You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Perbandingan Hukum Perdata merupakan suatu sub-spesialisasi dari

perbandingan hukum, yang membandingkan hukum perdata yang berlaku di


suatu Negara dengan hukum perdata yang berlaku di Negara lain atau ketentuan
hukum perdata yang satu dengan ketentuan hukum perdata yang lain, manakala
dalam suatu Negara terdapat beraneka ragam peraturan hukum perdata yang
berlaku (misalnya seperti Indonesia, selain berlaku hukum perdata barat juga
berlaku hukum perdata adat, dan lain-lain).
Menurut para ahli terdapat beberapa tujuan dari mempelajari perbandingan
hukum, namun secara keseluruhan memiliki arti yang hampir sama. Main
mengatakan bahwa tujuan perbandingan hukum adalah membantu menyelusuri
asal usul perkembangan daripada konsepsi hukum yang sama di seluruh dunia.
Sedangkan Randall mengatakan bahwa tujuan daripada perbandingan hukum
adalah usaha mengunpulkan berbagai informasi mengenai hukum asing dan usaha
mendalami pengalaman-pengalaman yang dibuat dalam studi hukum asing dalam
rangka pembaharuan hukum. Beberapa fungsi perbandingan hukum yang
diuraikan disini antara lain:
1. Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia
2. Penyempurnaan Praktek dan Pembinaan Hukum
3. Perencanaan Hukum yang Lebih Baik
4. Peningkatan Pendidikan di Fakultas Hukum
Faktor Penyebab Adanya Perbedaan dan Persamaan di Bidang Hukum
Hukum merupakan gejala sosial dan merupakan bagian dari kebudayaan bangsa.
Tiap bangsa memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan

bangsa lainnya dan akhirnya membuahkan hukumnya masing-masing, sehingga


sistem hukum dari Negara yang satu akan berbeda dengan sistem hukum negara
lain. Menurut Prof. Subekti perbedaan sistem hukum terjadi karena:
a) Adanya perbedaan pandangan hidup
b) Adanya perbedaan sifat/watak suatu bangsa
c) Adanya perbedaan cara berpikir

Perbandingan hukum perdata adalah salah satu cabang ilmu hukum yang
menggunakan metode perbandingan dalam rangka mencari jawaban yang tepat
atas problema hukum perdata yang lebih kongkret. Ruang lingkup perbandingan
hukum perdata ada dua yaitu membandingakan hukum perdata secara umum dan
perbandingan huhkum perdata secara khusus. Membandingan hukum perdata
secara umum yaitu membandingkan berbagai sitem-sistem hukum yang ada
sedangkan membandingkan hukum perdata secara khusus yaitu membandingkan
lembaga-lembaga atau pranata-pranata berbagai sitem hukum yang ada.
Hukum Waris adalah salah satu objek kajian dalam perbendingan hukum
perdata yang juga merupakan suatu hukum yang mengatur peninggalan harta
seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti
keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Hukum Waris yang berlaku di
Indonesia ada tiga yakni: hukum Waris Adat, hukum Waris Islam dan hukum
Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan
sistem kekerabatan yang mereka anut. Hukum waris sangat penting dalam
kehidupan manusia terutama para ahli waris, karena menyangkut kelangsungan
hidup dan kebutuhan penerima warisan tersebut, kelangsungan kepemilikan dan
pemanfaatan harta warisan serta keharmonisan hubungan keluarga antara ahli
waris. Indonesia adalah Negara yang menganut beberapa system kewarisan
hukum diantaranya adalah system kewarisan menurut hukum perdata barat atau
menurut BW (Burgerlijk Wetboek), system keawarisan menurut hukum islam dan
system kewarisan menurut hukum adat.
Hukum adat merupakan system hukum yang sudah dikenal di Indonesia
jauh sebelum hukum islam dan hukum perdata barat masuk ke Indonesia.

