You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

ANATOMI PEMBULUH DARAH OTAK

Secara anatomis, pembuluh darah serebral terdiri dari dua sistem yaitu sistem karotis
dan sistem vertebrobasiler. Jatah darah ke otak 1/3 disalurkan melalui lintasan vaskuler
vertebrobasiler dan 2/3 melalui arteri karotis interna.
Tabel 1.1 Pembagian daerah otak yang diperdarahi pembuluh darah serebral
Anterior circulation (sistem karotis)
Anterior choroidal
Hippocampus, globus pallidus, lower internal capsule
Anterior cerebral

Medial frontal dan parietal cortex cerebri and subjacent white


matter, anterior corpus callosum

Middle cerebral

Lateral frontal, parietal, occipital, and temporal cortex and


subjacent white matter

Lenticulostriate branches

Caudate nucleus, putamen, upper internal capsule

Posterior circulation (sistem vertebrobasiler)


Posterior inferior cerebellar basilar

Medulla, lower cerebellum

Anterior inferior cerebellar

Lower and mid pons, mid cerebellum

Superior cerebellar

Upper pons, lower midbrain, upper cerebellum

Posterior cerebellar

Medial occipital and temporal cortex and subjacent white


matter, posterior corpus callosum, upper midbrain

Thalamoperforate branches

Thalamus

Thalamogeniculate branches

Thalamus

Anterior circulation (sistem karotis)


Stroke yang disebabkan karena pembuluh darah ini memberikan tanda dan gejala disfungsi
hemisfer serebri seperti afasia, apraxia, atau agnosia. Selain itu dapat juga timbul hemiparese,
gangguan hemisensoris, dan gangguan lapang pandang.
Posterior circulation (sistem vertebrobasiler)
Stroke yang disebabkan karena pembuluh darah ini memberikan tanda dan gejala disfungsi
batang otak termasuk koma, drop attacks (jatuh tiba-tiba tanpa penurunan kesadaran),

vertigo, mual dan muntah, gangguan saraf otak, ataxia, defisit sistem sensorimotorik
kontralateral (hemiparese alternans). Selain itu dapat juga timbul hemiparese, gangguan
hemisensoris, dan gangguan lapang pandang tetapi tidak spesifik untuk stroke yang
disebabkan sistem vertebrobasiler.

Gambar 1.1 Vaskularisasi otak

Gambar 1.2 Circle of Willis

1.2

TIPE DEFISIT NEUROLOGIS UMN & LMN

Memanjang dari :
Impuls dari medulla oblongata, pons , midbrain, cerebral cortex, dan impuls yang berjalan
sepanjang sensory fiber
Berjalan melalui nerve fibers yang descend di white matter dari supraspinal nerve center yang
berbeda-beda
Nerve fibers terpisahkan menjadi nerve bundles, disebut descending tract. Neuron
supraspinal beserta dengan traktus-traktusnya disebut Upper Motor Neuron (UMN)
Motor neuron di anterior gray column spinal cord mengirimkan akson untuk menginervasi
skeletal muscle melalui anterior root of the spinal nerve, disebut Lower Motor Neuron
(LMN)
LMN membentuk final common pathway ke otot
Termasuk descending pathway, terdiri dari 3 neuron
- First-order neuron : memiliki badan sel di korteks serebral , akson memanjang hingga
bersinaps dengan second-order neuron.
- Second order neuron : Internuncial pathway neuron hingga anterior gray spinal cord
LMN.

Third-order neuron : anterior gray column hingga ke otot skeletal (final common
pathway).

Gambar 1.3 Descending pathway

a. UMN (Upper Motor Neuron)


Terdapat traktus-traktus desending, yaitu :
- Traktus Kortikospinal : jaras yang berhubungan dengan voluntary, discrete, skilled
movements, terutama di alat gerak distal.
- Traktus Retikulospinal : fasilitasi/inhibisi aktifitas alpha dan gamma motor neuron di
anterior grey column dan memfasilitasi/ inhibisi aktivitas refleks.
- Traktus Tektospinal : visual stimuli yang berhubungan dengan reflex dilatasi pupil
dalam respon cahaya.
- Traktus Rubrospinal : fasilitas aktivitas otot fleksor dan inhibisi aktivitas otot
eksternal.
- Traktus Vestibulospinal : kebalikandari rubrospinal , dan postural
dengan
keseimbangan.
- Descending autonomic fiber : berhubungan dengan kontrol aktivitas viseral
(BAK,BAB, dll.)
Lesi pada UMN :

Gejala kontralateral

Spastik (tonus otot meningkat)


Reflex : reflex tendon meningkat dan kemungkinan muncul refleks patologis,
refleks superfisial (abdominal, cremaster) bisa menurun atau bahkan tidak ada,
dan plantar respon ekstensor.
Tidak ada fasikulasi
Muscle wasting tidak ada kecuali jika atrofi
Kelainan sensori : hemihipesthesia, dll.

b. LMN (Lower Motor Neuron)


LMN are neuron motorik yang terletak di anterior grey column, radiks anterior, atau nucleus
saraf cranial di batang otak dan saraf cranial dengan fungsi motorik (CN LMN). Semua
gerakan volunter berasal dari spinal LMN yang menginervasi otot skeletak dan berperan
sebahan penghubung antara UMN dengan otot.

Gambar 1.3 UMN dan LMN


Lesi pada LMN:
1 Paralisis
2 Atrofi
3 Fasikulasi
4 Hipotonus
5 Refleks menurun/hilang
6 Flasid

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

DEFINISI

Stroke adalah gangguan atau disfungsi otak, yang timbul secara mendadak, baik
fokal atau global, akibat tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh darah
dengan defisit neurologis yang terjadi lebih dari 24 jam atau terjadi kematian. Bila disfungsi
otak ini sembuh sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam dinamakan TIA (Transient
Ischemic Attack).
2.2

EPIDEMIOLOGI

Secara global, 15 juta orang mengalami stroke. Dari 15 juta orang ini, 5 juta orang
meninggal dan 5 juta mengalami disabilitas permanen. Depkes RI (2007) menyatakan
prevalensi stroke di Indonesia adalah 8.3 per 1000 penduduk.
Stroke iskemik memiliki angka kejadian 85% dari seluruh stroke, terdiri dari 80% stroke
aterotrombotik dan 20% stroke kardioemboli.
Data kejadian stroke emboli jantung di Bagian I.P. Saraf RSHS Bandung periode 1
Januari 2004 30 Juni 2005:
6.3% dari 584 pasien stroke infark
25 perempuan, 12 laki-laki
Stroke emboli berulang 24,5% tersering 6 bulan setelah serangan pertama.
2.3

