You are on page 1of 12

Mekanisme Kerja Obat

A. Analgetika
Menurut Tjay dan Rahardja (2007), Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah
suatu zat kimia yang dapat mengurangi atau bahkan menghalau rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran hal tersebut yang menjadi pembeda antara anastetika
umum dengan analgetika.
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri adalah
suatu sensasi yang tidak mengenakan yang biasanya erat kaitannya dengan derajat
kerusakan.
Terdapat dua jenis rasa nyeri, yaitu rasa nyeri yang cepat dan lambat. Rasa nyeri
yang cepat dirasakan 0,1 detik setelah stimulus nyeri dikenakan sedangkan rasa
nyeri yang lambat dirasakan 1 detik setelah stimulus nyeri dikenakan dan akan
semakin meningkat setelah beberapa detik atau menit. Nyeri cepat sering disebut
dengan nyeri tajam, nyeri akut, dan nyeri listrik. Sedangkan nyeri lambat sering
disebut dengan nyeri kronis, dan nyeri berdenyut (Guyton dan Hall, 2006).
Rasa nyeri ini merupakan gejala sebagai isyarat adanya gangguan pada jaringan
seperti peradangan, infeksi jasad renik, dan kejang otot. Nyeri tersebut disebabkan
oleh rangsangan mekanis, kimia, dan fisis. (Sherwood, 2007). Rangsangan
tersebut dapat memicu pelepasan zat tertentu disebut mediator nyeri diantanya
yaitu histamine, bradikin, leukotriene, dan prostaglandin. Seluruh rangsangan
tersebut merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-ujung saraf bebas di
kulit, mukosa serta jaringan.
1. Penggolongan Obat
Berdasarkan dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi menjadi dua
kelompok besar diantaranya yaitu:
a. Analgetika perifer (non-narkotika)/OAINS
Analgetika perifer merupakan obat-obatan yang tidak bersifat narkotik dan
tidak bekerja sentral. Obat-obat analgetika perifer diantaranya adalah
analgetika antipiretik, dan analgetika antiinflamasi (Suleman, 2006).
Untuk memudahkannya dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
1) Obat yang berefek analgesik dan antiinflamasi lemah, misalnya:
parasetamol.

2) Obat yang berefek analgesik dan antiinflamasi ringan sampai sedang,


misalnya derivate asam propionate yaitu ibuprofen.
3) Obat yang berefek analgesik dan antiinflamsi kuat, misalnya derivate
asam salisilat (aspirin), derivat pirazolon (fenilbutazon, dipiron),
derivat asam asetat (diklofenak), dan derivat oksikan (piroksikam).
Menurut Tjay dan Rahardja (2007), secara kimia analgetika perifer dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1) Parasetamol
2) Salisilat, misalnya adalah asetosal, salisilamida, dan benorilat.
3) Penghambat prostaglandin (NSAIDs), misalnya ibuprofen.
4) Derivate antranilat: mefenaminat, glafenin
5) Derivate pirazolinon: propifenazon, isopropilaminofenazon, dan
metamizol
6) Lainnya: benzidamin (tantum)
Penggunaan obat ini dapat menghilangkan atau menurunkan rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran atau bahkan menyebabkan ketagihan. Zat
ini kebanyakan berkhasiat sebagai antipiretik dan antiradang. Obat ini
digunakan pada nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang seperti nyeri
kepala, nyeri gigi, nyeri otot, atau nyeri sendi, nyeri perut, nyeri haid,
nyeri akibat benturan atau trauma.
1) Daya antipiretik
Hal ini berkaitan dengan rangsangan pada pusat pengatur kalor di
hypothalamus. Mengakibatkan vasodilatasi perifer dikulit dengan
meningkatnya pengeluaran kalor dan disertai banyaknya keringat.
2) Daya antiradang
Hal ini berkaitan dengan analgetika sebagai antiradang zat-zat
penghambat prostaglandin.
Efek samping penggunaan obat analgetika perifer (non narkotik)/OAINS
adalah gangguan lambung dan usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan
ginjal, dan juga reaksi alergi kulit. efek samping diatas dapat timbul akibat
penggunaan analgetika dalam dosis tinggi dan kontinyu, oleh karena itu
penggunaan analgetika secara kontinyu tidak dianjurkan (Tjay dan
Rahardja, 2007).
b. Analgetika narkotik (Opioid)

Analgetika narkotika disebut juga dengan opioida (mirip opiate).


