaan sel yang terinfeksi
sewaktu dilepaskan. Fungsi ini mencegah tertumpuknya virus dan mungkin
juga memudahkan gerakan virus dalam selaput lendir dari jaringan epitel
yang menjadi sasaran. Selanjutnya virus pun akan menempel ke sasaran
(Matrosivich; 2004). Ini membuat neoroamidase merupakan sasaran yang
menarik bagi obat antivirus (Garman and Laver ; 2004). Kegiatan yang
terpadu dan terkoordinasi spesies glikoprotein antagonistik HA dan NA dari
strain virus tertentu merupakan hal yang penting bagi proses pelekatan dan
pelepasan virion (Wagner; 2002). Pelekatan ke protein permukaan sel dari
virion-virion virus influensa A tercapai melalui glikoprotein HA virus

tertrimerisasi yang matang (mature trimerised viral HA glycoprotein).


Stratifikasi pelekatan tersebut didasarkan pada pengenalan spesies asam sialik
(N-asetil- atau N-asam glikollineuraminat) ujung akhir yang jelas, tipe
hubungan glikosidik ke galaktosa paling ujung (2-3 atau 2- 6) dan susunan
fragmen yang terletak lebih dalam dari sialil-oligosakharida yang terdapat di
permukaan sel (Herrier; 1995, Gambaryan ; 2005). Sebuah varietas dari sialiloligosakharida yang lain diekspresikan dengan pembatasan (restriksi) ke
jaringan dan asal spesies di dalam penjamu lain dari virus influensa.
Penyesuaian (adaptasi) glikoprotein HA maupun NA virus ke jenis reseptor
yang khas (spesifik) dari spesies penjamu tertentu merupakan prasyarat bagi
terjadinya replikasi yang efisien (Ito ; 1999, Banks ; 2001, Mastrovich
1999+2001, Suzuki ; 2000, dan Gambaryan; 2004). Ini berarti terjadi
perubahan bentuk unit pengikat dari protein HA setelah terhadi penularan
antar spesies (Gambaryan ; 2006).
Bagan mekanistik dari berbagai tipe reseptor disajikan dalam Gambar
1. Virus influensa unggas biasanya menunjukkan afinitas tinggi terhadap
asam sialik yang terkaitkan dengan 2-3 karena unsur ini merupakan tipe
reseptor yang paling dominan di jaringan epitel endodermik (usus, paru-paru)
pada unggas yang menjadi sasaran virus-virus tersebut (Gambaryan ; 2005,
dan Kim ; 2005). Sebaliknya, virus influensa yang beradaptasi pada manusia
terutama mencapai residu terkait 2-6 (2-6 linked residues) yang mendominasi
sel-sel epitel tanpa silia (non-cilliated) dalam saluran pernafasan manusia.
Sifat-sidat dasar reseptor seperti ini menjelaskan sebagian dari sistem
pertahanan suatu spesies, yang membuat penularan influensa unggas ke
manusia tidak mudah terjadi (Suzuki; 2000, Suzuki; 2005). Tetapi akhir-akhir
ini ditemukan ada sejumlah sel epitel berbulu detar (cilliated cells) dalam
trakhea manusia yang juga memiliki konjugat glikoprotein serupa reseptor
unggas dengan densitas yang rendah (Matrosovich ; 2004), dan juga dijumpai
adanya sel-sel ayam yang membawa reseptor sialil yang serupa dengan yang
ada pada manusia dengan konsentrasi yang rendah (Kim ; 2005). Hal ini
mungkin dapat menjelaskan mengapa manusia tidak sepenuhnya kebal
terhadap infeksi virus influensa unggas strain tertentu (Beare and Webster ;

1991). Pada babi dan juga burung balam, kedua jenis reseptor tersebut
dijumpai dalam densitas yang lebih tinggi yang membuat kedua hewan ini
mempunyai potensi untuk menjadi tempat pencampuran bagi strain virus
unggas dan manusia (Kida ; 1994, Ito ; 1998, Scholtissek ; 1998, Peiris ;
2001, Perez ; 2003, Wan and Perez ; 2005).

Gambar 3. Bagan sifat-sifat dasar reseptor virus influensa A


(berdasarkan data Gambaryan 2005)
Setelah berhasil melekat pada reseptor yang sesuai, virion masuk dan
menyatu ke dalam sebuah ruang endosom melalui mekanisme yang
tergantung dan tidak tergantung kepada clathrin (Rust 2004). Dalam ruang ini
virus tersbut mengalami degradasi dengan cara menyatukan membran virus
dengan membran endosom: dimediasi oleh pemindahan proton melalui
terowongan protein dari matrix-2 (M2) virus, pada nilai pH di endosom
sekitar 5,0. Selanjutnya akan terjadi serangkaian penataan ulang protein
matrix-1 (M1) dan kompleks glikoprotein homotrimerik HA. Sebagai
hasilnya, terbuka (exposed) sebuah bidang (domain) yang sangat lipofilik dan

fusogenik dari setiap monomer HA yang masuk ke dalam membran


endolisomal, dan dengan demikian memulai terjadinya fusi antara membran
virus dengan membran lisomal (Haque 2005, Wagner 2005).
Berikutnya, kedelapan segmen RNA genomik dari virus, yang
terbungkus dalam lapisan pelindung dari protein (ribonucleoprotein complex,
RNP) nukleokapsid (N), dilepaskan ke dalam sitoplasma. Di sini mereka
disalurkan ke nukleus untuk melakukan transkripsi mRNA virus dan replikasi
RNA genomik melalui proses yang rumit yang secara cermat (Jw: njlimet)
diatur oleh faktor virus dan faktor sel (Whitaker 1996). Polimerase yang
dependen terhadap RNA (RdRp) dibentuk oleh sebuah kompleks (gabungan)
dari PB1, PB2 dan protein PA virus, dan memerlukan RNA (RNP) yang
terbungkus (encapsidated RNA (RNPs)) untuk tugas ini. Setelah terjadi
translasi protein virus dan perangkaian nukleokapsid yang membawa RNA
genomik yang sudah ter-replikasi, virion-virion progeni tumbuh dari
membran sel yang di dalamnya sudah dimasukkan glikoprotein virus
sebelumnya. Penataan antara nukleokapsid berbentuk lonjong dan protein
pembungkus virus dimediasi oleh protein matrix-1 virus (M1) yang
membentuk struktur serupa cangkang tepat di bawah pembungkus virus.
Reproduksi virus di dalam sel yang mudah menerimanya berlangsung cepat
(kurang dari sepuluh jam) dan dengan proses yang efisien, asalkan konstelasi
gen yang optimal tersedia di sana (Rott 1979, Neumann 2004). Akibat
aktivitas RdRp virus yang mudah mengalami kekeliruan, terjadi mutasi
dengan kecepatan tinggi, yaitu > 5 x 10-5 perubahan nukleotida per
nukleotida dan juga terjadi percepatan siklus replikasi.
Dengan demikian terjadi hampir satu pertukaran nukleotida per genom
per replikasi di antara virus-virus influensa (Drake 1993). Kalau ada tekanan
selektif (misalnya antibodi yeng mentralkan, ikatan reseptor yang tidak
optimal, atau obat antiviral) yang bekerja selama proses replikasi virus dalam
penjamu atau dalam populasi, dapat terjadi ada mutan-mutan dengan
keunggulan selektif (mis. lepas dari proses netralisasi, membentuk unit
pengikat reseptor baru) dan kemudian menjadi varian yang dominan dalam
quasi-spesies virus di dalam tubuh penjamu atau dalam populasi. Jika

determinan antigenik dari glikoprotein HA dan NA membran dipengaruhi


oleh mekanisme yang dipicu kekebalan, proses (gradual) tersebut disebut
sebagai antigenic drift (Fergusson 2003).
Sebaliknya, antigenic shift menunjukkan adanya perubahan
mendadak dan mendalam dalam determinan antigenik, yaitu pertukaran
subtipe H dan/atau N, di dalam satu siklus tunggal replikasi. Hal ini terjadi
dalam sebuah sel yang secara bersamaan terinfeksi oleh dua atau lebih virus
influensa A dari subtipe yang berbeda
II.4.2 Influenza Reservoir dan Host
Strain influenza dikenal sebagai strain manusia atau burung
didefinisikan oleh virus "host biasa dan target infeksi. Ini diatur terutama oleh
reseptor spesies untuk protein hemagglutinin tertentu. Virus Influenza dengan
protein H1-H3 menginfeksi manusia dan menyebar dengan mudah dari orang ke
orang. Influenza virus dengan H5, H7, dan protein H9 menginfeksi burung.
Spesies lain juga dapat terinfeksi oleh virus influenza, termasuk babi, kuda, paus,
mink, dan musang. Babi khususnya dapat terinfeksi baik oleh strain manusia dan
biasanya burung, membuat mereka sejumlah potensi reassortment genetik antara
strain kucing domestik dan harimau yang makan bangkai unggas yang terinfeksi
selama wabah H5N1 saat ini juga memiliki kontrak parah.
Semua virus influenza menggunakan burung sebagai reservoir. Pada
burung, virus flu burung dapat dicirikan sebagai baik sangat patogen ("jalan
tinggi") atau kurang patogen ("jalan rendah"). Unggas air, seperti bebek, burung
pantai, dan burung camar, membawa virus, biasanya dalam bentuk patogenisitas
rendah,

yang

bereplikasi

dalam

saluran

pencernaan

mereka.

