You are on page 1of 36

BAB I

PEMBAHASAN
A. SENYAWA ADRENERGIK
Struktur umum:

HO

HO

OH
CH-CH-NHR
R

Senyawa adrenergik adalah senyawa yang dapat menghasilkan efek serupa


dengan respons akibat rangsangan pada sistem saraf adrenergik. Disebut juga
dengan nama adrenomimetik, perangsang adrenergik, simpatomimetik atau
perangsang simpatetik. Sistem saraf adrenergik adalah cabang sistem saraf
otonom dan mempunyai neurotransmitter yaitu norepinefrin.
Sintesis Epinefrin

1. Efek samping senyawa adrenergik sangat bervariasi:


a) Sebagai vasopresor dan bronkodilator dapat menyebabkan sakit kepala,
kecemasan, tremor, lemah dan palpitasi.
b) Sebagai dekongestan hidung yang digunakan secara local dapat
menyebabkan rasa pedih, terbakar atau kekeringan mukosa.
c) Sebagai obat mata setempat menyebabkan iritasi, penglihatan kabur,
hyperemia dan alergi konjungtivitas.
d) Kelebihan dosis dapat menyebabkan kejang, aritmia jantung, dan
perdarahan otak, sedang padapenggunaan jangka panjang menimbulkan
hipertropi jaringan.
2. Efek adrenomimetik dapat ditimbulkan oleh penggunaan obat-obat berikut:
a) Penghambat monoamin oksidase (MAO), dapat menurunkan metabolisme
norepinefrin bebas dan menyebabkakn penumpukan norepinefrin di otak
dan jaringan lain. Contoh: pargilin dan tranilsipromin.
b) Kokain, desipramin, imipramin, klorfeniramin dan klorpromazin, dapat
memblok transport aktif dari cairan luar sel ke mobie pool I sitoplasma,
menghambat pemasukan norepinefrin pada membran akson presinaptik,
sehingga senyawa tetap aktif.
c) Senyawa adrenomimetik, dapat mengaktifkan dan -reseptor.
d) Tiramin dan efedrin, dapat mengganti norepinefrin dai mobile pool I
sitoplasma, menghasilkan efek simpatomimetik.
e) Pirogalol, katekol dan4-metiltropolon, dapat menghambat enzim katekolo-metiltransferase (COMT).
3. Sistem saraf menghasilkan 2 tipe respons, yaitu:
a) Respon -adrenergik, secara umum dapat menimbulkan rangsangan atau
vasokonstriksi otot polos, tetapi kemungkinan juga menimbulkan respons
penghambatan, seperti relaksasi otot polos usus.
b) Respon -adrenergik, secara umum dapat menimbulkan respons
penghambatan, seperti relaksasi otot polos dan vasodilatasi otoy rangka,
tetapi kemungkinan juga menimbulkan rangsangan, seperti meningkatkan
konstraksi dan kecepatan jantung
B. HUBUNGAN STRUKTUR DAN AKTIVITAS

1. Struktur yang diperlukan untuk memberikan aktivitas agonis pada reseptor


adrenergik adalah sebagai berikut :
a. Struktur induk feniletilamin.
b. Substituen 3 hidroksi fenolat pada cincin atau yang lebih baik adalah
substituen 3,4 dihidroksi fenolat pada cincin.
c. Gugus -hidroksi alifatik mempunyai stereokimia yang sebidang
dengan gugus hidroksi fenolat.
d. Substituen yang kecil (R=H,CH3, atau C2H5) dapat dimasukkan dalam
atom C tanpa mempengaruhi aktivitas agonis.
e. Atom N paling sedikit mempunyai satu atom hidrogen (R=H atau
gugus alkil)
2. Reseptor yang terlibat dalam respon saraf adrenergik adalah reseptor adrenergik dan reseptor -adrenergik.
a. Gugus hidroksi fenolat membantu interaksi obat dengan sisi reseptor
-adrenergik melalui ikatan hidrogen atau kekuatan elektrostatik.
Hilangnya gugus ini menyebabkan menurunnya aktivitas -adrenergik,
tetapi tidak mempengaruhi aktivitas -adrenergik.
b. Gugus hidroksi alkohol dalam bentuk isomer (-) dapat mengikat
reseptor secara serasi melalui ikatan hidrogen atau kekuatan
elektrostatik. Atom C- seri feniletilamin yang dapat membentuk
karbokation juga menunjang interaksi obat reseptor.
c. Adanya gugus amino juga penting terutama untuk aktivitas adrenergik, karena dalam bentuk kationik dapat berinteraksi dengan
gugus fosfat reseptor yang bersifat anionik. Penggantian gugus amino
dengan gugus OCH3 akan menghilangkan aktivitas adrenergik.
d. Adanya substituen gugus alkil yang besar pada atom N akan
meningkatkan afinitas senyawa terhadap -reseptor dan menurunkan
afinitasnya terhadap -reseptor.
e. Peran R-stereoselektivitas terlihat lebih besar pada -reseptor. -agonis
dan -antagonis mempunyai struktur mirip seperti yang terlihat pada

struktur isoproterenol, tipe perangsang -adrenergik, dan propanolol,


tipe pemblok adrenergik.
3. Molekul senyawa adrenomimetik bersifat lentur dan dapat membentuk

konformasi cis dan trans. Penelitian dengan analog dopamin menunjukkan


bahwa bentuk konformasi trans yang memanjang berinteraksi lebih baik
dengan reseptor dan -adrenergik dibanding bentuk konformasi cis yang
tertutup.
4. Hubungan struktur dan aktivitas senyawa -agonis didapatkan bahwa :
a. Pemasukan gugus metil pada atom C- rangka feniletilamin akan

meningkatkan selektivitas terhadap.


b. Penghilangan gugus 4-OH dari cincin aromatik, secara drastis

meningkatkan selektivitas terhadap 1-reseptor.


c. Penghilangan gugus 3-OH dari cincin aromatik, pada banyak kasus

dapat meningkatkan selektivitas terhadap


d. Semua turunan imidazolin menunjukkan selektivitas yang lebih baik

terhadap 2 reseptor dan aktivitasnya akan lebih besar bila ada


substituen pada posisi 2 dan 6 cincin aromatik.
5. Obat adrenergik, yang juga sebagai amin simpatomimetik, mempunyai
struktur dasar -feniletilamin, yang terdiri dari inti aromatis berupa cincin
benzen dan bagian alifatis berupa etilamin. Substitusi dapat dilakukan
pada cincin benzen maupun pada atom C-, atom C-, dan gugus amino
dari etilamin.
1. Substitusi pada cincin benzen dan pada atom C-.
a) Amin simpatomimetik dengan substitusi gugus OH pada posisi 3
dan 4 cincin benzen disebut katekolamin (o-dihidroksibenzen
disebut katekol). Sebstitusi pada gugus OH yang polar pada cincin
benzen atau pada atom C- mengurangi kelarutan obat dalam
lemak dan memberikan aktivitas untuk bekerja langsung pada
reseptor adrenergik di perifer. Karena itu, obat adrenergik yang
tidak mempunyai gugus OH pada cincin benzen maupun pada
atom C- (misalnya amfetamin, metamfetamin) mudah menembus
sawar darah otak sehingga menimbulkan efek sentral yang kuat.

