Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Demam typoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi
yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Selama terjadi infeksi
Salmonella typhi bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan
dilepaskan ke aliran darah (Darmowandowo, 2008).
Demam typhoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh
infeksi sistemik Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar
dibedakan dengan penyakit demam lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi. Pada demam tifoid kuman masuk melalui
makanan atau minuman, dan masa inkubasi demam tifoid adalah 10-14 hari (IDAI, 2010).
2.2
Epidemiologi
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid pada anak di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi
menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun
1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu
dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens Demam tifoid bervariasi tiap daerah dan biasanya
terkait dengan sanitasi lingkungan, di daerah jawa barat 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di
perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi
lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan
(Widodo, 2006). Di Indonesia terdapat dalam keadaan endemik. Penderita anak yang
ditemukan biasanya berumur di atas satu tahun. Sebagian besar dari penderita(80%) yang
dirawat berumur di atas 5 tahun (IKA, 1985).
2.3
Etiologi
Salmonella typhi, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora.
Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella paratyphi (S.paratyphi)
ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke Plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika
(Widodo, 2006).
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk
dalam sirkulasi darah (menyebabkan bakterimia asimptomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagositit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik (Widodo, 2006).
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secaraintermittent ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental,
dan koagulasi (Widodo, 2006).
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan
(S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi (Widodo, 2006).
2.5
Diagnosis
2.5.1
Manifestasi Klinis
Keluhan dan gejala Demam tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu
ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara
klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi
usus, dan keluhan susunan saraf pusat (Darmowandowo, 2008).
1. Demam
Demam lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin
meninggi, sehingga pada minggu ke 2 Demam tinggi terus menerus terutama pada
malam hari.
2. Gejala gastrointestinal
Pada abdomen dapat ditemukan berupa obstipasi, diare, mual, muntah dan
kembung.
Bibir kering dan pecah-pecah (regaden), lidah ditutupi selaput putih kotor
(coated tounge), ujung dan tepinya kemerahan.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif,
terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa
hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai
sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam
membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya
leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
2. Uji Widal
a. Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara
antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami
pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H)
yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan
titer antibodi dalam serum.
b. Serologi Widal, kenaikan titer S.typhi O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer
fase akut ke fase konvalesens. Biasanya baru positif pada minggu II, pada
stadium rekonvalescen titer makin meninggi.
c. Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara
lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti
status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan
antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis
atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
d. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang
positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid
(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh
dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan
karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point).
Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar
(baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis
seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada
anak-anak sehat.
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada
demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan
demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana
didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan
antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi.
2.5.3
Pemeriksaan Radiologi
1. Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.
2. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi
usus atau perdarahan saluran cerna.
a. Pada perforasi usus tampak : Distribusi udara tak merata, airfluid level,
bayangan radiolusen di daerah hepar, udara bebas pada abdomen.
2.6
Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengakapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia, serta higiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga.
2. Pemberian Antimikroba
Klorampenikol
o Di Indonesia masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati
demam
tifoid.
Dosis
yang
diberikan
50-100
Amoksisilin
o Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan
klorampenikol,
dosis
yang
dianjurkan
Kotrimoksasol
o Efektivitas obat ini hampir sama dengan klorampenikol. Dosis
yang diberikan 6 mg/kgBB/hari selama 10 hari dieberikan secara
oral.
Sefriakson
o Dengan dosis 80mg/kgBB/hari, satu kali sehari selama 10 hari dan
diberikan secara intravena atau intramuscular.
Sefiksim
o Dengan dosis 10mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari
diberikan secara oral.
3. Bedah
2.7
2. Ekstra-Intestinal
1. Komplikasi hematologi
Berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan prothrombin time,
peningkatan partial tromboplastin time, peningkatan fibrin degradation
products sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID). Trombositopenia
juga dapat terjadi hal ini mungkin karena menurunnya produksi trombosit di
sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit
di sistem retikuloendotelial.
2. Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan
demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada S.paratyphi.
2.8
Setalah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat
dengan kalori cukup.
Pemantauan
Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari ke 4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adakah
komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik, atau
kemungkinan salah menegakkan diagnosa.
