You are on page 1of 11

LAPORAN PENDAHULUAN

KISTOMA OVARI
Di Ruang Gynekology RSDK DR.KARIADI SEMARANG

DISUSUN OLEH :
Shofa wulansari
NIM. 1.1.20511

POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG


PRODI KEPERAWATAN SEMARANG

2007
KISTOMA OVARI
A. PENGERTIAN
Kistoma ovari merupakan suatu tumor, baik yang kecil maupun yang besar,
kistik atau padat, jinak atau ganas (Winkjosastro. et.all. 1999).
Dalam kehamilan tumor ovarium yang dijumpai yang paling sering adalah
kista dermonal, kista coklat atau kista lutein, tumor ovarium yang cukup besar
dapat disebabkan kelainan letak janin dalam rahim atau dapat menghalang-halangi
masuknya kepala kedalam panggul.
B. ETIOLOGI
Menurut etiologi, kista ovarium dibagi menjadi 2, yaitu : (Ignativicus, bayne, 1991)
1. Kista non neoplasma
Disebabkan karena ketidak seimbangan hormon esterogen dan progresterone
diantaranya adalah :
a. Kista non fungsional
Kista serosa inklusi, berasal dari permukaan epitelium yang berkurang di
dalam korteks
b. Kista fungsional
-

Kista folikel, disebabkan karena folikel yang matang menjadi


ruptur atau folikel yang tidak matang direabsorbsi cairan folikuler
di antara siklus menstruasi. Banyak terjadi pada wanita yang
menarche kurang dari 12 tahun.

Kista korpus luteum, terjadi karena bertambahnya sekresi


progesterone setelah ovulasi.

Kista tuba lutein, disebabkan karena meningkatnya kadar HCG


terdapat pada mola hidatidosa.

Kista stein laventhal, disebabkan karena peningkatan kadar LH


yang menyebabkan hiperstimuli ovarium.

2. Kista neoplasma (Winjosastro. et.all 1999)


a. Kistoma ovarii simpleks
Adalah suatu jenis kista deroma serosum yang kehilangan epitel
kelenjarnya karena tekanan cairan dalam kista
b. Kistodenoma ovarii musinoum
Asal kista ini belum pasti, mungkin berasal dari suatu teratoma yang
pertumbuhanya I elemen mengalahkan elemen yang lain
c. Kistodenoma ovarii serosum
Berasal dari epitel permukaan ovarium (Germinal ovarium)
d. Kista Endrometreid
Belum diketahui penyebab dan tidak ada hubungannya dengan
endometroid
e. Kista dermoid
Tumor berasal dari sel telur melalui proses patogenesis.
f. Kista endrometroid
Belum diketahui penyebab dan tidak ada hubungannya dengan
endometroid
g. Kista dermoid
Tumor berasal dari sel telur melalui proses patogenesis
C. PATHOFISIOLOGI
1. Kista non neoplasma (Ignativicius bayne, 1991)
a. Kista non fungsional
Kista inkulasi dalam konteks yang dalam timbul ivaginasi dan permukaan
epitelium yang berkurang. Biasanya tunggal atau multiple, berbentuk
variabel dan terbatas pada cuboidal yang tipis, endometri atau epitelium
tuba berkurang 1 cm sampai beberapa cm.
b. Kista fungsional
i. Kista folikel, kista di bentuk ketika folikel yang matang menjadi
ruptur atau folikel yang tidak matang direabsorbsi cairan folikuler di
antara siklus menstruasi. Bila ruptur menyebabkan nyeri akut pada

pelvis, evaluasi lebih lanjut dengan USG atau laparaskopi. Operasi


dilakukan pada wanita sebelum pubertas, setelah menopause atau kista
lebih dari 8 cm.
ii. Kista

