You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN
Peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) merupakan salah satu
fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi
cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh
hiperbilirubinemia. Keadaan ini dapat merupakan kejadian sesaat yang dapat hilang
spontan. Sebaliknya, hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal yang serius, bahkan
mengancam jiwa. Dengan kondisi perawatan yang memulangkan neonatus secara dini,
dapat meningkatkan resiko terjadinya kern ikterus pada bayi cukup bulan apabila
dipulangkan dalam 48 jam setelah lahir. Terdapat hubungan yang signifikan antara
penurunan lama tinggal dan resiko kembali ke rumah sakit, dan penyebab utama
kembalinya ke rumah sakit selama periode awal neonatus adalah hiperbilirubinemia.
Terlepas dari penyebabnya, peningkatan kadar bilirubin serum dapat bersifat toksik
terhadap bayi baru lahir.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI
Ikterus (jaundice) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,
sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada
orang dewasa,ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2mg/dL (>17mol/L),
sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin> 5 mg/dL (>86mol/L).2
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah
ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut Excessive Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non PhysiologicalJaundice) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonatus > 95 % menurut Normogram Bhutani.2

Kadar bilirubin terhadap usia neonatus

II.1.1. METABOLISME BILIRUBIN


Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang
sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom,
katalase, dan heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum
tulang. Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan4:
1.
2.
3.
4.
5.

Transport bilirubin
Pengambilan bilirubin oleh sel hati
Konjugasi
Sekresi bilirubin terkonjugasi
Sirkulasi enterohepatik
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan

bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali
untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan ke dalam
paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik
dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.1
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. 1 gram haemoglobin akan menghasilkan 34 mg
bilirubin dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan
heamoglobin karena eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan
yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme
bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa
sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan
masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa
(120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga
reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat melalui sirkulasi enterohepatik.1

Transportasi bilirubin
3

Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya


dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang berikatan dengan albumin
tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga
mempunyai afinitas tinggi terhadap obat-obatan bersifat asam seperti penisilin dan
sulfonamid. Obat-obatan tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk
bilirubin sehingga bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan
albumin. Obat-obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara
menurunkan afinitas albumin adalah digoksin, gentamisin, furosemid, dll.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:

Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk

sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum


Bilirubin bebas
Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida)

yaitu bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.
Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (-bilirubin)
Pada 2 minggu pertama kehidupan, -bilirubin tidak akan tampak.
Peningkatan kadar -bilirubin secara signifikan dapat ditemukan pada bayi
baru lahir normal yang lebih tua dan pada anak. Konsentrasinya meningkat
bermakna pada keadaan hiperbilirubinemia terkonjugasi persisten karena
berbagai kelainan pada hati.

Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit,


albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel
membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan
sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari
sintesis de novo, resirkulasi enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan,
pengambilan bilirubin oleh sel hati dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi
bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal.
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini
terjadi karena adanya defisiensi ligandin, tetapi hal itu tidak begitu penting dibandingkan
dengan defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dari darah ke
empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan.
4

Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut
dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronyl
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Bilirubin ini kemudian dieksresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu
molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke dalam retikulum endoplasmik untuk
rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke
hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan hemolisis
kronik yang berat pigmen yang tertahan adalah bilirubin monoglukoronida.
Ekskresi (Sekresi )Bilirubin dan Sirkulasi Enterohepatik
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam
kandung empedu kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses.
Proses ekskresinya sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada di
usus halus, bilurubin terkonjugasi tidak langsung diresorbsi, kecuali jika dikonversikan
kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat
dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk
dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim -glukoronidase yang dapat
mengidrolisia monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir,
lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi
sterkobilin.
Bayi baru lahir mempunyasi konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang relatif
tinggi di dalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis
bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan di
dalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk mengurangi
bilirubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool bilirubin usus
dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan hidrolisis
bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas -glukoronidase mukosa
5

yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi. Pemberian substansi oral yang
tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat mengikat bilirubin akan meningkatkan
kadar bilirubin tinja dan mengurangi kadar bilirubin serum, hal ini menggambarkan peran
kontribusi sirkulasi enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada
bayi baru lahir.