FAKTOR RESIKO

Berbagai faktor yang berperan di dalam terjadinya stroke telah diketahui dan
memberikan dasar bagi program pencegahan yang efektif. Faktor-faktor resiko stroke dapat
dibagi menjadi faktor stroke yang tidak dapat diubah dan faktor stroke yang dapat diubah:
1. Faktor resiko yang tidak dapat diubah
a. Umur
Bertambahnya umur merupakan faktor resiko yang terpenting untuk
terjadinya serangan stroke, dimana umur merupakan faktor resiko yang paling
penting bagi semua jenis stroke. Insiden stroke meningkat secara eksponensial
dengan bertambahnya umur.
b. Jenis Kelamin
Terdapat perbedaan insidens stroke pada pria dan wanita, insidensi stroke
pada pria lebih tinggi, walaupun pria memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena
stroke namun penderita wanita lebih banyak yang meninggal, hal ini karena penderita
stroke berjenis kelamin perempuan memiliki resiko kematian 2,68 kali lebih besar
dari pada penderita pria.
c. Suku/Ras

Orang asia memiliki kecenderungan terkena stroke lebih besar dari orang
eropa, hal ini ada kaitannya dengan lingkungan hidup, pola makan dan sosial
ekonomi. Makanan asia lebih banyak mengandung minyak dari pada makanan orang
eropa. Menurut data kesehatan di amerika serikat, penduduk yang berasal dari
keturunan afrika-amerika beresiko terkena serangan stroke 2 kali lebih besar dari
penduduk keturunan eropa.
d. Keturunan/Keluarga
Jika kedua orang tua pernah mengalami stroke maka kemungkinan
keturunannya terkena stroke semakin besar. Riwayat keluarga adanya serangan stroke
atau penyakit pembuluh darah iskemik, sering pula didapat terjadi pada penderita
stroke yang muda.
2. Faktor resiko yang dapat diubah
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko terpenting untuk semua tipe stroke, baik
stroke perdarahan maupun stroke infark. Peningkatan resiko stroke terjadi seiring
dengan peningkatan tekanan darah. Diperkirakan resiko stroke meningkat 1,6 kali
setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah sistolik dan sekitar 50% kejadian stroke
dapat dicegah dengan pengendalian tekanan darah.
b. Diabetes Mellitus
Diabetes mempercepat terjadinya arterosklerosis baik pada pembuluh darah
keci (mikroangiopati) maupun pembuluh darah besar (makroangiopati) diseluruh
pembuluh darah termasuk pembuluh darah otak dan jantung. Kadar glukosa darah
yang tinggi pada stroke akan memperbesar meluasnya area infark (sel mati) karena
terbentuknya asam laktat akibat metabolisme glukosa yang dilakukan secara anaerob
(oksigen sedikit) yang termasuk jaringan otak.
c. Kelainan Jantung
Penderita dengan kelainan jantung beresiko tinggi terhadap terjadinya stroke
bila dibandingkan dengan yang tidak mempunyai kelainan jantung. Lesi dijantung
dapat pula melepaskan emboli ke sirkulasi arterial, seperti mural thrombus akibat
infark yang lama atau thrombus yang terjadi pada fibrilasi atrium.
d. Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena stroke dua sampai empat kali.
Merokok memberikan konstribusi terbentuknya plak pada arteri. Asap rokok
mengandung beberapa zat berbahaya yang sering disebut zat oksidator. Zat oksidator
ini menimbulkan kerusakan dinding arteri dan menjadi tempat penimbunan lemak,
sel trombosit, kolesterol, penyempitan dan pergeseran arteri diseluruh tubuh
termasuk otak, jantung dan tungkai, sehingga merokok dapat memicu terjadinya

aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan menyebabkan darah menggumpal


sehingga beresiko terkena stroke.
e. Aktivitas fisik (olahraga)
Berbagai kemudahan hidup yang didapat seperti mencuci dengan mesin cuci
untuk rumah tangga, banyaknya kendaraaan bermotor serta kemajuan teknologi
membuat aktifitas seseorang semakin hari semakin ringan atau mudah, namun
dampak dari kemajuan teknologi ini sesorang dapat menjadi pasif dan cenderung
menimbulkan masalah berat badan dan dapat meningkatkan resiko terjadinya
hipertensi yang nantinya memicu terjadinya aterosklerosis bila masalah berat badan
tidak diimbangi dengan olahraga yang cukup.
f.

Minum Alkohol
Alkohol dapat meningkatkan tekanan darah secara cepat. Seseorang yang
mengkonsumsi alkohol lebih dari 3 gelas atau lebih setiap hari sudah cukup untuk
meningkatkan tekanan darah.
g. Diet
Diet dengan tinggi lemak dan kurangnya buah dan sayur dapat meningkatkan
resiko terjadinya stroke.
2.4

ETIOLOGI

Stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari empat kejadian, yaitu: (1). Trombosit
(bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher). (2). Embolisme serebral (bekuan
darah atau material lain yang dibawah ke otak dari bagian tubuh yang lain. (3). Iskemia
(penurunan aliran darah ke area otak). (4). Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah
serebral dengan perdarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah
penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen
gerakan, berpikir memori, bicara atau sensasi.
2.5

KLASIFIKASI STROKE

Stroke dapat dibagi menjadi 2 kategori utama yaitu, stroke iskemik dan stroke
hemoragik.
1. Stroke Iskemik
Stroke iskemik terjadi pada otak yang mengalami gangguan pasokan darah yang
disebabkan karena penyumbatan pada pembuluh darah otak. penyumbatnya adalah
plak atau timbunan lemak yang mengandung kolesterol yang ada dalam darah.
Penyumbatan bisa terjadi pada pembuluh darah besar (arteri karotis), atau pembuluh
darah sedang (arteri serebri) atau pembuluh darah kecil.
Penggolongan stroke iskemik atau infark dikelompokkan sebagai berikut :
a. Transient Ischemic Attack (TIA)

Suatu gangguan akut dari fungsi lokal serebral yang gejalanya berlangsung
kurang dari 24 jam atau serangan sementara dan disebabkan oleh thrombus
atau emboli.
b. Reversible Ischemic Nerurological Defisit (RIND)
Gejala neurologis dari RIND akan menghilang kurang lebih 24 jam,
biasanya RIND akan membaik dalam waktu 2448 jam.
c.

Stroke In Evolution (SIE)


Pada keadaan ini gejala atau tanda neurologis fokal terus berkembang
dimana terlihat semakin berat dan memburuk setelah 48 jam. Defisit
neurologis yang timbul berlangsung bertahap dari ringan sampai menjadi
berat.

d. Complete Stroke Non Hemorrhagic


Kelainan neurologis yang sudah lengkap menetap atau permanen tidak
berkembang lagi bergantung daerah bagian otak mana yang mengalami
infark.
2.

Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik terjadi pada otak yang mengalami kebocoran atau pecahnya
pembuluh darah di dalam otak, sehingga darah menggenangi atau menutupi ruangruang jaringan sel otak. Adanya darah yang mengenangi atau menutupi ruang-ruang
jaringan sel otak akan menyebabkan kerusakan jaringan sel otak dan menyebabkan
kerusakan fungsi kontrol otak. Beberapa jenis stroke hemoragik, yaitu:
a. Hemoragik subaraknoid (hemoragik yang terjadi di ruang subaraknoid)
dapat terjadi sebagai akibat dari trauma atau hipertensi tetapi penyebab
paling sering adalah kebocoran aneurisma.
b. Hemoragik interaserebral, yaitu hemoragik atau perdarahan di substansi
dalam otak yang paling umum terjadi pada pasien dengan hipertensi dan
aterosklerosis serebral karena perubahan degeneratif karena penyakit ini
biasanya menyebabkan ruptur pembuluh darah.
2.6

PATOGENESIS

2.6.1

STROKE ISKEMIK/INFARK

Pada dasarnya infark serebral terjadi dalam dua proses yaitu, menurunnya supali
oksigen dan glukosa akibat oklusi pembuluh darah, dan perubahan metabolism selular karena
penurunan pembentukan energi (ATP).
a. Faktor vaskular
Oklusi pada arteri dan arteriol menyebabkan penyempitan pada pembuluh darah
tersebut. Pada awalnya aliran darah akan dipindah tempatkan, jika iskemia
berlangsung terlalu lama maka akan terjadi kerusakan pada endotel dan aliran darah
yang normal tidak dapat dikembalikan. Oklusi ini akan menyebabkan suplai glukosa

dan oksigen menurun sehingga pembentukan ATP oleh mitokondria juga menurun.
Jika maksimum kompensasi aliran darah serebral terlampaui, maka ATP yang
dibentuk semakin sedikit, potassium ekstraselular dan kalsium intraseluler akan
meningkat, serta terjadi asidosis selular akibat akumulasi asam laktat yang tinggi.
Abnormalitas biokimia ini akan menyebabkan kematian pada sel saraf (nekrosis).
Selain itu, kegagalan pembentukan ATP in juga menyebabkan terjadinya depolarisasi
pada membrane sel.
b. Faktor metabolik
Berkurangnya produksi ATP pada otak akan menyebabkan gangguan pada
pengeluaran neurotransmiter terutama glutamat dan aspartat. Pengeluaran glutamat
dari sel iskemik mengganggu permeabilitas membran sel sehingga channel ion Ca 2+,
K+, dan Na+ terganggu. Hal ini menyebabkan terjadinya edema sitotoksik dan
merusak struktur neuron.
2.6.2

STROKE HEMORAGIK
a. Perdarahan intraserebral
Sebagian besar perdarahan intraserebral disebabkan oleh hipertensi kronis dan
degenerasi dari arteri serebral. Lesi pada pembuluh darah hipertensi menyebabkan
pembuluh darah menebal, lipohialinosis segmental, dan mikroaneurisma CharcotBoucard. Jika aneurisma yang terbentuk mengalami ruptur, maka perdarahan akan
terjadi pada parenkim otak. Jika perdarahan yang terbentuk besar, maka tekanan
intrakranial akan meningkat dan terjadi kompresi pada jaringan otak di sekitarnya.
b. Perdarahan subaraknoid
Perdarahan yang terjadi disebabkan oleh pembentukan aneurisma sakular atau
disebut juga dengan aneurisma berry. Aneurisma ini merupakan gelembung kecil
berdinding tipis pada arteri atau percabangannya dari circle of Willis. Pembuluh
darah tersebut sangat lemah dan bagian intima menonjol keluar, hanya ditutupi oleh
lapisan adventitia. Gelembung tersebut semakin lama semakin membesar sampai
menyebabkan ruptur aneurisma.

Faktor
Risiko
Oklusi
arteri

Suplai glukosa

Suplai O2

Mitokondria
gagal
Pompa Na+K+
tidak dapat

Penumpukan asam
laktat
Asidosis
selular

depolaris
Pengeluaran
neurotransmi

Ca2+

Glutamat

K+

Aktivasi
enzim
degradasi
Membran neuron
hancur

Mengganggu
permeabilitas

Kematian
neuron
Bagan 2.1 Patogenesis stroke infark

Faktor Risiko
(c/: hipertensi

Perubahan

Pembentukan
aneurisma Charcot-

Dinding pembuluh
darah melemah
Aktivitas,
emosi

Tekanan
darah
ruptur
Perdarahan pada
parenkim otak
Tekanan
intrakranial
Menekan ke struktur di
sekitarnya

Batang
cerebr
Sistem
ARAS
otak
al
ventrikular
Defisit
Kesadaran
hidrosefal
Mual,
neurologis

us
muntah
Bagan 2.2 Patogenesis Stroke Hemoragik (intraserebral)
2.6 MANIFESTASI KLINIS
2.7.1

STROKE INFARK

Infark serebri diawali dengan terjadinya penurunan Cerebral Blood Flow (CBF) yang
menyebabkan suplai oksigen ke otak akan berkurang. Derajat dan durasi penurunan Cerebral
Blood Flow (CBF) kemungkinan berhubungan dengan jejas yang terjadi. Jika suplai darah ke
otak terganggu selama 30 detik, maka metabolisme di otak akan berubah.
Setelah satu menit terganggu, fungsi neuron akan berhenti. Bila 5 menit terganggu
dapat terjadi infark. Bagaimanapun, jika oksigenasi ke otak dapat diperbaiki dengan cepat,
kerusakan kemungkinan bersifat reversibel.
a. Aterotrombotik
- Diawali dengan adanya riwayat episode prodromal sebelumnya yang
merupakan serangan sementara dan reversible.
- Jika oklusi terjadi pada arteri karotis dan arteri serebri media, gejala yang
dapat muncul pada serangan awal hemiplegia, hemianastesia, atau
gangguan daram berbicara dan bahasa.
- Jika terjadi pada system vertenrobasilar, episode prodromal berupa
vertigo, diplopia, kebas, gangguan penglihatan pada satu atau dua mata, dan
disartria.

Serangan awal dapat terjadi dalam rentang waktu beberapa menit hingga
beberapa jam, umumnya tidak lebih dari 10 menit.

b. Emboli
Stroke emboli dabat disebabkan oleh emboli yang berasal dari jantung atau dari arteri
ke ateri. Bahan emboli terdiri dari fragmen-fragmen hasil pemecahan thrombus.
Embolus tadi biasanya akan tersangkut pada bifurkasi dari lumen pembuluh
intrakranial yang sempit. Embolus dalam ukuran besar dapat menyumbat pembuluh
darah berukuranbesar, sedangkan fragmen berukuran kecil akan mencapai pembuluh
dengan diameter 0,2 mm.
Gejala yang muncul :
- Dari seluruh jenis stroke, kardioemboli merupakan jenis yang berkembang
paling cepat timbul pada saat beraktivitas dan mendadak.
- Jika embolus mencapai serebelum akan menimbulkan gejala ataksia.
c. Lakunar
Infark terjadi pada arteri-arteri kecil pada otak, biasanya pada arteri kecil yang
penetrasi ke otak. Stroke lakuner biasanya berhubungan dengan kombinasi antara
hipertensi, atherosklerosis dengan diabetes mellitus. Stroke lakuner dapat didiagnosa
hanya melalui karakteristik gejala klinisnya yaitu hemiparesis motorik murni,
sindrom sensorik murni, clumsy hand, dysarthria, hemiparesis dengan ataksia,
sindrom sensorimotor.
2.7.2