Mereka

mengeluarkan titer tinggi virus ke dalam air dari yang burung lain makan; burungburung ini kemudian dapat menjadi terinfeksi. Infeksi puncak antara burung
terjadi pada akhir musim panas dan awal musim gugur - ketika burung ini
cenderung bermigrasi, meningkatkan penyebaran geografis yang luas. Burungburung liar dapat menularkan virus ke unggas domestik atau komersial. Sebuah
strain virus tunggal dapat berkembang dari patogenisitas rendah untuk menjadi
sangat patogen, yang terjadi selama wabah berikutnya, kadang-kadang dalam
beberapa bulan.

Penyebaran flu burung dari Cina ke Rusia dan Eropa Timur dan Barat
dalam beberapa tahun terakhir dapat ditelusuri ke pola penerbangan migrasi
unggas air mungkin terinfeksi. Di Cina pada tahun 2005, ada wabah strain sangat
patogen antara burung liar di danau pada jalur migrasi pusat, yang menyebabkan
lebih dari 5000 kematian burung. Penelitian selanjutnya pada virus yang diisolasi
dari unggas yang mati menyarankan munculnya strain baru H5N1 yang lebih
mematikan untuk burung liar dan tikus laboratorium (WHO; 2008). Sebaliknya,
juga telah mengakui bahwa bebek domestik dapat menumpahkan jumlah besar
sangat patogen virus flu burung tanpa menunjukkan tanda-tanda penyakit.
Perkembangan ini membuat lebih sulit untuk digunakan penyakit pada unggas
sebagai penanda untuk potensial menyebar ke populasi manusia.
II.5 Karakteristik Influenza Transmisi manusia
Saat ini beredar virus influenza manusia tersebar dari orang ke orang
melalui droplet pernapasan dikeluarkan ketika orang yang terinfeksi batuk dan
bersin. Virus menginfeksi sel-sel yang melapisi hidung dan tenggorokan dan
diusir oleh batuk dan bersin. Tetesan ini secara tradisional dipahami jatuh ke tanah
dalam 3 ft dari orang yang terinfeksi sehingga penyebaran lebih jauh tidak
mungkin. Pasien dengan infeksi influenza di rumah sakit harus ditempatkan pada
tindakan pencegahan pernapasan untuk melindungi pekerja kesehatan dan pasien
lain. Ada beberapa kontroversi mengenai apakah ada mungkin juga beberapa
komponen udara menyebar, dengan partikel yang tetap di udara untuk waktu yang
lama, bepergian jarak yang lebih besar, meskipun data yang paling menunjukkan
sebaliknya (P. Horby et al; 2010).
Gambar 4. Alur Hipotetical Darurat dari Pandemik Virus Influenza

II.5 Gejala Klinis


Masa inkubasi avian influenza sangat pendek, yaitu : 3 hari, dengan
rentang 2-4 hari (IDAI; 2005, dan D. Setiabudi; 2006). Virus influenza dapat
menyerang berbagai oragn pada manusia, yaitu : paru-paru, mata, saluran
pencernaan, dan sistem syaraf pusat. Manifestasi klinis avuan influenza pada
manusia terdiri dari :

Gejala penyakit seperti influenza tipikal, yaitu : demam, batuk, sakit

teggorokan dan nyeri otot, sakit kepala, malaise


Infeksi mata (konjungtivitis)
Pneumonia
Acute Respiratory Distress Syndrom (ARDS)
Gangguan pada saluran cerna, yaitu : diare
Kejang dan koma
Manifestasi klinis saluran nafas bagian bawah biasanya timbul pada awal

penyakit. Dispnu timbul pada haru ke5 setelah awal penyakit. Distress pernapasan
dan takipnu sering dijumpai. Produksi sputum bervariasi dan kadang-kadang
disertai darah. Hampir pada semua pasien menunjukkan gejala klinis pneumonia
(IDAI; 2005 dan JH Beigel et al; 2005)
II.6 Pencegahan
II.6.1 Imunisasi pada Avian influenza
Sampai saat ini belum tersedia vaksin avian influensa untuk manusia, yang
tersedia adalah vaksin influenza untuk unggas. Tetapi sejak April 2005 telah

dimulai penelitian untuk menciptakan vaksin Avian influenza untuk manusia.


Vaksin influenza yang saat ini beredar di Indonesia adalah vaksin untuk human
influenza yang tidak dapat melindungi manusia dari Avian influenza karena tidak
ada imunitas silang. Tetapi vaksin tersebut masih bermanfaat untuk mencegah
mutasi virus Avian influenza menjadi galur yang lebih virulen. Oleh karena itu,
yang paling penting adalah pencegahan dan deteksi dini Avian influenza.

II.6.2 Deteksi Awal


Dari uraian di atas terlihat bahwa spektrum manifestasi klinis Avian
influenza sangat lebar, mulai gejala influenza tipikal sampai dengan ARDS yang
fatal, oleh karena itu deteksi awal Avian influenza sangat sulit. Kemungkinan
Avian influenza harus dicurigai pada semua pasien respiratory akut yang berat
terutama pasien yang telah terpapar dengan unggas pada negara/daerah yang telah
diketahui telh terjadi infeksi Avian influenza baik pada manusia maupun binatang.
Diperlukan suatu panduan yang optimal dan efektif untuk mendeteksi kasus Avian
influenza secara dini.
Gejala PSI (Penyakit Serupa Influenza) yaitu : Demam > 38C, disertai :

Gejala respiratorik : batuk, pilek, nyeri tenggorokan, dengan atau tanpa sesak

nafas.
Gejala sistemik infeksi virus : sefalgia, myalgia dan diare.
Resiko Tinggi (Risti) yaitu riwayat kontak dalam 7 hari dengan :

Unggas yang sakit atau mati karena sakit


Unggas ternak atau kebun binatang yang terkena flu
Pasien confirmed flu burung
Pasien pneumonia

II.7 Jenis Spesimen dan Penanganannya


Pengambilan spesimen dilaksanakan bila ada laporan adanya kasus Flu
Burung. Spesimen yang diambil berasal dari pasien suspek Flu Burung dan kontak
kasus Flu Burung. Spesimen dari kontak diambil setelah suspek Flu Burung

dinyatakan positif H5N1. Kontak yaitu orang yang berhubungan dekat dengan
infeksi tersebut, tinggal serumah, merawat pasien, duduk bersama dengannya,
berbagi makanan dengan pasien yang dicurigai dan lain lain (dalam radius 1
meter) (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan
Dasar).
Jenis spesimen yang diambil dari kasus meliputi spesimen darah dan
spesimen sekret saluran nafas. Selanjutnya kontak dibedakan antara kontak
dengan gejala klinis dan kontak tanpa gejala klinis. Dari kontak dengan gejala
klinis diambil spesimen darah dan sekret saluran nafas sedangkan kontak tanpa
gejala klinis diambil hanya spesimen darahnya saja.
II.7.1 Jenis Spesimen Pasien Infeksi Avian Influenza H5N1
Ada beberapa specimen yang dapat dijadikan sampel untuk pemeriksaan
di laboratorium terhadap pasien yang dicurigai terpapar virus Avian Influenza
H5N1, diantaranya : specimen saluran pernafasan, specimen rektal, dan serum.
Berikut penjelasan lebih mendetail tiap specimen uji (Michael J. Loeffelholz, PhD,
D ; 2011).

1.