II.1.2. IKTERUS NEONATORUM (NEONATAL JAUNDICE)


Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah
keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat
akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus lebih mengacu pada gambaran
klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu
pada gambaran kadar bilirubin serum total.
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice akan
timbul segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk membersihkan
bilirubin dari sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya, hampir semua bayi
6

mengalami peningkatan bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan meningkatnya bilirubin


serum kulit menjadi jaundice dengan urutan sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus tampak di
kepala dan bergerak ke arah kaudal ke telapak tangan dan telapak kaki. Hal ini ditentukan
oleh kramer yang menentukan kadar bilirubin indirek di dalam serum.

Kramer 1: kepala-leher = 4-8 mg/dl


Kramer 2: tubuh sebelah atas = 5-12 mg/dl
Kramer 3: tubuh sebelah bawah dan paha = 8-16 mg/dl
Kramer 4: lengan dan tungkai bawah = 11-18 mg/dl
Kramer 5: telapak tangan dan telapak kaki = > 15 mg/dl

Cara untuk melihat jaundice adalah dengan cara menekan kulit secara hati-hati dengan jari
dibawah penerangan yang cukup.

II.1.2.a. KLASIFIKASI
1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang
bulan maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Pada bayi cukup
bulan yang mendapat susu formulakadar bilirubin akan mencapai puncak sekitar 67

8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3
hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1-2 minggu.
Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai
kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa
sampai 2-4 minggu, bahkan mencapai 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang
mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang
lebih tinggi dan lebih lama, begitu pula dengan penurunannya jika tidak diberikan
fototerapi pencegahan. Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran
fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin.
Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis:
Dasar
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi bilirubin

Peningkatan

resirkulasi

Penyebab

Peningkatan sel darah merah


Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin
`
Peningkatan aktifitas -glukoronidase
Tidak adanya flora bakteri
melalui Pengeluaran mekonium yang terlambat

enterohepatik shunt
Penurunan bilirubin clearance
Penurunan clearance dari plasma
Penurunan metabolisme hepatik

Defisiensi protein karier


Penurunan aktifitas UDPGT

Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering dan bayi
dengan aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai
insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu
formula cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari
pertama kehidupan jika dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat
ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi
yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
(berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI). Bentuk
earlyonset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset
diyakini dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang memperngaruhi proses konjugasi dan
ekskresi. Penyebab late onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan adanya
faktor spesifik dari ASI yaitu: 2-20-pregnanediol yang mempengaruhi aktivitas UDPGT
8

atau pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit; peningkatan aktifitas lipoprotein lipase
yang kemudian melepaskan asam lemak bebas ke dalam usus halus; penghambatan
konjugasi akibat peningkatan asam lemak unsaturated; atau -glukorunidase atau adanya
faktor lain yang mungkin menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis atau disebut juga ikterus non-fisiologis mempunyai tandatanda sebagai berikut:
a) Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
b) Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
c) Peningkatan kadar bilirubin total serum lebih dari 0,5 mg/dL/jam
d) Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari seperti muntah, letargi, malas
menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang
tidak stabil
e) Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan.
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan oleh proses fisiologis atau patologis atau
kombinasi keduanya. Resiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI,
bayi kurang bulan, dan bayi mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi
karena peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi
pada bayi immatur.
Bayi yang diberi ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi
dibandingkan bayi yang diberi susu formula. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain; frekuensi menyusui yang tidak adekuat, kehilangan berat
badan/dehidrasi
Asupan cairan:
Kelaparan
Frekuensi menyusui
Kehilangan berat badan/dehidrasi
Hambatan ekskresi bilirubin hepatik
Pregnandiol
Lipase-free fatty acids
Unidentified inhibitor
Intestinal reabsorption of bilirubin

Pasase mekonium terlambat


9

Pembentukan urobilinoid bakteri


Beta-glukoronidase
Hidrolisis alkaline
Asam empedu

II.1.2.b. ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkanoleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum dapat
dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan
infeksi atautidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom CrigglerNajjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan
penting dalam uptakebilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Selain itu, neonatal beresiko untuk mengabsorbsi bilirubin intestinal karena
empedu neonatus mengandung kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi
sehingga lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah
glukoronidase dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi
menjadi bilirubin yang mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang
mengandung flora intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi
10

urobilid dan mekonium. Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekonium


(penyakit Hirschprung, ileus mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan
dengan hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium berhubungan dengan kadar
bilirubin serum yang lebih rendah.

