You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN
Herpes Zoster Optalmikus (HZO) adalah reaktivasi dari virus chicken pox (varicella
zoster) yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang
ophtalmicus saraf trigeminus (N.V) yang biasanya ditandai sebagai ruam vesikuler atau
dermatitis. Varicella dan HZO berbeda hanya dalam lokasi mereka terjadi di dalam tubuh,
tidak dalam mekanisme atau jenis virus. Varicella zoster virus (VZV) biasanya bersifat laten
terletak di ganglion dorsal saraf dan, jika aktif, perjalanannya akan menyusuri dermatom
terkait saraf yang terlibat. Jika VZV mempengaruhi nervus ophthalmic dari saraf kranial V
maka disebut HZO. Jika hal itu mempengaruhi saraf lain ini disebut sebagai herpes zoster.
Herpes zoster biasanya mempengaruhi populasi yang lebih tua dari individu yang terkena
VZV yaitu biasa yang terkena anak-anak. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini
dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang
1% setahun. Sebuah penelitian telah menunjukkan bahwa lebih dari 90% dari anak usia 12
tahun yang seropositif untuk VZV dan lebih dari 99% dari orang dewasa berusia 40 tahun
yang seropositif untuk VZV di Amerika Serikat.
HZO terjadi pada 20% dari semua wabah Herpes zoster. Gejala yang biasa timbul
yaitu onset akut dari dermatitis vesikular unilateral sepanjang dermatom CN V1 yang tidak
melebihi garis tengah. Pseudo-dendrit kornea yang cukup umum timbul dan memiliki risiko
yang lebih tinggi terhadap komplikasi okular jika ruam menyebar melibatkan ujung hidung,
yang juga dikenal sebagai "tanda Hutchinson." Ini menggambarkan keterlibatan saraf
nasosiliary. Komplikasi mata yang lebih jarang seperti iridosiklitis, glaukoma, retinitis, dan
kelumpuhan saraf kranial juga dapat terjadi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Herpes zoster merupakan infeksi umum yang disebabkan oleh Human Herpes Virus
(Varisela Zoster Virus), virus yang sama menyebabkan varisela (chicken pox). Virus ini
termasuk dalam famili Herpes viridae, seperti Herpes Simplex, Epstein Barr Virus, dan
Cytomegalovirus.
Herpes Zoster Oftalmikus (HZO) merupakan hasil reaktivasi dari Varisela Zoster
Virus (VZV) pada Nervus Trigeminal (N.V). Semua cabang dari nervus tersebut bisa
terpengaruh, dan cabang frontal divisi pertama N.V merupakan yang paling umum terlibat.
Cabang ini menginervasi hampir semua struktur okular dan periokular.2
Blefarokonjungtivitis pada HZO ditandai dengan hiperemis dan konjungtivitis
infiltratif disertai dengan erupsi vesikuler yang khas sepanjang penyebaran dermatom N.V
cabang oftalmikus. Konjungtivitis biasanya papiler, tetapi pernah ditemukan folikel,
pseudomembran, dan vesikel temporer, yang kemudian berulserasi. Lesi palpebra mirip lesi
kulit di tempat lain, bisa timbul di tepi palpebra ataupun palpebra secara keseluruhan, dan
sering menimbulkan parut.
Lesi kornea pada HZO sering disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya, sesuai
dengan status kekebalan pasien. Keratouveitis pada anak umumnya tergolong jinak, pada
orang dewasa tergolong penyakit berat, dan kadang-kadang berakibat kebutaan.4
2.2. ETIOLOGI
Herpes zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV). VZV mempunyai kapsid
yang tersusun dari 162 sub unit protein dan berbentuk simetri isohedral dengan diameter 100
nm. Virion lengkapnya berdiameter 150-200 nm, dan hanya virion yang berselubung yang
bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan organik,
deterjen, enzim proteolitik, panas, dan lingkungan dengan pH yang tinggi. HZO merupakan
reaktivasi dari VZV di N.V divisi oftalmik (N.V1).3

2.3. EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 90% dari dewasa di Amerika Serikat mempunyai bukti serologik mengenai
infeksi VZV dan merupakan resiko untuk HZ. Laporan tahunan insidens HZ bervariasi
daripada 1.5 3.4 kasus per 1000 orang.

