You are on page 1of 4

KONFLIK

KEPENGELOLAAN PERTANAHAN DI INDONESIA HARUS DIHENTIKAN !!!


Oleh
SUTANTO

Tanah merupakan komponen terpenting dalam kehidupan manusia, sehingga menjadi


faktor paling strategis bagi kelangsungan kehidupan. Berbagai catatan tentang peradaban
manusia, senantiasa menempatkan tanah dan penguasaannya sebagai faktor pemicu konflik,
bahkan peperangan di Indonesia. Semakin merebaknya konflik kepemilikan pertanahan di
berbagai tempat di Indonesia adalah tanda utama dari kebutuhan untuk segera
dilaksanakannya Pembaruan di bidang Agraria. Hal ini dikarenakan konflik yang terjadi
selalu disebabkan oleh alasan-alasan ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumbersumber atau yang dikenal sebagai ketimpangan struktur agraria. Soal ketimpangan struktur
agraria ini, menjadi persoalan utama yang belum terselesaikan bahkan terus meningkat
selama sepuluh tahun terakhir.
Karakter sengketa dan konflik yang dimaksud sudah bersifat kronis, massif dan
meluas, serta berdimensi hukum, sosial, politik dan ekonomi. Suatu keadaan yang
merupakan konflik agrarian structural, dimana kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
penguasaan dan penggunaan tanah serta pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) menjadi
penyebab utama. Hal ini diperkuat dengan masih bermunculannya penerbitan ijin-ijin usaha
pengelolaan SDA yang tidak menghormati keberagaman hukum serta masih ada terjadinya
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Secara keseluruhan sepanjang sepuluh tahun (2004-2014) saja (belum selama tahun
2015), telah terjadi 1.391 konflik agrarian dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar,
dimana terdapat lebih dari 926.700 kepala keluarga harus menghadapi ketidakadilan
agrarian dan konflik berkepanjangan. Masalah sektoralisme kebijakan dan kelembagaan
dalam hal pengelolaan sumber-sumber agraria menjadi penyumbang konflik-konflik yang
terjadi.

Berdasarkan sektor, maka konflik agraria yang terjadi di sektor perkebunan

sebanyak 536 konflik, bidang infrastruktur 515 konflik, sektor kehutanan 140 konflik,
1

sektor tambang 90 konflik, sektor pertanian 23 konflik, pesisir-kelautan enam konflik dan
lain-lain

(http://www.walhi.or.id/penyelesaian-konflik-agraria-wajib-jadi-prioritas-

jokowi-jk.html).
Berdasarkan fakta-fakta di atas, pemicu konflik adalah terjadinya ketimpangan
penggunaan/pemanfaatan tanah, termasuk pelaksanaan penatagunaan yang belum berjalan
efektif atau sesuai rencana tata ruang wilayah yang telah menimbulkan ketidakadilan dalam
penguasaan/pemilikan tanah.

Hal ini berekses pada gesekan antar kepentingan yang

didukung dengan lemahnya jaminan kepastian hukum di bidang pertambangan maupun


keagrariaan. Kasus kematian Salim Kancil di Jawa Timur menjadi bukti terakhir carut
marutnya kebijakan dan ketidakjelasan pengaturan di bidang pertambangan.
Melihat permasalahan di atas, serta dengan berpedoman pada kebijakan pertanahan
nasional, sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), maka implementasi pengelolaan
sumberdaya agraria seyogyanya dilaksanakan melalui enam kegiatan yaitu penatagunaan
tanah, pengaturan penguasaan tanah, pendataan bidang tanah, pemberian hak atas tanah,
pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (sertifikasi) serta penyelesaian sengketa
pertanahan.
Dengan demikian revitalisasi kebijakan pertanahan adalah suatu keniscayaan yang
bersifat strategis dan mendesak. Revitalisasi tersebut dapat dilakukan melalui implementasi
upaya pembaruan atau reforma agraria secara konsisten dan konsekuen dimana menyangkut
sumber kehidupan dan kelangsungan kehidupan di masa datang. Pembaruan agraria sebagai
implementasi dari UUPA Tahun 1960 sesuai keadaan dan kebutuhan ditinjau dari aspek
ekonomi, sosial, lingkungan serta pertahanan keamanan menjadi sangat berpengaruh
terhadap mekanisme dalam kerangka politik pertanahan untuk kesejahteraan sosial.
Oleh sebab itu, pembaruan argaria melalui revitalisasi kebijakan pertanahan
diupayakan untuk mencapai proses sekaligus perubahan struktur pertanahan. Hal ini
ditujukan agar memberikan peluang kepada peningkatan kesejahteraan sekaligus stabilitas
keamanan, Revitalisasi kebijakan agraria tersebut harus bertumpu kepada pembaruan
agraria melalui tertib hukum, tertib administrasi, tertib tata-guna dan tertib lingkungan guna
mewujudkan stabilitas nasional dan keadilan sosial.
2