Spesimen Saluran Pernafasan


Cairan tenggorokan dan sampel saluran pernapasan bawah adalah

spesimen yang direkomendasikan untuk mendeteksi virus H5N1. Cairan


tenggorokan mungkin berisi titer virus H5N1 yang tinggi dibanding nasal swabs
dan aspirates. Sejak paparan virus H5N1 bisa terjadi ketika subtipe A influenza
manusia (human-adapted influenza A subtypes) juga bersirkulasi, pengumpulan
spesimen nasofaring dan swabs tenggorokan dari pasien yang sama akan
memberikan spesimen yang optimal untuk kedua strain. Swabs dari kapas dan
kalsium alginat harus dihindari karena bahan-bahan ini dapat menghambat isolasi
virus dan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR). Seperti virus
influenza lainnya, deteksi influenza A H5N1 dari spesimen yang dikumpulkan
dalam 3 hari pertama saat serangan sakit. Kebanyakan media transportasi virus
yang tersedia secara komersial digunakan untuk kultur virus juga cocok untuk RTPCR. Untuk isolasi virus dan RT-PCR, spesimen harus disimpan pada suhu lemari

es tidak lebih dari 3 hari atau dibekukan pada suhu 70 C dan dikirim dengan
kondisi dingin (dry Es).
2. Spesimen Rektal
RNA virus H5N1 telah dideteksi pada swabs rektal oleh RT-PCR, tetapi
kemungkinan sensitivitas lebih rendah dibandingkan dengan spesimen pernafasan.
Selain itu, fases atau swabs rektal tidak sesuai untuk mendeteksi strain humanadapted influenza.
3. Serum
Serum dikumpulkan untuk mendeteksi antibodi spesifik -H5N1 dengan
microneutralization atau tes hemaglutinasi inhibisi (HI). Spesimen dipasangkan,
dikumpulkan 2 sampai 4 minggu secara terpisah, diperlukan untuk diagnosis
serologi definitif. Jika laboratorium mikrobiologi klinis pengiriman spesimen
yang diduga mengandung virus H5N1, peraturan yang berlaku untuk kemasan dan
pengiriman bahan berbahaya harus diikuti.
II.7.2 Pengumpulan dan Penanganan Spesimen
Pengumpulan dan penanganan Spesimen langsung dari keabsahan hasil
laboratorium. Sampel yang dikumpulkan atau ditangani tidak tepat dapat
menyebabkan hasil diagnosa yang salah, bahkan ketika prosedur pengujian diikuti
dengan benar. Spesimen untuk diagnosis H5N1 harus dikumpulkan sesuai dengan
pedoman WHO yang tersedia di dokumen Pengumpulan, Penjagaan dan
pengiriman spesimen untuk diagnosis infeksi virus avian influenza A (H5N1):
Panduan untuk pengerjaan atau penanganan dan pedoman WHO untuk
penyimpanan dan transportasi spesimen manusia dan hewan untuk diagnosis
laboratorium yang dicurigai terinfeksiflu burung tipe A. Pengumpulan spesimen
harus dilakukan sebaiknya sebelum inisiasi pengobatan antivirus (WHO; 2007).
Spesimen klinis dari manusia dan dari hewan harus diproses di
laboratorium yang sama. Namun mereka dapat diproses di lembaga yang sama
dengan adanya pemisahan kamar kerja untuk hewan dan spesimen manusia yang
jelas dan tegas. Hal ini untuk menghilangkan risiko kontaminasi silang sampel
manusia dan hewan (WHO; 2007).
Setiap spesimen yang telah diambil disimpan dalam wadah khusus yang
diberi label berisi informasi: nama pasien, tanggal pengambilan, jenis spesimen.

(S=Darah/Serum, NS=Usap Nasal / Nasal Swab, TS=Usap Tenggorokan / Throat


Swab), dan pengambilan yang ke berapa. Label ditulis dengan pensil 2B, ballpoint
atau spidol yang tidak luntur (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas
Pelayanan Kesehatan Dasar).

Gambar 5. Pemberian label dan pengamanan label dengan parafilm (agar kedap air)

II.7.2.1 Teknik Pengambilan Spesimen darah (Bakti Husada : Sosialisasi Flu


Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).
Darah vena diambil pada waktu pertama kali pasien dinyatakan suspek AI.
Darah yang diambil pertama kali ini disebut darah fase akut (diambil dalam waktu
7 hari setelah muncul gejala) dan harus segera dikirim.Darah ke 2 (fase
konvalesen) diambil 10-14 hari kemudian, atau menjelang pasien dipulangkan
(kalau perawatan < 10 hari) atau diambil pada waktu pasien kontrol sesuai dengan
jadwal (10-14 hari setelah pengambilan darah pertama).
Cara pengambilan sampel darah/serum:
1. Diambil 2 5 ml darah vena dalam tabung steril (2 ml dari anak-anak dan 5
ml dari orang dewasa) secara legeartis (memperhatikan kewaspadaan
universal secara ketat). Pengambilan darah menggunakan jarum suntik biasa.
2. Masukkan darah yang diperoleh kedalam tabung darah bertutup karet (tabung
steril vacuum/vacutainer tanpa bahan pencegahan pembekuan darah).
3. Letakkan tabung dalam keadaan miring 30 untuk mendapatkan serum yang
optimal. Diamkan darah dalam waktu 1 jam pada suhu kamar, agar darah
dalam tabung membeku dengan baik.
4. Pemisahan darah bekuan dari serum pada tabung steril dapat dilakukan di
laboratorium yang memiliki sentrifus.
5. Semua tabung dibungkus dengan kertas tissue dan masukkan kertas koran
yang telah diremas ke dalam wadah pengiriman primer.
Tabel 1. Petunjuk Waktu Pengambilan Spesimen Avian Influenza H5N1

Pengambilan darah memakai jarum vacutainer (Bakti Husada : Sosialisasi Flu


Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).
1. Darah ditampung lebih dahulu pada tabung darah bertutup karet sebanyak 2
ml dari anak-anak dan 5 ml dari orang dewasa.
2. Letakkan tabung dalam keadaan miring 30 untuk mendapatkan serum yang
optimal. Diamkan darah dalam waktu 1 jam pada suhu kamar, agar darah
dalam tabung steril membeku dengan baik.
3. Pemisahan darah bekuan dari serum pada tabung dapat dilakukan di
laboratorium yang memiliki sentrifus.
4. Semua tabung dibungkus dengan kertas tissue dan masukkan kertas koran
yang telah diremas ke dalam wadah pengiriman primer.
II.7.2.2 Teknik Pengambilan Spesimen Sekret Saluran Nafas (Bakti Husada :
Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).
Spesimen sekret saluran napas diambil untuk isolasi virus dan
pemeriksaan dengan RT- PCR. Spesimen diambil 3 hari berturut-turut yaitu hari 1,
2 dan 3 setelah pasien dinyatakan suspek Flu Burung. Spesimen pertama langsung
dikirim ke Badan Litbangkes tanpa menunggu spesimen ke 2 dan 3. Spesimen
perlu diambil lagi apabila kondisi pasien memburuk. Spesimen yang perlu diambil
meliputi:
a. usap hidung (nasal swab)
b. usap tenggorok (throat swab)

c. bilasan nasopharynx (pada anak usia 2 tahun atau kurang)


d. Spesimen lainnya (bila memungkinkan), diantaranya: bilasan tracheal, bilasan
broncho-alveolar, cairan pleural, bilasan ETT (endotracheal tube), dan biopsi
paru (bila pasien meninggal).
Untuk pengambilan spesimen digunakan swab yang terbuat dari dacron/rayon
steril dengan tangkai plastik. Jangan menggunakan kapas yang mengandung
Kalsium Alginat atau kapas dengan tangkai kayu, karena mungkin mengandung
substansi yang dapat menghambat pertumbuhan virus dan menghambat
pemeriksaan PCR. Spesimen dari swab yang valid adalah spesimen yang
mengandung sel epitel hidung dan tenggorok. Untuk itu pada saat pengambilan
swab, perlu dilakukan tekanan pada lokasi di mana spesimen diambil.
Pengambilan usap hidung (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas
Pelayanan Kesehatan Dasar).

Masukkan swab ke dalam lubang hidung sejajar dengan rahang atas.


Biarkan beberapa detik agar cairan hidung terhisap. Putarlah swab sekali

atau dua kali.


Lakukan usapan pada kedua lubang hidung berikan sedikit penekanan

pada lokasi di mana swab diambil.


Kemudian masukkan swab sesegera mungkin ke dalam media transport
virus (Hanks BSS + antibiotika). Putuskan tangkai plastik di daerah mulut
tabung agar tabung dapat ditutup dengan rapat.

Gambar 6. Pengambilan Spesimen melalui Nasal


II.7.2.3 Pengambilan usap tenggorok (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung
Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).

Lakukan usapan pada bagian belakang pharynx dan daerah tonsil,


hindarkan menyentuh bagian lidah.