5,6

Faktor resiko untuk perkembangan HZ ini ialah

kekebalan imun sistem yang rendah berasosiasi juga dengan proses penuaan yang normal.
Bagaimanapun, insidens ini terjadi pada individu berusia di atas 75 tahun rata ratanya yaitu
10 kasus per 1000 orang. 5,6
HZO khas mempengaruhi 10-20 % populasi. HZO biasanya berpengaruh pada usia
tua dengan meningkatnya pertambahan usia. Dari data insiden terjadinya HZO pada populasi
Caucasian adalah 131 : 100.000.7 Populasi American-Afrika mempunyai insiden 50 % dari
Caucasian. Alasan untuk perbedaan ini tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan kasus HZO
disebabkan reaktivasi dari virus laten.
Lebih dari 90 % dewasa di Amerika terbukti mempunyai serologi yang terinfeksi
VZV. Dari hasil tahunan, insiden dari herpes zoster bervariasi, dari 1,5 3, 4 kasus per 1000
orang. Faktor resiko dari perkembangan oleh herpes zoster adalah menyusutnya sel mediated
dari sistem imun yang berhubungan dengan perkembangan usia. Insiden HZO pada usia 75
tahun ke atas melebihi 10 kasus per 1.000 orang per tahun, dan risiko seumur hidup
diperkirakan 10-20 %.8
Faktor risiko lain untuk herpes zoster diperoleh dari hambatan respon sel mediated
imun, seperti pada pasien dengan obat imunosupresif dan HIV, dan yang lebih spesifik
dengan AIDS. Pada kenyataannya, risiko relatif dari herper zoster sedikitnya 15x lebih besar
dengan HIV dibandingkan tanpa HIV. HZO terdapat 10-25 % dari semua kasus herpes zoster.
Resiko komplikasi oftalmik pada pasien herpes zoster tidak terlihat berhubungan dengan
umur, jenis kelamin, atau keganasan dari ruam kulit.8
2.4. PATOGENESIS
Seperti herpes virus lainnya, VZV menyebabkan infeksi primer (varisela/cacar air)
dan sebagian lagi bersifat laten, dan ada kalanya diikuti dengan penyakit yang rekuren di
kemudian hari (zoster/shingles). Infeksi primer VZV menular ketika kontak langsung dengan
lesi kulit VZV atau sekresi pernapasan melalui droplet udara. Infeksi VZV biasanya
merupakan infeksi yang self-limited pada anak-anak, dan jarang terjadi dalam waktu yang
lama, sedangkan pada orang dewasa atau imunosupresif bisa berakibat fatal. 3,4
3