II.1.2.c. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh
dan melewati lobulus hati,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini
umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin. Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl.
Ikterus akan muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan
oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya
atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang
dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi
hati

juga

akan

menyebabkan

hiperbilirubinemia.

Pada

semua

keadaan

ini,

bilirubintertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar

11

2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi
kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.
II.1.2.d. PENCEGAHAN dan TATALAKSANA
Pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering
menyusui untuk menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan bakteri flora
normal, dan merangsang aktifitas usus halus.
Strategi Pencegahan hiperbilirubinemia:
1) Pencegahan primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari
-

beberapa hari pertama


Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dextrose atau air pada bayi
yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi

2) Pencegahan sekunder
- Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal
o Golongan darah : semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah
ABO dan rhesus
Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif,
dilakukan pemeriksaan antibody direk (tes coombs), golongan

darah dan tipe Rh darah tali pusat bayi


Bila golongan darah ibu O, Rh positif terdapat pilihan untuk

dilakukan tes golongan darah dan tes Coombs atau tidak.


o Penilaian klinis : harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin
dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol bayi
secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus
3) Evaluasi laboratorium
- Pengukuran bilirubin dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus
-

dalam 24 jam pertama setelah lahir.


Pengukuran bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus berlebihan
Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam
jam

4) Penyebab kuning
- Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus
-

dilakukan analisis dan kultur urin.


Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus dilakukan
12

pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk


-

mengidentifikasi adanya kolestasis


Bila kadar bilirubin direk atau konjugasi meningkat, dilakukan evaluasi

tambahan untuk mencari penyebab kolestasis


Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phosphatase dehydrogenase (G6PD)
direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi.

5) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan


- Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap resiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat berdasarkan kadar bilirubin atau
berdasarkan penilaian faktor klinis. Penilaian ini penting pada bayi yang
pulang sebelum umur 72 jam.
6) Kebijakan dan prosedur rumah sakit
- Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orang tua saat keluar RS
- Semua bayi harus diperiksa oleh petugas beberapa hari setelah keluar RS :
Bayi keluar RS
Sebelum umur 24 jam
Antara umur 24 dan 47.9 jam
Antara umur 48-72 jam
-

Harus dilihat saat umur


72 jam
96 jam
120 jam

Untuk bayi yang dipulangkan sebelum 48 jam diperlukan 2 kunjungan yaitu


yang pertama antara 24-72 jam dan kedua antara 72-120 jam.

7) Pengelolaan bayi dengan ikterus


Pengelolaan bayi ikterus dini (early jaundice) yang mendapat ASI
1.

Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika feses tidak keluar

2.

dalam 24 jam
Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui sering dengan waktu yang singkat lebih

3.
4.
5.

efektif dibandingkan dengan menyusui lama dengan frekuensi jarang.


Tidak dianjurkan pemberian air, dextrosa atau formula pengganti
Observasi berat badan, BAK, dan BAB
Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum, rangsang pengeluaran produk
ASI dengan cara memompa, dan menggunakan fototerapi

6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI, sehingga penghentian
menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat
>20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.

Hiperbilirubinemia merupakan alasan paling sering bayi dibawa kembali ke rumah


sakit pada umur beberapa minggu. Langkah paling penting penanganan jaundice adalah
menentukan penyebabnya. Selain itu, tujuan utama dalam penatalakasannanya adalah
untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
13

menimbulkan kernikterus. Jika fraksi bilirubin tak terkonjugasi meningkat, langkahlangkah penangangan harus diambil adalah mencegah pemberian zat-zat pengikat albumin.
Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi
bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang
terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan(luminal).
Obat-obatan seperti sulfonamid dan seftriakson diketahui dapat menggeser bilirubin
sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin ensefalopati. Untuk itu pilihan terapi
untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain foto terapi, exchange
transfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim (Martiza, 2012).
Penggunaan farmakoterapi
Digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan merangsang induksi enzimenzim hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk
mengikat bilirubin dalam usus halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun, antara
lain:
-

Immunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh yang berat


dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan

tindakan transfusi ganti.


Fenobarbital memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktivitas dan
konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan

bilirubin. Namun secara umum tidak direkomendasikan digunakan setelah lahir.


Metalloprotoporphyrin untuk mencegah hiperbilirubinemia. Zat ini analog sintesis
heme. Protoporphyrin terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme
oksigenase. Enzim ini dibutuhkan untuk katabolisme heme menjadi biliverdin.
Dengan zat ini heme dicegah dari katabolisme dan diekskresikan secarah utuh
dalam empedu.