Indonesia mempunyai keragaman kebudayaan dan adat di berbagai daerah,


dengan keragaman itu maka system hukum adatnya juga berbeda termasuk
mengenai kewarisan. Sedangkan hukum perdata yang dianut Indonesia saat ini
adalah hukum peninggalan dari kolonial belanda, dalam BW di atur sacara jelas
mengenai kewarisan. Kewarisan menurut BW berlaku kepada semua warga
Negara Indonesia tidak terkecualai kepada adat-adat tertentu.
Dua sistem kewarisan diatas tentunya mempunyai karakter yang berbeda
dengan karakter yang berbeda maka menimbulkan akibat yang berbeda pula.
Maka dari itu kami kelompok satu membuat makalah yang berjudul
Perbandingan Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat dan BW di
Indonesia.

1.2

Perumusan masalah
Dari perumusan secara mendasar pada bagian latar belakang mengenai

pengertian perbandingan hukum perdata yang berlaku di Indonesia serta mengenai


hukum waris yang berlaku di Indonesia, khusunya hukum waris adat dan hukum
waris Kitab Undang Hukum Perdata Bugerlijk Wetbook). Penulis mendapat
beberapa hal dan poin-poin penting yang dapat dikaji menjadi suatu perumusan
masalah karya ilmiah penulis, sebagai pokok permaalahan yang hendak penulis
bandingkan atau komparisikan yaitu:
1. Ketentuan umum hukum waris ditinjau dari hukum waris dan hukum
perdata
2. Siapa saja yang berhak menjadi ahli waris menurut hukum adat dan
menurut BW
3. Bagaimanakah sistem pembagian harta warisan menurut hukum ada dan
menurut BW
1.3

Tujuan penulisan
Tujuan dari makalah ini adalah adalah sebagai berikut :

a) dapat mengetahui ahli waris menurut hukum adat dan menurut BW


b) Dapat mengetahui siperti apa system pembagian warisan menurut
hukum ada dan menurut BW
c) Memberi manfaat bagi mahasiswa, yaitu dengan adaanya karya ilmiah
ini dapat mengembangkan pengetahuan di dalam ilmu hukum
perbandingan hukum perdata.
d) Memberi manfaat bagi masyarakat, memberikan masukan sekaligus
dapat menambah wawasan tentang hukum waris menurut hukum adat
dan hukum waris menurut BW

1.4

Metode penulisan
Pada karya ilmiah penulis, penulis menggunakan metode penelitian yang

bersifat normatif disertai dengan pendekatan perbandingan (Comparative


Approach) dimana isi pembahasan karya ilmiah penulis adalah perbandingan
antara Kitab Undang Hukum Perdata dengan literaur-litaratur yang berkaitan
dengan hukum adat di Indonesia yang masing-masing mengatur mengenai
pembagian harta warisan yang berlaku di Indonesia. Bahan-bahan literatur penulis
dapatkan dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yaitu diambil
dari peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum kamus dan ensiklopedi
hukum serta literatur yang berasal dari media elektronik (internet)

BAB II

LANDASAN TEORI dan ANALISA PEMBAHASAN


2.1

Hukum Waris

A. Pengertian Hukum Waris Menurut Hukum Adat


Dalam hukum adat istilah waris lebih luas artinya dari arti asalnya, sebab
terjadinya waris tidak saja setelah adanya yang meninggal dunia tetapi selagi
masih hidupnya orang yang akan meninggalkan hartanya dapat mewariskan
kepada warisnya.
Hukum waris adat atau ada yang menyebutnya dengan hukum adat waris
adalah hukum adat yang pada pokoknya mengatur tentang orang yang
meninggalkan harta atau memberikan hartanya (Pewaris), harta waris (Warisan),
waris (Ahli waris dan bukan ahli waris) serta pengoperan dan penerusan harta
waris dari pewaris kepada warisnya. Untuk mengetahui secara mendalam, berikut
ini kemukakan pendapat dari para ahli hukum adat :
.
H. Abdullah Syah, 1994; Pengertian hukum waris ditinjau dari Hukum
Adat adalah : aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke
abad penerusan & peralihan dari harta kekayaan yang berwujud & tidak
berwujud dari generasi pada generasi
Hilman Hadikusuma, 1983; Hukum waris adat adalah hukum adat yang
memuat garis-garis ketentuan tentang sistim dan azas-azas hukum waris
tentang warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu
dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas
Indonesia, yang berbeda dari hukum islam maupun hukum barat. Sebab
perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia
yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika.
Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat
tolong-menolong guna mewujudkan dan kedamaian di dalam hidup.
5