Disamping itu, obat-obat ini kehilangan aktivitas perifernya yang


langsung, sehingga kerjanya praktis hanya secara tidak langsung.
b) Katekolamin dengan gugus OH pada C- (misalnya epinefrin,
norepinefrin dan isoprenalin) sukar sekali masuk SSP sehingga
efek sentralnya minimal. Obat-obat ini bekerja secara langsung dan
menimbulkan efek perifer yang maksimal.
c) Amin simpatomimetik dengan 2 gugus OH, pada posisi 3 dan 4
(misalnya dopamin dan dobutamin) atau pada posisi 3 dan C-
(misalnya fenilefrin, metaramirol) juga sukar masuk SSP.
d) Obat dengan 1 gugus OH, pada C- (misalnya efedrin,
fenilpropanolamin)

atau

pada

cincin

benzen

(misalnya

hidroksiamfetamin) mempunyai efek sentral yang lebih lemah


daripada efek sentral amfetamin (hidroksiamfetamin hampir tidak
mempunyai efek sentral).
e) Gugus OH pada posisi 3 dan 5 bersama gugus OH pada C- dan
substitusi yang besar pada gugus amino memberikan selektivitas
reseptor 2.
f) Katekolamin tidak efektif pada pemberian oral dan masa kerjanya
singkat karena merupakan substrat enzim COMT (katekol-Ometiltransferase) yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati;
enzim ini mengubahnya menjadi derivat 3-metoksi yang tidak
aktif.
g) Tidak ada atau hanya satu substitusi OH pada cincin benzen, atau
gugus OH pada posisi 3 dan 5 meningkatkan efektivitas oral dan
memperpanjang masa kerja obat, misalnya efedrin dan terbutalin.
2. Substitusi pada atom C-.
a) Menghambat oksidasi amin simpatomimetik oleh enzim monoamin
oksidase (MAO) menjadi mandelat yang tidak aktif.
b) Meningkatkan efektivitas oral dan memperpanjang masa kerja
amin simpatomimetik yang tidak mempunyai substitusi 3-OH pada
inti

benzen

memperpanjang

(misalnya
masa

efedrin,
kerja

amfetamin),

amin

tetapi

tdak

simpatomimetik

yang

mempunyai substitusi 3-OH (misalnya etil-norepinefrin).


3. Substitusi pada gugus amino.

a) Makin besar gugus alkil pada atom N, makin kuat aktivitas ,


seperti terlihat pada Isoprenalin > epinefrin > norepinefrin.
b) Makin kecil gugus alkil pada atom N, makin kuat aktivitas ,
dengan gugusmetil memberikan aktivitas yang paling kuat,
sehingga urutan aktivitas : epinefrin >> norepinefrin >
isoprenalin.
4. Isomeri optik.
a) Substitusi yang bersifat levorotatory pada atom C- disertai

aktivitas perifer yang lebih kuat. Dengan demikian, L-epinefrin dan


L-norepinefrin mempunyai efek perifer > 10 kali lebih kuat
daripada isomer dekstonya. Substitusi yang bersifat dextrorotatory
pada atom C- menyebabkan efek sentral yang lebih kuat,
misalnya d-amfetamin mempunyai efek sentral lebih kuat daripada
L-amfetamin.
Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis:
1. Perangsangan perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan
mukosa, dan terhadap kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh
darah otot rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan
kekuatan kontraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernafasan, peningkatan
kewaspadaan, aktifitas psikomotor, pengurangan nafsu makan.
5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot,
lipolisis lemak dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak.
6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormon
hipofisis.
7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter NE dan Ach

Obat adrenergik terbagi menjadi dua, kerja langsung dan kerja tidak
langsung. Obat adrenergik kerja langsung bekerja secara langsung pada reseptor
adrenergik di membran sel efektor. Jadi, efek suatu obat adrenergik dapat diduga
bila duketahui reseptor mana yang terutama dipengaruhi oleh obat tersebut. Obat
adrenergik kerja tidak langsung menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan
NE yang tersimpan dalam ujung saraf adrenergik.
Reseptor adrenergik dibagi pada dua kategori umum: dan . Yang
masing-masingnya telah dibagi lebih lanjut menjadi dua subtipe: 1 dan 2,
1 dan 2 dan 3. Reseptor telah dibagi lebih lanjut menggunakan teknik
kloning molekul menjadi 1A, 1B, 1D, 2A, 2B, 2C. reseptor ini
dihubungkan ke protein-G reseptorheterotrimerik dengan sub unit , , dan .
Adrenoseptor yang berbeda dihubungkan melalui protein-G yang spesifik,
masing-masing dengan efektor yang unik, tetapi masing-masing menggunakan
guanosine trifosfat (GTP) sebagai kofaktor. 1 berhubungan dengan Gq, yang
mengaktifkan fosfolipase, 2 berhubungan dengan Gs, yang mengaktivasi
adenilat siklase.

Gambar 12-3. Metabolisme sequential dari norepinefrin dan epinefrin.


Monoaminoksidase

(MAO)

dan

katekol-O-metiltransferase

(COMT)

memproduksi sebuah produk akhir yang sama, asam vanililmandelik (VMA).


Simpatomimetik,

menghasilkan

efek

farmakologiknya

dengan

mengaktifkan baik direk atau indirek adrenergic, adrenergic atau reseptor


dopaminergik yang merupakan bagian dari reseptor pasangan protein G.
Semua obat yang mengandung struktur 3,4 dihidroksi benzene
(katekolamin) secara cepat ditidak aktifkan oleh enzim monoamine oksidase atau
katekol-O-methyltransferase (COMT). MAO adalah enzim yang terdapat pada
hati, ginjal dan saluran gastrointestinal yang mengkatalisa oksidasi deaminasi.
COMT dapat mengmetilasi sebuah grup hidroksi dari katekolamin. Hasilnya
adalah metabolit yang sudah termetilasi dan tidak aktif dihubungkan dengan asam

glukorinik danditemukan diginjal sebagai asam 3-metoksi-4-hidroksimendelik,


metanefrin (turunan dari epinefrin) dan normetanefrin (turunan dari norepinefrin).
C. JENIS RESEPTOR ADRENERGIK
1. Reseptor 1
Reseptor 1 adalah adrenoreseptor postsinaptik yang berlokasi di otot
polos seluruh tubuh, pada mata, paru-paru, pembuluh darah, uterus, usus, dan
sistem genitourinaria. Pengaktifan dari reseptor ini meningkatkan konsentrasi ion
kalsium intraseluler yang berakibat pada kontraksi otot. Sehingga, 1agonis sering
dihubungkan dengan midriasis (dilatasi pupil karena kontraksi dari otot radial
mata), bronkokonstriksi, vasokontriksi, kontraksi uterus, dan kontraksi dari spinter
di gastrointestinal dan traktus genitourinari. Stimulasi 1 juga menginhibisi
sekresi insulin dan lipolisis. Otot jantung juga memiliki reseptor 1 yang
mempunyai sedikit efek inotropik dan tidak ada efek kronotropik. Selama infark
otot jantung, peningkatan reseptor 1 bersama dengan agonis diobservasi.
Bagaimanapun, efek kardiovaskular yang paling penting dari stimulasi 1 adalah
vasokonstriksi, yang meningkatkan tahanan perifer vaskular, afterload ventrikel
kiri, dan tekanan darah arteri.
2. Reseptor 2
Berbeda dengan reseptor 1, reseptor 2 awalnya berlokasi di serat
terminal presinaptik. Aktifasi dari adrenoreseptor menginhibisi aktifitas adenilat
siklase. Ini menurunkan pemasukan daripada ion kalsium kedalam terminal
neuronal, yang membatasi penambahan eksositosis dari penyimpanan vesikel
yang mengandungnorepinefrin. Sehingga, reseptor 2 menciptakan loop negatif
umpan balik yang menginhibisi pelepasan norepinefrin lebih lanjut dari neuron.
Sebagai tambahan, otot polos vaskular mengandung postsinaptik 2 reseptor yang
menciptakan vasokonstriksi. Lebih penting lagi, stimulasi dari reseptor 2
postsinaptik di sistem saraf pusat menyebabkan sedasi dan menurunkan aliran

keluar dari simpatis, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer dan menurunkan


tekanan darah.