Kemudian masukkan swab sesegera mungkin ke dalam cryotube/tabung


media transport virus (Hanks BSS + antibiotika). Putuskan tangkai plastik
di daerah mulut tabung agar tabung dapat ditutup dengan rapat.

Gambar 7. Pengambilan Spesimen melalui Tenggorokan


II.7.2.4 Pengambilan spesimen lainnya

Spesimen yang diambil dapat berupa bilasan tracheal, bilasan bronchoalveolar, cairan pleural, bilasan ETT (endotracheal tube), dan biopsi paru (bila

pasien meninggal).
Cairan ditampung dalam cryotube dengan tutup luar yang bagian dalamnya

mengandung ring untuk penahan.


Masukkan semua cryotube/tabung berisi spesimen ke dalam plastik kedap air
dan sisipkan kertas tissue sebagai alat penyerap. Masukkan tabung ini
kedalam kotak pengiriman primer (bahan boleh dari pipa paralon atau sejenis
tupper ware).

Gambar 8.
Sampel yang telah dimasukkan ke dalam plastik kedap air dan disisipkan kertas
menyerap cairan/tissue.

II.7.2.5 Penyimpanan spesimen (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi


Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).

Spesimen swab dalam media transport dan darah/serum disimpan pada suhu
4 C sebelum dan selama perjalanan ke laboratorium rujukan Flu Burung
dalam waktu 48 jam.
Bila spesimen tidak mungkin segera dikirim dalam waktu 48 jam, spesimen
disimpan pada freezer pada suhu 70 C. Hindarkan untuk mencairkan dan
membekukan spesimen secara berulang ulang.
Jika tidak tersedia freezer spesimen dapat disimpan pada refrigerator atau
lemari es.
II.7.2.6 Pengepakan dan Pengiriman Spesimen (Bakti Husada : Sosialisasi Flu
Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).
Cara pengepakan dan pengiriman spesimen untuk keperluan diagnostik harus
mengikuti ketentuan WHO dan IATA (International Aviation Transportation
Association).
Bungkus wadah pengiriman primer dengan tissue atau kertas koran yang
diremas,

untuk

mencegah

benturan-benturan

pada

spesimen

waktu

pengiriman. Masukkan dalam wadah pengiriman sekunder.


Wadah pengiriman sekunder dapat menampung lebih dari satu wadah
pengiriman primer, asal persyaratan suhu pengiriman sama. Pengiriman
dilakukan dalam suhu 4oC dengan memasukkan beberapa ice pack yang
sudah dibekukan lebih dahulu kedalam wadah pengiriman sekunder.

Pengepakan Primer (Wadah Pengiriman Primer) (Bakti Husada : Sosialisasi Flu


Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).
a) Wadah spesimen primer harus kedap air, jika tutupnya berulir harus dilapisi
dengan parafilm atau selotape.

Gambar 9. Wadah pengiriman primer


b) Jika memasukkan beberapa wadah primer kedalam wadah sekunder, maka
wadah tersebut harus dibungkus secara terpisah untuk mencegah pecah akibat
berhimpitan.
c) Gunakan material pendukung di sela-sela wadah yang mempunyai daya hisap
untuk menghisap seluruh isi yang terdapat dalam wadah pertama, apabila
terjadi kebocoran atau pecah.
d) Wadah primer tidak boleh berisi lebih dari 500 ml atau 500 gram bahan.
e) Seluruh isi dari wadah primer disebut sebagai spesimen diagnostik.
Pengepakan Sekunder (Wadah Pengiriman Sekunder)
a) Pengepakan sekunder harus mengikuti aturan pengepakan bahan infeksius
WHO dan IATA.
b) Pengepakan sekunder harus kedap air, kemudian diisi dengan ice pack di
sekeliling dan di atas wadah pengiriman primer

Gambar 10. Wadah pengiriman sekunder yang telah diisi dengan wadah
primer dan beberapa ice pack
c) Wadah bagian luar dilabel dengan :
a. Nama dan alamat laboratorium rujukan
b. Nama dan alamat pengirim
c. Tanda peringatan ( ) jangan dibalik
II.8 Diagnosis dan Prosedur Tes Laboratorium

II.8.1 Diagnosis Infeksi Virus Influenza H5N1


Prediksi nilai positif dari setiap tes diagnostik secara langsung berkaitan
dengan prevalensi penyakit, dan penegakan untuk uji patogen seperti virus
influenza H5N1 harus didasarkan pada probabilitas pretest penyakit. Tes spesifik
H5N1 harus dilakukan untuk tujuan diagnostik setelah evaluasi secara cermat
gejala yang muncul, riwayat kesehatan, faktor risiko, dan riwayat kemana saja
tempat pasien pernah kunjungi dalam hal ini menyangkut travel history yang
berkaitan dengan epidemik penyakit (Michael J. Loeffelholz, PhD, D ; 2011).
Pasien yang dicurigai menderita influenza unggas atau flu burung jika
mengeluh adanya penyakit saluran napas, yang sebelumnya pernah mengadakan
kontak langsung ataupun tidak langsung, menangani atau memelihara, atau
terpajan langsung dengan ayam atau burung yang sakit influenza. Selain adanya
gejala klinis yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, pemeriksaan foto thoraks
juga sangat berguna untuk mendeteksi adanya pneumonia fase dini. Diagnosis
dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium spesimen yang berasal dari hapusan
tenggorokan, cairan yang berasal endotrakhea, sputum, dan serum penderita yang
dicurigai secara klinis (I Made Setiawan; 2009).
Identifikasi infeksi virus influenza A manusia dengan pemeriksaan
laboratorium umumnya dilakukan sesuai dengan anjuran WHO, yaitu dengan
mendeteksi antigen virus secara langsung, mengisolasi virus dalam biakan sel,
atau

mendeteksi

RNA

spesifik-influenza

dengan

pemeriksaan

reverse

transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) menggunakan pasangan


primer yang spesifik untuk sekuens HA dan NA virus influenza A/H5N1. Strategi
tes laboratorium tahap pertama dari masing-masing spesimen adalah untuk
mendiagnosis infeksi virus influenza secara cepat, serta menyingkirkan
kemungkinan infeksi yang disebabkan oleh virus lain yang dapat menginfeksi
saluran napas. Idealnya, hasil harus sudah diperoleh dalam 24 jam (I Made
Setiawan; 2009).
II.8.2 Prosedur Tes Laboratorium Infeksi Virus Influenza H5N1
1. Deteksi Antigen Secara Cepat, atau disebut Rapid Influenza Antigen
Test

a. Menggunakan Kit Komersial (Michael J. Loeffelholz, PhD, D ; 2011).


Food and Drug Administration (FDA) telah menyediakan kit (peralatan)
secara komersial yang mendeteksi influenza A dan antigen virus B menggunakan
prosedur sederhana dalam 30 menit atau kurang. Sebagian besar kit ini, baik
dipstick atau aliran lateral dari immunochromatographic dapat dilakukan unit-unit
perawatan. Kebanyakan kit rapid tes antigen influenza tersedia secara komersial
untuk mendeteksi virus influenza A dan B baik dengan hasil tunggal tanpa
mengidentifikasi jenis atau dengan 2 hasil yang membedakan influenza A dan
influenza B menggunakan antibodi spesifik dengan menargetkan nukleoprotein
virus. Tes ini banyak digunakan di lokasi perawatan dan di laboratorium
mikrobiologi klinik karena peralatannya yang sederhanan dan hasilnya cepat.
Bukti terbaru menunjukkan bahwa saat ini tersedia rapid tes antigen sangat
sensitif untuk H5N114 dan tidak boleh digunakan untuk mengendalikan kasus
Avian Influenza H5N1, terutama selama fase pra-pandemi. Secara kumulatif,
sekitar 17% dari rapid tes antigen pada spesimen yang dikonfirmasi positif
tehadap kasus H5N1. Dua studi terbaru mengungkapkan informasi penting
tentang sensitivitas rapid tes antigen untuk deteksi virus H5N1. Studi ini
menunjukkan bahwa batas deteksi berkisar dari sekitar 3-6 log 10 dosis dari kultur
jaringan terinfeksi (TCID) (50%)50, hasilnya hampir sama dengan sensitivitas
virus influenza musiman pada manusia subtipe H1N1 dan H3N2, dan lebih dari
1000 kali lebih rendah dari deteksi dengan isolasi virus.

