Professional Documents
Culture Documents
sebanyak 536 konflik, bidang infrastruktur 515 konflik, sektor kehutanan 140 konflik,
1
sektor tambang 90 konflik, sektor pertanian 23 konflik, pesisir-kelautan enam konflik dan
lain-lain
(http://www.walhi.or.id/penyelesaian-konflik-agraria-wajib-jadi-prioritas-
jokowi-jk.html).
Berdasarkan fakta-fakta di atas, pemicu konflik adalah terjadinya ketimpangan
penggunaan/pemanfaatan tanah, termasuk pelaksanaan penatagunaan yang belum berjalan
efektif atau sesuai rencana tata ruang wilayah yang telah menimbulkan ketidakadilan dalam
penguasaan/pemilikan tanah.
Kebijakan-kebijakan
tersebut
dapat
dengan
mewujudkan
upaya
percepatan
pembaruan atau reforma agraria secara konsisten dan konsekuen yang berlandaskan kepada
prinsip dasar UUPA Tahun 1960. Kemudian dengan melaksanakan transformasi terhadap
kelembagaan yang berkaitan dengan tatakelola (governance) bidang pertanahan khususnya
dan agraria umumnya, serta meningkatkan kompetensi publik dalam rangka pencapaian
dukungan publik terhadap kebijakan melalui keterlibatan secara aktif pada upaya
pemberdayaannya.
Berdasarkan kondisi permasalahan tersebut di atas maka dapat diberikan rekomendasi
langkah-langkah pada tataran kebijakan strategis diantaranya dengan melakukan reforma
agraria (land reform). Diharapkan reformasi ini dapat memberikan akses kepada
masyarakat dalam hal redistribusi kesejahteraan dengan tetap mengutamakan prinsip lawbased, peaceful, dan sustainable, serta sejalan dengan sistem politik, tata ruang, lingkungan
dan kewenangan. Salah satu contoh adalah kebijakan alokasi tanah bagi rakyat termiskin
sesuai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan. Sejalan dengan hal tersebut
Pemerintah perlu mengambil peran utama dalam pelaksanaan land reform, dan dalam
pelaksanaannya perlu terlebih dahulu melakukan penertiban sistem administrasi agraria
dengan mengacu kepada makna filosofis, khususnya pasal 1 s.d. 15. Dengan demikian
dapat mempertegas akan kedudukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai peraturan induk pengelolaan agraria
Disamping itu juga, harmonisasi aspek politik, hukum dan peraturan perundangundangan dalam kebijakan agraria perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih yang
dapat memicu konflik vertikal maupun horisontal. Termasuk dalam hal ini adalah dengan
mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan yang menyangkut sumber daya
agraria seperti pertanahan, kehutanan, pertambangan dan perairan dalam rangka
terwujudnya sinkronisasi kebijakan antar sektor.
Melakukan penguatan kelembagaan dan kewenangan instansi yang mengelola
sumber daya agraria khususnya pertanahan, agar lebih mandiri. Hal ini ditujukan agar
memiliki kemampuan untuk mengembangkan kewenangan dan tugas sesuai dengan Tap
MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam. Sedangkan pada aspek lain adalah juga dengan memperkuat kapasitas
kepemimpinan nasional di daerah dalam mengantisipasi dan mengamankan potensi konflik
3
dengan konsepsi Ketahanan Nasional agar terbina kesadaran kolektif tentang nilai strategis
tatakelola sumberdaya agraria sebagai asas bagi stabilitas nasional dan indikator utama
keamanan nasional serta keadilan sosial. Namun dalam melaksanakan pembaharuan atau
revitalisasi kebijakan agraria tersebut, harus memperhatikan nilai kultural dan kearifan
lokal masyarakat daerah, oleh karena kesejahteraan tidak hanya dimaknai secara materiil
namun juga menyangkut aspek-aspek spiritual.
Secara tehnis diperlukan suatu norma, standar, prosedur dan kriteria dalam hal
penyelesaian konflik pertanahan, khususnya dalam penanganan konflik pertanahan yang
timbul di daerah selaras dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 PP No. 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antar Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian juga untuk memberikan kepastian
hukum penguasaan tanah bagi masyarakat, diperlukan penyederhanaan regulasi pemberian
Hak Atas Tanah kepada masyarakat (petani penggarap) yang objeknya berasal dari Tanah
Negara eks HGU dan pemanfaatannya disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum penguasaan tanah bagi masyarakat diperlukan
penyederhanaan regulasi pemberian Hak Atas Tanah kepada masyarakat (petani penggarap)
yang objeknya berasal dari Tanah Negara eks HGU dan pemanfaatannya disesuaikan
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Oleh karena itu, dalam rangka memperlancar keseluruhan kegiatan tersebut,
pengembangan dan pembangunan Sistem Informasi Pertanahan (SIP). Sistem informasi ini
diharapkan berbasiskan Desa/Kelurahan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yakni
dengan menyusun grand design Sistem Informasi Pertanahan Secara Nasional.
Akhirnya, penghentian konflik pertanahan merupakan sesuatu yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Penyelesaian permasalahan yang memperhatikan aspek kebijakan,
kelembagaan, hukum, lingkungan serta pelibatan pada keseluruhan pemangku kepentingan
termasuk dalam hal ini pemerintah dan masyarakat, sangat segera demi terwujudnya suatu
solusi yang saling memuaskan semua pihak yang pada akhirnya bermuara pada pencapaian
tingkat kesejahteraan dan ketahanan nasional yang dicita-citakan.