Pada anak-anak, infeksi VZV ini ditandai dengan adanya demam, malaise, dermatitis
vesikuler selama 7-10 hari, kecuali pada infeksi primer yang mengenai mata (berupa vesikel
kelopak mata dan konjungtivitis vesikuler). VZV laten mengenai ganglion saraf dan rata-rata
20 % terinfeksi dan beraktivasi dikemudian hari. HZO timbul akibat infeksi N.V1. Kondisi
ini akibat reaktivasi VZV yang diperoleh selama masa anak-anak.
Varisela zoster adalah virus DNA yang termasuk dalam famili Herpes viridae. Selama
infeksi, virus varisela berreplikasi secara efisien dalam sel ganglion. Bagaimanapun, jumlah
VZV yang laten per sel terlalu sedikit untuk menentukan tipe sel apa yang terkena. Imunitas
spesifik sel mediated VZV bertindak untuk membatasi penyebaran virus dalam ganglion dan
ke kulit.5
Kerusakan jaringan yang terlihat pada wajah disebabkan oleh infeksi yang
menghasilkan inflamasi kronik dan iskemik pembuluh darah pada cabang N. V. Hal ini terjadi
sebagai respon langsung terhadap invasi virus pada berbagai jaringan. Walaupun sulit
dimengerti, penyebaran dermatom pada N. V dan daerah torak paling banyak terkena.6,7
2.5. MANIFESTASI KLINIS
a. Manifestasi ektraokular dari herpes zoster oftalmikus
Fase prodromal herpes zoster oftalmikus seperti kelelahan, malaise, dan demam
ringan yang berlangsung hingga satu minggu sebelum ruam di daerah dahi timbul. Nyeri
lateral sampai mengenai mata. Selanjutnya, makula eritematosa muncul di sepanjang
dermatom yang terlibat, cepat berkembang selama beberapa hari. Papula dan vesikula yang
mengandung cairan bening serosa dan, kemudian, pustula. Lesi ini akan pecah dan biasanya
menimbulkan lapisan yang keras, membutuhkan beberapa minggu sampai sembuh.
b. Manifestasi okular dari Herpes Zoster Oftalmikus
Manifestasi kulit herpes zoster oftalmikus bersifat unilateral tidak melewati garis
tengah tubuh dengan keterlibatan dari satu atau lebih cabang dari divisi oftalmik dari saraf
trigeminal, yaitu supraorbital, lakrimal, dan cabang nasociliary. Tanda-tanda dan gejala HZO
terjadi ketika N.V cabang nasociliary diserang virus, dan akhirnya akan mengakibatkan ruam,
vesikel pada ujung hidung (dikenal sebagai tanda Hutchinson), yang merupakan indikasi
untuk resiko lebih tinggi terkena gannguan penglihatan. Dalam suatu studi, 76% pasien
dengan tanda Hutchinson mempunyai gangguan penglihatan.

Gambar 1. Tanda Hutchinson

Gambar 2. (a) gambar menunjukkan adanya lesi unilateral berupa ruam vesikular yang tidak
melewati garis tengah tubuh. (c,d) distribusi dari nervus oftalmikus N.V

c. Blefaritis dan konjungtivitis


HZO sering mengenai kelopak mata. Hal ini ditandai dengan adanya pembengkakan kelopak
mata, dan akhirnya timbul radang kelopak, yang disebut blefaritis, dan bisa timbul ptosis.
Kebanyakan pasien akan memiliki lesi vesikuler pada kelopak mata, ptosis, disertai edema
dan inflamasi. Lesi pada palpebra mirip lesi kulit di tempat lain.

Gambar 3. Gambar menunjukkan adanya peradangan pada kelopak mata disertai adanya lesi
vesikuler.
Konjungtivitis adalah salah satu komplikasi terbanyak pada HZO. Pada konjungtiva sering
terdapat injeksi konjungtiva, vesikel, dan pseudomembran pada konjungtiva. Ini biasanya
terjadi 1 minggu. Infeksi sekunder akibat S. aureus bisa berkembang di kemudian hari.

Gambar 4. Konjungtivitis

d. Kornea
Komplikasi kornea kira-kira 65 % dari kasus HZO. Lesi pada kornea sering disertai dengan
keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai dengan kekebalan tubuh pasien. Komplikasi
pada kornea bisa berakibat kehilangan penglihatan secara signifikan. Gejalanya adalah nyeri,
fotosensitif, dan gangguan visus. Hal ini terjadi jika terdapat erupsi kulit di daerah yang
disarafi cabang-cabang N. nasosiliaris.
Epitel Keratitis. Temuan kornea awal berupa epitel keratitis punctata. Pada pemeriksaan
lampu celah, muncul sebagai lesi multiple, focal, bengkak yang terlihat dengan pewarna rose
bengal atau fluorescein. Lesi ini mungkin mengandung virus hidup dan ikut berpengaruhi
terhadap pembentukan dendrit. epitel keratitis punctata dapat timbul satu atau dua hari setelah
ruam kulit muncul, sementara dendrit sering hadir pada empat hingga enam hari namun dapat
muncul beberapa minggu kemudian.
Herpes zoster virus dendrit muncul sebagai plak tinggi dan terdiri dari sel-sel epitel bengkak.
Mereka membentuk percabangan atau pola "medusa" dan dengan ujung yang runcing.