Gambar 12-4. Adrenoseptor adalah reseptor transmembranspanningyang


terbuatdari 7 subunit, yang tehubung ke sebuah protein G. Protein G adalah
membran endoplasma trimerik terbuat dari unit , , dan . Dengan pengaktifan,
GTP pada sub unit digantikan dengan GDP, stimulasi dari perubahan
konformasional, perubahan pada unit , , dan . Baik subunit G maupun G
dapat mengaktivasi (atau menginhibisi) efektor enzim yang untuk adrenoseptor.
M1 M7, unit membranspanning, unit,, dandari G protein; GTP, guanisin
trifosfat, Pi fosfatinorganic cepat diasimilasi; gdp,guanisin difosfat, efektor E,
siklofosfat untuk Gq, adenosiklat suklase untuk Gp dan Gs.
3. Reseptor 1
Reseptor 1 yang paling penting berlokasi di membran postsinaptik ada
jantung. Stimulasi dari reseptor ini mengaktivasi adenilat siklase, yang merubah
adenosin trifosfat menjadi adenosin siklik monofosfatase dan memulai kaskade
kinase fosforilasi. Mulainya kaskade ini mempunyai efek kronotopik positif
(meningkatkan denyut jantung), dromotopik (meningkatkan konduksi), dan
inotropik (meningkatkan kontraktilitas).

4. Reseptor 2
Reseptor 2 berasal dari adrenoreseptor postganglionik yang berlokasi
pada otot polos dan sel kelenjar. Reseptor ini mempunyai cara kerja yang sama
dengan reseptor 1:aktivasi adenilat siklase. Selain persamaan ini, stimulasi 2
merelaksasi otot polos, mengakibatkan bronkodilator, vasodilasi, dan relaksasi
daripada uterus (tokolisis), kandung kemih dan usus. Glikogenolisis, lipolisis,
glukoneogenesis, dan pelepasan insulin distimulasi oleh aktivasi reseptor 2.
Agonis 2 juga mengaktifkan pompa kalium-natrium, yang merubah kalium
intraselular dan dapat membuat hipokalemi dan disritmia.
5. Reseptor 3
3reseptor ditemukan di kandung kemih dan dijaringan lemak otak.
Peranannya pada fisiologis kandung kemih belum diketahui, tetapi ada yang
berpendapat bahwa reseptor 3 ini berperan pada lipolisis dan termogenesis pada
lemak coklat.
AGONIS ADRENERGIC
Agonis

adrenergik

berinteraksi

dengan

perubahan

tertentu

pada

adrenoseptor dan . Aktifitas yang tumpang tindih mempengaruhi perkiraan dari


efek klinis. Sebagai contohnya, epinefrin menstimulasi adrenoseptor 1-, 2-, 1-,
2Tabel 12-1. Selektifitas reseptor untuk agonis adrenergik

Ket : 0, tidak ada efek; +, efek agonis (ringan, sedang, ditandai), ?, efek tidak
diketahui; DA1dan DA2, reseptor dopaminergik. Efek 1, efek dari epinefrin,
norepinefrin, dan dopamine menjadi lebih lama pada dosis lebih tinggi. Mode
efek pertama dari efedrin adalah stimulasi tidak langsung.
Efek akhir keseluruhannya pada tekanan darah arteri bergantung pada
keseimbangan pada vasokonstriksi 1-, dan vasodilatasi 2-, dan pengaruh
inotropik 1-. Lebih lanjut, keseimbangan ini berubah pada dosis yang berbeda.

Gambar

12-5.

Adregernik

Agonis

yang

mempunyai

struktur

3,4

dihidroksibenzenyang diketahui sebagai katekolamin. Perubahan pada R1, R2 dan


R3 mempengaruhi aktifitas dan selektifitas
Adrenergik agonis dapat dikategorikan dengan langsung atau tidak
langsung. Agonis langsung terikat dengan aktifitas neurotransmitter endogen.
Mekanisme dari aksi tidak langsung termasuk peningkatan pelepasan atau
penurunan

pengambilan

kembali

daripada

norepinefrin.

Perbedaanantara

mekanika aksi langsung atau tidak langsung sebagian penting bagi pasien yang
memiliki penyimpanan noreponefrin endogon yang abnormal, yang sebagian
dapat timbul pada beberapa pengobatan anti hipertensi atau pada inhibitor

monoamin oksidase. Hipotensi intraoperasi pada pasien ini harus diterapi dengan
agonis langsung, agar responnya terhadap agonis tidak langsung dapat dirubah.
Hal lain yang dapat membedakan adrenergik agonis dari yang lainnya
adalah

struktur

kimiawinya.

Adrenergik

agonis

memiliki

struktur

3,4

dihidroksibenzen yang dikenal sebagai katekolamin. Obat-obatan ini biasanya


kerja pendek karena metabolismenya oleh monoamin oksidase dan katekol-Ometiltransferase. Pasien yang mendapat inhibitor monoamin oksidase atau
antidepressan trisiklik dapat menunjukkan sebelumya respon yang berlebihan
terhadap katekolamin. Katekolamin yang timbul secara alami adalah epinefrin,
norepinefrin dan dopamine. Perubahan dari struktur rantai-samping (R1,R2,R3)
dari katekolamin yang timbul secara alami telah membawa kepada perubahandari
katekolamin sintetik (mis: isoprotetenol dan dobutamin), yang lebih mengarah
kepada reseptor yang lebih spesifik.
Adrenergik agonis biasanya digunakan pada anestesiologi dibahas secara
tersendiri dibawah. Perhatikan dosis yang direkomendasikan untuk infus
berkesinambungan ditunjukkan dengan g/kg/min untuk beberapa agen dan
g.min untuk yang lainnya. Pada kasus yang manapun, rekomendasi ini harus
dipertimbangkan sebagai protokol, yang mana respon individu dapat berbedabeda.
EPINEFRIN
Epinefrin merupakan prototype obat kelompok adrenergic. Zat ini
dihasilkan juga oleh anak-ginjal dan berperan pada metabolisme hidrat-arang dan
lemak. Adrenalin memiliki semua khasiat adrenergis alfa dan beta, tetapi efek
betanya relative lebih kuat ( stimulasi jantung dan bronchodilatasi ).
A. Mekanisme Kerja
1. Farmakodinamika
Pada umumnya pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi
saraf adrenergic. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmitter pada saraf

adrenergic adalah NE. Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung,
otot polos pembuluh darah dan otot polos lain.
a. Jantung, epinefrin mengaktivasi reseptor 1 di otot jantung, sel pacu jantung

dan jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik
positif epinefrin pada jantung.Epinefrin mempercepat depolarisasi fase 4,
yakni depolarisasi lambat sewaktu diastole, dari nodus sino-atrial ( SA ) dan
sel otomatik lainnya, dengan demikian mempercepat firing rate pacu jantung
dan merangsang pembentukan focus ektopik dalam ventrikel. Dalam nodus
SA, epinefrin juga menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel yang
mempunyai firing rate lebih cepat. Epinefrin mempercepat konduksi
sepanjang jaringan konduksi, mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular
( AV ). Epinefrin juga mengurangi blok AV yang terjadi akibat penyakit, obat
atau aktivitas vagal. Selain itu epinefrin memperpendek periode refrakter
nodus AV dan berbagai bagian jantung lainnya. Epinefrin memperkuat
kontraksi dan mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat denyut jantung
dalam kisaran fisiologis, epinefrin memperpendek waktu sistolik tanpa
mengurangi waktu diastolic. Akibatnya curah jantung bertambah tetapi kerja
jantung dan pemakaian oksigen sangat bertambah sehingga efisiensi jantung
( kerja dibandingkan dengan pemakaian oksigen ) berkurang. Dosis epinefrin
yang berlebih disamping menyebabkan tekanan darah naik sangat tinggi juga
menimbulkan kontraksi ventrikel premature diikuti takikardia ventrikel dan
akhirnya fibrilasi ventrikel.
b. Pembuluh darah, efek vascular epinefrin terutama pada arteriol kecil dan
sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh
darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi karena dalam organ
organ tersebut reseptor dominan. Pembuluh darah otot rangka mengalami
dilatasi oleh epinefrin dosis rendah, akibat aktivasi reseptor 2 yang
mempunyai afinitas lebih besar pada epinefrin dibandingkan dengan reseptor
. Epinefrin dosis tinggi bereaksi dengan kedua jenis reseptor tersebut.
Dominasi reseptor di pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi
perifer yang berakibat peningkatan tekanan darah. Pada waktu kadar epinefrin