korpus

luteum,

terjadi

karena

bertambahnya

sekresi

progresterone setelah ovulasi. Ditandai dengan keterlambatan


menstruasi atau menstruasi yang panjang, nyeri abdomen bawah
pelvis. Jika ruptur perdarahan intraperitorial, terapinya adalah operasi
ooverektomi.
iii. Kista tuba lutein, ditemui pada kehamilan mola, terjadi pada 50 % dari
semua kehamilan dibentuk sebagai hasil lamanya stimulasi ovarium,
berlebihnya HCG. Tindakanya adalah mengangkat mola.
iv. Kista stein laventhal, disebabkan karena peningkatan kadar LH yang
menyebabkan hiperstimuli ovarium dengan produk kista yang banyak.
Hiperplasi endometrim atau kariokarsinoma dapat terjadi pengobatan
dengan

kontrasepsi

oral

untuk

menekan

produksi

1.11dan

oovorektomi.
2. Kista Neoplasma Jinak (Winkjosastro.et.all. 1999).
a. Kistoma ovarii simpleks. Kista ini bertangkai dan dapat menyebabkan
torsi (putaran tingkai). Diduga kista ini adalah jenis kista denoma serosum
yang kehilangan kelenjarnya karena tekanan cairan dalam kista.
Tindakannya adalah pengangkatan kista dengan reseksi ovarium.
b. Kistoderoma ovarii musinosum. Asal kista ini belum pasti, namun diduga
berasal dari suatu teratoma yang pertumbuhanya 1 elemen mengalahkan
elemen yang lain atau berasal dari epitel germinativum.
c. Kristoderoma ovarii serosum. Berasal dari epitel permukaan ovarium
(Germinal ovarium). Bila kista terdapat implantasi pada peritoneum
disertai asites maka harus dianggap sebagai neoplasma yang ganas dan 30
% sampai 50 % akan mengalami keganasan.
d. Kista endrometroid. Kista biasanya unilateral dengan permukaan licin,
pada dinding dalam terdapat satu lapisan sel-sel yang menyerupai lapisan
epitel endometrium,

e. Kista dermoid. Pada suatu teratoma kistik yang jinak dimana strukturstruktur ektoderma dengan deferensiasi sempurna seperti epitel kulit,
rambut, gigi dan produk glandula sebastea putih menyerupai lemak
nampak lebih menonjol dari pada elemen-elemen aktoderm. Tumor
berasal dari sel telur melalui proses patogenesis.
D. GAMBARAN KLINIS
Mayoritas penderita tumor ovarium tidak menunjukan adanya gejala sampai
periode wamtu tertentu. Hal ini disebabkan perjalanan penyakit ini berlangsung
secara tersembunyi sehingga diagnosa sering ditemukan pada saat pasien dalam
keadaan stadium lanjut sampai pada waktu klien mengeluh adanya ketidakteraturan
menstruasi, nyeri pada perut bawah, rasa sebah pada perut dan timbul benjol pada
perut.
Pada umumnya kista denoma ovarii serosim tak mempunyai ukuran yang
amat besar dibandingkan dengan kista denoma musinosu,. Permukaan tumor
biasanya licin, akan tetapi dapat pula berbagala karena ovarium pun dapat
berbentuk multivokuler. Meskipun lazimnya berongga satu, warna kista putih
keabu-abuan. Ciri khas kista ini adalah potensi pertumbuhan papiler kedalam
rongga kista sebesar 0 % dan keluar pada permukaan kista sebesar 5 % isi kista cair
kuning dan kadang-kadang coklat karena campuran darah. Tidak jarang kistanya
sendiripun kecil tetapi permukaannya penuh dengan pertumbuhan papiler (solid
papiloma).
E. PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Tanpa memandang bentuk, proses penyembuhan luka adalah sama dengan
yang lainnya. Perbedaan terjadi menurut waktu pada tiap-tiap fase penyembuhan
dan waktu granulasi jaringan (long. 1996).
Fase-fase penyembuhan luka antara lain :
1. Fase I
Pada fase ini Leukosit mencerna bakteri dan jaringan rusak terbentuk fibrin
yang menumpuk mengisi luka dari benang fibrin. Lapisan dari sel epitel