STROKE HEMORAGIK
a. Perdarahan intraserebral
Perdarahan terjadi paling sering disebabkan adanya hipertensi kronis. Sringkali
terjadi pada saat beraktivitas dengan karakteristik gejala :
- Nyeri kepala
- Mual
- Muntah
- Penurunan kesadaran bergantung pada seberapa luas perdarahan terjadi,
biasanya terganggu pada keadaan awal dan menjadi jelas dalam 24-48 jam.
- Kejang.
b. Perdarahan subaraknoid
Perdarahan terjadi di area subaraknoid, biasanya darah akan terlokalisasi di sekeliling
membran. dan cairan serebrospinal. Gejala yang biasanya muncul :
- Sakit kepala hebat dan mendadak
- Mual dan muntah
- Penurunan kesadaran secara mendadak dan cepat bisa sampai koma.
Pecahnya aneurisma seringkali terjadi pada saat beraktivitas (mengejan, mengangkat
benda berat, emosi meningkat) dibandingkan pada saat beristirahat.
Jika darah yang keluar dalam jumlah besar masuk ke dalam sistem ventricular dapat
menyebabkan pasien kebingungan atau tidak sadar, dan mengalami hidrosefalus akut.

2.7.3

BERDASARKAN LOKASI
Tabel 2.1 Gejala klini pada system karotis dan vertebrobasilar
Sistem Karotis
Sistem Vertebrobasiler
Hemiparese kontralateral
Hemiparese alternans
Hemihipestesia kontralateral
Hemihipestesia alternans
Kebutaan monokular
Nystagmus, diplopia, vertigo
Disartria
Disfonia, disfagia
Gangguan fungsi luhur :
Tinnitus, hilang keseimbangan (ada
- Dominan afasia
keterlibatan serebelum)
- Non-dominan agnosia

2.8

DIAGNOSIS

2.8.1

PERBEDAAN BERDASARKAN ANAMNESIS

Tabel 2.2 perbedaan gejala pada stroke


Stroke Infark
Anamnesis
Trombotik
Emboli
Usia
Tua (50-70 tahun)
Semua umur
Onset/awitan
Saat beristirahat
Saat beraktivitas
Gejala
Bertahap
Cepat
Kesadaran
Normal
Normal
Tekanan Darah
Sedang-tinggi
Normal-sedang
Nyeri kepala
(-)
(-)
Kejang
(-)
(-)
Kaku kuduk
(-)
(-)
Muntah
(-)
(-)
Ataksia
(+)/(-)
(+)/(-)
Jelas
Kelumpuhan dan
Jelas
(lambatpemulihan
(cepat-membaik)
membaik/menetap)

Stroke Hemoragik
Intraserebral
Subaraknoid
Tua (40-60 tahun) Muda (20-30 tahun)
Saat beraktivitas
Saat beraktivitas
Cepat
Cepat
Menurun
Normal/Menurun
Tinggi-maligna
Rendah-sedang
(+)(+)
(+)(+)(+)(+)
(+)
(+)(+)(+)(+)
(-)/(+)
(+)(+)(+)(+)
(+)(+)
(+)(+)(+)(+)
(-)
(-)
Jelas

Ringan

Tabel 2.3 perbedaan di antara jenis stroke iskemik/infark

Kejadian

Aterotrombotik
Mendadak

Tromboembolik
Mendadak

Onset/awitan

Saat beristirahat

Saat beraktivitas

Kesadaran normal
Bertahap, Worsening

Kesadaran normal
Maximum at onset,
perbaikan lambat

Defisit Neurologis :
- Global
- Fokal

2.8.2

PEMERIKSAAN UMUM

Kardioembolik
Mendadak
Saat beristirahat,
beraktivitas
Kesadaran menurun
Maximum at onset,
perbaikan cepat

Pemeriksaan utama pada pasien yang dicurigai menderita stroke adalah tingkat
kesadaran dan status kardiopulmonari yang bertujuan untuk menentukan kondisi kegawat
daruratan atau tidak.
2.8.3

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mengetahui lokasi, etiologi, dan ukuran dari
stroke yang diderita oleh seorang pasien. Pemeriksaan neurologis yang dilakukan adalah :
1. Saraf otak saraf otak I-XII
2. Fungsi motorik inspeksi kondisi otot terutama pada ekstremitas, tonus,
kekuatan otot, dan fasikulasi
3. Fungsi sensorik ekstroseptif, propioseptif
4. Refleks fisiologis bisep, trisep, brakioradialis, patella, Achilles, abdomen
5. Refleks patologis babinski, chaddock, openheim, rossolimo, mendelbechterew, Gordon, Schaefer, Hoffman-tromner
6. Refleks meningeal kaku kuduk, brudzinski I, II, III, IV, Laseque, kernig.
7. Refleks regressi glabella, snout, palmo-mental, grasp.
2.8.4

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada penanganan stroke adalah pemeriksaan
radiologi, pemeriksaan laboratorium, EKG, lumbal pungsi, atau EEG.
- Pemeriksaan radiologi yang dianjurkan adalah CT scan dan MRI kepala
deteksi gangguan pembuluh darah di otak.
- Beberapa pemeriksaan yang dianjurkan :
a. Seluruh pasien
MRI dan CT scan tanpa kontras, Glukosa darah, elektrolit, tes fungsi ginjal,
EKG, penanda iskemi jantung, darah lengkap, waktu protrombin, activated
partial thromboplastin time, saturasi oksigen.
b. Pasien tertentu
Tes fungsi hati, uji toksikologi, kadar alkohol darah, tes kehamilan, analisis
gas darah (untuk mendeteksi keadaan hipoksia), radiografi dada (jika
dicurigai adanya penyakit paru), lumbal pungsi (jika pada CT tidak
ditemukan atau tidak terlihat adanya perdarahan dan dicurigai adanya
perdarahan subaraknoid), EEG (jika ada kejang).
- Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada pasien stroke adalah :
a. Stroke Infark darah rutin (Hb, kadar gula darah, elektrolit, leukosit, laju
endap darah), waktu protrombin parsial, waktu protrombin, hitung trombosit
untuk mengevaluasi keadaan hiperkoagulasi.
b. Stroke hemoragik darah rutin, pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS).
Pada perdarahan yang massif biasanya dijumpai warna CSS merah,
sedangkan pada perdarahan yang kecil warna masih normal atau
xantochromia.