menurun, efek terhadap reseptor yang kurang sensitive lebih dulu


menghilang. Efek epinefrin terhadap reseptor 2 masih ada pada kadar yang
rendah ini. Dan menyebabkan hipotensi sekunder pada pemberian epinefrin
secara sistemik. Jika sebelum epinefrin telah diberikan suatu penghambat
reseptor , maka pemberian epinefrin hanya menimbulkan vasodilatasi dan
penurunan tekanan darah. Gejala ini disebut epinefrin reversal yaitu suatu
kenaikan tekanan darah yang tidak begitu jelas mungkin timbul sebelum
penurunan tekanan darah ini, kenaikan yang selintas ini akibat stimulsai
jantung oleh epinefrin.Pada manusia pemberian epinefrin dalam dosis terapi
yang menimbulkan kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi
arteriol otak, tetapi menimbulkan peningkatan aliran darah otak.Epinefrin
dalam dosis yang tidak banyak mempengaruhi tekanan darah, meningkatkan
resistensi pembuluh darah ginjal dan mengurangi aliran darah ginjal sebanyak
40%. Ekskresi Na, K dan Cl berkurang volume urin mungkin bertambah,
berkurang atau tidak berubah. Tekanan darah arteri maupun vena paru
meningkat oleh epinefrin meskipun terjadi konstriksi pembuluh darah paru,
redistribusi darah yang berasal dari sirkulasi sistemik akibat konstriksi vena
vena besar juga berperan penting dalam menimbulkan kenaikan tekanan darah
paru. Dosis epinefrin yang berlebih dapat menimbulkan kematian karena
adema paru.
c. Pernapasan, epinefrin mempengaruhi pernapasan terutama dengan cara

merelaksasi otot bronkus melalui reseptor 2. efek bronkodilatasi ini jelas


sekali bila sudah ada kontraksi otot polos bronkus karena asma bronchial,
histamine, ester kolin, pilokarpin, bradikinin, zat penyebab anafilaksis yang
bereaksi lambat dan lain lain. Disini epinefrin bekerja sebagai antagonis
fisiologik. Pada asma, epinefrin juga menghambat penglepasan mediator
inflamasi dari sel sel mast melalui reseptor 2, serta mengurangi sekresi
bronkus dan kongesti mukosa melalui reseptor 1.
d. Proses Metabolik, epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot

rangka melalui reseptor 2, glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan


kemudian glukosa-6-fosfat. Hati mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot
rangka tidak, sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas

asam laktat. Epinefrin juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin akibat


dominasi aktivasi reseptor 2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor 2
yang menstimulasi sekresi insulin. Sekresi glucagon ditingkatkan melalui
reseptor pada sel pancreas. Selain itu epinefrin mengurangi ambilan
glukosa oleh jaringan perifer, sebagian akibat efeknya pada sekresi insulin,
tapi juga akibat efek langsung pada otot rangka. Akibatnya terjadi peningkatan
kadar glukosa dan laktat dalam darah dan penurunan kadar glikogen dalam
hati dan otot rangka. Epinefrin melalui aktivasi reseptor meningkatkan
aktivasi lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga mempercepat
pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Akibatnya
kadar asam lemak bebas dalam darah meningkat. Efek kalorigenik epinefrin
terlihat sebagai peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20 sampai 30%
pada pemberian dosis terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh peningkatan
katabolisme lemak, yang menyediakan lebih banyak substrat untuk oksidasi.
Efek utamanya terhadap organ dan proses proses tubuh penting dapat
diikhtisarkan sebagai berikut :
1. Jantung : daya kontraksi diperkuat ( inotrop positif ), frekuensi ditingkatkan
( chronotrop positif ), sering kali ritmenya di ubah.
2. Pembuluh : vasokontriksi dengan naiknya tekanan darah.
3. Pernapasan : bronchodilatasi kuat terutama bila ada konstriksi seperti pada
asma atau akibat obat.
4. Metabolisme ditingkatkan dengan naiknya konsumsi O2 dengan ca 25%,
berdasarkan stimulasi pembakaran glikogen ( glycogenolysis ) dan lipolysis.
Sekresi insulin di hambat, kadar glukosa dan asam lemak darah ditingkatkan.
2. Farmakokinetik
a. Absorbsi, pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena
sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat
pada dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorbsi lambat karena
vasokontriksi local, dapat dipercepat dengan memijat tempat suntikan.
Absorbsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM. Pada pemberian

local secara inhalasi, efeknya terbatas terutama pada saluran napas, tetapi efek
sistemik dapat terjadi, terutama bila digunakan dosis besar.
b. Biotransformasi dan ekskresi, epinefrin stabil dalam darah. Degradasi
epinefrin terutama terjadi dalam hati terutama yang banyak mengandung
enzim COMT dan MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini.
Sebagian besar epinefrin mengalami biotransformasi, mula mula oleh
COMT dan MAO, kemudian terjadi oksidasi, reduksi dan atau konyugasi,
menjadi

metanefrin,

asam

3-metoksi-4-hidroksimandelat,

3-metoksi-4-

hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konyugasi glukuronat dan sulfat.


Metabolit metabolit ini bersama epinefrin yang tidak diubah dikeluarkan
dalam urin. Pada orang normal, jumlah epinefrin yang utuh dalam urin hanya
sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin mengandung epinefrin dan NE utuh
dalam jumlah besar bersama metabolitnya.
3. Indikasi
Terutama sebagai analepticum, yakni obat stimulan jantung yang aktif sekali pada
keadaan darurat, seperti kolaps, shock anafilaktis, atau jantung berhenti. Obat ini
sangat efektif pada serangan asma akut, tetapi harus sebagai injeksi karena per
oral diuraikan oleh getah lambung.
4. Kontraindikasi
Epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat -bloker nonselektif,
karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor 1 pembuluh darah dapat
menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak.
5. Efek samping
Pemberian epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala
berdenyut, tremor, dan palpitasi. Gejala gejala ini mereda dengan cepat setelah
istrahat. Pasien hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek efek tersebut
maupun terhadap efek pada system kardiovaskular. Pada pasien psikoneuretik
epinefrin memperberat gejala gejalanya

NOREPINEFRIN
Norepinefrin

adalah

derivate

tanpa

gugus-metil

pada

atom-N.

neurohormon ini khususnya berkhasiat langsung terhadap reseptor dengan efek


fasokontriksi dan naiknya tensi. Efek betanya hanya ringan kecuali kerja
jantungnya ( 1 ). Bentuk-dekstronya, seperti epinefrin, tidak digunakan karena ca
50 kali kurang aktif. Karena efek sampingnya bersifat lebih ringan dan lebih
jarang terjadi, maka norepinefrin lebih disukai penggunaannya pada shok dan
sebagainya. Atau sebagai obat tambahan pada injeksi anastetika local.
A. Mekanisme Kerja
1. Farmakodinamika
NE bekerja terutama pada reseptor , tetapi efeknya masih sedikit lebih
lemah bila dibandingkan dengan epinefrin. NE mempunyai efek 1 pada jantung
yang sebanding dengan epinefrin, tetapi hampir tidak memperlihatkan efek 2.
Infus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolic, tekanan
sistolik, dan biasnya juga tekanan nadi. Resistensi perifer meningkat sehingga
aliran darah melalui ginjal, hati dan juga otot rangka juga berkurang. Filtrasi
glomerulus menurun hanya bila aliran darah ginjal sangat berkurang. Reflex vagal
memperlambat

denyut

jantung,

mengatasi

efek

langsung

NE

yang

mempercepatnya. Perpanjangan waktu pengisian jantung akibat perlambatan


denyut jantung ini, disertai venokonstriksi dan peningkatan kerja jantung akibat
efek langsung NE pada pembuluh darah dan jantung, mengakibatkan peningkatan
curah sekuncup. Tetapi curah jantung tidak berubah atau bahkan berkurang. Aliran
darah koroner meningkat, mungkin karena dilatasi pembuluh darah koroner tidak
lewat persarafan otonom tetapi dilepasnya mediator lain, antara lain adenosin,
akibat peningkatan kerja jantung dan karena peningkatan tekanan darah. Berlainan
dengan epinefrin, NE dalam dosis kecil tidak menimbulkan vasodilatasi maupun
penurunan tekanan darah, karena NE boleh dikatakan tidak mempunyai efek

terhadap reseptor 2 pada pembuluh darahotot rangka. Efek metabolic NE mirip


epinefrin tetapi hanya timbul pada dosis yang lebih besar.