Analgetika narkotik digunakan untuk mengahalau rasa nyeri yang hebat
misalnya: fraktura dan kanker. Sering disebut dengan opioida (mirip
opiate). Obat ini merupakan zat yang bekerja terhadap reseptor opioid
khas di sistem saraf pusat, sehingga persepsi nyeri dan respons emosional
terhadap nyeri berubah atau dikurangi. Analgesika narkotika ini dapat
bertindak pada empat macam reseptor dalam tubuh untuk menimbulkan
efek analgesia yaitu reseptor mu, kappa, delta dan sigma. tubuh
mensintesa zat-zat opioidnya sendiri yaitu zat-zat endorphin yang bekerja
melalui reseptor opioid (Tjay dan Rahardja, 2007).
Penggolongan analgetika narkotika (opioid) terbagi menjadi 3 kelompok,
yakni:
1) Agonis Opiat, dibagi kedalam:
a) Alkaloida candu: morfin, kodein, heroin, dan nikomorfin.
b) zat-zat sintetis: metadon, dan derivatnya (dekstromoramida,
proksifen,

bezitramida),

petidin,

dan

derivatnya

(fentanyl,

sulfetanil), dan tramadol.


Cara kerja obat-obat diatas hampir sama dengan morfin namun
berlainan potensi lama kerja, efek samping, dan risiko ketergantungan
fisik.
2) Antagonis Opiat, diantaranya adalah nalokson, nalorfin, pentazosin,
dan buprenorfin (temgesik). bila digunakan sebagai analgesik maka
dapat menjadi reseptor.
3) Campuran, diantaranya adalah nalorfin, nalbufin. Zat-zat ini dengan
kerja

campuran

mengikat

pada

reseptor

menimbulkan depresi pernafasan.


Penggunaan analgetika narkotik didasarkan

dan

opioid,

tidak

pada

prinsip

untuk

menghilangkan rasa nyeri dilihat dari penyebabnya dan obat tersebut


apakah layak sesuai dengan tangga analgetika. tangga analgetika (tiga
tingkat) berdasarkan WHO menyusun untuk analgetika dengan nyeri hebat
yakni:
1) Non-opiade: NSAIDs, diantaranya asetosal, parasetamol, dan kodein.

2) Opioda lemah: d-propoksifen, tramadol, dan kodein atau juga bisa


kombinasi parasetamol dengan kodein.
3) Opioda kuat: morfin dan derivatnya (heroin) serta opiioda sintesis.
Tujuannya adalah untuk menghindari risiko kebiasaan dan adiksi untuk
opioida bila diberikan sembarangan.
Efek samping yang diakibatkan adalah dapat berupa:
1) Supresi SSP
Misalnya sedasi, menekan pernafasan, dan batuk, miosis, hypothermia,
dan perubahan suasana jiwa (mood). bahkan pada dosis yang lebih
tinggi dapat menyebabkan penurunan aktivitas mental dan motoris.
2) saluran napas, bronchokonstriksi, pernafasan menjadi lebih dangkan
dan frekuensinya menurun.
3) Sistem sirkulasi, vasodilatasi perifer, pada dosis tinggi hipotensi dan
bradicardia.
4) Saluran cerna: sekresi pankreas, usus dan empedu berkurang
5) Saluran urogenital: retensi urin, motilitas uterus berkurang.
6) Histamin liberator: urticarial dan gatal-gatal, karena menstimulasi
oelepasan histamine.
7) Kebiasaan, dengan risiko adiksi pada penggunaan jangka waktu yang
lama.
(Tjay dan Rahardja, 2007).
2. Mekanisme Kerja Obat
a. Analgetika perifer (non narkotik) / OAINS
Mekanisme kerja obat analgetika perifer (non narkotik)/OAINS dan
berkaitan dengan tiga efek yaitu:
1) Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi
2) Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri
3) Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat
Ketiga efek tersebut berkaitan dengan tindakan awal obat yaitu
penghambatan arakidonat siklooksigenase yang sekaligus menghambat
sintesis prostaglandin dan tromboksan (Rang et al., 2003).
Terdapat dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX1 merupakan enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan
termasuklah platlet darah (Rang et al., 2003). Enzim ini memainkan
peranan penting dalam menjaga homeostasis jaringan tubuh khususnya
ginjal, saluran cerna dan trombosit.

Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang


bersifat sitoprotektif. COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori.
Stimulus inflamatoar tersebut seperti sitokin inflamatori primer yaitu
interleukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis factor- (TNF- ), endotoksin
dan faktor pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat
penting dalam aktivasi enzim tersebut.
COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular
dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disentesis
trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi
dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang disintesis oleh
COX-2

di

endotel

makrovaskular

melawan

efek

tersebut

dan

menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek


anti-proliferatif (Gunawan et al., 2008).
1) Efek antipiretik
Suhu tubuh yang normal diregulasi oleh pusat suhu di hipotalamus
dengan cara mengatur keseimbangan antara penggunaan dan
penghasilan panas. Demam berlaku apabila terdapat suatu gangguan
pada termostat hipotalamus ini yang kemudiannya dapat menyebabkan
suhu set-point tubuh meningkat. Di sinilah peran OAINS dalam
mengembalikan suhu tubuh seperti semula dengan terjadinya dilatasi
pembuluh darah superfisial, berkeringat dan lain-lain) maka set-point
tubuh kembali normal (Rang et al, 2003).
2) Efek analgesik
OAINS terutamanya sangat efektif dalam meredakan rasa nyeri yang
berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan karena ia
menurunkan

produksi

prostaglandin

yang

mensensitisasikan

nosiseptor kepada mediator-mediator inflamasi seperti bradikinin.


Oleh itu, zat-zat ini efektif dalam menanggulangi nyeri gigi, dan
dismenorea (semua kondisi yang berhubungan dengan peningkatan
sintesis prostaglandin).
3) Efek antiinflamasi

Terdapat berbagai mediator kimiawi yang menyebabkan reaksi


inflamasi dan alergi. Setiap respon seperti vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskuler, dan akumulasi sel.
OAINS menurunkan hampir semua komponen respon inflamasi dan
reaksi imun di mana COX-2 memainkan peranannya seperti :
a) Vasodilatasi
b) Edema (oleh mekanisme tidak langsung: vasodilatasi membantu
tindakan mediator inflamasi seperti histamin yang meningkatkan
permeabilitas venul postkapiler)
c) Nyeri
Kesimpulannya, golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase
sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat
menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang
berbeda (Gunawan et al., 2008).
b. Analgetika narkotik (Opioid)
Endofin bekerja dengan menduduki

reseptor-reseptor

nyeri

di

SSP(Susunan Saraf Pusat), hingga perasaan nyeri dapat diblokir. tetapi


bila analgetika tersebut digunakan terus-menerus pembentukan reseptor
baru distimulasi dan diproduksi endorphin di ujung saraf otak dirintangi.
akibatnya menyebabkan terjadinya kebiasaan dan ketagihan (Tjay dan
Rahardja, 2007).
3. Indikasi dan Kontraindikasi
Berdasarkan penggolongan obat analgesik diatas maka kita dapat mengetahui
beberapa indikasi dan kontraindikasi.
Indikasi obat analgesik perifer (non narkotik) / OAINS secara umum adalah:
a. Paracetamol
Paracetamol memiliki khasiat berupa analgetis untuk nyeri ringan hingga
sedang dan antipiretis, namun tidak antiradang. Indikasi menggunakan
paracetamol adalah untuk mengurangi nyeri pada kondisi sakit kepala,
nyeri otot, sakit gigi, nyeri pasca operasi minor, dan nyeri trauma ringan.
Selain itu, berguna untuk menurunkan demam yang disebabkan karena
penyakit dan dapat digunkan pada kondisi kelainan kardiopulmonal

kronis, kelainan metabolik, penyakit neurologis, dan pada anak yang


berisiko kejang demam (Tjay dan Rahardja, 2007).
b. OAINS
1) Ibuprofen
: reumatik arthtritis, mengurangi rasa nyeri, kekakuan
2)

sendi, dan pembengkakan.