Soepomo, 1980; Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang


mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta
benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele
goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya
Soerojo Wignyodpoero, 1985; Hukum adat waris meliputi norma-norma
hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil yang manakah
dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus
juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.
Iman Sudiyat; Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusankeputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus / pengoperan dan
peralihan /perpindahan harta kekayaan materiil dan immateriil dari
generasi ke generasi.Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun
terdapat rumusan dan uraian yang beragam tentang hukum waris, pada
umumnya para penulis hukum sependapat bahwa "Hukum waris itu
merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau proses
peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli
warisnya"

B. Hukum Waris Menurut KUHPer


Beberapa penulis dan ahli hukum Indonesia telah mencoba memberikan
rumusan mengenai pengertian hukum waris yang disusun dalam bentuk batasan
(definisi). Sebagai pedoman dalam upaya memahami pengertian hukum waris
secara utuh, beberapa difinisi di antaranya penulis sajikan sebagai berikut:

Wirjono Prodjodikoro; Mengemukakan: Hukum Waris adalah soal apakah dan


bagaimanakah

pembagian

hak-hak

dan kewajiban-kewajiban

tentang

kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang
yang masih hidup.

Soepomo Hukum

waris

memuat

peraturan-peraturan

yang

mengatur

proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barangbarang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan
manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai pada waktu
orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang
tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu
peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak
mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda

dan harta bukan benda tersebut.


R. Santoso Pudjosubroto; Mengemukakan, Yang dimaksud dengan hukum
warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal
dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. Seperti halnya
Wirjono Prodjodikoro yang menggunakan istilah "hukum warisan", R.
Santoso Pudjosubroto juga memakai istilah serupa di dalam rumusannya,
yakni menggunakan istilah "hukum warisan" untuk menyebut "hukum waris".
Selanjutnya beliau menguraikan bahwa sengketa pewarisan timbul apabila ada
orang yang meninggal, kemudian terdapat harta benda yang ditinggalkan, dan
selanjutnya terdapat orang-orang yang berhak menerima harta yang
ditinggalkan itu; kemudian lagi tidak ada kesepakatan dalam pembagian harta

warisan itu.
B. Ter Haar BznDalam bukunya "Azas-azas dan Susunan Hukum Adat" yang
dialih bahasakan oleh K.Ng. Soebakti Poesponoto memberikan rumusan
hukum waris sebagai berikut : "Hukum waris adalah aturan-aturan hukum
yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan
dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke

generasi".
Subekti, bahwa dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hakhak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan harta
benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yag dapat dinilai dengan uang yang pada umunya
menyangkut pribadi seseorang
7

2.2

Ahli Waris
A. Ahli Waris Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat untuk menentukan siapa yang mejadi ahli waris

digunakan dua macam garis pokok yaitu :


Garis pokok keutamaan, yaitu garis hukum yang menentukan urutan-urutan
keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dnegan
pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan daripada golongan
yang lain. Golongan tersebut adalah sebagai berikut :
Kelompok keutamaan I : keturunan pewaris
Kelompok keutamaan II : orang tua pewaris
Kelompok keutamaan III : saudara-saudara pewaris dan keturunannya
Kelompok keutamaan IV : kakek dan nenek pewaris
Garis pokok penggantian, yaitu garis hukum yang bertujuan untuk
menentukan siapa di antara orang-orang di dalam kelompok keutamaan
tertentu, tampil sebagai ahli waris, golongan tersebut yaitu :
Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris
Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris
Berdasarkan pengaruh dari prinsip garis keturunan yang berlaku pada
masyarakat itu sendiri, maka yang menjadi ahli waris tiap daerah akan berbeda.
Masyarakat yang menganut prinsip patrilineal seperti Batak, yang merupakan ahli
waris hanyalah anak laki-laki, demikian juga di Bali. Berbeda dengan masyarakat
di Sumatera Selatan yang menganut matrilineal, golongan ahli waris adalah tidak
saja anak laki-laki tetapi juga anak perempuan. Masyarakat Jawa yang menganut
sistem bilateral, baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak sama atas
harta peninggalan orang tuanya.
Hukum waris adat tidak mengenal azas legitieme portie atau bagian
mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan
hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam
pasal 913 BW. Hukum waris adat juga tidak mengenal adanya hak bagi waris
untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris

sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 BW. Akan tetapi jika si
waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat
waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan
harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris
lainnya.
B. Ahli Waris Menurut KUHPer
Dalam hukum perdata BW indonesia dikenal 4 penggolongan ahli waris
yaitu :
o Golongan I : anak anak dan keturunan serta janda atau duda yang hidup
terlama (Pasal 852 BW).
o Golongan II : orang tua, saudara laki-laki, saudara perempuan dan keturunan
dari saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 854, 857, 859 BW).
o Golongan III : Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua
(Pasal 853 BW).
o Golongan IV: Keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai
derajat ke enam (Pasal 858 BW).
Ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
penggolongan ahli waris diantaranya:
a) Jika tidak ada ke empat golongan tersebut, maka harta peninggalan jatuh pada
Negara.
b) Golongan yang terdahulu menutup golongan yang kemudian. Jadi jika ada ahli
waris golongan I, maka ahli waris golongan II, III dan IV tidak menjadi ahli
waris.
c) Jika golongan I tidak ada, golongan II yang mewaris. Golongan III dan IV
tidak mewaris. Akan tetapi, golongan III dan IV adalah mungkin mewaris
bersama-sama kalau mereka berlainan garis.
d) Dalam golongan I termasuk anak-anak sah maupun luar kawin yang diakui
sah dengan tidak membedakan laki-laki/perempuan dan perbedaan umur.
e) Apabila si meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri,
atau juga saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi ketentuan dalam
pasal 859 BW, warisan harus dibagi dalam dua bagian yang sama pembagian

itu berupa satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis sibapak
lurus ke atas dan satu bagian lagi untuk sekalian keluarga yang sama dalam
garis ibu.
Di atas telah dikemukakan bahwa BW mengenal empat golongan ahli
waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya, apabila golongan
pertama masih ada, maka golongan kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta
peninggalan, demikian pula jika golongan pertama tidak ada sama sekali, yang
berhak hanya golongan kedua, sedangkan golongan ketiga dan keempat tidak
berhak. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW adalah sebagai berikut:

Bagian golongan I yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke


bawah, yaitu anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang
hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi
bila terdapat empat orang anak dan janda, mereka masing-masing mendapat
1/5 bagian. Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia terlebih dahulu
dari pewaris akan tetapi mempunyai empat orang anak, yaitu cucu pewaris,
maka bagian anak yang 1/5 dibagi di antara anak-anak yang menggantikan
kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu (plaatsvervulling), sehingga
masing-masing cucu memperoleh 1/20 bagian. Jadi hakikat bagian dari
golongan pertama ini, jika pewaris hanya meninggalkan seorang anak dan dua
orang cucu, maka cucu tidak memperoleh warisan selama anak pewaris masih
ada, baru apabila anak pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris,

kedudukannya digantikan oleh anakanaknya atau cucu pewaris.


Bagian golongan II yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas
yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan
beserta keturunan mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun
sudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan
tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak
boleh kurang dari bagian dari seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat
tiga orang saudara yang mewaris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka
ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh bagian dari seluruh harta
warisan. Sedangkan separoh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga

10

orang saudara, masing-masing dari mereka akan memperoleh 1/6 bagian. Jika
ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia, yang hidup paling lama
akan memperoleh bagian sebagai berikut:
o 1/2 (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama
dengan seorang saudaranya, baik lakilaki maupun perempuan, sama saja;
o 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan
dua orang saudara pewaris;
o 1/4 (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersamasama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris;
o Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta
peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli
waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara saudara-saudara yang
masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan pewaris,
maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu bagian
saudara seibu. Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu di samping
saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari dua bagian

yang dipisahkan tadi.