2. Indikasi
Pengobatan pada pasien shock atau sebagai obat tambahan pada injeksi
pada anastetika local.

3. Kontraindikasi
Obat ini dikontraindikasikan pada anesthesia dengan obat obat yang
menyebabkan

sensitisasi

jantung

karena

dapat

timbul

aritmia.

Juga

dikontraindikasikan pada wanita hamil karena menimbulkan kontraksi uterus


hamil.
4. Efek Samping
Efek samping NE serupa dengan efek samping epinefrin, tetapi NE
menimbulkan peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi. Efek samping yang
paling umum berupa rasa kuatir, sukar bernafas, denyut jantung yang lambat
tetapi kuat, dan nyeri kepala selintas. Dosis berlebih atau dosis biasa pada pasien
yang hiper-reaktif ( misalnya pasien hipertiroid ) menyebabkan hipertensi berat
dengan nyeri kepala yang hebat, fotofobia, nyeri dada, pucat, berkeringat banyak,
dan muntah.
PENILEFRIN
1. Pertimbangan klinis
Penilefrin adalah nonkatekolamin dengan predominan oleh aktifitas agonis
1(dosis tinggi dapat menstimulasi reseptor 2 dan ). Efek utama dari penilefrin
adalah vasokonstriksi dengan penaikan secara perlahan pada tahanan resisten
perifer dan tekanan darah arteri. Reflek takikardi dapat menurunkan kardiak

output. Peningkatan aliran darah koroner disebabkan oleh efek langsung dari
vasokonstriksi penilefrin pada arteri koroner yang dikendalikan oleh rangsangan
vasodilatasi karena pelepasan dari faktor faktor metabolik.
Secarta klinis penilefrin mempunyai efek yang sama dengan norepinefrin
tetapi kurang patent dan lebih lama serat efek yang minimal pada SSP.
Penyuntikan secara intra vena dengan cepat pada pasien dengan penyakit arteri
coroner mengakibatkan peningkatan pada tekanan pembuluh darah sistemik yang
diiringi dengan penurunan curah jantung.

2. Dosis dan kemasan


Bolus kecil intravena dari 50 100 g (0,5 1 g/kg) dari penilefrin
secara cepat membalik penurunan tekanan darah yang disebabkan oleh
vasodilatasi perifer. (misalanya: anestesi spinal). Infus berkesinambungan (100
g/ml pada rata-rata 0,25 1 g/kg/min) akan menjaga tekanan darah arteri tetapi
pada pengeluaran aliran darah ginjal. Takifilaksis yang terjadi dengan infus
penilefrin membutuhkan titrasi yang meningkat dari infusnya. Penilefrin harus
dilarutkan dari cairan 1% (10 mg/ampul 1 mL), biasanya sampai 100 g/mL
larutan.

METHYLDOPA DAN CLONIDINE


1. Pertimbangan klinis
Metildopa, sebuah obat prototipikal, sebuah analog dari levodopa.
Metildopa

memasuki

jalur

sintesis

norepinefrin

dan

dirubah

ke

metilnorepinefrin dan -metilepinefrin. Transmitter yang salah ini mengaktifkan

-adrenoreseptor, terutama reseptor pusat 2. Sebagai hasilnya, pelepasan


norepinefrin dan tonus simpatik tidak ada. Penurunan pada tahanan vaskular
perifer bertanggung jawab terhadap penurunan tekanan darah arteri (efek puncak
kurang dari 4 jam). Aliran darah ginjal dipertahankan atau meningkat. Karena
metildopa bergantung kepada metabolit untuk dapat efektif, maka telah digantikan
dengan aktifitas 2, walaupun masih direkomendasikan dalam mengatasi tekanan
darah tinggi dalam kehamilan.
Klonidine adalah agonis 2 yang sekarang secara umum digunakan untuk
anti hipertensi (menurunkan tahanan resisten sistemik) dan efek kronotropik
negatif. Belakangan ini, klonidine dan agonis 2 ditemukan mempunyai efek
sedatif. Penelitian telah memeriksa efek anestesi pada pemberian klonidin (3-5
g/kg), intramuscular (2 g/kg), intravena (1-3 g/kg), transdermal (0,1-0,3 mg
dilepaskan perhari), intrataekal (75-150 g), dan epidural (1-2 g). secara umum,
klonidin tampaknya dapat menurunkan kebutuhan anestesi dan anlagesik
(menurunkan MAC) dan membuat sedasi dan ansiolisis. Selama anestesi umum,
klonidin dilaporkan meningkatkan kestabilan sirkulasi selama operasi dengan
mengurangi level katekolamin. Selama anestesi regional, termasuk blok saraf
perifer, klonidin memperlama durasi dari blok. Efek langsung pada medula
spinalisdapat terjadi melalui reseptor postsinaptik 2 yang terdapat pada kornu
dorsalis. Kemungkinan keuntungan yang lain termasuk menurunkan menggigil
peska operasi, inhibisi dari opioid-menginduksi kekakuan otot, melemahkan
symptom gejala putus obat opioid, dan perawatan dari beberapa sindrom penyakit
kronik. Efek samping termasuk bradikardi, hipotensi, sedasi, depresi pernafasan,
dan mulut kering.
Tabel 12-2. Efek dari agonis adrenergik pada sistem organ

0, tidak ada efek; , meningkat (ringan, sedang, ditandai); , penurunan


(ringan, sedang, ditandai); / , efek yang bervariasi; /, peningkatan ringan
hingga sedang.
Dexmedetomidine adalah suatu turunan lipofilik methylol dengan sifat afinitas
yang lebih kuat dari reseptor 2 daripada klonidin. Ini mempunyai sedasi,
analgesik,

dan

efek

simpatolitik

yang

menumpulkan

banyak

respon

kardiovaskular yang tampak selama periode perioperatif. Bila digunakan saat


intraopereatif, dapat menurunkan kebutuhan anestesi intravena dan anestesi
inhalasi; bila digunakan saat posoperatif, dapat menurunkan analgesik yang
sebelumnya dan kebutuhan sedatif. Pasien tetap tersedasi bila tidak diganggu dan
dapat cepat terangasang dengan stimulasi. Sama seperti metildopa dan klonidin,
dexemedetomidine adalah simpatolitik karena pengeluaran simpatetik dikurangi.
Ini dapat menjadi agen yang bermanfaat untuk mengurangi kebutuhan anestesi
intraoperatif dan untuk mensedasi pasien yang diventilator postoperative di ruang
pemulihan dan di ruang rawat intensif karena efek ansiolitik dan analgesik. Hal ini
dapat terjadi tanpa depresi pernafsan yang signifikan. Pemberian yang cepat dapat
meningkatkan tekanan darah, tetapi hipotensi dan bradikardi dapat terjadi selama
terapi masih berlangsungWalaupun agen ini adalah agonis adrenergik, mereka
juga dapat dipertimbangkan sebagai simpatolitik karena pengeluaran simpatolitik
dikurangi. Penggunaan jangka panjang daripada agen ini, terutama klonidin dan
dexmedetomidine, mengarah ke supersensitisasi dan up-regulationdari reseptor;
dengan kelanjutan yang tidak jelas dari obat yang manapun, symptom gejala putus
obat akut bermanifestasi oleh krisis hipertensi yang dapat terjadi. Karena dari
peningkatan afinitas dari dexmedetomidine dibandingkan klonidin untuk reseptor

2, sindrom ini dapat terjadi hanya setelah 48 jam dari pemberhentian penggunaan
obat dexmedetomidine.
2. Dosis dan Sediaan
Klonidin tersedia dalam bentuk oral, transdermal, atau sediaan parenteral
(lihat bagian Pertimbangan Klinis pada agonis 2 untuk dosisnya). Sediaan
parenteral disepakati hanya untuk epidural atau intrataekal digunakan sebagai obat
tambahan untuk analgesi/anestesi regional. Bagaimanapun, ini digunakan secara
luas di Eropa pada bolus intravena dengan dosis 50 g untuk mengatur tekanan
darah atau nadi. Mempunyai onset masa kerja yang lambat.