bermigrasi lewat luka dan membantu menutupi luka, kekuatan luka rendah tapi
luka dijahit akan menahan jahitan dengan baik.
2. Fase II
Berlangsung 3 sampai 14 hari setelah bedah, leukosit mulai menghilang dan
ceruk mulai kolagen serabut protein putih semua lapisan sel epitel bergenerasi
dalam satu minggu, jaringan ikat kemerahan karena banyak pembuluh darah.
Tumpukan kolagen akan menunjang luka dengan baik dalam 6-7 hari, jadi
jahitan diangkat pada fase ini, tergantung pada tempat dan liasanya bedah.
3. Fase III
Kolagen terus bertumpuk, hal ini menekan pembuluh darah baru dan arus darah
menurun. Luka sekarang terlihat seperti berwarna merah jambu yang luas,
terjadi pada minggu ke dua hingga enam post operasi, pasien harus menjaga
agar tak menggunakan otot yang terkena.
4. Fase IV
Berlangsung beberapa bulan setelah pembedahan, pasien akan mengeluh, gatal
disekitar luka, walau kolagen terus menimbun, pada waktu ini menciut dan
menjadi tegang. Bila luka dekat persendian akan terjadi kontraktur karena
penciutan luka dan akan terjadi ceruk yang berlapis putih.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak batas tumor, apakah tumor
berasal dari uterus, ovarium, atau kadang kencing, apakah tumor kistik atau
solid, dan dapatkah dibedakan pula antara cairan dalam rongga perut yang
bebas dan yang tidak.
Pola aktifitas klien di rumah setelah pemulangan (long, 1996) :

Berkendaraan mobil dianjurkan setelah satu minggu dirumah, tetapi tidak


boleh mengendarai / menyetir untuk 3-4 minggu.

Hindarkan mengangkat benda-benda yang berat karena aktifitas ini dapat


menyebabkan kongesti darah di daerah pelvis.

Aktifitas seksual sebaiknya dalam 4-6 minggu setelah operasi.(Long, 1996)

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN FOKUS INTERVENSI


1. Resiko aspirasi b. d penurunan kesadaran (Carpenito, 2001).
Tujuan : tidak terjadi aspirasi yang b.d. penurunan kesadaran
KH

: tidak mengalami aspirasi, pasien dapat mengungkapkan tindakan untuk


menghindari aspirasi

Intervensi :
a. Perthankan posisi baring miring jika tidak ada kontra indikasi karena
udara.
b. Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak jatuh ke belakang
menyumbat jalan nafas.
c. Jaga bagian kepala tempat tidur tetap tinggi jika tidak ada
kontraindikasi.
d. Kebersihan sekresi dari mulut dan tenggorokan dengan tissu atau
penghisap dengan perlahan-lahan
e. Kaji kembali dengan sering adanya obstruksi benda-benda dari mulut
dan tenggorokan.
2. Resiko injur b.d. penurunan kesadaran (Carpenito, 1995)
Tujuan : tidak terjadi injuri b.d. penurunan kesadaran
KH

: GCS normal (E4, V5, M6)

Intervensi :
a. Gunakan tempat tidur yang rendah dengan pagar pengaman terpasang
b. Jauhkan benda-benda yang dapat melukai pasien dan anjurkan
keluarga untuk menemani pasien.
3. Gangguan rasa nyaman nyeri abdomen b.d. insisi abdomen (long, 1996)
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi
KH

: Skala nyeri 0, pasien mengungkapkan nyeri berkurang, TTV normal.

Intervensi :
a. Jelaskan penyebab nyeri pada pasien

b. Kaji skala nyeri pasien


c. Ajarkan teknik distraksi selama nyeri
d. Berikan individu kesempatan untuk istirahat yang cukup.
e. Berikan obat analgesik sesuai program.
f. Evaluasi efektifitasnya setelah 30 menit pemberi obat analgesik.
4. Resiko infeksi b.d. infeksi kuman sekunder terhadap pembedahan (Carpenito,
1995).
Tujuan

: tidak terjadi infeksi

KH

: Tidak ada tanda-tanda infeksi (TTV normal, tidak ada


peningkatan leukosit )

Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda infeksi dan monitor TTV.
b. Gunakan teknik antiseptik dalam merawat pasien.
c. Instruksikan keluarga dan orang lain untuk mencuci tangan sebelum
mendekati pasien.
d. Tingkatkan asupan makanan yang bergizi.
e. Berikan terapi antibiotik sesuai program.
5. Resiko konstipasi b.d. pembedahan abnormal (Doengoees, 2000).
Tujuan

: tidak terjadi konstipasi.