Bagian golongan III yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke
atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris
golongan pertama maupun kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta
warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving). Selanjutnya
separoh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah pewaris,
dan bagian yang separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari
pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separoh hasil dari kloving itu
harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan
untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan kepada nenek. Bagian golongan
keempat yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai
derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan
ketiga sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang separoh dari pancer
ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada saudara-saudara sepupu si pewaris
yakni saudara sekakek atau saudara senenek dengan pewaris. Apabila dalam
bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam,

11

maka bagian pancer ibu jatuh kepada para ahli waris dari pancer ayah,
demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: Apabila
ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka
seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara. Selanjutnya negara
wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan, sepanjang harta warisan itu

mencukupi.
Bagian Golongan IV : sanak keluarga selanjutnya dalam garis menyamping.
Sesudah garis keatas dipanggillah sanak keluarga dari garis menyamping
diluar golongan kedua. Sama seperti ahli waris golongan ketiga, harta
peninggalan terlebih dahulu dibagi (kloving) terlebih dahulu menjadi dua
bagian. Sanak saudara yang lebih dekat derajatnya dengan pewaris
menyampingkan sanak saudara yang lain. BW menetapkan sanak saudara
menyamping yang dapat mewaris hanyalah sampai derajat ke enam. Oleh
karena itu apabila dalam garis menyamping keluarga yang bertalian
kekeluargaannya berada dalam suatu derajat yang lebih jauh dari derajat
keenam maka mereka tidak mewaris. Kalau hal ini terjadi pada satu garis
keturunan, maka bagiannya akan menjadi hak keluarga pada garis keturunan
yang lain, kalau orang itu mempunyai hak kekeluargaan dalam derajat yang
tidak melebihi derajat keenam.

2.3

Sistem Pembagian Waris


A. Sistem Pembagian Hukum adat
Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia

terdapat tiga macam sistem pembagian warisan dalam hukum adat, yaitu sistem
kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan kewarisan individual.
Sistem Kolektif; Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang
diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi
secara perseorangan, maka kewarisan demikian disebut kewarisan kolektif.
Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta
peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai,

12

mengusahakan

atau

mengolah

dan

menikmati

hasilnya

(Minangkabau: ganggam bauntui).


Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan
leluhur yang disebut harta pusaka, berupa bidang tanah (pertanian) atau
barang-barang pusaka, seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah
gadang, yang dikuasai oleh Mamak kepala waris dan digunakan oleh para
kemenakan secara bersama-sama. Di Ambon seperti tanah dati yang diurus
oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap tanah kalakeran yang dikuasai
oleh Tua Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang
sudah boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.
Sistem Mayorat; Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya
dikuasai anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut
hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban
mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka
dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut kewarisan
mayorat. Di daerah Lampung beradat pepadun seluruh harta peninggalan
dimaksud

oleh

anak

tertua

lelaki

yang

disebut anak

punyimbang sebagai mayorat pria. Hal yang sama juga berlaku di Irian
Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten Jayapura. Sedangkan di daerah
Semendo Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai oleh anak
wanita

yang

disebut tunggu

tubing (penunggu

harta)

yang

didampingi paying jurai,sebagai mayorat wanita.


Sistem Individual; Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara
perorangan dengan hak milik, yang berarti setiap waris berhak memakai,
mengolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama
setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian disebut kewarisan
individual. Sistem kewarisan ini yang banyak berlaku di kalangan
masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam hukum waris barat
sebagaimana diatur dalam BW dan dalam Hukum Waris Islam.

