Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung
dan sinus paranasalis. Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan
dalam praktek dokter sehari-sehari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab
gangguan kesehatan tersering seluruh dunia. Penyebab utamanya adalah selesma
(common cold) yang merupakan infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang
selanjutnya dapat di ikuti infeksi bakteri.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena
ialah sinus maksila dan etmoid, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus
sphenoid lebih jarang lagi. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena
menyebabkan komplikasi ke orbita dan intra kranial, serta menyebabkan
peningkatan serangan asma yang sulit di obati.
Rinosinusitis diklasifikasikan dalam 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut,
rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronik. Insiden rinosinusitis di Amerika
Serikat diperkirakan sebesar 14,1 % dari populasi orang dewasa. Kasus
rinosinusitis kronis itu sendiri sudah masuk data rumah sakit berjumlah 18 sampai
22 juta pasien setiap tahunnya dan kira-kira sejumlah 200.000 orang dewasa
Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap tahunnya
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama
dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung
dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM JanuariAgustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut
adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30%
mempunyai indikasi operasi BSEF (Bedah sinus endoskopik fungsional). Sinusitis
pada anak lebih banyak ditemukan karena anak-anak mengalami infeksi saluran
nafas atas 6 8 kali per tahun dan diperkirakan 5% 10% infeksi saluran nafas
atas akan menimbulkan sinusitis.1
BAB 2
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PENDERITA
1. Nama : M. yusuf
2. Umur : 13 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Suku : Aceh
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan : Pelajar
7. Alamat : Kr. seupeng
8. Tanggal Pemeriksaan : 4 November 2013
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Hidung tersumbat dikedua bagian hidung
Keluhan Tambahan : bersinbersin, nyeri bagian wajah menjalar ke
kepala, ingus turun ke tenggorok.
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poli THT dengan keluhan
hidung tersumbat dikedua hidung sejak 5 bulan yang lalu. Selain itu
pasien juga sering mengeluh bersin-bersin dipagi hari dan juga mengeluh
nyeri di bagian pipi kiri dan kanan dan berlanjut ke bagian kepala,
keluhan dirasakan hilang timbul dan semakin memberat rasa nyeri sangat
terasa memberat bila kepala ditundukkan. Pasien juga mengaku ada
gangguan pada hidung seperti sulit bernafas terutama saat tidur dan
mengeluarkan cairan kental jernih yang hilang timbul, keluhan sering
timbul di pagi hari atau dipicu oleh debu. Pasien juga pernah merasa
seperti tertelan ingus. Demam (-) batuk (-), nyeri menelan (-), gangguan
pada telinga (-).
3. Riwayat penyakit dahulu : Alergi
4. Riwayat penyakit keluarga : disangkal
C. STATUS GENERALIS :
1. Keadaan Umum : Baik
2. Keadaan Penyakit : Sedang
3. Kesadaran : Compos Mentis
4. Tekanan Darah : 110/70 MmHg
D. STATUS LOKALIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
3
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sinus Paranasal
2.1.1 Embriologi sinus paranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2
bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus.
Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak
lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak
lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun
perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus
frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang
lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 10 tahun dan
berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.2
a. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum,
prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior dan sebagian
kecil os maksilaris. Dinding medial sinus maksila merupakan dinding lateral
hidung dimana terdapat ostium sinus yang menghubungkan sinus maksila
dengan infundibulum ethmoid. Ostium ini terletak pada bagian superior dari
dinding medial, biasanya pada pertengahan posterior dari infundibulum, sekitar
9 mm ke arah posterior duktus nasolakrimalis. Ujung posterior dari ostium
berlanjut ke lamina papyracea dari tulang etmoid.
b. Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita terdiri dari tulang yang
tipis yang dilewati oleh kanalis infra orbitalis.
c. Dinding posteriorinferior atau dasarnya biasanya paling tebal dan dibentuk
oleh bagian alveolar os maksila atas dan bagian luar palatum durum. Dinding
posterior memisahkan sinus dari fossa infratemporal dan fossa pterigomaksila1.
d. Dinding anterior terbentuk dari fasia fasialis maksila yang berhadapan dengan
fossa kanina dan memisahkan sinus dari kulit pipi.4
Dasar dari sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Pada anak
letaknya sekitar 4 mm diatas dasar cavum nasi , dan pada dewasa letaknya 4- 5
mm dibawah dasar cavum nasi.