2.9

TATA LAKSANA

2.9.1

TATA LAKSANA UMUM STROKE AKUT


A. Di IGD
1. Evaluasi cepat dan diagnosis:
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologis dan skala stroke
2. Terapi umum:
Stabilisasi jalan napas
- monitor status neurologis, tanda vital, dan saturasi oksigen dalam
72 jam.
- Pemberian oksigen untuk keadaan dengan saturasi oksigen < 95%
- Pemasangan alat bantu napas dan bantuan ventilasi untuk pasien
yang tidak sadar dengan gangguan jalan napas.
- Intubasi dilakukan pada pasien hipoksia, syok, atau berisiko terjadi
aspirasi.
Stabilisasi hemodinamik (kristaloid, CVC, monitor TD dan jantung)
Pemeriksaan awal fisik umum
- TD, jantung
- Neurologi umum awal GCS, pupil dan okulomotor, keparahan
hemiparesis
Pengendalian peninggian tekanan intrakranial (TTIK)
- Pemantauan ketat penderita dengan risiko edema serebral.
- Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS < 9 dan
mengalami penurunan kesadaran.
- Sasaran TIK < 20 mmHg, CPP (Cerebral Perfusion Pressure) >
70 mmHg.
- Penatalaksanaan meliputi : meninggikan posisi kepala 20-30 o,
hindari posisi yang menekan vena jugular, hindari pemberian
cairan glukosa atau cairan hipotonik, hindari hipertermia dan jaga
normovolemia.
- Selain iti juga dilakukan osmoterapi dengan indikasi manitol
0,25-0,50 gr/kgBB selama > 20 menit, diulangi setiap 4-6 jam
dengan target 310 mOsm/L (periksa osmolalitas 2x/hari selama
terapi).
- Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat
stroke iskemik serebralis.
- Tindakan bedah dekompresif dilakukan pada keadaan iskemik
serebelar yang menimbulkan efek masa (menyelamatkan nyawa,
hasilnya baik).
Penanganan transformasi hemoragik (tidak ada terapi khusus, TD)
Pengendalian kejang (diazepam bolus lambat IV 5-20 mg diikuti
fenitoin loading dose 15-20 mg/kg bolus)
Pengendalian suhu tubuh (antipiretik acetaminophen, atasi
penyebab)

Pemeriksaan penunjang (EKG, lab, LP, CT scan)

B. Di Ruang Rawat
1 Cairan (NaCl isotonik 0.9%, elektrolit ->Na, K, Ca, Mg)
2 Nutrisi (dalam 48 jam, enteral, jika tidak bisa menelan pasang NGT)
3 Pencegahan dan penanganan komplikasi.

2.9.2

TATA LAKSANA STROKE ISKEMIK AKUT


1. Tata laksana umum
a. Tirah baring dengan posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat untuk
mencegah postural hypertension
b. Pemakaian kateterurin
c. Diet rendah garam per NGT
d. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
e. Penatalaksanaan hipertensi, hiperglikemi, hipoglikemi, dehidrasi
f. Mobilisasi dan rehabilitasi dini.
2. Tata laksana khusus
a. Obat antiplatelet
menghambat agregasi trombosit sehingga pembentukan thrombus tidak
terjadi.
i. Aspirin (asetosal, asamasetil-salisilat)
Dosis: oral 1300 mg/hari dibagi 2 atau 4x pemberian. Sebagai anti
trombosit dosis 325 mg dalam 24-48 jam setelah awitan stroke.
PERDOSSI merekomendasikan dosis 80-320 mg/hari untuk pencegahan
sekunder stroke iskemik.
ii. Tiklopidin
Dewasa dan orang tua: 2x250 mg/hari diminum bersama makanan
b. Obat antiko agulan
i. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke
ulang awal, menghentikan perburukan defisit neurologis, atau
memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut tidak
direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien dengan stroke
iskemik akut.
ii. Antikoagulasi urgent tidak direkomendasikan pada penderita dengan
stroke akut sedang-berat karena meningkatnya resiko komplikasi
perdarahan intrakranial.
iii. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dalam jangka waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian intravena rtPA tidak direkomendasikan.
iv. Secara umum, pemberian heparin LMWH, atau heparinoid setelah
stroke iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli
masihmerekomedasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke
iskemik akut dengan resiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteria
tau stenosis berat arteri karotis sebelum pembedahan. Kontraindikasi

pemberian heparin juga termasuk infark besar lebih dari 50%, hipertensi
yang tidak dapat terkontrol, dan perubahan mikrovaskuler otak yang
luas.

2.9.3

PENATALAKSANAAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL


1. Tatalaksana Umum
a Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan. Oksigen diberikan apabila saturasi
<95%. Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien yang mengalami
hipoksia, syok, dan beresiko mengalami aspirasi.
b Stabilisasi hemodinamik
Cairan kristaloid dan koloid intravena. Hindari cairan hipotonik
c Pengendalian tekanan intracranial :
Elevasi kepala 20-30ountukmencegah postural hypertension
Posisi pasien jangan menekan vena jugular
Hindari pemberian cairan glukosa, cairan hipotonik, dan hipertermia.
Jaga normovolemia.
2. Tatalaksana Medis Perdarahan Intakranial
a. Penggantian faktor koagulasi dan trombosit jika pasien mengalami
defisiensi. Apabila terdapat gangguan koagulasi dapat diberikan :
Vitamin K 10 mg intravena pada pasien dengan INR menigkat.
Plasma segar beku (fresh frozen plasma) 2-6 unit.
b. Pencegahan tromboemboli vena dengan stoking elastis.
c. Heparin subkutan bisa diberikan apabila perdarahan telah berhenti sebagai
pencegahan tromboemboli.
d. Kontrol tekanan darah dan kadar glukosa darah
e. Pemberian anti epilepsi apabila terdapat kejang.
f. Prosedur /operasi
Penanganan tekanan intrakrnaial
Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi
transtentorial, atau dengan perdarahan intraventikular yang luas atau
hidrosefalus
Pada pasien dengan bekuan darah di lobus dengan jumlah >30 ml dan
terdapat di 1 cm dari permukaan dapat dikerjakan kraniotomi standar
untuk evakuasi perdarahan intracranial supratentorial.
Evakuasi Hemtaom
Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intracranial, kegunaan
tidakan operasi masih belum pasti
Pasien dengan perdarahan intraserebral yang mengalami perburukan
neurologis, atau yang terjadi kompresi batang otak, atau hidrosefalus
akibat kompresi ventrikel, sebaiknya menjalani operasi evakuasi
bekuan darah secepatnaya. Tata laksana awal pada pasien tersebut

2.9.4

dengan drainase ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak


direkomendasikan.
Pada pasien dengan bekuan darah di lobus >30 ml, dan terdapat di 1
cm dari permukaan, evakuasi perdarahan intracranial supratentorial
dengan kraniotomi standar dapat dipertimbangkan.

PENATALAKSANAAN PERDARAHAN SUBARAKNOID


1. Tatalaksana Umum
a. Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II :
Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin
Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30 0 dalam ruangan
dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O 2 23 l/menit
Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam menilai tingkat
kesadaran)
Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan
monitoring yang ketat sistem kardiopulmoner dan kelainan neurologi
yang timbul.
b. Pasien PSA derajat III, IV, dan V perawatan harus lebih intensif.
Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang
Gawat darurat
Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semi intensif.
Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan nafas yang adekuat perlu
dipertimbangkan intubasi endotracheal dengan hati-hati terutama
apabila didapat tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial.
2. Pencegahan dan tatalaksana vasopasme
Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke 3 atau
secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari.
3. Tindakan operasi pada aneurisma rupture
Operasi clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan untuk
mengurangi perdarahan ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.

