Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) merupakan salah satu
fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi
cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh
hiperbilirubinemia. Keadaan ini dapat merupakan kejadian sesaat yang dapat hilang
spontan. Sebaliknya, hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal yang serius, bahkan
mengancam jiwa. Dengan kondisi perawatan yang memulangkan neonatus secara dini,
dapat meningkatkan resiko terjadinya kern ikterus pada bayi cukup bulan apabila
dipulangkan dalam 48 jam setelah lahir. Terdapat hubungan yang signifikan antara
penurunan lama tinggal dan resiko kembali ke rumah sakit, dan penyebab utama
kembalinya ke rumah sakit selama periode awal neonatus adalah hiperbilirubinemia.
Terlepas dari penyebabnya, peningkatan kadar bilirubin serum dapat bersifat toksik
terhadap bayi baru lahir.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI
Ikterus (jaundice) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,
sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada
orang dewasa,ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2mg/dL (>17mol/L),
sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin> 5 mg/dL (>86mol/L).2
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah
ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut Excessive Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non PhysiologicalJaundice) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonatus > 95 % menurut Normogram Bhutani.2
Transport bilirubin
Pengambilan bilirubin oleh sel hati
Konjugasi
Sekresi bilirubin terkonjugasi
Sirkulasi enterohepatik
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali
untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan ke dalam
paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik
dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.1
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. 1 gram haemoglobin akan menghasilkan 34 mg
bilirubin dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan
heamoglobin karena eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan
yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme
bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa
sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan
masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa
(120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga
reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat melalui sirkulasi enterohepatik.1
Transportasi bilirubin
3
yaitu bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.
Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (-bilirubin)
Pada 2 minggu pertama kehidupan, -bilirubin tidak akan tampak.
Peningkatan kadar -bilirubin secara signifikan dapat ditemukan pada bayi
baru lahir normal yang lebih tua dan pada anak. Konsentrasinya meningkat
bermakna pada keadaan hiperbilirubinemia terkonjugasi persisten karena
berbagai kelainan pada hati.
Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut
dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronyl
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Bilirubin ini kemudian dieksresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu
molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke dalam retikulum endoplasmik untuk
rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke
hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan hemolisis
kronik yang berat pigmen yang tertahan adalah bilirubin monoglukoronida.
Ekskresi (Sekresi )Bilirubin dan Sirkulasi Enterohepatik
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam
kandung empedu kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses.
Proses ekskresinya sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada di
usus halus, bilurubin terkonjugasi tidak langsung diresorbsi, kecuali jika dikonversikan
kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat
dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk
dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim -glukoronidase yang dapat
mengidrolisia monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir,
lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi
sterkobilin.
Bayi baru lahir mempunyasi konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang relatif
tinggi di dalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis
bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan di
dalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk mengurangi
bilirubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool bilirubin usus
dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan hidrolisis
bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas -glukoronidase mukosa
5
yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi. Pemberian substansi oral yang
tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat mengikat bilirubin akan meningkatkan
kadar bilirubin tinja dan mengurangi kadar bilirubin serum, hal ini menggambarkan peran
kontribusi sirkulasi enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada
bayi baru lahir.
Cara untuk melihat jaundice adalah dengan cara menekan kulit secara hati-hati dengan jari
dibawah penerangan yang cukup.
II.1.2.a. KLASIFIKASI
1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang
bulan maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Pada bayi cukup
bulan yang mendapat susu formulakadar bilirubin akan mencapai puncak sekitar 67
8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3
hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1-2 minggu.
Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai
kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa
sampai 2-4 minggu, bahkan mencapai 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang
mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang
lebih tinggi dan lebih lama, begitu pula dengan penurunannya jika tidak diberikan
fototerapi pencegahan. Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran
fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin.
Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis:
Dasar
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi bilirubin
Peningkatan
resirkulasi
Penyebab
enterohepatik shunt
Penurunan bilirubin clearance
Penurunan clearance dari plasma
Penurunan metabolisme hepatik
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering dan bayi
dengan aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai
insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu
formula cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari
pertama kehidupan jika dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat
ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi
yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
(berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI). Bentuk
earlyonset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset
diyakini dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang memperngaruhi proses konjugasi dan
ekskresi. Penyebab late onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan adanya
faktor spesifik dari ASI yaitu: 2-20-pregnanediol yang mempengaruhi aktivitas UDPGT
8
atau pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit; peningkatan aktifitas lipoprotein lipase
yang kemudian melepaskan asam lemak bebas ke dalam usus halus; penghambatan
konjugasi akibat peningkatan asam lemak unsaturated; atau -glukorunidase atau adanya
faktor lain yang mungkin menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis atau disebut juga ikterus non-fisiologis mempunyai tandatanda sebagai berikut:
a) Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
b) Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
c) Peningkatan kadar bilirubin total serum lebih dari 0,5 mg/dL/jam
d) Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari seperti muntah, letargi, malas
menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang
tidak stabil
e) Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan.
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan oleh proses fisiologis atau patologis atau
kombinasi keduanya. Resiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI,
bayi kurang bulan, dan bayi mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi
karena peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi
pada bayi immatur.