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik,
nafsu makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi.
Pengobatan dapat dilanjutkan di Rumah.
BAB III
LAPORAN KASUS
1.1
Identitas :
Nama
: 8,5 th.
1.2
BB
: 24 kg.
Alamat
:Kelurahan Benjamati/Pulosari.
MRS
Anamnesa
Keluhan Utama : Panas dan muntah.
RPS :
Pasien datang dengan keluhan panas dan muntah 4 hari. Panas naik
turun.Saat pagi hari badan tidak terlalu panas. Panas makin tinggi dirasakan
menjelang magrib dan malam panas sekali. Pasien juga muntah-muntah dikit-dikit
tapi sering. Apapun yang dimakan akan dimuntahkan pasien. Pasien mengeluh
mual dan sariawan di mulut. Nafsu makan menurun semenjak sakit dan minum
juga. Pagi hari saat dirawat pasien juga sempat menggigil. Pasien sempat BAB
lembek tapi tidak cair tapi hanya 1x sehari dan berampas.
RPD :
o Pasien sempat demam 1 bulan yg lalu. Pasien sempat pingsan dan
demam sampai menggigil. Pasien dibawa berobat, setelah minum obat,
demam pasien menurun.
o Pasien menderita maag sejak 3 tahun yang lalu.
RPK :
o TB(-), DM (-), keluhan yang sama (-).
RP.Sos :
o Makan minum menurun semenjak sakit.
o BAK normal
o BAB 1x lembek tapi tidak cair.
o Tempat tinggal pasien daerah perkampungan, 100 meter dari jalan raya.
o Dalam satu rumah ada 5 penghuni, pasien adalah anak bungsu dari 2
bersaudara.
o Pasien konsumsi Air putih yang dimasak setiap hari.
o Kamar mandi terletak dalam rumah, dan letak septik tank 100 meter dari
rumah.
Riwayat Imunisasi :
o Imunisasi dasar lengkap.
o Ibu pasien sudah mendapat vaksinai TT sebelum menikah.
1.3
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum :
o Lemah
o Kesadaran :Composmentis, GCS 456.
Vital sign
Anemia
(-),
ikterus
(-),
lagoftalmus
(-),
hordeolum(-),
o Telinga :
Sekret (-), nyeri (-), gatal(-), berbau (-), korpus alienum (-)
o Hidung :
Sekret (-/-), NCH (-/-), pendarahan (-/-), mukosa hidung normal (+/
+), berbau (-/-).
o Mulut :
Pucat (-), sianosis (-), trismus (-), halitosis (-), petekie palatum (-),
oral thrush (-), coated tounge (+), tremor lidah (-), karies dentis (-),
hipersalivasi (-), stomatitis (+), faring hiperemis (-), pembesaran
tonsil (-).
Leher :
o Tortikolis (-), massa (-), nyeri tekan (-), kaku kuduk (-), Distensi Vena
jugularis (-), scrofuloderma (-).
Thoraks :
o Bentuk dada : simetris (+), barrel chest (-), pektus ekskavatum/karinatum
(-/-).
o Payudara : normal (+/+), tumor (-/-), nyeri tekan (-/-).
o Kulit : spider nevi (-), kolateral (-).
o Axilla : Pembesaran kelenjar limfe (-).
o Paru :
Palpasi : Simetri (+/+), Fremitus suara sama kanan dan kiri (+/+),
krepitasi subkutis (-/-)
Perkusi : Sonor (+/+), hipersonor (-/-), redup (-/-), nyeri ketok (-/-
Auskultasi :
o Jantung :
o Abdomen :
Inspeksi : simetris (+), asites (-), skafoid (-), vena kolateral (-),
hernia umbilikalis (-), diastasis rekti (-), omfalokel (-)
Perkusi : Timpani (+), asites (-), pekak hati (+), pekak lien (+),
fenomena papan catur (-), meteorismus (-).
o Ekstremitas :
o Tulang belakang :
1.4
Normal (-), kifosis (-), skoliosis (-), Gibbus (-), Nyeri (-).