Proses supuratif yang terjadi disekitar gigi ini dapat menjalar ke mukosa
sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat
menimbulkan hubungan dengan ronggga sinus yang akan mengakibatkan
sinusitis.5
2.1.3 Sinus Frontal
meatus medial (etmoid anterior) dan meatus superior (etmoid posterior). Saat
setelah lahir, biasanya tiga atau empat sel baru tampak.
Secara embriologis, sinus etmoid ini terbentuk dari lima etmoturbinal.
Kelima bagian tersebut yakni unsinatus, bula etmoid basal lamella (ground
lamella), konka superior dan konka suprema .
Sel-sel sinus etmoid ini akan tumbuh secara cepat sehingga pada usia
dewasa mencapai ukuran 20 x 22 x 10 mm pada kelompok sel anterior dan 20 x
20 x 10 mm pada kelompok sel posterior. Sel-sel etmoid ini biasanya mengandung
1015 sel persisi dengan total volume 1415 ml.
Perdarahan pada sinus etmoid meliputi cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoidalis anterior dan posterior, cabang arteri optalmikus dari arteri karotis
interna. Sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan etmoidalis yang
mengalir kedalam sinus kavernosus.
Inervasi persarafan dari sinus etmoid ini berasal dari cabang posterolateral
hidung dari nervus maksilaris (V2) dan cabang nervus etmoidalis dari nervus
optalmikus (V1).
Anatomi dari sinus etmoid ini cukup kompleks, bervariasi dan merupakan
subjek penelitian yang baik. Sinus etmoid memiliki dinding yang tipis dengan
jumlah dan ukuran yang bervariasi. Pada bagian lateral berbatasan dengan dinding
medial orbita (lamina papyracea) dan bagian medial dari kavum nasi.
Sinus ini terletak di inferior dari fossa kranial anterior dekat dengan
midline. Beberapa sel melebar mengelilingi frontal sfenoid dan tulang maksila.
Kelompok sel anterior kecil-kecil dan banyak, drainasenya melalui meatus media,
sedangkan sel-sel posterior drainasenya melalui meatus superior.6
2.1.5 Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid mulai berkembang saat bulan ketiga setelah kelahiran yang
merupakan invaginasi dari mukosa bagian superior posterior dari kavum nasi,
yang juga dikenal sebagai sphenoethmoidal recess.
Pneumatisasi sfenoid ini terjadi selama pertengahan usia kanak-kanak dan
mengalami pertumbuhan yang cepat saat berusia 7 tahun. Sinus ini mengalami
pertumbuhan maksimal dan terhenti setelah berusia 12 sampai 15 tahun.
Sinus sfenoid kiri dan kanan yang asimetris tersebut dibagi oleh septum
intersinus. Ukuran sinus ini sekitar 2,5 x 2,5 x 1,5 mm pada tahun pertama dan 14
x 14 x 12 mm saat berusia 15 tahun. Kapasitas sinus berkisar 7,5 ml.
Perdarahan sinus sfenoid meliputi cabang arteri sfenopalatina dan arteri
etmoidalis posterior, sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan
pleksus pterigoid. Inervasi persarafan dari sinus sfenoid ini berasal dari cabang
nervus etmoidalis posterior dari nervus optalmikus (V1), dan cabang nasal dan
sfenopalatina dari nervus maksilaris.
Sinus sfenoid ini pada bagian dinding lateralnya berbatasan dengan arteri
karotis interna, nervus optikus dan vena kavernosa serta sinus interkavernosus.
Pada daerah ini juga terdapat bagian ketiga, keempat opthalmikus dan maksilaris
dari nervus kranialis kelima dan ke-enam.
Dibagian superior terletak lobus frontalis dan bagian olfaktori. Dibagian
posterior terdapat fosa pituitari. Nervus dan pembuluh darah sfenopalatina terletak
10
didepan dari sinus sfenoid ini, sedangkan nervus vidianus terletak dibagian
inferiornya.5
resonansi
suara,
penciuman,
membersihkan,
menghangatkan,
11
sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan
rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000
volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organorgan yang dilindungi.
3.
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna.
4.
mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif,
lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan
tingkat rendah.
5.