Kebijakan-kebijakan

tersebut

dapat

dengan

mewujudkan

upaya

percepatan

pembaruan atau reforma agraria secara konsisten dan konsekuen yang berlandaskan kepada
prinsip dasar UUPA Tahun 1960. Kemudian dengan melaksanakan transformasi terhadap
kelembagaan yang berkaitan dengan tatakelola (governance) bidang pertanahan khususnya
dan agraria umumnya, serta meningkatkan kompetensi publik dalam rangka pencapaian
dukungan publik terhadap kebijakan melalui keterlibatan secara aktif pada upaya
pemberdayaannya.
Berdasarkan kondisi permasalahan tersebut di atas maka dapat diberikan rekomendasi
langkah-langkah pada tataran kebijakan strategis diantaranya dengan melakukan reforma
agraria (land reform). Diharapkan reformasi ini dapat memberikan akses kepada
masyarakat dalam hal redistribusi kesejahteraan dengan tetap mengutamakan prinsip lawbased, peaceful, dan sustainable, serta sejalan dengan sistem politik, tata ruang, lingkungan
dan kewenangan. Salah satu contoh adalah kebijakan alokasi tanah bagi rakyat termiskin
sesuai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan. Sejalan dengan hal tersebut
Pemerintah perlu mengambil peran utama dalam pelaksanaan land reform, dan dalam
pelaksanaannya perlu terlebih dahulu melakukan penertiban sistem administrasi agraria
dengan mengacu kepada makna filosofis, khususnya pasal 1 s.d. 15. Dengan demikian
dapat mempertegas akan kedudukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai peraturan induk pengelolaan agraria
Disamping itu juga, harmonisasi aspek politik, hukum dan peraturan perundangundangan dalam kebijakan agraria perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih yang
dapat memicu konflik vertikal maupun horisontal. Termasuk dalam hal ini adalah dengan
mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan yang menyangkut sumber daya
agraria seperti pertanahan, kehutanan, pertambangan dan perairan dalam rangka
terwujudnya sinkronisasi kebijakan antar sektor.
Melakukan penguatan kelembagaan dan kewenangan instansi yang mengelola
sumber daya agraria khususnya pertanahan, agar lebih mandiri. Hal ini ditujukan agar
memiliki kemampuan untuk mengembangkan kewenangan dan tugas sesuai dengan Tap
MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam. Sedangkan pada aspek lain adalah juga dengan memperkuat kapasitas
kepemimpinan nasional di daerah dalam mengantisipasi dan mengamankan potensi konflik
3

dengan konsepsi Ketahanan Nasional agar terbina kesadaran kolektif tentang nilai strategis
tatakelola sumberdaya agraria sebagai asas bagi stabilitas nasional dan indikator utama
keamanan nasional serta keadilan sosial. Namun dalam melaksanakan pembaharuan atau
revitalisasi kebijakan agraria tersebut, harus memperhatikan nilai kultural dan kearifan
lokal masyarakat daerah, oleh karena kesejahteraan tidak hanya dimaknai secara materiil
namun juga menyangkut aspek-aspek spiritual.
Secara tehnis diperlukan suatu norma, standar, prosedur dan kriteria dalam hal
penyelesaian konflik pertanahan, khususnya dalam penanganan konflik pertanahan yang
timbul di daerah selaras dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 PP No. 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antar Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian juga untuk memberikan kepastian
hukum penguasaan tanah bagi masyarakat, diperlukan penyederhanaan regulasi pemberian
Hak Atas Tanah kepada masyarakat (petani penggarap) yang objeknya berasal dari Tanah
Negara eks HGU dan pemanfaatannya disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum penguasaan tanah bagi masyarakat diperlukan
penyederhanaan regulasi pemberian Hak Atas Tanah kepada masyarakat (petani penggarap)
yang objeknya berasal dari Tanah Negara eks HGU dan pemanfaatannya disesuaikan
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Oleh karena itu, dalam rangka memperlancar keseluruhan kegiatan tersebut,
pengembangan dan pembangunan Sistem Informasi Pertanahan (SIP). Sistem informasi ini
diharapkan berbasiskan Desa/Kelurahan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yakni
dengan menyusun grand design Sistem Informasi Pertanahan Secara Nasional.
Akhirnya, penghentian konflik pertanahan merupakan sesuatu yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Penyelesaian permasalahan yang memperhatikan aspek kebijakan,
kelembagaan, hukum, lingkungan serta pelibatan pada keseluruhan pemangku kepentingan
termasuk dalam hal ini pemerintah dan masyarakat, sangat segera demi terwujudnya suatu
solusi yang saling memuaskan semua pihak yang pada akhirnya bermuara pada pencapaian
tingkat kesejahteraan dan ketahanan nasional yang dicita-citakan.

You might also like