Gambar 5. Keratitis epithelial terlihat gambaran dendrit (a) dan dengan flourescein (b)
Stroma Keratitis - Anterior Stroma Keratitis. muncul pada minggu kedua penyakit, terjadi
pada 25 sampai 30 persen pasien herpes zoster ophthalmicus. Kondisi yang dikenal sebagai
stroma anterior keratitis atau keratitis nummular, ditandai dengan beberapa infiltrat granular
di stroma kornea anterior bawah lapisan epitel. Sebagian besar infiltrat terletak langsung di
bawah yang sudah ada dendrit atau epithelial keratitis punctata. Infiltrat diperkirakan muncul
dari interaksi antigen-antibodi yang dihasilkan dari proliferasi virus di atas epithelium.

Gambar 6. Pada pemeriksaan slitlamp terlihat gambaran numular pada kornea yang
menunjukkan adanya keratitis numularis.
Stroma Keratitis. Tahap ini relatif jarang dan biasanya berkembang tiga sampai empat bulan
setelah episode akut. Hal ini biasanya didahului oleh stroma anterior keratitis. Keratitis dapat
hadir sebagai lesi yang terdiri dari peradangan lokal yang mempengaruhi semua tingkat
stroma, atau sebagai infiltrat perifer. Edema kornea mungkin yang menonjol pada tahap ini,
biasanya terkait peradangan camera okuli anterior. Patogenesis penyakit stroma mungkin
melibatkan reaksi hipersensitivitas sel mediated yang tertunda.
Neurotropik keratopati. Neurotropik keratitis adalah hasil akhir dari penurunan sensasi
kornea yang di destruksi oleh virus herpes zoster. Epitel kornea menipis merupakan
komplikasi serius yang dapat menyebabkan perforasi kornea. Pasien tersebut berada pada
risiko tinggi untuk terinfeksi bakteri sekunder.
e. Uveitis
Uveitis anterior, yang didiagnosis dengan pemeriksaan lampu celah, mengacu peradangan
pada iris dan badan ciliary. Peradangan umumnya ringan dan sementara, tetapi sering
menyebabkan tekanan intraokular meningkat. Zoster uveitis dapat mengakibatkan atrofi iris
dan pupil yang tidak teratur. Herpes zoster uveitis dapat menyebabkan glaukoma dan
pembentukan katarak. Peradangan kronis dapat menyebabkan cedera sel endotel, yang
mengakibatkan edema kornea.

f. Episkleritis dan skleritis


Temuan dari episkleritis bersifat lokal atau difus kemerahan, serta rasa sakit dan
pembengkakan pada konjungtiva dan episklera. Scleritis adalah kondisi yang lebih serius
dengan keterlibatan sclera. Kedua kondisi bisa disertai dengan lokal stroma keratitis.
g. Nekrosis Retina Akut dan Progressive Outer Retina Necrosis Syndromes
Herpes zoster virus dianggap agen penyebab dalam banyak kasus nekrosis retina akut dan
sindrom nekrosis retina luar progresif. Dibandingkan dengan nekrosis retina akut, progresif
nekrosis retina luar merupakan retinitis virus yang parah pada orang immunocompromised,
sering pada pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome.
Gejala termasuk visus menurun dan / atau nyeri pada satu atau kedua mata. Nekrosis retina
akut ditandai dengan bercak nekrosis retina yang cepat menyatu, vaskulitis oklusif, dan
peradangan vitreous. Prognosis sangat buruk pada pasien dengan progresif nekrosis retina
luar; kebanyakan pasien tidak memiliki persepsi cahaya. Prognosis visual pada pasien dengan
nekrosis retina akut lebih baik, dengan banyak pasien mencapai ketajaman visual dari 20 / 40.