EFEDRIN
1. Pertimbangan Klinis
Efedrin adalah alkaloid yang terdapat pada tumbuhan jenis efedra.
Efeknya seperti efek epinefrin, bedanya adalah bahwa efedrin efektif pada
pemberian oral, masa kerjanya jauh lebih panjang, efek sentralnya lebih
kuat.Efedrin merupakan non katekolamin sintetik kerja indirek yang menstimulasi
reseptor dan adrenergik. Efek farmakologis dari obat ini secara tidak langsung
menyebabkan lepasnya norepinefrin endogen (kerja indirek), tetapi obat ini juga
mempunyai efek langsung pada reseptor adrenergik (kerja direk).Efek
kardiovaskular dari efedrin sama seperti epinefrin: meningkatkan tekanan darah,
laju nadi dan curah jantung. Seperti biasanya, efedrin juga digunakan sebagai
bronkodilator. Ada perbedaan penting, bagaimanapun juga: efedrin mempunyai
masa kerja yang lama karena efedrin adalah nonkatekolamin, tidak begitu kuat,
mempunyai efek langsung dan tidak langsung, dan menstimulasi sistem saraf
pusat (meningkatkan konsentrasi alveoli minimum). Efek tidak langsung agonis
lainnya dari efedrin dapat terjadi karena stimulasi pusat, pelepasan norepinefrin
postsinaps perifer, atau inhibisi dari pengambilan kembali norepinefrin.
Efedrin biasa digunakan sebagai vasopressor selama anestesi. Sebagai
contoh, pemberiannya harus dilihat sebagai ukuran sementara selama penyebab
hipotensi masih ditentukan dan ditangani. Tidak seperti efek langsung agonis 1,
epinefrin tidak menurunkan aliran darah uteri. Ini membuatnya sebagai
vasopressor pilihan pada banyak penggunaan obstetri. Efedrin juga dilaporkan
memiliki efek antiemetik, terutama yang berhubungan dengan hipotensi karena
spinal anestesi. Premedikasi dengan klonidin melawan efek dari efedrin. Efedrin,
tidak seperti epinefrin, tidak menyebabkan hiperglikemi. Midirasis terjadi sejalan
dengan pemberian efedrin, dan stimulasi SSP terjadi, walaupun kurang bila
dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh amfetamin.

2. Dosis dan Sediaan


Pada dewasa, pemberian efedrin sebagai bolus 2,5 10 mg, pada anakanak

diberikan

bolus

0,1

mg/kg.

dosis

laluditingkatkan

untuk

menurunkanterjadinya takifilaksis, yang mungkin terjadi karena deplesi dari


penyimpanan norepinefrin. Efedrin tersedia pada sedian 1 ampul mengandung 25
atau 50 mg obat.
DOPAMINE
1. Pertimbangan Klinis
Dopamine adalah adrenergik agonis nonselektif langsung dan tidak langsung
yang mana efek klinisnya bervariasi dengan dosis klinis. Dosis kecil (<2
/kg/menit ) memiliki efek adrenergik minimal tetapi dengan reseptor aktif
dopamine. stimulasi dari reseptor non adrenergik ( secara khusus, DA 1
reseptor) vasodilatasi vascularisasi dari ginjal dan diuresis. Pada dosis
sedang (2-8 /kg/menit),stimulasi 1 mengandung kontraktilitas miocardial,
denyut jantung ataw heart rate, dan cardiac output. Kebutuhan oksigen pada
miocard biasanya meningkat lebih dari persediaan. Efek 1 menjadi penting
pada dosis yang lebih penting (8-20 /kg/menit), menyebabkan peningkatan
resistensi pembuluh darah perifer dan penurunan aliran darah ginjal. efek
dopamine secara tidak langsung karena pelepasan pada norephinefrine yang
menyerupai pada dosis diatas 20/kg/menit. dopamine umumnya digunakan
dalam pengobatan pada shock untuk meningkatkan cardiac output tekanan
darah dan menjaga fungsi ginjal. Dopamine sering digunakan dalam
kombinasi dengan vasodilator (misalnya, nitrogliserine ataw nitropruside),
yang mengurangi beban dan lebih meningkatkan cardiac ouput (lihat bab
13).
kcronothropic dan disrikmogenic merupakan efek dari dopamine yang dibatasi

kegunaan pada beberapa pasien.


Dua obat yang diteliti juga merangsang reseptor dopamine-ergic. Dopexamine
mengaktifkan 2 dan reseptor DA1. Akibatnya terjadi dilatasi pada pembuluh
darah perifer, meningkatkan cardiac output tanpa mengubah pemakaian oksigen
pada miocard, dan meningkatkan aliran darah ginjal. Fenoldopam, reseptor
agonis selektif baru DA1, menurunkan tekanan darah arteri sambil meningkatkan
perfusi ginjal.

2. Dosis dan Sediaan


Pemberian dopamine sebagai infus lanjutan (400 mg pada 1000 ml D 5W ; 400
/ml)
pada tingkat 1-20 /kg/menit. Umumnya disediakan dalam 5 ml dalam 1 ampul
mengandung 200 atau 400 mg dopamine.

ISOPROTERENOL

1.

Pertimbangan Klinis
Isoproterenol adalah agonis murni. Efek 1 meningkatkan denyut jantung,
kontraktilitas, dan cardiac ouput. Stimulasi 2 menurunkan resistensi pada
pembuluh darah perifer dan tekanan darah diastolik. Kebutuhan oksigen pada
miocard meningkat

sementara persediaan oksigen sedikit, membuat isoproterenol menjadi pilihan


inotropic pada kebanyakan situasi kadang isoproterenol dapat membalikan
tahanan atropin seperti bradikardi blok jantung derajat 3 atau blokade

berlebihan sampai alat pacu jantung dapat dimasukkan. Kini 2 agen selektif
(misalnya terbutalin) telah menggantikan pengunaanya sebagai bronkodilator.
Isoproterenol dapat menurunkan resistensi pembuluh darah paru pada beberapa
pasien dengan hipertensi pulmonal dan dapat berguna pada pasien dengan
penyakit katup mitral.

2. Dosis dan Sediaan


Infus isoproterenol (1 mg dalam 500 ml D5 W ; 2 /ml) pada pemberian 120g/menit, dititrasi pada denyut jantung. Isoproterenol tersedia dalam 1-5 dan
10 ml dalam 1 ampul mengandung 0,2 mg isoproterenol / ml

DOBUTAMIN

1. Pertimbangan Klinis
dobutamine adalah 1 agonis selektif. Dobutamine berpengaruh pada
kardiovaskuler yang dapat meningkatkan curah jantung sebagai akibat dari
kontraktilitas miocard. Sedikit penurunan pada resistensi pembuluh darah perifer
yang disebabkan oleh aktifitas 2 yang biasanya mencegah peningkatan tekanan
darah arteri yang banyak.
pengisian aliran darah pada ventrikular kiri menyebabkan meningkatnya aliran
darah pada koroner. Denyut jantung meningkat yang ditandai dengan agonis
lainnya. Ini merupakan efek yang menguntungkan pada keseimbangan oksigen
miocard yang membuat dopamine menjadi pilihan yang baik untuk pasien gagal

jantung kongestif dan penyakit jantung koroner, terutama jika resistensi


pembuluh darah perifer dan denyut jantung sudah meningkat.