Bayi yang diberi ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi
dibandingkan bayi yang diberi susu formula. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain; frekuensi menyusui yang tidak adekuat, kehilangan berat
badan/dehidrasi
Asupan cairan:
Kelaparan
Frekuensi menyusui
Kehilangan berat badan/dehidrasi
Hambatan ekskresi bilirubin hepatik
Pregnandiol
Lipase-free fatty acids
Unidentified inhibitor
Intestinal reabsorption of bilirubin
II.1.2.b. ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkanoleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum dapat
dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan
infeksi atautidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom CrigglerNajjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan
penting dalam uptakebilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Selain itu, neonatal beresiko untuk mengabsorbsi bilirubin intestinal karena
empedu neonatus mengandung kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi
sehingga lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah
glukoronidase dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi
menjadi bilirubin yang mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang
mengandung flora intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi
10
II.1.2.c. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh
dan melewati lobulus hati,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini
umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin. Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl.
Ikterus akan muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan
oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya
atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang
dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi
hati
juga
akan
menyebabkan
hiperbilirubinemia.
Pada
semua
keadaan
ini,
11
2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi
kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.
II.1.2.d. PENCEGAHAN dan TATALAKSANA
Pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering
menyusui untuk menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan bakteri flora
normal, dan merangsang aktifitas usus halus.
Strategi Pencegahan hiperbilirubinemia:
1) Pencegahan primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari
-
2) Pencegahan sekunder
- Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal
o Golongan darah : semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah
ABO dan rhesus
Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif,
dilakukan pemeriksaan antibody direk (tes coombs), golongan
4) Penyebab kuning
- Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus
-
Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika feses tidak keluar
2.
dalam 24 jam
Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui sering dengan waktu yang singkat lebih
3.
4.
5.
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI, sehingga penghentian
menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat
>20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.
menimbulkan kernikterus. Jika fraksi bilirubin tak terkonjugasi meningkat, langkahlangkah penangangan harus diambil adalah mencegah pemberian zat-zat pengikat albumin.
Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi
bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang
terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan(luminal).
Obat-obatan seperti sulfonamid dan seftriakson diketahui dapat menggeser bilirubin
sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin ensefalopati. Untuk itu pilihan terapi
untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain foto terapi, exchange
transfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim (Martiza, 2012).
Penggunaan farmakoterapi
Digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan merangsang induksi enzimenzim hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk
mengikat bilirubin dalam usus halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun, antara
lain:
-
isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi
oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu kedalam usus, sehingga
peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.
Terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12mg/dL
dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada
hari pertama kelahiran. Secara umum fototerapi digunakan untuk mencegah agar
bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange transfusion. Pada
penderita yang direncanakan transfuse tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan
sesudah transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu
neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar
bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470nm) lampu diletakkan pada
jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksi glass biru yang berfungsi
untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah
lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala.
Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area
sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin
kearah bayi.
Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus
tampaknya lebih baik daripada sinar putih atau hijau. Saat ini tersedia fototerapi dengan
menggunakan woven fibrotic pads yang efektif (dibandingkan dengan foto
konvensional) dan aman.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluasluasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap
6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup
namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan
hemoglobin bayi dipantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin
<10mg/dL (<171mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek
samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain:
enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas.
15
16
sinar. Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi
proses tumbuh kembang bayi.
d) Gangguan retina : Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percobaan
Penelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi
mata pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih
diteruskan.
e) Gangguan pertumbuhan : Pada binatang percobaan ditemukan gangguan
pertumbuhan. Lucey (1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat
menemukan gangguan tumbuh kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar.
Meskipun demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi
yang tepat selama waktu yang diperlukan.
f) Kenaikan suhu : Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin
memperlihatkan kenaikan suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan
dengan mematikan sebagian lampu yang dipergunakan.
g) Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan
menghilang dengan sendirinya.
h) Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat
tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
Transfusi Tukar (Exchange Transfusion)
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat
bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang
telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis.
Indikasi exchange transfusion beragam dan dapat berhubungan dengan adanya
anemia maupun peningkatan kadar bilirubin serum dan walaupun transfusi tukar ini
sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu
diperhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi. Kriteria
melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio
bilirubin terhadap albumin.
17
Transfusi tukar
Usia
Bayi sehat
mg/dL mol/L
Hari 1
Faktor Risiko*
mg/dL
mol/L
Bayi sehat
Faktor Risiko*
260
13
220
Hari 2
15
260
13
220
25
425
15
260
Hari 3
18
310
16
270
35
510
20
340
Hari 4 dst
20
340
17
290
30
510
20
340
0
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang
akan diberikan dan
hiperbilirubinemia
teknik
yang
serta
penatalaksanaan
pemberian.
Apabila
ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain
yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang
bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai
darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada,
maka dapat dimintakan darah O dengan titer antiA atau antiB yang rendah. Jumlah darah
yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara140-180cc/kgBB.
18
pula kemungkinan
terjadinya
komplikasi transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung.
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan tenaga tidak
memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar, penderita dapat dirujuk
kepusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil (transportable) dengan
memperhatikan syarat- syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi.
19
pendekatan
farmakologis
untuk
mencegah
dan
mengobati
20
21
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurrahman, S. (2014). Hiperbilirubinemia. Dalam A. Y. M. Sholeh Kosim, Buku
Ajar Neonatologi (hal. 147-169). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Etika,
R.,
Harianto,
A.,
Indarso,
F.,
&
Damanik,
S.
M.
(t.thn.).
inthenewborninfant35
or
more
weeksof
gestation.Pediatrics2004;114:294
6. Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal jaundice : Bilirubin
Physiology and Clinical Chemistry. NeoReviews 2007; 8 : 58-67.
7. Blackburn ST, penyunting. Bilirubin metabolism. Maternal, fetal, & neonatal
physiology, a clinical perspective. Edisi ke-3. Saunders. Missouri; 2007.
8. Gourley GR. Breastfeeding diet and neonatal hyperbilirubinemia. Neoreviews 2000;
1: 25-31.
23