13

B.Sistem Pembagian KUHPer


Sistem pembagian harta warisan menurut BW dapat digolongkan dalam
dua sistem yaitu system pewarisan Ab Intestanto dan system pewarisan Testament
Sitem menurut udang-undang; ahli waris menurut undang-undang (ab
intestato) adalah ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan si
pewaris. mewaris berdasarkan undang-undang ini adalah yang paling
diutamakan mengingat adanya ketentuan legitime portie yang dimiliki oleh
setiap ahli waris ab intestato ini. Dalam pasal 832 kuhperdata, dinyatakan
bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sederajat baik sah
maupun di luar kawin yang diakui, serta suami isteri yang hidup terlama. ahli
waris yang berdasarkan undang-undang ini berdasarkan kedudukannya dibagi
menjadi dua bagian lagi yakni:
o Ahli waris berdasarkan kedudukan sendiri; Ahli waris yang tergolong
golongan ini adalah yang terpanggil untuk menerima harta warisan
berdasarkan kedudukannya sendiri. dalam pasal 852 ayat (2) BW, dinyatakan:
mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka
memiliki pertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing
mempunyai

hak

karena

diri

sendiri;

..

Mereka yang menjadi ahli waris karena kedudukannya sendiri dalam susunan
keluarga si pewaris mempunyai posisi yang memberikan kepadanya hak untuk
menerima harta warisan, haknya tersebut adalah haknya sendiri bukan
menggantikan orang lain. mewaris kepala demi kepala artinya tiap-tiap ahli
waris menerima bagian yang sama besarnya dan tanpa membedakan antara
laki-laki dan perempuan.
o Berdasarkan penggantian (Plaatvervuling); Ahli waris yang menerima ahli
waris dengan cara menggantikan, yakni ahli waris yang menerima warisan
sebagai pengganti ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah
meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Ahli waris bij plaatvervuling ini
diatur

dalam

pasal

841

sampai

pasal

848

BW.

Dalam pasal 841 BW ini dengan jelas mengatakan bahwa memberi hak
kepada seseorang untuk menggantikan hak-hak orang yang meninggal dunia.

14

orang menggantikan tempat tersebut memperoleh hak dari orang yang


digantikannya.

Sistem Testament (wasiat); Ahli waris berdasarkan wasiat (testament) yang


menjadi ahli waris di sini adalah orang yang ditunjuk atau diangkat oleh
pewaris dengan surat wasiat sebagai ahli warisnya (Erfstelling), yang
kemudian disebut dengan ahli waris ad testamento. wasiat atau testamen
dalam BW adalah pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya
setelah ia meninggal dunia. pada asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir
itu ialah keluar dari satu pihak saja (Eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik
kembali (Herroepen) oleh pewasiat baik secara tegas (Uitdrukklijk) atau
secara diam-diam (Stilzwijdend). Aturan testamen yang terdapat dalam pasal
874 BW ini mengandung suatu syarat bahwa testamen tidak boleh
bertentangan dengan legitime portie dalam pasal 913 BW. dan yang paling
lazim adalah suatu testamen berisi apa yang dinamakan erfstelling yaitu
penunjukkan seseorang atau beberapa orang menjadi ahli waris yang akan
mendapat harta warisan seluruh atau sebagian dari harta warisan.Macam-

macam Testament (surat wasiat) sebagai berikut :


o Openbaare Testament (Wasiat Terbuka); Yaitu wasiat berbentuk akta notaris
yang isinya dibuat sesuai dengan kehendak pembuat surat wasiat dengan
dihadiri oleh dua orang saksi untuk dibacakan saat pembuat surat wasiat
meninggal dunia.
o Olografis Testament (Wasiat tulisan tangan); Yaitu wasiat yang ditulis tangan
oleh pembuat surat wasiat dengan dihadiri oleh dua orang saksi, kemudian
diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan dan nantinya
diserahkan kepada Kantor Balai Harta Peninggalan (BHP) untuk dibacakan
saat pembuat surat wasiat meninggal dunia.
o Geheimde Testament (Wasiat Rahasia); Yaitu wasiat yang dibuat sendiri oleh
pembuat Surat Wasiat di hadapan 4 (empat) orang saksi, kemudian
dimasukkan dalam sampul tertutup yang disegel serta diserahkan kepada

15

seorang notaris untuk disimpan dan dibacakan saat pembuat surat wasiat
meninggal dunia.

16

You might also like