Diclofenac
: Obat ini diindikasi untuk pasien dengan berbagai
bentuk radang dan degeneratif dari reumatik seperti: artritis
reumatoid, spondilitis

ankilosis, osteoartritis,

serangan gout (kadar

asam urat yang tinggi) akut, sindrom nyeri pada tulang belakang.
Selain itu Diclofenac dapat digunakan untuk indikasi nyeri akibat
trauma, nyeri pasca operasi, aman diberikan pada penderita infeksi
telinga, hidung, dan tenggorokan (Tjay dan Rahardja, 2007).
Kontraindikasi obat analgesik perifer (non narkotik) / OAINS secara umum
adalah:
a. Parasetamol
Paracetamol tidak dapat diberikan untuk penderita hipertensi atau yang
menderita alergi paracetamol dan pada penderita gangguan fungsi hati
berat.
b. OAINS
1) Ibuprofen
2) Diclofenac

: tidak dapat diberikan pada ibu hamil dan menyusui.


: penderita hipersensitif terhadap diclofenac, penderita

asma, urtikaria, alergi aspirin, dan penderita tukak lambung.


(Tjay dan Rahardja, 2007).
Indikasi obat analgesik narkotik/opioid secara umum adalah:
1) Penangan jenis nyeri yang sedang hingga berat dan kronis yang bersifat
ganas atau tidak ganas melalui infus epidural dan intratekal
2) Mengurangi nyeri pascaoperasi dengan dosis terbatas
3) Penanganan pada kasus kronis yang disebabkan karena penyakit kronis
atau stadium akhir sangat diperhatikan dari waktu pemberiannya yaitu
diberikan pada selang waktu yang singkat
(Goodman dan Gilman, 2007).
Kontraindikasi obat analgesik narkotik/opioid secara umum adalah:
1) Pemberian opioid yang tidak tepat pada nyeri satdium akhir dan nyeri
kanker
2) Penderita penyakit respiratori kronis
3) Penyakit radang usus parah
4) Tidak dapat diberikan bersamaan dengan penggunaan alkohol

(Goodman dan Gilman, 2007).


4. Dosis Terapeutik
Menurut Tjay dan Rahardja (2007), dosis terapeutik obat analgesik perifer
(non narkotik) / OAINS berdasarkan golongannya:
a. Aminofenazon
1) Isopropilaminofenazon merupakan derivate aminopirin dengan dosis
oral, rektal atau intra vena 3 dd 400 mg selamat 1 mingg kemudian
600 mg/hari.
2) Propifenazon derivate fenazon tanpa daya antiradang dengan dosis 1-3
dd 150-300 mg umumnya terkombinasi dengan analgetika lain.
3) Metamizol derivate sulfonat dari aminofenazon yang larut dalam air.
obat ini sering dikombinasikan dengan aminofenazon. obat ini secara
tidak terduga dapat menyebabkan kelainan darah. karena itu obat ini
sudah tidak beredar dibanyak negara seperti AS, Swedia, Inggris, dan
Belanda. Dosisnya oral 0,5-4 g sehari dalam 3-4 dosis.
b. Asam salisilat
1) Diflunisal adalah derivate difluorfenil. Dengan dosis untuk nyeri, juga
rema permulaan 0,5-1 g, disusul dengan 2 dd 0,25-0,5 g maks 1,5
g/hari.
2) Benorilat adalah estersetosal dengan parasetamol. Dosisnya adalah
maks 4 dd 0,5-1 g.
3) Salisilamida adalah derivate salisilat. Dosis 3-4 dd 0,5-1 g.
4) Natriumsalisilat lebih lemah khasiatnya disbanding dengan asetosal.
Dosis 4-6 dd 1-1,5 g, maks 12 g/hari.
5) Metilsalisilat adalah cairan dengan bau khas dari daun dan akar
tumbuhan akar wangi. Metilsalisilat digunakan pada kulit dalam obat
gosok dank rem 3-10% untuk nyeri sendi dan nyeri otot.
c. Fenilbutazon
Mirip dengan fenazon, khasiat antiradangnya lebih kuat dibandingkan
dengan daya analgetisnya. Dosisnya pada serangan rema atau encok oral
dan rektal 2-3 dd 200 mg.
d. Glafenin
Suatu derivate 4 aminokinolin yang terikat pada asam antranilat.
Dosisnya, permulaan 400 mg lalu 3-4 dd 200 mg maks 1 g sehari.
e. Parasetamol