Terapi Sinar (Fototerapi)


Fototerapi terdiri dari sinar radiasi bayi jaundice dengan lampu energi foton yang
akan merubah struktur molekul bilirubin. Pengaruh sinar terhadap ikterus telah
diperkenalkan oleh Cremersejak 1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai
pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan
terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z,
15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z,15E-bilirubin yang merupakan bentuk
14

isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi
oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu kedalam usus, sehingga
peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.
Terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12mg/dL
dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada
hari pertama kelahiran. Secara umum fototerapi digunakan untuk mencegah agar
bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange transfusion. Pada
penderita yang direncanakan transfuse tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan
sesudah transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu
neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar
bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470nm) lampu diletakkan pada
jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksi glass biru yang berfungsi
untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah
lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala.
Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area
sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin
kearah bayi.
Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus
tampaknya lebih baik daripada sinar putih atau hijau. Saat ini tersedia fototerapi dengan
menggunakan woven fibrotic pads yang efektif (dibandingkan dengan foto
konvensional) dan aman.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluasluasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap
6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup
namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan
hemoglobin bayi dipantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin
<10mg/dL (<171mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek
samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain:
enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas.

15

Komplikasi Foto terapi


Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan
terapi sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut
yang terlihat selama ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan
memperhatikan tata cara pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas. Kelainan
yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :
a) Peningkatan insensible water loss pada bayi : Hal ini terutama akan terlihat pada
bayi yang kurnag bulan. Kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari
keadaan biasa. Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita dengan terapi sinar
perlu diperhatikan dengan sebaiknya.
b) Frekuensi defekasi yang meningkat : Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini,
antara lain karena meningkatnya peristaltik usus. Diare tersebut merupakan akibat
efek sekunder yang terjadi pada pembentukan enzim lactase karena meningkatnya
bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan
mengurangi timbulnya diare.
c) Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut flea bite rash di daerah muka,
badan dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada
beberapa bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome. Hal
ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi

16

sinar. Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi
proses tumbuh kembang bayi.
d) Gangguan retina : Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percobaan
Penelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi
mata pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih
diteruskan.
e) Gangguan pertumbuhan : Pada binatang percobaan ditemukan gangguan
pertumbuhan. Lucey (1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat
menemukan gangguan tumbuh kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar.
Meskipun demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi
yang tepat selama waktu yang diperlukan.
f) Kenaikan suhu : Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin
memperlihatkan kenaikan suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan
dengan mematikan sebagian lampu yang dipergunakan.
g) Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan
menghilang dengan sendirinya.
h) Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat
tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
Transfusi Tukar (Exchange Transfusion)
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat
bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang
telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis.
Indikasi exchange transfusion beragam dan dapat berhubungan dengan adanya
anemia maupun peningkatan kadar bilirubin serum dan walaupun transfusi tukar ini
sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu
diperhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi. Kriteria
melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio
bilirubin terhadap albumin.

17

Yang dimaksud ada komplikasi apabila:


1. Nilai APGAR <3pada menit ke5
2. PaO2 <40 torr selama 1 jam
3. pH <7,15 selama 1jam
4. Suhu rektal 35oC
5. Serum Albumin <2,5g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi1000g
Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin
Terapi sinar

Transfusi tukar

Usia
Bayi sehat
mg/dL mol/L
Hari 1

Faktor Risiko*
mg/dL

mol/L

Setiap ikterus yangterlihat

Bayi sehat

Faktor Risiko*

mg/dL mol/L mg/dL mol/L


1

260

13

220

Hari 2

15

260

13

220

25

425

15

260

Hari 3

18

310

16

270

35

510

20

340

Hari 4 dst

20

340

17

290

30

510

20

340

0
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang
akan diberikan dan
hiperbilirubinemia

teknik
yang

serta

penatalaksanaan

pemberian.

