You are on page 1of 5

MAKALAH REVIEW JURNAL RERODUKSI DAN PEMULIAAN

TUMBUHAN
BI-4208
SEX DETERMINATION IN FLOWERING PLANTS

Tanggal presentasi

: 9 April 2015

Tanggal pengumpulan : 16 April 2015

Disusun oleh :
Julio Subagio
10611066

PROGRAM STUDI BIOLOGI


SEKOLAH ILMU TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2015

REVIEW: PENENTUAN JENIS KELAMIN PADA TANAMAN BERBUNGA


Secara umum, determinasi seksual adalah proses diferensiasi seks yang melibatkan berbagai
konsep genetik untuk menentukan jenis kelamin individu. Pada tumbuhan berbunga,
mekanisme reproduksi yang umum dijumpai adalah penyerbukan silang (cross
polination/outcrossing). Penyerbukan silang bertujuan untuk menghindari efek buruk dari
polinasi sendiri (inbreeding) serta meningkatkan genetic heterozigosity, serta variasi dan
pertukaran genetik, yang bermanfaat bagi kelestarian jangka panjang bagi tumbuhan itu
sendiri. Dalam perjalanan evolusinya, tumbuhan telah mengembangkan mekanisme untuk
mendukung polinasi silang, termasuk diantaranya pemisahan antara organ seksual jantan dan
betina pada individu tumbuhan. Dalam hal ini, terdapat 3 jenis tumbuhan berdasarkan letak
organ seksualnya, yaitu monoecious, dimana bunga jantan dan betina terletak pada individu
yang sama; dioecious, dimana bunga jantan dan betina terletak pada individu yang berbeda;
dan hermafrodit, dimana bunga pada individu tersebut memiliki stamen dan pistilum pada
bunga yang sama. Berikut ini akan dibahas mengenai contoh mekanisme penentuan jenis
kelamin pada tumbuhan, baik pada tumbuhan monoecious maupun dioecious. Mayoritas
tumbuhan berbunga adalah hermafrodit, hanya 4% yang bersifat murni dioecious dan 7%
yang bersifat murni monoecious.
Jagung merupakan salah satu tumbuhan yang sering dijadikan model dalam determinasi
seksual bunga pada monoecious. Pada jagung, bunga uniseksual (floret) muncul pada
perbungaan yang terpisah. Pada perbungaan terminal (tassel), hanya terdapat bunga yang
memiliki stamen, sedangkan pada perbungaan aksiler (ear), hanya terdapat bunga yang
memiliki pistil. Pembentukan bunga dimulai melalui induksi meristem vegetatif untuk
membentuk meristem perbungaan. Dari meristem perbungaan, muncul bakal (initial) secara
akropetal. Kemudian, bagian bawah initial berkembang menjadi primordia cabang
(bifurkasi), sedangkan initial lain menjadi 2 primordia spikelet. Masing-masing spikelet
membentuk 2 braktea atau bakal glume, diikuti dengan bifurkasi kedua untuk membentuk 2
primordia bunga (primary & secondary floret). Setiap primordia bunga menginisiasi
pembentukan lemma, palea, sepasang lodicule, serta 3 stamen dan gynoecium sentral. Proses
ini terjadi pada setiap bunga, baik pada tassel maupun ear.
Determinasi seks bunga terjadi setelah urutan proses tadi telah selesai. Pada ear, bakal stamen
dan primordia bunga sekunder akan mengalami kematian, sedangkan gynoecuim sentral akan
mengalami pematangan, sehingga pada ear, bunga hanya memiliki 1 gynoecium fungsional.
Sedangkan pada tassel, bakal gynoecium mengalami kematian, sedangkan keenam stamen
dari floret primer dan sekunder mengalami pematangan. Selain organ seksual, karakteristik
seksual sekunder pada tassel dan ear juga mengalami diferensiasi terpisah. Pada ear, glume
tidak mengalami pemanjangan, tipis, dan cenderung transparan. Kedua spikelet tetap bersifat
sesil, tanpa menutupi floret. Sedangkan pada tassel, spikeler membentuk glume, salah satu
pedisel dari tiap pasang spikelet memanjang, menutupi stamen dan terselubung oleh trikoma.
Diagram proses diferensiasi pembentukan bunga pada jagung akan ditampilkan oleh gambar
berikut.