Gambar 11. A. Kit untuk


Mendeteksi Antigen Secara Cepat
(Rapid Influenza Antigen Test)
B. Mekanisme Deteksi Positif/Negatif Hasil Rapid Influenza Antigen Test

Sensitivitas rapid tes antigen untuk isolate H5N1 yang diperoleh antara
tahun 2003 dan 2005 umumnya bervariasi kurang dari 100 kali lipat; sensitivitas
terendah untuk 1.997 isolat dari Hong Kong. Selain itu, batas deteksi kit
komersial yang berbeda bervariasi sebanyak 100 kali. Karena sensitivitas analitis
yang sangat buruk dari rapid tes antigen influenza, hasil negatif harus
dikonfirmasi oleh metode yang lebih sensitif seperti RT-PCR. Hasil antigen positif
influenza cepat diperoleh selama periode prevalensi penyakit yang rendah atau
dari kasus yang dicurigai H5N1 influenza selama fase pra-pandemi harus
dikonfirmasi dengan tes yang lebih spesifik seperti RT-PCR . Karena hal tersebut,
banyak laboratorium mikrobiologi klinik tidak lagi melakukan rapid tes antigen
influenza, tetapi justru memilih tes yang lebih sensitif dan spesifik seperti RTPCR yang dapat dilakukan kapan saja tanpa dipengaruhi oleh musim.
Akhir-akhir ini, rapid tes ntigen influenza yang khusus mendeteksi virus
H5N1 telah dihilangkan secara prosedural oleh FDA (Avantage A/H5N1 Flu Test,
Arbor Vita, Sunnyvale, CA). Tes ini menggunakan pendekatan

baru

menggabungkan antibodi monoklonal dan protein rekombinan yang mengandung


domain PDZ (keluarga protein sinyal) untuk menyeleksi protein nonstruktural dari
H5N1.
b. Menggunakan Immunofluorescence assay atau Fluoroscent Assay
Pemeriksaan ini sudah digunakan secara luas dan merupakan metode yang
sangat sensitif untuk mendiagnosis infeksi virus influenza A dan B serta lima

infeksi virus pernapasan yang sangat penting secara klinis (I Made Setiawan;
2009).

Metode ini digunakan untuk mendeteksi antigen virus influenza yaitu


dengan pewarnaan spesimen pasien dengan antibodi monoklonal virus yang

spesifik dengan fluorochrome konjugasi, sering disebut sebagai metode


Fluoroscent Assay (FA). Ketika dilakukan langsung pada sel spesimen pernafasan
pada slide mikroskop, metode ini dapat memberikan hasil dalam waktu kurang
dari 1 jam. Kelemahan metode ini yaitu karena dibatasi oleh mikroskop
fluorescent sehingga hanya diperuntukkan untuk laboratorium mikrobiologi klinis
yang memiliki mikroskop tersebut dan tenaga penguji harus terlatih dan kompeten
untuk secara akurat menginterpretasikan pola pewarnaan fluoroscent yang terjadi
(Michael J. Loeffelholz, PhD, D ; 2011).

Gambar 12. Hasil Foto Sel Spesimen Pernafasan pada Slide Mikroskop
Fluoroscent pada Pasien yang Didiagnosis Terinfeksi Virus Influenza A
Food and Drug Administration (FDA) telah mengatur antibodi fluorescent
yang spesifik untuk virus influenza A dan B yang tersedia secara komersial, tetapi
virus influenza subtipe A yang spesifik dengan antibodi fluorescent tidak tersedia.
Influenza A antibodi fluoroscent monoklonal akan mendeteksi virus H5N1 dalam
sel kultur. Stain antibodi fluoroscent secara substansial lebih sensitif dibandingkan
tes antigen cepat dengan kit komesrial untuk deteksi subtipe influenza musiman
dan

subtipe H1NI pada 2009,

namun datanya masih sangat kurang pada

sensitivitas untuk virus H5N1 di spesimen pasien langsung. Studi 1998 yang
melibatkan sejumlah sampel dalam jumlah yang kecil pada

kasus H5N1

dikonfirmasikan menunjukkan bahwa rapid tes terhadap antigen influenza A lebih


sensitive dari pada metode FA. Spesifitas dari metode FA tinggi, tetapi tergantung
pada tenaga penguji yang terlatih dan berpengalaman (Michael J. Loeffelholz, PhD,
D ; 2011).

2. Biakan Virus atau Isolasi Virus.


Hasil diperoleh dalam 2-10 hari. Metode shell vial dan biakan sel standar
digunakan untuk mendeteksi virus pernapasan yang penting secara klinis. Biakan
influenza yang positif mungkin memperlihatkan efek sitopatik, tetapi lebih sering
tidak. Isolasi virus merupakan teknik yang sangat sensitif. Selain mempunyai
keuntungan dapat mengidentifikasi virus, metode ini juga dapat digunakan untuk
menganalisis antigenik dan genetik virus, menguji suseptibilitas virus terhadap
obat, serta virus yang diperoleh dapat digunakan untuk membuat vaksin. Sel yang
paling sering digunakan adalah sel garis keturunan Madin-Daby Canine Kidney
cells (MDCK). Setiap spesimen dengan hasil virus influenza A yang positif dan
dicurigai sebagai infeksi flu burung harus dites lebih lanjut untuk memastikan
adanya infeksi H5 menggunakan referensi laboratorium H5 WHO. Laboratorium
yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan prosedur mengidentifikasi
subtipe virus influenza diharuskan untuk mengirim spesimen atau isolat virus ke
pusat influenza nasional (I Made Setiawan; 2009).

Isolasi virus dalam kultur sel memberikan diagnosis laboratorium yang


sangat spesifik terhadap influenza, tetapi membutuhkan tempat penyimpanan
specimen agar tetap segar dan dingin untuk hasil sensitifitas yang optimal.
Spesimen harus disimpan pada 2-8 C dan diproses dalam waktu 2-3 hari untuk
menghindari hilangnya berlebihan virus titer. Dengan penanganan spesimen yang
tepat, isolasi virus secara signifikan lebih sensitif dibandingkan metode
menggunakan deteksi antigen. Metode isolasi virus secara konvensional dianggap
terlalu lambat untuk dipergunakan dalam diagnosis pasien. Inkubasi selama
beberapa hari umumnya diperlukan untuk mendeteksi virus influenza dalam
kultur tabung konvensional. Virus influenza yang terdeteksi dalam kultur tabung
menandakan adanya efek sitopatik, adsorpsi atau aglutinasi sel darah merah, dan
antibodi fluorescent spesifik untuk virus influenza A dan B (Michael J. Loeffelholz,
PhD, D ; 2011).

Isolasi virus H5N1 dalam kultur sel memerlukan kondisi peningkatan level
biosafety (BSL3). Peningkatan tersebut mencakup penggunaan respirator oleh
personil, dekontaminasi semua limbah laboratorium, dan kebersihan personil
sebelum keluar. Kecuali laboratorium mikrobiologi klinik yang telah memiliki
level fasilitas biosafety tersebut, tidak boleh melakukan inokulasi spesimen yang
dicurigai mengandung virus H5N1 ke setiap tempat kultur sel. Hal yang perlu
diperhatikan adalah tenaga professional yang bekerja di laboratorium menyadari
bahwa virus H5N1 dapat menginfeksi dengan mudah pada kontak yang telah
terpapar (Michael J. Loeffelholz, PhD, D ; 2011).
3. Polymerase chain reaction dan Real-time PCR assay
Teknik Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
awalnya digunakan untuk melakukan analisis terhadap molekul RNA hasil
transkripsi yang terdapat dalam jumlah sangat sedikit di dalam sel. Genom virus
influenza terdiri dari rantai tunggal RNA oleh karena itu complementary DNA
(cDNA) harus disintesis melalui proses RT-PCR. Teknik RT-PCR adalahproses
polimerisasi yang digunakan untuk mensintesis cDNA (WHO; 2002). Sintesis
cDNA dengan metode RT-PCR dilakukan dalam suatu campuran reaksi yang
mengandung primer dengan spesifitas tinggi dan nukleotida bebas (dNTP) pada
temperatur maksimal 42-50C selama minimal 60 menit (Javois; 1999).

Kelebihan metode RT-PCR adalah memiliki sensitivitas yang tinggi dalam


mengamplifikasi template RNA dan sangat spesifik saat menggunakan primer
yang spesifik dalam sintesis cDNA. Meskipun demikian, teknik tersebut juga
memiliki kelemahan yaitu hanya dapat digunakan untuk amplifikasi DNA, tidak
untuk mempelajari fungsional protein (Kendall dan Riley; 2000).
Prosedur untuk amplikasi genom RNA memerlukan pasangan primer
spesifik untuk gen hemagglutinin (HA) virus influenza A H5 dan neuraminidase
(NA) N1. Hasil dapat diperoleh dalam beberapa jam setelah spesimen klinis atau
biakan sel yang terinfeksi sudah tersedia (I Made Setiawan; 2009).