Gambar 7. Retinitis zoster ditandai dengan bercak nekrosis retina


2.6. DIAGNOSIS
Anamnesis
-

Fase prodormal pada herpes zoster oftalmikus biasanya terdapat influenza like
illness seperti lemah, malaise, demam derajat rendah yang mungkin berakhir
9

sehingga 1 minggu sebelum perkembangan rash unilateral menyelubungi daerah


kepala, atas kening dan hidung (divisi dermatome pertama daripada nervus
trigeminus).3,5
-

Kira kira 60% pasien mempunyai variasi derajat gejala nyeri dermatom sebelum
erupsi kemerahan. Akibatnya, makula eritematosus muncul keliatan yang lama
kelamaan akan membentuk kluster yang terdiri daripada papula dan vesikel. Lesi
ini akan membentuk pustula dan seterusnya lisis dan membentuk krusta dalam
masa 5 7 hari.

Pemeriksaan Fisik
-

Periksa struktur eksternal/superfisial dahulu secara sistematik mengikut urutan


daripada bulu mata, kunjungtiva dan pembengkakan sklera.

Periksa keadaan integritas motorik ekstraokular dan defisiensi lapang pandang.6

Lakukan pemeriksaan funduskopi dan coba untuk mengeradikasi fotofobia untuk


menetapkan kemungkinan terdapatnya iritis. Pengurangan sensitivitas kornea
dapat dilihat dengan apabila dicoba dengan serat cotton.

Lesi epitel kornea dapat dilihat setelah diberikan fluorescein. Defek epitel dan
ulkus kornea akan jelas terlihat dengan pemeriksaan ini.

Pemeriksaan slit lamp seharusnya dilakukan untuk melihat sel dalam segmen
anterior dan kewujudan infiltrat stroma

Setelah ditetes anestesi mata, ukur tekanan intraokular (tekanan normal ialah
dibawah 12 15 mmHg).

Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan, iaitu:4
a. Pemeriksaaan langsung secara mikroskopik

10

Kerokan palpebra diwarnai dengan Giemsa, untuk melihat adanya sel-sel


raksasa berinti banyak (Tzanck) yang khas dengan badan inklusi intranukleus
asidofil

b. Pemeriksaaan serologik.
-

HZ dapat terjadi pada individu yang terinfeksi dengan HIV yang kadangkala
asimtomatik, pemeriksaan serologik untuk mendeteksi retrovirus sesuai untuk
pasien dengan faktor resiko untuk HZ (individu muda daripada 50 tahun yang
nonimunosupres).

b. Isolasi dan identifikasi virus dengan teknik Polymerase Chain Reaction.

2.7. DIAGNOSIS BANDING


a. Kondisi yang memperlihatkan penampakan luar yang sama
-

Herpes simpleks

Ulkus blefaritis

b. Kondisi yang menyebabkan penyebaran nyeri


-

Tic Douloureux3

Migrain

Pseudotumor orbita

Selulitis orbita

Nyeri akibat sakit gigi

c. Kondisi yang menyebabkan inflamasi stromal kornea


-

Epstein-Barr Virus

Sifilis

2.8. PENATALAKSANAAN
Pasien dengan herpes zoster oftalmikus dapat diterapi dengan acyclovir oral (800 mg, lima
kali sehari) selama tujuh sampai 10 hari. Penelitian melaporkan bahwa pemberian acyclovir
oral yang pada tahap awal penyakit ini, terutama jika obat ini diambil dalam tiga hari pertama