2.9.5

PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA STROKE AKUT

Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah
sistolik (TDS) >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kegiatan hipertensi pada
pasien stroke akut sekitar 73.9%. sebesar 22.5-27.6% di antaranya mengalami peningkatan
tds >180 mmHg. Banyak studi menunjukkan adanya hubungan terbentuuk kurva U antara
hipertensi pada stroke akut iskemik maupun hemoragik dengan kematian dan kecacatan.
Hubungan tersebut menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pad level tertentu berkaitan
dengan tingginya kematian dan kecacatan.

Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak
dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keadaan neurologis. Pada sebagian
besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah
awitan serangan stroke. Berbagai guideline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009)
merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan
secara hati-hati denagn memperthatikan berbagai kondisi di bawah ini.
a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik
maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila TDS >220
mmHg atau TDD >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan
diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185
mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Classs I, Level of evidence B).
selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD
<105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang
digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem
intravena.
b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb, Level of
evidence C) apabila TDD <200 mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) >
150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunkana obat antihipertensi
intravena secara kontinyu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan
tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan
intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena secara kontinyu atau intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi
serebral 60 mmHg.
d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan
tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hatihati dengan menggunkana obat antihipertensi intravena kontinyu atau intermiten
dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau
tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS
hingga 140 mmHg diperbolehkan =. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence
B).
e. Pada pasien stroke PIS dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan tekanan darah
dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa, Level
of evidence B). Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100 mmHg.
f. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada
penderita stroke PIS.
g. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol dan
esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena,
digunakan dalam upaya di atas.
h. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidka digunakan karena mengakibatkan
peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak.
i. Pada perdarahan subarachnoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau
dan dikendaikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah
resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Untuk mencegah terjadinya PSA


berulang, pad pasien stroke PSA akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS
140-160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai
target TDS dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, tetapi hal ini bersifat
individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan
vasospasme dan komorbiditas kardiovaskular.
j. Calcium channel blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan
penatalaksanaan PSA karena data memperbaiki keluaran fungsional pasien
apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini menyatakan
bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin.
k. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat
dilakukan dalam penatalaksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal
(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan darah
belum jelas.
l. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangakan hingga lebih
rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ
lainnya, misalnya diseksi aorta, AMI, edema paru, ARF, dan ensefalopati
hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan
TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.
2.10

PENCEGAHAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mengatur pola makan yang sehat


Menghentikan konsumsi rokok
Menghindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
Melakukan olahraga yang teratur
Menghindari stress dan beristirahat yang cukup
Rehabilitasi
a. Posisi tidur pasien
b. Latihan pasif anggota gerak atas dan bawah
c. Latihan keseimbangan
d. Latihan menggunakan tangan yang lumpuh
e. Latihan mobilisasi
f. Latihan komunikasi
i. Latihan menggunakan huruf A, I, U, E, O
ii. Latihan mendengar suara, musik, kaset berisi suara anggota keluarga
iii. Latihan berkomunikasi menggunakan papan yang bergambar atau
berupa tulisan
g. Latihanmelakukankegiatansehari-hari
i. Tata cara makan
ii. Tata cara berpakaian
iii. Tata cara menggunakan kamar kecil
iv. Tata cara berpindah

2.11KOMPLIKASI

2.11.1 KOMPLIKASI NEUROLOGIS (TERJADI PADA FASE AKUT)


Edema otak (herniasi otak)
Merupakan komplikasi yan penting stok akibat infark maupun karena perdarahan.
Pada kasus infark, edema terjadi secara vasogenik dan sitoksik, pada intra dan extraseluler.
Edema mencapai maksimum setelah 4-5 hari paska infark, diikuti dengan mengaburnya alur
gyrus kortikal dan seiring pembesaran infak, terjadi pergeseran garis tengah otak (midline
shift). Setelah terjadi midline shift, herniasi transtentorial pun terjadi dan mengakibatkan
iskemia serta perdarahan di batang otak bagian rostral.
Infark berdarah (pada emboli otak)
Emboli otak pada prinsipnya berasal dari jantung dan pembuluh darah besar
ekstrakranial. Emboli yang berasal dari pembuluh darah arteri leher, biasanya dibentuk dari
kombinasi keping darah dan fibrin atau dengan kolesterol. Atheroma akan mengenai intima,
awalnya terdapat deposit dari fatty streak, lalu diikuti oleh plak fibromuskuloelastis pada sel
otot intima yang diisi lemak. Atheroma ini biasanya memiliki ukuran yang lebih besar
daripada ukuran pembuluh darah. Jika terjadi pelebaran yang mendadak dari plak akibat
meningkatnya perdarahan pada tempat tersebut, maka endotel yang mengandung fibrin dan
bekuan darah tadi akan robek, dan terjadi perdarahan. Kebanyakan cenderung sepanjang
perbatasan yang diperdarahai oleh anastomosis A.meningeal atau bila di A.serebri media
terdapat di ganglia basalis. Kesadaran pasien tiba-tiba menurun dan pernafasan mengorok.
Pada pemeriksaan pungsi lumbal ditemukan cairan serebrospinal berdarah.
Vasospasme (terutama pada PSA)
Fisher dkk, menemukan bahwa spasme sering terjadi pada pembuluh darah arteri
yang dikelilingi oleh sejumlah besar darah subarachnoid. Vasospasme ini timbul sebagai
akibat langsung dari darah atau sebagian produk darah, seperti hematin atau produk keping
darah, pada dinding adventitia dari pembuluh darah arteri. Gejala vasospasme berupa
penurunan kesadaran (misalnya bingung, disorientasi, drowsiness) dan defisit neurologis
fokal tergantung pada daerah yang terkena. Gejala-gejala berfluktuatif dan dapat menghilang
dalam beberapa hari atau secara gradual menjadi lebih berat.
Mekanisme lain terjadinya vasospasme ialah sebagai respon miogenik langsung terhadap
pecahnya pembuluh darah serta adanya substansi vasotaktif seperti serotonin, prostaglandin
dan katekolamin.
Hidrosefalus
Jika sejumlah besar darah, sebagai akibat ruptur pembuluh darah, merembes ke
dalam sistem ventrikel atau membanjiri ruang subarachnoid bagaian basal, darah tersebut
akan memasuki foramen Luschka dan Magendie. Dimana pasien akan mengalami penurunan
kesadaran hingga pingsan sebagai akibat dari hidrosefalus akut. Gejala akan membaik jika
dilakukan draining ventrikel, dengan ventrikulostomi eksternal, atau pada beberapa kasus
dapat dilakukan punksi lumbal. Hidrosefalus sub akut dapat terjadi akibat blokade jalur
cairan serebrospinal oleh darah setelah 2 hingga 4 minggu. Keadaan ini biasanya didahului
oleh nyeri kepala, penurunan kesadaran dan inkontinen.