Hasil Laboratorium
Tgl 27/5/11
DL:
o Lekosit 5,1
o Eritrosit 4,71
o Trombosit 187.000
o Hct 37,7
o Hb 12,9
Tgl 29/5/11
DL:
o Lekosit 3,4 lekopeni
o Eritrosit 4,29
o Trombosit 142.000 trombositopeni
o HCt 34,5
o Hb 11,7 anemi
1.5
Febris
Vomit
Nausea
Anorexia
Stomatitis
Coated tounge
Menggigil
Widal test :
o Tipy O (+) 1/320
o Tipy H (+) 1/320
o Paratipy AO (+) 1/80
o Paratipy BO (+)1/80
DL:
o Lekopeni
o Trombositopeni
o Anemia
1.6
Problem List
1. Febris + Vomiting
1.7
Initial Diagnosis
1.1 Demam typhoid
1.2 ISPA
1.3 IVD
1.4 Gastritis.
1.8
Planning Diagnosa
o DL rutin
o Serologi Widal
o Biakan Salmonella
o Kadar IgG dan IgM
o Foto abdomen.
1.9
Planning Terapi
Kebutuhan cairan : Infus N2
o BB = 24 kg.
10 x 100 = 1000
10 x 50 = 500
4 x 25 = 100
50 x 24 = 1200/3 = 400mg/kbBB/x
Monitoring
Manifestasi klinis :
Febris
Vomit
Nausea
Coated tounge
Stomatitis
Vital sign
Widal
DL
1.11
Edukasi
Tgl
28/5/
Mual
2011
semalam
O
masih, KU : CM, lemah.
menggigil,
panas
turun,
tidur pulas
Demam typhoid
P
PDx : DL
PTx :
110x/menit RR:22x/menit.
Otore (-)
Stomatitis +,
Massa (-)
N2
20tetes/mnt
makro.
Inj.Klorampe
nikol
3x400
mg/kgBB/x
Inj.Novalgin
3x amp
Leher :
Infus
Inj.Ranitide
3x amp
Sirup Vometa
3x 1 cth
Thorax :
Simetris (+/+)
Sonor (+/+)
Retraksi (-)
Rh/Wh (-/-)
S1S2 tunggal
Abdomen :
Supel(+),
meteorismus(-),BU
(+)
29/5/
2011
Mual
PDx : DL
PTx
lanjutkan.
Terapi
tidur
pulas,
makan
mau,
minum
mau.
Otore (-)
Faring hiperemis (-)
Stomatitis +,
Leher :
Massa (-)
Thorax :
Simetris (+/+)
Sonor (+/+)
Retraksi (-)
Rh/Wh (-/-)
S1S2 tunggal
Abdomen :
Supel(+),
meteorismus(-),BU
(+)
Eritrosit 4,29
Trombosit 142.000
trombositopeni
30/5/
Muntah(-),
2011
panas(-), mual
HCt 34,5
Hb 11,7 anemi
Demam typhoid
PTx :
(-),menggigil
(-)
bagus, makan
sedikit,
1x
BAB
normal,
VS
Suhu
37
makan
pulas,
mau,
minum mau.
Rhinore (-)
Otore (-)
Stomatitis
3x400
mg/kgBB/x
(+)
tidak nyeri
Coated tounge (-)
Leher :
Inj.Klorampe
nikol
N2
makro.
88x/menit RR:28x/menit.
Infus
20tetes/mnt
Nadi:
PDx : -
sudah
Massa (-)
Thorax :
Simetris (+/+)
Sonor (+/+)
Retraksi (-)
Rh/Wh (-/-)
S1S2 tunggal
Abdomen :
Muntah(-),
31/5/
2011
Supel(+),
tidur
KU : CM, lemah.
pulas,
makan
mau,
mau
Rhinore (-)
Otore (-)
MRS
(+)
MRS
Stomatitis
(-)
sudah
tidak nyeri
Leher :
Massa (-)
Thorax :
Simetris (+/+)
Sonor (+/+)
Retraksi (-)
Rh/Wh (-/-)
S1S2 tunggal
Abdomen :
Supel(+),
meteorismus(-),BU
normal, asites (-).
Ekstremitas :
(+)