2.

Dosis dan Sediaan

pemberian dobutamine pada infus ( 1g dalam 250 ml [4mg/ml] ) dengan laju 220 g/kg/menit. Persediaan dobutamin 20 ml dalam satu ampul mengandung 250
mg.

ANTAGONIS ADRENERGIK
Penghambat adrenergik atau adrenolitik ialah golongan obat yang
menghambat perangasangan adrenergik. Berdasarkan tempat kerjanya, golongan
obat

ini

dibagi

atas

antagonis

adrenoseptor

dan

penghambat

saraf

adrenergik.Antagonis adrenergik terikat tetapi tidak mengaktifkan adrenoreseptor.


Mereka beraksi dengan mencegah aktifitas agonis adrenergik. Seperti agonis,
antagonis dibedakan berdasarkan spektrum dari interaksi reseptor. (tabel 12-3)
BLOKER
terbagi menjadi bloker non selektif, 1 bloker selektif dan 2 bloker
selektif. bloker non selektif terbagi lagi menjadi 3 kelompok: derivat
haloalkalamin, derivat imidazolin dan alkaloid ergot.

FENTOLAMIN
1. Pertimbangan Klinis
Fentolamin memproduksi sebuah kompetitif (reversibel) memblokade
reseptor . Antagonisme1 dan relaksasi otot polos bertanggung jawab pada

vasodilatasi perifer dan penurunan pada tekanan darah arteri. Penurunan pada
tekanan darah memprovokasi reflek takikardi. Takikardi ini dirangsang oleh
antagonisme dari reseptor 2 pada jantung karena blokade 2 membuat pelepasan
norepinefrin dengan menghilangkan efek umpan balik. Efek kardiovaskular ini
biasanya timbul dalam 2 menit dan bertahan samapai 15 menit. Seperti semua dari
antagonis adrenergik, perpanjangan dari respon kepada respon blokade
bergantung kepada tingakatan dari tonus simpatetik yang sudah ada. Reflek
takikardi dan hipotensi postural membatasi kegunaan dari fentolamin kepada
pengobatan dari hipertensi yang disebabkan oleh pengeluaran berlebihan stimulasi
(cth: pheokromositomam efek putus obat klonidin).
Tabel 12-3. Selektifitas reseptor dari agonis adrenergik

Ket : 0,tidak ada efek; -, efek antagonis (ringan, sedang, ditandao). Labetalol juga
dapat mempunyai beberapa aktifitas agonis 2.
Fentolamin diberikan secara intravena sebagai blus intermiten (1-5 mg
pada dewasa) atau sebagai infus berkelanjutan (10 mg dalam 100 D5W [100
g/mL]). Untuk mencegah nekrosis jaringan diikuti ekstravasasi dari cairan
intravena mengandung sebuah agonis (cth: norepinefrine), 5 10 mg dari
fentolamin dalam 10 mL dari cairan fisiologis dapat diinfiltrasi secara lokal.
Fentolamin tersedia dalam sediaan bubuk lipofilik(5 mg).
ANTAGONIS CAMPURAN LABETALOL

1. Pertimbangan Klinis
Labetalol memblok reseptor 1-, 1- dan 2-. Perbandingan dari rasio
blokade dengan blokade telah diperkirakan untuk mendekati 1:7 mengikuti
pemberian intravena. Blokade campuran ini menurunkan tahan perifer vaskuler
dan tekanan darah arteri. Laju nadi dan curah jantung biasanya sedikit menurun
atau tidak berubah. Jadi, labetalol menurunkan tekanan darah tanpa reflek
takikardi karena kombinasinya dengan efek - dan -. Efek tertinggi biasanya
terjadi dalam 5 menit setelah dosis intravena. Gagal jantung kiri, paradoksikal
hipertensi, dan bronkospasme telah dilaporkan.
2. Dosis dan Sediaan
Dosis awal yang direkomendasikan dari labetalol adalah 0,1 0,25 mg/kg
diberikan secara intravena lebih dari 2 menit. Dua kali jumlah ini dapat diberikan
dengan interval 10 menit sampai tekanan darah yang diinginkan telah dicapai.
Labetalol dapat juga diberikan sebagai infus berkesinambungan yang lambat
(200mg dalam 250 mL D5W) dengan kecepatan rata-rata 2 mg/menit.
Bagaimanapun, karena waktu paruh yang panjang (>5 jam), infus yang
berkepanjangan tidak disarankan. Labetalol (5 mg/mL) tersedia dalam 20 dan 40
mL. Kemasan dosis ganda dan di 4 dan 8 mL dosis tunggal dalam jarum.

BLOKER
Dikloroisoproterenol adalah bloker yang pertama ditemukan tetapi tidak
digunakan karena obat ini juga merupakan agonis parsial yang kuat. Propranolol,
yang ditemukan kemudian menjadi prototipe golongan obat ini. bloker
mempunyai bermacam tingkatan dari selektifitas untuk reseptor 1. Merekayang
lebih ke reseptor 1 mempunyai pengaruh yang lebih sedikitpada bronkopulmonal
dan reseptor vaskular 2 (tabel 12-4). Secara teoritis, 1bloker yang selektif akan
mempunyai kemampuan efek inhibisi yang lebih sedikit terhadap reseptor 2.
Sehingga obat ini lebih dipilih untuk pasien dengan penyakit paru obstruksi
kronik tau penyakit perifer vaskular. Pasien dengan penyakit perifer vaskular

dapat secara potensial menurunkan aliran darah jika reseptor 2, yang mendilatasi
arteriol, diblok.
-bloker juga diklasifikasikan oleh jumlah dari aktifitas intrinsik
simpatomimetik(ISA) yang dimiliki. Banyak dari -bloker mempunyai bebrapa
peningkatan aktifitas agonis; walaupun merekatidak akan memproduksi efek yang
sama seperti agonis yang sepenuhnya, seperti epinefrin. -bloker dengan ISA
tidak memiliki keuntungan seperti -bloker tanpa ISA dalam mengobat pasien
yang mempunyai penyakit kardiovaskular. -bloker dapat diklasifikasikan lebih
lanjut seperti yang dieliminasi pada metabolismehepatis (seperti atenolol dan
metopronol), yang dikeskresikan diginjal tidak mengalami perubahan (seperti
atenolol), atau mereka yang dihidrolisa pada pembuluh darah (seperti esmolol).
Berdasarkan sifat-sifat ini, -bloker dibagi menjadi 3 golongan:

1. -bloker yang mudah larut dalam lemak (propranolol, alprenolol,


oksprenolol,labetalol, dan metoprolol) semuanya diabsorpsi secara baik
disaluran cerna, tetapi bioavaibilitasnya rendah karena mengalami
metabolisme lintas pertama yang ekstensif dihati.
2. -bloker yang mudah larut dalam air (astenolol, nadolol dan atenolol)
tidakmengalami metabolism, sehingga hampir seluruhnya siekskresikan
utuh melalui ginjal dan mempunyai waktu paruh yang panjang (> 6 jam).
3. -bloker

yang

kelarutannya

terletak

diantara

keduanya

(timolol,

bisoprolol,asetabutol dan pindolol) diabsorpsi dengan baik dari saluran


cerna, tetapi mengalami metabolisme lintas pertama yang berbeda
derajatnya.