KH

: Peristaltik usus bormal (5-35x/menit), pasien menunjukan pola


eliminasi seperti biasanya.

Intervensi :
a. Monitor peristaltic usu, karakteristik feses dan frekuensinya.
b. Dorong pemasukan cairan adekua, termasuk sari buah bila pemasukan
peroral dimulai.
c. Bantu pasien untuk duduk pada tepi tempat tidur dan berjalan.
6. Gangguan pemenuhan kebutuhan diri (mandi, makan, minum, BAK, BAB,
berpakaian) d.b. keletihan pasca operasi dan nyeri. (Carpenito, 2001).
Tujuan

: kebersihan diri pasien terpenuhi

KH

: pasien dapat berpartisipasi secara fisik maupun verbal dalam

aktifitas pemenuhan kebutuhan dirinya.

Intervensi :
a. Dorong pasien untuk mengekspresikan perasaanya tentang kurangnya
kemampuan perawatan diri.
b. Berikan bantuan dalam perawatan diri pasien.
7. Cemas d.b. kurangnya informasi (Doengoes, 2000).
Tujuan

: pasien mengetahui tentang efek samping dari operasinya

KH

: pasien mengatakan memahami tentang kondisinya

Intervensi :
a. Tinjau ulang efek prosedur pembedahan dan harapan pada masa
depan.
b. Diskusikan dengan lengkap tentang masalah yang diantisipasi selama
masa penyembuhannya.
c. Diskusikan melakukan kembali aktifitasnya.
d. Identifikasi keterbatasan individu.
e. Idendifikasi kebutuhan diet
f. Dorong minum obat yang diberikan secara rutin
g. Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik.

PATHWAYS
Degenerasi ovarium

Histerektomi

Cistoma ovari

Oovorektomi

Infeksi ovarium

Pembesaran ovarium

Ruptur ovarium

Risiko perdarahan

Kurang informasi

Kurang pengetahuan

Diskontinuitas
Jaringan

Port dentri Nyeri

Cemas

Resiko
terjadi
infeksi
Komplikasi
peritonia

Pembatasan
Nutrisi

Nyeri

Metabolisme

Anestesi

Resti
Injuri

Peristaltik usus

Nervus
vagus

Hipolisis

Asam laktat

Peritonitis

Resiko
perdarahan

Gg. perfusi jaringan

Luka operasi

Absorbsi air Reflek menelaan


dikolon

Resiko
konstipasi

Keletihan

Resti
Aspirasi

Gg. Metabolisme
Nyeri
Self care defisit
DAFTAR PUSTAKA

Capenito, LJ.(2001). Buku Saku Keperawatan, Edisi VIII. Penerjemah Monica Ester,
SKp. Jakarta : EGC.
Engram, Barbara. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Medical Bedah, Vol.3.
Jakarta : EGC.
Wiknjosastro.et.all. (1999). Ilmu kandungan, Edisi II. Jakarta : YBP SP
Long Barbara. C (1996). Keperawatan Medical Bedah, Edisi II, USA. The CV
Mousby Company

Long Barbara. C (1996). Keperawatan Medical Bedah, Edisi III, USA. The CV
Mousby Company
Ropper, Nancy. (1996). Prinsip-prinsip Keperawatan. Alih bahasa Andry Hartono
Yogyakarta. Yayasan Essentia Medika
Ignatividus Donna, Bayne Varner Marihenn (1991). Medical Surgical Nursing :
Anurse Process Approch. USA : W.B. Sounders Company.
Farrer, Helen. (2001). Maternity Care, Edisi II. Jakarta: EGC.

You might also like