Higroma
Terjadinya pengumpulan darah intrasecerbral di suatu tempat akibat kelainan
osmotik.
2.11.2 KOMPLIKASI NON NEUROLOGIS (TERJADI PADA FASE AKUT)

A. Akibat proses di otak :


Tekanan darah meninggi
Peninggian tekanan darah pada fase akut merupakan respon fisiologis terhadap
iskemia otak, dan tekanan darah akan turun kembali setelah fungsi otak membaik kembali.
Selain itu tekanan darah tinggi intrakranial, di mana terjadi iskemia batang otak atau
penekanan batang otak. Bila neuron yang menghambat aktivitas simpatis di batang otak
menjadi tidak aktif karena penekanan batang otak maka akan terjadi hipertensi.
Hiperglikemi
Pada stroke, sama seperti iskemi daerah hipothalamus, dapat terjadi reaksi
hiperglikemi. Kadar gula darah sampai 150-175 mg% pada fase akut tidak memerlukan
pengobatan. Penderita dengan perdarahan subarakhnoid ditemukan gangguan fungsi vegetatif
yang bersifat glukosuria dan keadaan ini berhubungan dengan konsentrasi katekolamin yang
tinggi dalam sirkulasi.
Edema paru
Edema paru dapat terjadi pada penderita perdarahan intraserebral dan perdarahan
subarakhnoid. Edema paru akut dapat didahului oleh disfungsi kardiovaskuler secara primer,
misalnya infark miokard atau sekunder akibta kelainan susunan saraf pusat; atau edema paru
akibat langsung dari pusat edemagenic seebral. Proses terjadinya edema paru akibat
kelaianan susunan saraf pusat yaitu secara langsung melalui sistem saraf otonom terutama
mekanisme vagal. Mekanisme lain disebutkan, bahwa edema paru merupakan akibat
pelepasan simpatis berlebihan disertai hipertensi sistemik dan hipertensi pulmonal
mengakibatkan peninggian permeabilitas vaskuler pada paru. Pelepasan simpatis tersebut
dicetuskan oleh tekanan tinggi intrakranial, hipoksia otak atau lesi di hipothalamus.
Kelainan jantung
Kelainan jantung berupa gangguan ritme jantung atau aritmia jantung, terjadi pada
strok fase akut. Sebanyak 50% menunjukkan ventrikuler ektopik berat, kelainan lain berupa
ventrikuler takikardia, blok AV komplit, dan asistolik. Kelainan ini lebh sering pada
gangguan sirkulasi anterior (sistem karotis). Pada penderita perdarahan subarakhnoid, aritmia
jantung dapat menyebabkan kematian. Kelainan jantung lainnya pada penderita strok fase
akut berupa kerusakan miokard disertai peninggian kadar enzim jantung pada serum, aritmia
jantung dan peninggian kadar katekolamin plasma.
Kelainan EKG
Perubahan EKG yang ditemukan pada penderita dengan kerusakan susunan saraf
pusat terutama perdarahan subarakhnoid yaitu ST-T abnormal, gelombang T besar atau

terbalik, pemanjangan interval QT dan gelombang U yang menonjol. Kelainan EKG sering
menyerupai penyakit jantung iskemia dan kadang miokard infark. Frekuensi saat dan
lamanya kelainan tersebut tidak dapat dipastikan, dan dalam pengalaman biasanya timbul
selambat-lambatnya dalam 8 hari setelah onset.
- ST-T abnormal : Biasanya terlihat terutama pada hipokalemi dan berbagai gangguan
metabolik. Gelombang T besar atau terbalik. T terbalik biasanya menandakan adanya
suatu iskemia miokard transmural atau aneurisma

Gelombang T yang sangat tinggi paling sering ditemukan pada hiperkalemia dan hiper
kalsemia. Juga ditemukan pada bradikardi,iskemi subendokardi, cerebrovaskular accident dan
left ventricle overload.
- Pemanjangan interval QT : Disebabkan oleh obat-obatan seperti Type 1A
antiarrhythmic agents (quinidine, procainamide, disopyramide) & tricyclic
antidepressants/phenothiazines (hipnotik dan major tranquilizer) gangguan
keseimbangan elektrolit Hypokalemia, hypocalcemia atau hypomagnesemia juga
menyebabkan pemanjangan interval QT untuk CNS, cerbrovaskular accidents, stroke,
seizure, coma, intracerebral or brainstem bleeding. Hipertensi,hipotermi dan diet protein
cair juga dapat menyebabkan pemanjangan interval QT
- Gelombang U yang menonjol :Gelombang u yang terbalik paling sering disebabkan oleh
penyakit jantung koroner dan hipertensi.
Syndrome Inappropiate Anti Diuretik Hormon (SIADH)
Rangsangan lesi pada daerah hipothalamus dapat menyebabkan diabetes insipidus
atau SIADH, dengan gejala intoksikasi air (anoreksia, mual, muntah, letargi, hiperiritabilitas,
delirium, bahkan koma).
- Natriuresis
- Retensi cairan tubuh
- hiponatremia
Perdarahan subarakhnoid pada binatang percobaan, menimbulkan hiponatremia dan
natriuresis disertai gangguan sekresi hormon anti diuretik. Keadaan ini terjadi pada hari ke 56 setelah onset dan dapat dijumpai pada setiap penderita dengan kelainan intrakranial.
2.11.3 KOMPLIKASI NON NEUROLOGIS (KRONIK)
A. Bronkopneumonia
Merupakan infeksi paru dan sebagai penyebab kematian tersering pada strok.
Keadaan ini sering terjadi pada penderita yang berbaring terus, terutama disertai gangguan
menelan, gangguan reflek muntah dan reflek batuk dan akibat gerakan paru yang berkurang.
Riwayat merokok dan infeksi paru misalnya bronkhitis kronis dakan meningkatkan resiko
terjadinya bronkopneumonia.

B. Tromboplebitis

Trombosis vena dalam menimbulkan gejala klinik berupa pembengkakan pada paha
dan betis, sering disertai pitting edem, nyeri lokal dengan peninggian suhu. Trombosis vena
dalam paha pada penderita strok sering terjadi pada tungkai yang lumpuh dan sering bersifat
subklinis. Tetapi edem pada tungkai yang lumpuh dan disertai nyeri belum tentu suatu
trombosis vena dalam. Insidensi kelainan ini terjadi pada penderita strok fase akut. Trombosis
vena dalam terjadi selama 14 hai sesudah onset strok dengan puncaknya pada hari ke-5 atau
sekitar hari ke-10 setelah onset. Pada penderita yang dirawat di rumah sakit, hampir 50%
terjadi pada betis, 35% pada paha dan 15% mulai betis yang menjalar ke paha. Cranial
Trombosis vena dalam dapat menyebabkan bekuan dalam darah dan bila menjalar ke kranial
dapat menyebabkan emboli paru.