12
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6.
ini
dilapisi
oleh
epitel
torak
berlapis
semu
yang
berkesinambunagn dengan mukosa di rongga hidung. Epitel sinus ini lebih tipis
dari epitel hidung. Ada 4 tipe sel dasar,yaitu epitel torak bersilia, epitel torak tidak
bersilia, sel basal dan sel goblet. Sel-sel bersilia memiliki 50-200 silia per sel.
Data penelitian menunjukan sel ini berdetak 700-800 kali per menit, dan
pergerakan mukosa pada suatu tingkat 9 mm per menit.
Sel tidak bersilia ditandai oleh mikrovili yang menutupi daerah apikal sel
dan berfungsi untuk meningkatkan area permukaan. Ini penting untuk
meningkatkan konsentrasi dari ostium sinus. Fungsi sel basal belum diketahui.
Beberapa teori menjelaskan bahwa sel basal dapat bertindak sebagai suatu sel
stem. Sel goblet memproduksi glikoprotein yang berfungsi untuk viskositas dan
elastisitas mukosa. Sel goblet dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis
dimana rangsangan saraf parasimpatis menghasilkan mukus yang kental dan
rangsangan saraf simpatis bekerja sebaliknya. Lapisan epitel disokong oleh suatu
dasar membran yang tipis, lamina propia, dan periosteum.3
13
BAB 3
RINOSINUSITIS
3.1 Definisi Rinosinusitis
Rinosinusitis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang
dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita, dan sesuai dengan 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor.
Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulen, post nasal drip,
gangguan penghidu, Sedangkan Gejala Minor: nyeri kepala, nyeri geraham, nyeri
telinga, batuk, demam, halitosis.
Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus
paranasal disebut pansinusitis.
Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis
etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang.7
3.2 Etiologi Rinosinusitis
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener, dan penyakit fibrosis kistik.8
14
15
kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan
media yang baik untuk tumbuh kuman patogen.
Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi
dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive
amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide
dan lain-lain.9
16
17
Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal
nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat
kembali normal setelah infeksi hilang.12
2. Gejala Objektif
a. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.
b. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif,
sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan
kecurigaan adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya
merupakan tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid
anterior, karena sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius13.
3.5 Pemeriksaan Rinosinusitis
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah
sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi
posterior.14
18
2. Transluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai
untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan
radiologik tidak tersedia.
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan
Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika
ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa.
Permukaan mukosa yang membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas
yang paralel dengan dinding sinus.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus
alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi
atau daerah periodontal.
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya
batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak .14
19
20
4. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan
karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan
faktor lokal penyebab sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi,
meatus media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau
tumor.15
3.6 Diagnosis Rinosinusitis
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of
Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah
rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau
lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau lebih.
Berdasarkan kriteria Task Force on Rinosinusitis, gejala mayor skor diberi
skor 2 dan gejala minor skor 1, sehingga didapatkan skor gejala klinik sebagai
berikut; Gejala Mayor: Nyeri sinus = skor 2, Hidung buntu = skor 2, Ingus
purulen = skor 2, Post nasal drip = skor 2, Gangguan penghidu = skor 2,
Sedangkan Gejala Minor: Nyeri kepala = skor 1, Nyeri geraham = skor 1, Nyeri
telinga = skor 1, Batuk = skor 1, Demam = skor 1, Halitosis = skor 1 dan skor
total gejala klinik = 16 Pengukuran skor total gejala klinik dikelompokkan
menjadi dua, yaitu; sedang-berat (skor 8), dan ringan (skor <8) dengan Skor total
gejala klinik: skala nominal.1
3.7 Penatalaksanaan
21
22
23
24
25
BAB 4
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4. Stammberger, H., Lund, V.J., 2008. Anatomy of the nose and paranasal sinuses.
In: Browning G.G., et al. Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck
Surgery. 7th ed. Great Britain: Hodder Arnold, 1318-1320.
5.
Broek, P.V.D, Feenstra L., 2010. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal.
Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Edisi 12.
Jakarta: EGC, 99-100.
6.
Soepardi EA., Iskndar N., Baharuddin., Restuti 2010 Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
27
7.
Benninger, M.S., 2008. Rhinosinusitis. In: Browning G.G., et al. ScottBrown's Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed. Great Britain:
Hodder Arnold, 1439-1445.
8.
28
29