Gambar 1. Proses diferensiasi organ bunga pada jagung.


Pada tumbuhan monoecious, proses determinasi seks diregulasi oleh gen determinan pada
proses perkembangan. Pada jagung misalnya, determinasi seks ditentukan oleh gen ts
(tasselseed). Mutasi pada gen ts1 dan ts2 akan mengganggu proses determinasi seks normal,
sehingga berdampak pada transformasi bunga tassel menjadi memiliki pistilum. Mutasi pada
kedua gen ini mengakibatkan proses kematian sel pada bunga tassel menjadi terbalik,
sehingga bakal stamen mengalami kematian sedangkan bakal gynoecium mengalami
pematangan. Pembalikan pembentukan organ ini diakibatkan oleh pembentukan pistil
terminal pada pembungaan, sehingga bunga tersebut menjadi gynoecious. Mutasi pada jalur
biosintesis gibberellin dapat mengakibatkan gangguan pada proses kematian sel pada bakal
stamen bunga ear tanpa mempengaruhi gynoecia. Hal ini menyebabkan ear menjadi
hermafrodit. Proses perkembangan organ seksual oleh gen ts dan biosintesis gibberellin
bersifat independen satu sama lain.
Kromosom seks yang bersifat heteromorfik jarang ditemui pada tanaman berbunga, namun
terdapat beberapa pengecualian, diantaranya termasuk dari genus Rumex, Cannabis,
Humulus, dan Silene. Silene adalah salah satu organisme model dari kromosom seks
heteromorfik yang sering dipelajari. Pada Silene, jantan bersifat heterogametik (XY),
sedangkan betina homogametik (XX). Seperti pada mammalia, Silene memiliki sistem
aktivasi kromosom Y, dimana keberadaan kromosom Y dapat menekan perkembangan sifat
betina. Pada kromosom Y, terdapat 3 region berbeda yang memiliki fungsi terpisah dalam
penentuan seks, yaitu gen yang menekan formasi gynoecium, gen pengatur male fertility
factor, dan gen inisasi anther. Berikut adalah deskripsi dari kromosom seks pada Silene.

I -suppresses gynoecium
formation

II -promotes anther
initiation
III- governs male
fertility factor
IV -homologous to
segment of X
chromosomes

Gambar 2. Pembagian region pada kromosom Y Silene.


Selain aktivasi kromosom Y, pada Silene juga terdapat rasio kromosom X dengan autosom
(X:A ratio). Rasio ini menentukan jenis kelamin bunga berdasarkan perbandingan jumlah
antara kromosom X dengan autosomnya. Pada poliploid, rasio X:A 1 atau lebih akan
menghasilkan betina, sedangkan 0,5 atau kurang akan menghasilkan jantan. Meski demikian,
keberadaan kromosom Y akan menginisiasi pembentukan organ jantan. Sifat betina dapat
muncul dalam pengaruh kromosom Y hanya jika rasio kromosom Y:X adalah 1:4, sehingga
menghasilkan sifat hermafrodit. Berikut adalah deskripsi pengaruh rasio X:A terhadap jenis
kelamin bunga.

Gambar 3. Pengaruh X:A ratio terhadap jenis kelamin bunga pada Melandrium (Silene).

Selain mekanisme genetik dan kromosomal, jenis kelamin bunga juga dapat dipengaruhi oleh
faktor lain, seperti suhu, hormon, cahaya, dan nutrisi. Sebagai contoh, pada bunga
Mercurialis annua, kadar cytokinin trans-zeatin dapat menginduksi primordia bunga menjadi
karpel. Secara umum, mekanisme determinasi seks pada tumbuhan bersifat speciesdependent. Faktor yang sama dapat berpengaruh pada mekanisme yang berbeda pada
tumbuhan. Sebagai contoh, gibberellin akan mempengaruhi sifat betina pada jagung, namun
sebaliknya, menginduksi sifat jantan pada mentimun. Variasi ini dapat disebabkan oleh
mekanisme spesifik yang dimiliki oleh masing-masing tumbuhan.

Daftar Pustaka
Ainsworth, C. C. 2005. Sex Determination in Plants. London. Taylor & Francis
Dellaporta, Stephen L. 1993. Sex Determination in Flowering Plants. The Plant Cell, 5(10):
1241-1251

You might also like