C. Emboli paru
Insiden emboli paru yang berasal dari vena femoralis dan vena bagian ilio-ingiuinal
lebih tinggi dibandingkan vena di betis. Emboli paru biasanya terjadi secara mendadak dan
merupakan kasus darurat medik. Emboli paru ditemukan pada 50% penderita strok yang
meninggal dan kadang-kadang sebagai penyebab kematian.

D. Depresi
Gangguan emosi terutama kecemasan, frustasi, dan depresi merupakan masalah
tersering pada penderita strok. Depresi sering disalahtaksirkan dengan motivasi yang kurang,
terutama pada penderita dengan gangguan komunikasi bermakna. Umumnya depresi yang
terjadi karena adanya masalah-masalah yang kompleks misalnya biaya, pekerjaan,
kemungkinan cacat seumur hidup (menetap) dan hubungan dalam perkawinan. Depresi dapat
dijumpai walaupun pada penderita strok dengan cacat yang ringan, karean apada dasarnya
setiap cacat akan mengganggu kehidupan normal yang ada sebelumnya.

E. Nyeri dan kaku pada bahu


Nyeri dan kaku pada bahu sisi tubuh yang hemiplegi sangat sering dijumpai dan
biasanya akibat kesalahan berbaring serta kesalahan letak/posisi anggota gerak yang lumpuh
pada fase akut. Nyeri dan kaku pada bahu dapat terjadi akibat:
Kontraktur akibat spastis
shoulder-hand syndrome atau post-hemiplegic reflex sympathetic
dystrophy. Pada kasus berat terjadi demineralisasi kaput dan kollum humerus.
Inflamasi pada jaringan lunak disekeliling sendi. Keadaan ini terjadi di akromioklavikula, sendi gleno-humeral, tendon biseps dan bursa subdeltoid.
Kalsifikasi ektopik pada jaringan periartikuler
Fraktur kollum humerus.
Dislokasi sendi bahu, terutama terjadi pada keadaan flasid.

F. Spastisitas umum
Biasanya bersifat ringan, ditemukan pada penderita strok fase kronik/lanjut.

G. Radang kandung kemih

Infeksi traktus urinarius terutama pada penderita yang menggunakan kateter.

H. Kelumpuhan saraf tepi


Pada penderita strok dapat terjadi lesi kompresi radiks dan saraf tepi yang bervariasi,
terutama akibat anggota gerak yang lumpuh, tidak diletakkan dalam posisi yang baik. Saraf
tepi yang sering terkena adalah N. Radialis, N. Ulnaris, N. Peroneus komunis dan N.
Iskhiadikus.

I. Kontraktur dan deformitas


Kontraktur dapat terjadi mengikuti spastisitas berat yang berlangsung lama.
Terjadinya kontraktru akibat adanya perubahan jaringan lunak disekitar sendi yang bersifat
ireversibel. Kadang-kadang dijumpai keadaan kombinasi kontraktur dan spastisitas, misalnya
deformitas equinovarus dan deformitas pronasi-fleksi lengan dan tangan.

J. Dekubitus
Dekubitus terjadi pada pasien yang berbaring lama.

K. Atrofi otot
Akibat pasien terlalu lama tidak menggunakan ototnya.

2.12

PROGNOSIS

2.12.1 PERJALANAN DAN PROGNOSIS PADA STROKE ISKEMIK


Mortalilty rate pada pasien stroke berdasarkan branford dan kawan-kawan adalah,
pada akhir bulan pertama 19%, pada 1 tahun pertama 23%. Pada yang berhasil bertahan
hidup, 65% bisa hidup secara independen. Pada pasien-pasien yang hidup lama, penyakit
jantung lebih sering menjadi penyebab kematian dibandingkan serangan stroke ulang.
Pneumonia juga sering ditemukan sebagai penyebab kematian.
2.12.2 PERJALANAN DAN PROGNOSIS STROKE HEMORAGIK
Prognosis untuk pasien dengan bekuan berukuran besar dan sedang adalah sangat
buruk. Beberapa pasien, 30 sampai 35 pasien meninggal dalam waktu sama dengan atau
kurang dari 30 hari.
2.12.3 BARTHEL INDEX
Barthel index adalah instrumen yang digunakan untuk menilai apa yang pasien bisa
lakukan. Tujuan utamanya adalah untuk mengukur derajat kemandirian pasien baik secara
fisik maupun verbal meskipun hanya minor. Pengukuran dapat dilakukan dengan cara

menanyakan kepada pasien, keluarga/kerabat, dan perawat. Bisa juga dilakukan dengan
mengobservasi secara langsung. Ada 10 indikator, yaitu :
1. Makan (Feeding)
0 tidak mampu
5 butuh bantuan memotong, mengoles mentega, dll
10 mandiri
2. Mandi (Bathing)
0 membutuhkan bantuan orang lain
5 mandiri
3. Perawatan diri (Grooming)
0 membutuhkan bantuan orang lain
5 mandiri dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan bercukur
4. Berpakaian (Dressing)
0 bergantung pada orang lain
5 sebagian dibantu (misal: mengancing baju)
10 mandiri
5. Buang air besar (Bowel)
0 inkontinensia (tidak teratur atau perlu enema)
5 terkadang inkontinensia
10 kontinensia (teratur)
6. Buang air keci (Bladder)
0 inkontinensia atau pakai kateter dan tidak terkontrol
5 kadang inkontinensia
10 kontinensia
7. Penggunaan toilet
0 bergantung pada orang lain
5 membutuhkan bantuan namun dapat melakukan beberapa hal sendiri
10 mandiri
8. Transfer
0 tidak mampu, saat duduk tidak seimbang
5 butuh bantuan (satu atau dua orang) untuk bisa duduk
10 butuh bantuan kecil (verbal maupun fisik)
15 mandiri
9. Mobilitas
0 imobil
5 menggunakan kursi roda
10 berjalan dengan bantuan satu orang
15 mandiri meskipun menggunakan alat bantu seperti, tongkat
10. Naik turun tangga
0 tidak mampu naik atau turun tangga
5 membutuhkan bantuan (alat bantu)
10 mandiri
Skor dari setiap indikator dijumlahkan kemudian interpretasikan berdasarkan jumlah
tersebut untuk menentukan tingkat ketergantungan. Nilai 0-20 menandakan ketergantungan
penuh, nilai 21-60 menandakan ketergantungan yang parah, nilai 60-99 menandakan
ketergantungan yang ringan, dan 100 menandakan tidak bergantung.

DAFTAR PUSTAKA

1. Richard S Snell, Clinical Neuroanatomy, Seventh Edition, Lipincott Williams &


Wilkins: 2010
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Guideline Stroke 2011,
Jakarta:2011
3. Pinzon R., Asanti L. Awas Stroke. Andi. Yogyakarta:2010
4. Whardana W.A. Strategi mengatasi & bangkit dari stroke. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta:2011
5. Gofir, A. Manajemen stroke komprehensif. Pustaka Cendekia Press.
Yogyakarta:2007
6. Junaidi, I. Stroke waspadai ancamannya. Penerbit Andi: Yogyakarta:2011
7. Merritts Textbook of Neurology 9th Ed. Williams & Wilkins. 1995.

You might also like