11

gejala, memiliki efek menguntungkan pada neuralgia Postherpetic. Selain itu, acyclovir
diberikan dalam waktu 72 jam dari onset dapat memberikan kecepatan resolusi lesi kulit,
mengurangi pelepasan virus, dan menurunkan resiko terjadinya postherpetic neuralgia.
Valacyclovir (Valtrex) telah terbukti sama-sama aman dan efektif untuk pengobatan herpes
zoster dengan dosis 1.000 mg tiga kali sehari selama tujuh atau 14 hari. valacyclovir barubaru ini ditampilkan untuk mencegah komplikasi okular herpes zoster oftalmikus, termasuk
konjungtivitis, stroma keratitis, dan nyeri. Famsiklovir (Famvir), 500 mg per oral tiga kali
sehari selama tujuh hari, mungkin juga digunakan. Asiklovir intravena direkomendasikan
pada pasien immunocompromised. Steroid sistemik dapat diberikan prednisolon 40-60 mg
perhari dapat mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan kulit.
Pada pasien yang mengalami postherpetic neuralgia dapat diberikan kompres dingin,
capsaicin topikal 0,025% atau 0,075% atau anestesi lokal lidocain krim 5%. Selain itu dapat
diberikan analgetik ringan berupa paracetamol sampai 4000 mg perhari atau analgesik kuat
berupa codeine sampai 240 mg perhari. Amitriptyline 10-25 mg pada malam hari. Dan
carbamazepine 400 mg perhari untuk nyeri.

2.9. KOMPLIKASI

Sebagian besar kasus herpes zoster dapat didiagnosis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Cara terbaru dalam mendiagnosis herpes zoster adalah dengan tes DFA (Direct
Immunofluorence with Fluorescein-tagged Antibody) dan PCR (jika ada), terbukti lebih
efektif dan spesifik dalam membedakan infeksi akibat VZV dengan HSV. Tes bisa dilanjutkan
dengan kultur virus.6
Pasien dengan herpes zoster oftalmikus dapat diterapi dengan Acyclovir (5 x 800 mg sehari)
selama 7-10 hari. Penelitian menunjukkan pemakaian Acyclovir, terutama dalam 3 hari
setelah gejala muncul, dapat mengurangi nyeri pada herpes zoster oftalmikus. Onset
Acyclovir dalam 72 jam pertama menunjukkan mampu mempercepat penyembuhan lesi kulit,
menekan jumlah virus, dan mengurangi kemungkinan terjadinya dendritis, stromal keratitis,
serta uveitis anterior.6
Terapi lain dengan menggunakan Valacyclovir yang memiliki bioavaibilitas yang lebih tinggi,
menunjukkan efektivitas yang sama terhadap herpes zoster oftalmikus pada dosis 3 x 1000
12

mg sehari. Pemakaian Valacyclovir dalam 7 hari menunjukkan mampu mencegah komplikasi


herpes zoster oftalmikus, seperti konjungtivitis, keratitis, dan nyeri. Pada pasien
imunocompromise dapat digunakan Valacyclovir intravena. Untuk mengurangi nyeri akut
pada pasien herpes zoster oftalmikus dapat digunakan analgetik oral.3,4
Untuk mengobati berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh herpes zoster oftalmikus
disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkan. Pada blefarokonjungtivitis, untuk blefaritis dan
konjungtivitisnya, diterapi secara paliatif, yaitu dengan kompres dingin dan topikal lubrikasi,
serta pada indikasi infeksi sekunder oleh bakteri (biasanya S. aureus). Pada keratitis, jika
hanya mengenai epitel bisa didebridemant, jika mengenai stromal dapat digunakan topikal
steroid, pada neurotropik keratitis diterapi dengan lubrikasi topikal, serta dapat digunakan
antibiotik jika terdapat infeksi sekunder bakteri.7
Untuk neuralgia pasca herpetik obat yang direkomendasikan di antaranya Gabapentin
dosisnya 1,800 mg - 2,400 mg sehari. Hari pertama dosisnya 300 mg sehari diberikan
sebelum tidur, setiap 3 hari dosis dinaikkan 300 mg sehari sehingga mencapai 1,800 mg
sehari.8
Antibiotik sebaiknya digunakan jika terdapat infeksi bakterial. Antibiotik pada kasus ini ialah
ampicillin dan tetes mata gentamisin, merupakan antibakteri spektrum luas. Isprinol yang
diberikan oleh spesialis kulit pada penderita di atas termasuk obat imunomodulator yang
bekerja memperbaiki sistem imun.
Vitamin neurotropik berupa neurodex digunakan sebagai vitamin untuk saraf. Pada umumnya
direkomendasikan pemberian NSAID topikal 4 kali sehari dan ibuprofen sebagai analgetik
oral.
2.10. PROGNOSIS

Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada tindakan
perawatan secara dini. Prognosis dari segi visus penderita baik karena asiklovir dapat
mencegah penyakit-penyakit mata yang menurunkan visus. Kesembuhan penyakit ini
umunya baik pada dewasa dan anak-anak dengan perawatan secara dini. Prognosis ke arah
fungsi vital diperkirakan ke arah baik dengan pencegahan paralisis motorik dan menghindari
komplikasi ke mata sampai kehilangan penglihatan. Prognosis kosmetikam pada mata

13

penderita tersebut baik karena bengkak dan merah pada mata dapat hilang. Pada kulit dapat
menimbulkan makula hiperpigmentasi atau sikatrik.
2.11. PENCEGAHAN
Tindakan preventif yang harus dilakukan penderita ialah tidak mengusap-usap mata,
menyentuh lesi kulit, dan menggaruk luka untuk menghindari penyebaran gejala. Bagi orang
sekitar hendaknya menghindari kontak langsung dengan penderita terutama anak-anak. Obatobatan antiviral seperti asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir merupakan terapi utama yang
lebih efektif dalam mencegah keterlibatan okuler terutama jika obat diberikan tiga hari
pertama

munculnya

gejala.

Berdasarkan

rekomendasi

dari

National

Guidelines

Clearinghouse, dosis asiklovir oral untuk dewasa ialah 800 mg 5 kali sehari selama 7 sampai
10 hari.8 Sedangkan antiviral topikal tidak dianjurkan karena tidak efektif. Antiviral
digunakan untuk mempercepat resolusi lesi kulit, mencegah replikasi virus, dan menurunkan
insiden keratitis stroma dan uveitis anterior.
2.12. KESIMPULAN
Pada pasien yang menderita herpes zoster oftalmikus, pertimbangkan untuk terkaitnya
persarafan dermatoma yang multipel, kondisi imuno compromised dan superinfeksi bakteri
yang signifikan di wajah. Pengobatan antiviral IV seharusnya diadministrasi seperti yang
telah disebutkan dalam pengobatan di atas. Pasien yang dirawat jalan seharusnya mempunyai
tindak lanjut yang adekuat untuk penanganan pada HZO. Pemeriksaan ulang setelah
maksimum 1 minggu haruslah dijadwalkan pada stadium awal. Pengobatan dengan
menggunakan antiviral haruslah dipraktikkan dan diteruskan seperti di atas.

14

DAFTAR PUSTAKA
1.American Academy of Ophtalmology. External Cornea and Disease. Section 8. 20052006.
2. Voughan D, Tailor A. Penyakit virus : Ophtalmologi Umum. Edisi 14. Widya Medika.
1995 : 112, 336.
3. Moses S. Herpes Zoster Ophtalmicus. Diakses dari www.fpnotebook.com. November 4th
2015.
4. Gurwood AS. Herpes Zoster Ophthalmicus. Diakses dari www.optometry.co.uk.
November 5 2015.
5.

Maria

Diaz.

Herpes

Zoster

Ophthalmicus.

Diakses

dari

http://emedicine.medscape.com/article. Januari 5 2016.


6. Web MD. Herpes of the Eye. Diakses dari http://www.medicinenet.com/herpeseye/.
Januari 5 2016.
7. Shaikh S. Evaluation and Management of Herpes Zoster. Diakses dari: www.aafp.org.
Januari 5 2016.

15

You might also like