ESMOLOL
1. Pertimbangan Klinis

Esmolol adalah antagonis 1selektif dengan masa kerja pendek yang


mengurangi laju nadi dan, untuk mengurangi tekanan darah yang berlebih. Obat
ini telah sukses digunakan untuk mencegah takikardi dan hipotensi pada
rangsangan

peripoertif,

seperti

intubasi,

rangsangan

pembedahan,

dan

EMERGENCE. Sebagai contohnya, esmolo (1 mg/kg) menyebabkan peningkatan


pada tekanan darah dan laju nadi yang biasanya diikuti dengan terapi
elektrokonvulsi, tanpa mempengaruhi lamanya kejang. Esmolol sama efektifnya
seperti propanolol dalam mengkontrol nadi ventrikuler dari pasien dengan atrial
fibrilasi atau flutter. Walaupun esmolol dipertimbangkan menjadi kardioselektif,
pada dosis tinggi dia menginhibisi reseptor 2 pada bronkus dan otot polos
vaskular.
Masa kerja yang pendek dari esmolol adalah karena redistribusi yang cepat
(waktu paruh distribusi adalah 2 menit) dan hidrolisis oleh sel darah merah
esterase (waktu paruh eliminasi adalah 9 menit). Efek samping dapat dibalik
dalam semenit dengan menghentikan infus. Sama seperti semua antagonis 1,
esmolol sebaiknya menghindari pasien dengan sinus bradikardi, blok jantung
lebih besar dari derajat 1, syok kardiogenik, atau bahkan gagal jantung.
Tabel 12-4. Farmakologi dari-bloker

ISA,Intrinsic sympathomimetic activity;+,efek ringan;0,tidak ada efek.

2. Dosis dan Sediaan


Esmolol diberikan sebagai bolus (0,2-0,5 mg/kg) untuk terapi jangka
pendek, seperti merangsang respon kardiovaskular untuk laringoskopi dan
intubasi. Pengobatan jangka panjang biasanya dimulai dengan dosis awal 0,5
mg/kg dimasukkan lebih dari 1 menit, diikuti dengan infus berkelanjutan 50
g/kg/menit untuk mempertahankan efek terapeutik. Bila ini gagal untuk
menghasilkan respon yang diinginkan dalam 5 menit, dosis awalnya dapat diulang

dan infusnya ditingkatkan dengan perhitungan 50 g/kg/menit setiap 5 menit


sampai maksimum dari 200 g/kg/menit. Esmolol tersedia dalam vial dengan
dosisi ganda untuk bolus. Pemberian mengandung 10 ml obat (10 mg/mL). ampul
untuk infus berkelanjutan (2,5 g dalam 10 mL) juga tersedia tetapi harus
diencerkan untuk pemberian dengan konsentrasi 10 mg/mL.
PROPANOLOL
1. Pertimbangan Klinis
Propanolol secara nonselektif memblok reseptor 1 dan 2. Tekanan
pembuluh darah arteri diturunkan dengan beberapa mekanisme, termasuk
menurunkan

kontraktilitas

otot

jantung,

menurunkan

laju

nadi,

dan

menghilangkan pelepasan rennin, curah jantung dan kebutuhan oksigen otot


jantung juga dikurangi. Iskemik berhubungan dengan peningkatan tekanan darah
dan laju nadi. IMPEDANCE dari ejeksi ventrikuler adalah menguntungkan pada
pasien dengan obstruksi kardiomiopati dan aneurisma aorta. Propanolol
memperlambat konduksi atrioventrikuler dan menstabilisasi membran miokard,
walaupun efek yang terjadi tidak begitu signifikan pada dosis klinis. Propanolol
biasanya efektif terutama dlaam memperlambat respon ventrikuler kepada
supraventrikuler takikardi, dan biasanya mengontrol takikardi ventrikuler yang
berulang atau fibrilasi yang disebabkan oleh iskemik miokard. Propanolol
memblok efek adrenergik dari tirotoksikosis dan pheokromasitoma.
Efek samping dari propanolol termasuk bronkospasme (antangonisme 2),
gagal

jantung

kongestif,

bardikardi,

dan

blok

jantung

atrioventrikuler

(antagonisme 1). Propanolol mungkin memburuk depresi miokard dari anestesi


inhalasi (cth: halotan) atau tidak menutupi karakteristik negatif inotropik dari
rangsangan jantung tidak langsung (cth: isoflurane). Pemberian terus-menerus
dari propanolol dan verapamil (sebuah bloker kalsium chanel) dapat secara sinergi
menekan laju nadi, kontraktilitas, dan induksi nodus atrioventrikuler.
Memberhentikan terapi -bloker untuk 24-48 jam dapat memacu gejala
putus obat yang ditandai dengan hipertensi (hipertensi yang berulang), takikardi,

dan angina pektoris. Efek ini timbul sebagai sebab dari peningkatan jumlah
reseptor adrenergik (up-regulasi). Propanolol mengikat protein secara ekstensif
dan dibuang dari metabolisme hati. Waktu paruh eliminasinya dari 100 menit
cukup lama dibandingkan esmolol.
2. Dosis dan Sediaan
Dosis individu membutuhkan propanolol yan bergantung kepada tonus
dasar simpatetik. Secara umum, propanolol dititrasi sesuai efek yang diinginkan,
dimulai dengan 0,5 mg dan meningkat dengan penambahan 0,5 mg setiap 3-5
menit. Dosis total jarang melebihi 0,15 mg/kg. Propanolol tersedia dalam ampul 1
mL berisi 1 mg.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penyusunan makalah ini dapat disimpulkan bahwa ;
1. Agonis adrenergik berinteraksi dengan perubahan tertentu

pada

adrenoseptor dan . Aktifitas yang tumpang tindih mempengaruhi


perkiraan dari efek klinis. adrenergik agonis dari yang lainnya adalah
struktur

kimiawinya.

Adrenergik

agonis

memiliki

struktur

3,4

dihidroksibenzen yang dikenal sebagai katekolamin. Obat-obatan ini


biasanya kerja pendek karena metabolismenya oleh monoamin oksidase
dan katekol-O-metiltransferase.Adrenergik agonis biasanya digunakan

pada anestesiologi. Penghambat adrenergik atau adrenolitik ialah golongan


obat yang menghambat perangasangan adrenergik. Berdasarkan tempat
kerjanya, golongan obat ini dibagi atas antagonis adrenoseptor dan
penghambat saraf adrenergik.Antagonis adrenergik terikat tetapi tidak
mengaktifkan adrenoreseptor. Mereka beraksi dengan mencegah aktifitas
agonis adrenergik. Seperti agonis, antagonis dibedakan berdasarkan
spektrum dari interaksi reseptor.
2. Jenis golongan obat agonis adrenergik antara lain ; epinefrin, norepinefrin,
pelinefrin, obat yang berargonis seperti dextemetodine, efedrin, dan
sebagainya. Sedangkan golongan obat antagonis adrenergik antara lain ;
fentolamin, labetalol, esmolol, propanolol, dan sebagainya.
B. Saran
Diharapkan bagi para pembaca agar dapat memahami materi ini dengan
baik, sehingga kita dapat mengetahui bagaimana efek farmakodinamik dan
farmakokinetik dari suatu obat-obatan yang digunakan dalam anestesi. Semoga
makalah ini sangat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA
Bagian Farmakologi Universitas Indonesia.: Farmakologi dan terapi, 4th ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,1995:Bab V,VI.
Ganiswara, Sulistia G(Ed), 1995, Farmakkologi dan Terapi, Edisi 4, Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta.
Morgan G. Edward,Jr, MD; Clinical Anesthesiolgy; 4 th ed. New york: The Mc
Graw-Hill, 2006: chapter 12.
Salma,

2011,

http://salmalovejemy.blogspot.sg/2011/10/farmakologi-

adrenergik.html. Diakses pada tanggal 1 november 2014

Siswandono, Soekardjo, B, 2008, Kimia Medisinal, Jilid 2, Airlangga University


Press, Surabaya.
Stoelting K. Robert, MD; Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice, 4 th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006: chapter 12.

You might also like