Derivat asetanilida dengan khasian analgetis dan antipiretik tetapi bukan


antiradang. Dosis: untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maks 4
g/hari, pada penggunaan kronis maks 2,5 g/hari. Anak-anak 4-6 dd 10
mg/kg, yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 thn 120-180 mh, 4-6 thn
180 mg, 7-12 thn 240-360 m, 4-6 kali sehari. Untuk rektal 20 mg/kg setiap
kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-2
thn 2-3 dd 240 mg 4-6 thn 4 dd 240 mg, dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 mg.
f. Tramadol
Analgetikum opiate ini tidak menekan pernapasan dan praktis tidak
mempenharuhi system kardiovaskular dan motilitas lambung-usus. Dosis:
anak-anak 1-14 tahun : 3-4 dd 1-2 mg/kg. Diatas 14 tahun 3-4 dd 50-100
mg, maks 400 mg sehari.
Menurut Tjay dan Rahardja (2007), dosis terapeutik obat analgesik
narkotik/opioid berdasarkan golongannya:
a. Morfin
Candu atau opium adalah getah yang dikeringkan dan diperoleh dari
tumbuhan. Dosis dewasa oral 3-6 dd 10-20 mg garam HCl, s.c/i.m 3-6 dd
5-20 mg. Sedangkan anak-anak oral 2dd -,1-0,2 mg/kg.
b. Kodein
Dosis pada nyeri oral 3-6 dd 15-60 mg garam HCl, anak-anak diatas 1
tahun 3-6 dd 0,5 mg/kg. pada batuk 4-6 dd 10-20 mg/kg.
c. Fentanil
Dosis pada waktu his dan persalinan epidural 10 mcg bersama bupivakain
bila perlu diulang dua kali.
d. Metadon
Dosis pada nyeri oral 4-6 dd 2,5-10 mg garam HCl maks 150 mg/hari.
Terapi pemeliharaan pecandu : permulaan 20-30 mg, setelah 3-4 jam 20 m
lalu 1 dd 50-100 mg selama 6 bulan.
e. Tramadol
Dosis diatas 14 tahun 3-4 dd 50-100 mg maks 400 mg sehari. Anak-anak
diatas 1 tahun 3-4 dd 102 mg/kg.
f. Nalokson
Dosis pada overdose opioda intravena permula 0,4 mg bila perlu diulang
setiap 2-3 menit.
g. Pentazosin
Dosis pada nyeri sedang-kuat 3-4 dd 50-100 mg maks 600 mg sehari.

B. Skenario Case Study-1


Doni (24 tahun) seorang pemuda lulusan sarjana datang karena rasa nyeri yang
tajam pada gigi belakang bawah kiri yang berlubang. Pada saat pemeriksaan,
dokter gigi menemukan kavitas yang cukup besar pada gigi 36 dengan warna
kemerahan pada bagian gusi disekitarnya. Doni menceritakan bahwa keluhannya
ini berulang kali terjadi dan mereda saat minum obat puyer yang diperoleh di toko
tetangganya. Dua hari yang lalu rasa sakitnya kambuh dan obat yang biasanya
diminum tidak meredakan nyeri tersebut. Setelah kavitas dibersihkan, dokter gigi
kemudian meresepkan obat Antalgin untuk Doni.
Diskusikan kasus tersebut dengan pendekan pada jenis terapi yang diberikan,
sehingga dapat membahas mengenai:
1.
2.
3.
4.