Apabila

terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah

ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain
yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang
bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai
darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada,
maka dapat dimintakan darah O dengan titer antiA atau antiB yang rendah. Jumlah darah
yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara140-180cc/kgBB.
18

Macam Transfusi Tukar:


1. DoubleVolume artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90% dari sirkulasi darah bayi dan 88% mengganti Hb
bayi.
2. IsoVolume artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65% Hb bayi.
3. PartialExchange artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.
VolumeDarahpadaTransfusiTukar5

* Volume darah bayi cukup bulan 85cc/ kg BB


* Volume darah bayi kurang bulan 100cc/kgBB
Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus
dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan diruangan yang aseptik yang
dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat yang
dapat mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan

pula kemungkinan

terjadinya

komplikasi transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung.
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan tenaga tidak
memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar, penderita dapat dirujuk
kepusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil (transportable) dengan
memperhatikan syarat- syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi.

19

Pemutusan Sirkulasi Enterohepatik


Adapun

pendekatan

farmakologis

untuk

mencegah

dan

mengobati

hiperbilirubinemia neonatal, sirkulasi enterohepatik dapat diinterupsi dengan pemberian


parenteral. Zat-zat yang dapat mengikat bilirubin dalam intestinum mencegah resorbsi
zat-zat ini antara lain adalah agar, kolestiramin, charcoal aktif, dan kalsium fosfat.
Mungkin akan meningkatkan peristaltik usus sebagai suatu upaya untuk mempersingkat
waktu absorbsi bilirubin. Pemberian makanan yang sering dan stimulasi rektal
berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin serum. Pemberian bilirubin oksidase
parenteral, suatu enzim yang memecah bilirubin menjadi biliverdin, diperol dan produk
lainnya, merupakan cara lain untuk menghambat sirkulasi enterohepatik, yang sampai
saat ini masih diuji coba.
Induksi Enzim
Aktivitas BUGT hepatik neonatal masih rendah, tidaklah mengherankan bahwa
induksi BUGT hepatik menyebabkan penurunan kadar bilirubin. Induksi semacam ini
pada neonatus dapat dilakukan dengan pemberian fenobarbital atau difenilhidantoin pada
ibu sebelum melahirkan, bahkan bayi dengan berat badan lahir rendah (<2000 gram)
memberikan respons terhadap terapi fenobarbital in utero dengan peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi serum dan penurunan kebutuhan fototerapi.
Optimalisasi pemberian ASI pada periode perinatal adalah penting, jika kadar
bilirubin meningkat, dianjurkan untuk mendukung ibu agar lebih sering menyusui dengan
interval 2 jam dan tidak memberikan makanan tambahan atau setidaknya 8-10x per 24
jam. Ada hubungan yang jelas antara frekuensi menyusui dengan penurunan insidensi
hiperbilirubinemia. Pemberian yang sering mungkin tidak akan meningkatkan intake
tetapi akan meningkatkan peristaltik dan frekuensi BAB sehingga meningkatkan ekskresi
bilirubin. Pemberian ASI dalam 24 jam pertama berhubungan nyata dengan frekuensi
pasase mekonium.

20

21

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurrahman, S. (2014). Hiperbilirubinemia. Dalam A. Y. M. Sholeh Kosim, Buku
Ajar Neonatologi (hal. 147-169). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Etika,

R.,

Harianto,

A.,

Indarso,

F.,

&

Damanik,

S.

M.

(t.thn.).

HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS (HYPERBILIRUBINEMIA IN


NEONATE). Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.
Soetomo - Surabaya , 1-14.
3. (2014). Anemia dan Hiperbilirubinemia. Dalam K. J. Marcdante, R. M. Kliegman, H.
B. Jenson, & R. E. Behrman, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial (Indonesian
Edition) (hal. 274-277). Elsevier.
4. Martiza, I. (2012). Ikterus. Dalam M. Juffrie, S. S. Soenarto, H. Oswari, S. Arief, I.
Rosalina, & N. S. Mulyani, Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi (hal. 263-284).
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
5. AmericanAcademyofPediatrics.SubcommitteeonHyperbilirubinemia.Managementof
hyperbilirubinemia

inthenewborninfant35

or

more

weeksof

gestation.Pediatrics2004;114:294
6. Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal jaundice : Bilirubin
Physiology and Clinical Chemistry. NeoReviews 2007; 8 : 58-67.
7. Blackburn ST, penyunting. Bilirubin metabolism. Maternal, fetal, & neonatal
physiology, a clinical perspective. Edisi ke-3. Saunders. Missouri; 2007.
8. Gourley GR. Breastfeeding diet and neonatal hyperbilirubinemia. Neoreviews 2000;
1: 25-31.

23

You might also like