Primer HA yang digunakan


H5-1: GCC ATT CCA CAA CAT ACA CCC
H5-2: CTC CCC TGC TCA TTG CTA TG
Memberikan hasil panjangnya 219 bp.
Primer NA yang digunakan
N1-1: TTG CTT GGT CGG CAA GTG C
N1-2: CCA GTC CAC CCA TTT GGA TCC
Memberikan hasil panjangnya 616 bp
Multiplex RT-PCR telah dikembangkan dan dioptimasi untuk mendeteksi
virus Avian Influenza tipe A. Selain itu metode tersebut dapat membedakan
subtipe hemaglutinin H5, H7, dan H9. (Xie et al.; 2006) melaporkan bahwa 4
pasang primer oligonukleotida spesifik digunakan untuk mendeteksi virus AI tipe
A, subtipe H5, H7, dan H9. Selanjutnya produk Multiplex RT-PCR
divisualisasikan dengan elektroforesis gel agarose. Penelitian yang dilakukan oleh
Xie et al. (2006) tersebut membuktikan bahwa metode Multiplex RT-PCR
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi. Metode Multiplex RTPCR juga pernah digunakan untuk mendeteksi genom RNA dari 2 spesies virus
yang berbeda yaitu AI tipe A dan Respiratory Syncytial Virus. Metode ini terbukti
dapat secara cepat mendiagnosis genom RNA virus tersebut (Valassina et al.;
1997). Diagnosis molekuler rutin dengan mengamplifikasi genom virus Avian
Influenza menggunakan metode RT-PCR memberikan hasil yang lebih cepat dan
akurat.

Gambar 13. Rangkaian Alat dan Prosedur PCR dan RT-PCR


4. Pemeriksaan Serologis
Metode serologi untuk diagnosis infeksi virus influenza dengan cara
mendeteksi antibodi meliputi hemagglutination inhibition test (HI), viral
neutralization test (NT) dan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay), dan
yang lebih spesifik adalah dengan tes mikro netralisasi yang juga sudah
dikembangkan. Karena tes ini memerlukan virus hidup, maka penggunaannya
untuk mendeteksi antibodi spesifik virus influenza burung yang sangat patogenik
dibatasi hanya untuk laboratorium yang mempunyai fasilitas biosafety level (I
Made Setiawan; 2009 dan Vivi Setiawaty, dkk.; 2008).
Tes netralisasi virus adalah tes yang sangat sensitif dan spesifik untuk
mengidentifikasi antibodi spesifik terhadap virus avian influenza A/H5N1 pada
manusia dan hewan. Tes netralisasi dapat mendeteksi antibodi spesifik antiH5N1
pada serum manusia dengan titer rendah yang tidak dapat dideteksi oleh tes
hambatan hemaglutinasi (HI). Namun untuk melakukan tes netralisasi ini terdapat
kendala yaitu harus dilakukan di laboratorium yang memiliki fasilitas BSL-3,
tidak dapat dilakukan di laboratorium biasa. Tes HI dapat dilakukan di
laboratorium BSL-2, relatif tidak rumit dalam pengerjaannya, relatif tidak
membutuhkan waktu lama untuk memperoleh hasil dan mempunyai sensitifitas
yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan uji NT sebagai gold standard. Tes

serologis secara ELISA sampai saat ini belum dianjurkan, karena sensitifitas dan
spesifisitasnya rendah (Vivi Setiawaty; 2008).
Immunofluorescence dan metodologi lain yang mendeteksi antibodi
imunoglobulin M (IgM) dapat mendeteksi infeksi akut, tetapi level serum IgM
biasanya di bawah tingkat terdeteksi karena paparan berulang terhadap vaksin
atau adanya virus yang beredar. Inhibisi hemaglutinasi digunakan untuk
mengidentifikasi subtype dari respon antibodi spesifik, tetapi reaktivitas silang
antara subtipe dapat terjadi. Pengujian serologi penting untuk studi epidemiologi
dan pengembangan vaksin. Kemajuan terbaru dalam metode serologi meliputi uji
mikro-netralisasi
mengekspresikan

yang

menggabungkan

virus

reporter

pseudotype

yang

hemagglutinin H5. Penggunaan reporter virus dapat

mengeleminasi kelemahan metode serologi yang membutuhkan peningkatan


kondisi BSL3 (Michael J. Loeffelholz, PhD, D ; 2011).
II.9 Pengobatan Infeksi Avian Influenza H5N1
II.9.1 Antiviral

Gambar 14. Mekanisme Replikasi Virus dan Target Obat Antivirus


Umumnya obat yang digunakan sebagai obat antivirus influenza adalah
golongan inhibitor protein matriks M2 dan golongan penghambat neuramidase
(NA). Golongan penghambat M2 adalah amantadin dan rimantadin, sedangkan
golongan inhibitor neuraminidase adalah oseltamivir dan zanavir . Jika seorang

pasien dicurigai menderita penyakit flu burung, maka pengobatan harus diberikan
secepat mungkin, tanpa menunggu konfirmasi hasil laboratorium. Pengobatan
terhadap infeksi subtipe virus influenza A H5N1, pada prinsipnya adalah sama
dengan infeksi yang disebabkan oleh virus influenza A yang lain. Sayangnya,
subtipe virus influenza A H5N1 yang beredar saat ini sudah ada yang resisten
terhadap obat amantadin dan rimantadin (F. Hayden dkk; 2005). Sedangkan
zanamivir dan oseltamivir merupakan inhibitor neuraminidase. Sebagaimana kita
ketahui bahwa neuraminidase ini diperlukan oleh virus H5N1 untuk lepas dari sel
hospes pada fase budding sehingga membentuk virion yang infektif. Bila
neuraminidase ini dihambat oleh oseltamivir atau zanamivir, maka replikasi virus
tersebut dapat dihentikan (RA Herman dan Strock M; 2005). Neoroamidase
inhibitor diberikan pada awal infeksi (48 jam pertama) selama 3-5 hari.
Oseltamivir, yang hanya tersedia dalam formulasi oral, merupakan agen antivirus
pilihan utama untuk pengobatan infeksi virus H5N1 (WHO; 2006 dan H
Schunemann ; 2007). Saat ini tidak terdapat data yang tersedia dari pengendalian
uji klinis oseltamivir atau antivirus lainnya untuk pengobatan pasien yang
terinfeksi H5N1. Bukti observasi terbatas menunjukkan bahwa pemberian awal
oseltamivir berhubungan dengan penurunan mortalitas pada pasien (E.
Sedyaningsih et al ; 2007). Walaupun demikian, virus H5N1 juga dilaporkan
sudah ada yang resisten terhadap obat oseltamivir. Saat ini sedang diteliti tentang
efektivitas obat oseltamivir dengan dosis dua kali lipat untuk mencegahterjadinya
resistensi (F. Hayden, dkk. ; 2005). Dosis obat antivirus oseltamivir yang
diberikan kepada penderita H5N1 pada prinsipnya adalah sama dengan penderita
influenza yang lain. Untuk orang dewasa umur lebih 13 tahun diberikan 2x75 mg
sehari selama 5 hari, sedangkan untuk anak yang berumur >1 tahun dengan berat
<15 kg diberikan 2x30 mg sehari; 15-23 kg diberikan 2x45 mg sehari; 23-40 kg
diberikan 2x60 mg sehari; dan anak dengan berat badan >40 kg diberikan 2x75
mg sehari. Pengobatan diberikan selama 5 hari. Untuk penggunaan profilaksis
pada orang dewasa yang berumur lebih 13 tahun yang kontak erat dengan
penderita diberikan 1x75 mg sehari selama lebih 7 hari, dan bila terjadi wabah
diberi 1x75 mg sehari selama 6 minggu (P Ward, dkk; 2005, FG Hayden, dkk ;
2004, dan WHO; 2006) .

Zanamivir mungkin aktif terhadap beberapa strain virus H5N1yang


resisten terhadap oseltamivir. Rekomendasi ini berlaku untuk orang dewasa,
termasuk wanita hamil dan anak-anak. Dosis zanamivir untuk dewasa 2 X 5 mg
inhalasi (10mg total) 2 X/ hari dan anak 2 X 5mg inhalasi (10mg total) 2 X/ hari
(umur 7 tahun atau lebih). Studi praklinis telah menunjukkan bahwa kombinasi
dari

oseltamivir

dan

adamantan

(amantadine

atau

rimantadine)

telah

meningkatkan aktivitas antivirus, dan mengurangi munculnya resistensi (N.


Ilyushina et al; 2006).