Mekanisme kerja obat


Berbagai golongan obat
Indikasi dan kontraindikasi
Dosis terapeutik

C. Pembahasan Kasus
Berdasarkan skenario pada kasus tersebut dapat dianalisa untuk mendapatkan
pemilihan analgesik yang tepat.
1. Pemeriksaan intraoral
Terdapat kavitas yang cukup besar pada gigi 36 / karies pada gigi 36 diikuti
dengan warna kemerahan pada bagian gusi disekitarnya.
2. Diagnosis nyeri

Nyeri tersebut tergolong pada nyeri akut. Diakibatkan oleh stimulus noksius
yang berasal dari kerusakan jaringan sebagai suatu proses penyakit yaitu
karies pada gigi 36 yang menimbulkan nyeri. Nyeri akut ini bersifat nosiseptik
dimana sistem syaraf berfungsi secara normal sebagaimana mestinya, dan
nyeri akut ini biasanya berlangsung selama 3-5 hari dan kemudian mereda.
3. Prediksi intensitas nyeri
Intensitas nyeri yang dialami oleh pasien dimungkinkan adalah nyeri ringan
hingga sedang. Hal ini dikarenakan pada karies tersebut terjadi reaksi
inflamasi yang ringan.
4. Medikasi penggolongan obat
Berdasarkan analisa pemeriksaan intraoral, diagnosis nyeri, dan prediksi
intensitas nyeri medikasi dapat diberikan berupa obat analgesik. obat
analgesik yang digunakan adalah analgetika perifer (non narkotika/OAINS).
Dikarenakan analgetika perifer yang tidak bekerja sentral dan berkaitan untuk
mengurangi terjadinya inflamasi. Serta hal ini berkaitan pula dengan diagnosis
nyeri yang bersifat nosiseptik yaitu terjadi pada sistem saraf perifer sedangkan
sistem syaraf pusatnya normal.
Penggunaan analgetika perifer/OAINS ini dimaksudkan untuk meredakan
nyeri dan mengatasi inflamasi. Golongan analgetika perifer/OAINS tersebut
adalah derivate pirazolinon (metampiron) dengan nama dagang yang dikenal
oleh masyarakat adalah danalgin.
Komposisi danalgin adalah metampiron 500 mg dan diazepam 2 m (Tjay dan
Rahardja, 2007).
5. Mekanisme kerja obat danalgin
Farmakologi: metampiron yang merupakan kandungan obat danalgin ini
bekerja sebagai analgesic antiinflamasi dengan menghambat pembentukan
prostaglandin melalui penghambatan enzim cyclooxygenase dan diazepam
yang bersifat tranquilizer. Tranquilizer adalah termasuk golongan obat
penenang. Dimana dibagi menjadi dua yaitu tranquilizer minor dan
tranquilizer mayor. Tranquilizer minor adalah obat-obatan penenang golongan
benzodiazepine yang salah satu contohnya adalah diazepam.
6. Indikasi dan kontraindikasi obat danalgin
a. Indikasi danalgin

Nyeri otot dan kolik yang sedang hingga berat terutama pasca operasi
dimana membutuhkan kombinasi dengan tranquilizer.
b. Kontraindikasi danalgin
1) Bayi yang berumur dibawah 6 bulan
2) Ibu hamil dan menyusui
3) Depresi pernafasan
4) Penderita dengan tekanan sistolik <100 mmHg
5) Gangguan pulmoner akut
6) Glaukoma
7) Psikosis akut
7. Dosis terapeutik danalgin
Sediaan obat danalgin adalah kaplet yaitu kapsul tablet.
Penggunaanya:
Dewasa: 1 kaplet tiap 6-8 jam perhari. Maksimal 6 kaplet dalam satu hari.
D. Referensi
Hardman, J., Limbird, L., Gilman, A., 2007, Dasar Farmakologi Terapi Vol.1,
EGC, Jakarta
Gunawan, S.G., Nafrialdi, R.S., Elysabeth., 2007, Farmakologi dan Terapi,
Departemen Farmakologi dan Teurapeutik FK-UI, Jakarta.
Guyton, A.C., Hall, J.E., 2006, Medical Physiology 11th ed, Elsevier Inc, China.
Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K., 2003, Pharmacology 5th
ed, Churchill Livingstone, UK.
Sherwood, L., 2007, Human Physiology 6 th ed, Thomson Books/ Cole, China.
Tjay, T. N., Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya, Edisi 6, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

You might also like