Gambar 15. Mekanisme Aksi Neurominidase Inhibitor


II.9.2 Antibiotik
Kebanyakan pasien yang dirawat di rumah sakit dengan infeksi virus A
H5N1 memiliki bukti radiologis pneumonia. Sebagai pemeriksaan diagnostik
untuk menetapkan etiologi community acquired pneumonia (CAP) mungkin
memerlukan waktu, penting untuk memulai pengobatan empiris dengan antibiotik
sesuai dengan pedoman pengobatan CAP terbaru yang dipublikasikan nasional,
internasional atau ahli. Untuk pasien yang harus mendapatkan perawatan di

intensive care unit (ICU), pengobatan biasanya diberikan kombinasi dari -laktam
(sefotaksim, seftriakson, atau ampisilin-sulbaktam) ditambah baik azitromisin
atau fluorokuinolon. Penggunaan monoterapi fluorokuinolon pada pasien tidak
dianjurkan.

Pengobatan

harus

disesuaikan

dengan

mempertimbangkan

kemungkinan patogen dan pola kerentanan lokal. Pemeriksaan diagnostik untuk


CAP umumnya akan meliputi kultur darah dan sputum untuk strain Gram dan
kultur. Tes diagnostik tambahan mungkin diperlukan berdasarkan etiologi lokal
dan sejarah paparan.
Penggunaan antibiotik profilaksis tidak dibenarkan untuk pasien yang
terinfeksi virus A (H5N1), karena dari manfaat tidak terbukti dan dapat memilih
untuk resisten bakteri dan menyebabkan efek samping (L. Mandell et al ; 2007).
II.9.3 Immunomodulators
Kortikosteroid sistemik sering digunakan untuk pengobatan acute lung
injury (ALI)/Acute respiratory distress syndrome (ARDS) karena penyakit infeksi
H5N1, mungkin untuk efek anti inflamasi dan anti-fibrosis (K. Yuen et al; 1998,
T. Chotpitayasunondh et al; 2005, dan TT Hien et al ; 2004). Kortikosteroid telah
digunakan dalam pengobatan penyakit virus pernapasan lainnya. Sekuele dan
komplikasi seperti syok mungkin memerlukan penggunaan kortikosteroid dari
infeksi virus H5N1 (WHO; 2006).
Tidak terdapat manfaat yang jelas dalam mengobati virus A (H5N1) terkait
pneumonia atau ARDS dengan kortikosteroid dosis tinggi sementara terdapat
potensi bahaya yang signifikan, khususnya dalam hal imunosupresi yang
mengarah ke peningkatan replikasi virus A (H5N1) atau infeksi sekunder, dan
efek samping musculoskeletal. Disarankan bahwa steroid dosis tinggi seharusnya
tidak diberikan untuk pengobatan penyakit A (H5N1). Steroid dosis rendah harus
dipertimbangkan dalam pengobatan syok septik refrakter sesuai dengan pedoman
praktek terbaik saat ini, tapi manfaat untuk syok septik pada anak tidak diketahui
(R. Dellinger et al; 2004). Untuk syok septik refraktori yang komplikasi dengan
ARDS dapat diberikan kortikosteroid dosis rendah misalnya hidrokortison intra
vena 200mg per hari dalam dosis terbagi (50 mg setiap 6 jam) pada orang dewasa
(WHO ; 2007).

Agen antipiretik atau penghilang rasa sakit sering digunakan untuk


mengurangi demam, mialgia dan artralgia pada pasien yang terinfeksi virus A
(H5N1). Aspirin (Asam salisilat) atau produk yang mengandung salisilat tidak
boleh diberikan kepada pasien yang diduga influenza atau A (H5N1) berusia di
bawah 18 tahun karena risiko Syndrome Reye.
II.9.4 Vaksin
Salah satu upaya persiapan pandemi Influenza A yang direkomendasikan
oleh WHO pada tahun 2005 ialah pengembangan vaksin yang efektif, khususnya
yang memiliki spektrum proteksi luas. Vaksinasi merupakan strategi intervensi
yang bersifat cost-effective karena respon imun terhadap vaksin influenza A
bersifat protektif sehingga mampu mencegah terjadinya infeksi yang berpotensi
menyerap pendanaan dalam jumlah besar untuk biaya diagnosis, perawatan dan
pengobatan. Dalam rangka persiapan pandemi influenza A, perlu dikembangkan
platform vaksin yang mampu memenuhi persyaratan sebagai vaksin pandemic
khususnya yang sesuai dengan kondisi demografi dan geografi Indonesia, yaitu
berdaya proteksi kuat, cepat disesuaikan dengan galur virus influenza A baru
penyebab pandemik, dapat dengan cepat diproduksi dalam skala besar, serta
bersifat stabil untuk mempermudah distribusi.
Pada tahun 2011, riset pengembangan vaksin pandemik dimulai dengan
pembentukan konsorsium vaksin influenza A nasional yang dikelola oleh tim UI
beranggotakan beberapa institusi di bawah Kementerian Pendidikan Nasional
(perguruan tinggi), Kementerian Kesehatan, Kementerian Riset dan Teknologi
serta perusahaan vaksin nasional PT Bio Farma. Riset yang diusulkan sesuai
dengan roadmapvaksin influenza nasional yang telah disusun merupakan
kelanjutan riset insentif riset strategis. Vaksin yang dikembangkan berbasis pada
rekayasa genetika terutama adalah vaksin DNA, VLP (viral like protein) dan
protein rekombinan sub unit. Pengembangan vaksin dilakukan berdasarkan isolat
virus asal Indonesia baik untuk vaksin influenza H1N1 dan H5N1. Secara garis
besar, rancangan kegiatan riset yang akan dilakukan meliputi kegiatan :
1. Deteksi, isolasi, dan karakterisasi sampai ketingkat molekuler virus influenza
pandemic
2. Identifikasi, isolasi dan persiapan antigen vaksin virus influenza pandemic

3. Menyiapkan metode delivery vaksin yang efektif dan efisien


4. Pengembangan akhir prototip laboratorium untuk industri.
Beberapa prototipe vaksin DNA dan protein rekombinan sub unit serta
VLP untuk virus H5N1 dan H1N1 telah diperoleh berdasarkan riset periode 20112013. Riset uji proteksi, informasi tentang pengaruh formulasi adjuvant terhadap
respon imun dan daya proteksi vaksin DNA, vaksin subunit serta VLP, masih
dalam proses pelaksanaan. Uji imunogenitas vaksin telah dilakukan pada hewan
coba mencit BALB/c. Ada 3 macam pekerjaan imunisasi yang dilakukan, yaitu
penentuan dosis efektif vaksin DNA, uji komposisi vaksin DNA dan uji
imunogeitas virus whole killed. Hasil riset awal pengujian respon imun
menunjukkan bahwa dosis DNA yang optimal untuk menghasilkan respons
antibodi tubuh adalah 50ug/injeksi. Hasil vaksinasi dengan beberapa komposisi
vaksin DNA menunjukkan adanya reaktivitas serum tetapi penentuan komposisi
yang paling optimal belum dapat dilakukan berdasarkan data yang ada, masih
dalam proses riset. Uji imunogenitas virus whole killed mengindikasikan bahwa
semua antigen virus H5N1 dilemahkan yang digunakan dalam riset ini dapat
menginduksi kekebalan tubuh (F. Ibrahim ; 2013). Dibawah ini terdapat beberapa
kandidat vaksin untuk penyakit flu burung.
Tabel 2. Status dari Perkembangan Vaksin Virus Influenza H5
Sumber WHO ; 2015

II.9.5 Terapi Supportif


Infeksi virus influenza (H5N1) sering menyebabkan kegagalan pernafasan
dengan progresif cepat, dan penting untuk memberikan perawatan suportif untuk
pasien yang terinfeksi virus A (H5N1) dengan ALI/ARDS. Banyak pasien juga
mengalami gagal multi-organ dengan proporsi yang tinggi dari pasien yang
membutuhkan support organ. Perawatan suportif meliputi oksigenasi yang efektif
dan tepat waktu dan dukungan ventilasi dan meminimalkan risiko barotrauma,
nutrisi enteral yang memadai, pencegahan dan pengobatan yang cepat dari infeksi

nosokomial, pencegahan trombosis vena dan perdarahan gastrointestinal, dan


perawatan yang baik.
II.9.6 Terapi Oksigen
Oksigen sangat penting untuk keberhasilan pengelolaan sedang sampai
parah penyakit A (H5N1). Hal ini penting untuk mengenali dan mengobati
hipoksemia awal untuk menghindari konsekuensi dan meningkatkan hasil klinis.
Bila mungkin, oximeter nadi harus digunakan untuk evaluasi awal saat pasien
datang dan diikuti oleh pemantauan berkelanjutan dari saturasi oksigen setelah di
sana. Dalam pengaturan di mana pemantauan saturasi oksigen tidak tersedia,
terapi oksigen harus diberikan ke pasien yang terinfeksi A (H5N1) yang memiliki
tanda-tanda klinis gangguan pernapasan termasuk peningkatan laju pernapasan
(dikoreksi untuk usia) atau tingkat kesadaran yang berubah (misalnya mengantuk
atau agitasi). Perhatian khusus diperlukan untuk tanda-tanda awal hipoksia pada
pasien anak. Dimana pemantauan saturasi oksigen tersedia, SaO2 harus
dipertahankan lebih dari 90% (WHO; 1993)
II.9.7 Support ventilasi
Invasive positive pressure ventilation (IPPV). IPPV adalah cara yang
disukai dari bantuan ventilasi untuk pasien dengan komplikasi Infeksi virus
(H5N1) oleh ARDS. Indikasi IPPV pada penyakit A (H5N1) sama dengan
penyebab lain dari pneumonia. Pasien kritis dengan infeksi virus A (H5N1) yang
membutuhkan IPPV harus dirujuk ke fasilitas dan tingkat perawatan yang sepadan
dengan penyakit (WHO; 1993).
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakti Husada. Referensi: Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas


Pelayanan Kesehatan Dasar.
2. Cauthen AN, Swayne DE, Schultz-Cherry S, Perdue ML, Suarez DL.
Continued circulation in China of highly pathogenic avian influenza
viruses encoding the hemagglutinin gene associated with the 199
H5N1 outbreak in poultry and humans. J Virol 2000
3. Chen J, Lee KH, Steinhauer DA, Stevens DJ, Skehel JJ, Wiley DC.
Structure of the hemagglutinin precursor cleavage site, a determinant

of influenza pathogenicity and the origin of the labile conformation.


Cell 1998.
4. Chotpitayasunondh T et al. 2005. Human Disease from Influenza A
(H5N1), Thailand, 2004. Emerging Infectious Diseases.
5. Dellinger R et al. 2004. Surviving Sepsis Campaign Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Critical Care
Medicine.
6. Departemen Kesehatan. Pedoman Penatalaksanaan Flu Burung di
Saran Pelayanan Kesehatan. Jakarta. 2006.
7. Hayden F, Klimov A, Tashiro M, Hay A, Monto A, McKimmBreschkin J, et al. 2005. Neuraminidase Inhibitor Susceptibility
Network Position Statement: Antiviral Resistance in Influenza
A/H5N1 Viruses. Antiviral Therapy.
8. Hayden FG , Belshe R, Villanueva C, Lanno R, Hughes C, Small I, et
al. 2004. Management of Influenza in Household: Aprospective,
Randomised Comparison of Oseltamivir Treatment With or With-out
Postexposure Prophylaxis. J Infect Dis. 2004.
9. Herman RA, and Strock M. 2005. Possibel Pandemic Threat on the
Horizon-Avian influenza A (H5N1). World Drug Infor.
10. Hien TT et al. 2004. Avian Influenza A (H5N1) in 10 Patients in
Vietnam. New England Journal of Medicine.
11. Horby P, Sudoyo H, Viprakasit V, et al. What is the evidence of a role
for host genetics in susceptibility to influenza A/H5N1? Epidemiol
Infect. 2010.
12. Ibrahim F. 2013. Pengembangan Vaksin Influenza Berbasis Rekayasa
Genetik. DRPM Gazette. Vol. 07 No. 01 Januari 14.
13. IDAI. Gambaran Umum. Deteksi dan Penanganan Awal Flu Burung
(Avian Influenza, Bird Flu). IDAI. 2005.
14. Ilyushina N et al. 2006. Combination Chemotherapy, a Potential
Strategy for Reducing the Emergence of Drug-Resistant Influenza A
Variants. Antiviral Research.
15. Javois LC. 1999. Immunocytochemical Methods and Protocols. second
edition. New Jersey. Humana Press.
16. Kendall LV, Riley LK. 2000. Reverse Trancriptase Polymerase Chain
Reaction
(RT-PCR). The American Association for Laboratory Animal Science.
Vol. 39 No. 1.
17. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Laporan Kasus Flu
Burung ke 197. Diunduh dari : http://www.depkes.go.id/article/view/
201406260001/laporan-kasus-flu-burung-ke-197.html
18. Loeffelholz, Michael J., PhD, D(ABMM). 2011. Avian Influenza
(H5N1) Update: Role of the Clinical Microbiology Laboratory.
Department of Pathology University of Texas Medical Branch.
Galveston.
19. Mandell L et al. 2007. Infectious Diseases Society of
America/American Thoracic Society Consensus Guidelines on the
Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Clinical
Infectious Diseases.

20. Schnemann H, et al. 2007. WHO Rapid Advice Guidelines for


Pharmacological Management of Sporadic Human Infection with
Avian Influenza A (H5N1) Virus. Lancet Infectious Diseases.
21. Sedyaningsih E et al. 2007. Clinical Features of Avian Influenza
A(H5N1) Infection in Indonesia, July 2005 April 2007. Abstract
Book : Options for the Control of Influenza VI 2007, Abstract
P1532:329.
22. Setiawan, I Made. 2009. Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus
Influenza A H5N1. Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti
Saroso.
23. Setiawaty, Vivi., Tjahjani Mirawati Soediro, Fera Ibrahim, Krisna Nur
AP, Shigeyuki Itamur, dan Endang R. Sedyaningsih. 2008. Deteksi
Antibodi Anti H5N1 dengan Uji Hambatan Hemagglutinasi dan
Netralisasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan. Jakarta.
24. Valassina M, Anna M C, Maria G C, Piero EV. 1997. Rapid Detection
of Different RNA Respiratory Virus Species by Multiplex RTPCR :
Application to Clinical Specimens. J Clin Diagn Virol
25. Ward P, Small I, Smith J, Suter P, and Dutkowski R. 2005. Oseltamivir
(Tamiflu) and its Potential for Use in the Event of an Influenza
Pandemic. J Antimicrobial Chemother.
26. World Health Organization. 2007. Recommendations and Laboratory
Procedures for Detection of Avian Influenza A(H5N1) Virus in
Specimens from Suspected Human Cases.
27. World Health Organization. 2006. WHO Rapid Advice Guidelines on
Pharmacological Management of Humans Infected with Avian
Influenza A (H5N1) Virus. http://www.who.int/csr/disease/avian
influenza/guidelines/pharmamanagement/en/index.html
28. World Health Organization: Advice on use of oseltamivir. 17 March
2006.
29. World Health Organization. 2015. Antigenic and Genetic
Characteristics of Zoonotic Influenza Viruses and Development of
Candidate
Vaccine
Viruses
for
Pandemic
Preparedness.
http://www.who.int/entity/
influenza/vaccines/virus/201502_zoonotic_vaccinevirusupdate.pdf?
ua=1.
30. World Health Organization. 1993. Oxygen Therapy for Acute
Respiratory Infections in Young Children in Developing Countries.
Review of the Use of Oxygen Therapy. http://www.who.int/childadolescenthealth
/New_Publications/CHILD_HEALTH/WHO_ARI_93.28.htm#1.
31. World Health Organization (WHO). 2002. WHO Manual on Animal
Influenza Diagnosis and Surveillance. WHO Global Influenza
Programe. WHO/CDS/CSR/NCS/2002.5 Rev. 1.
32. World Health Organization. 2007. Clinical Management of Human
Infection with Avian Influenza A (H5N1) Virus.
33. Writing Committee of the Second World Health Organization (WHO)
Consultation on Clinical Aspects of Human Infection with Avian

Influenza A (H5N1) Virus. Update on avian influenza A (H5N1) virus


infection in humans. N Engl J Med. 2008.
34. Xie Z, Pang YS, Liu J, Deng X, Tang X, Sun J, Khan MI. 2006. A
Multiplex RT-PCR for Detection of Type A Influenza Virus and
Differentiation of Avian H5, H7, and H9 Hemaglutinin Subtypes. Mol
Cell Probes 20.
35. Xu X, Subbarao, Cox NJ, Guo Y. Genetic characterization of the
pathogenic influenza A/Goose/Guangdong/1/96 (H5N1) virus:
similarity of its hemagglutinin gene to those of H5N1 viruses from the
1997 outbreaks in Hong Kong. Virology 1999.
36. Yuen K et al. 1998. Clinical Features and Rapid Viral Diagnosis of
Human Disease Associated with Avian Influenza A H5N1 Virus.
Lancet.

You might also like