You are on page 1of 20

PANSITOPENIA

A. DEFINISI
Pansitopenia adalah keadaan dimana terjadi penurunan jumlah
eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pansitopenia ini merupakan suatu
kelainan di dalam darah tepi. Biasanya kadar hb juga ikut rendah akibat
rendahnya eritrosit.1
Pansitopenia ini merupakan suatu gejala, bukan penyakit. Ada dua
kelompok penyakit yang bisa menyebabkan kondisi ini; produksi sel
darah di sumsum tulang yang menurun, atau akibat penghancuran sel di
darah tepi meningkat walaupun produksi sel darah di sumsum tulang
berlangsung baik. Terdapat dua contoh penyakit yang menggambarkan
gejala pansitopenia yang sangat jelas adalah Anemia Aplastik dan
Leukemia.1
Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah
pada sumsum tulang belakang. Anemia aplastik juga merupakan anemia
yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan oleh
kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau
hipoplasia. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus bersifat
hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga sebagai
anemia hipoplastik. Kelainan ini ditandai oleh sumsum hiposelular dan
berbagai
variasi
tingkat
anemia,
granulositopenia,
dan
2,3
trombositopenia.
Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang
bersifat irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari
mana sel itu berasal. Sel-sel tesebut, pada berbagai stadium akan
membanjiri aliran darah. Pada kasus Leukemia (kanker darah), sel darah
putih tidak merespon kepada tanda/signal yang diberikan. Akhirnya
produksi yang berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar dari
sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah
tepi. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat
mengganggu fungsi normal sel lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti
ini (Leukemia) akan menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah
terkena penyakit infeksi, anemia dan perdarahan
B. ETIOLOGI
Anemia Aplastik
Masih belum terdapat bukti yang sangat jelas mengapa seseorang
dapat diduga secara potensial menderita keracunan sumsum tulang
berat dan sering terdapat kasus cedera sumsum tulang yang tidak
dapat disembuhkan. Oleh karena itu, penyebab pasti seseorang
menderita anemia aplastik juga belum dapat ditegakkan dengan pasti.
Namun terdapat beberapa sumber yang berpotensi sebagai faktor
yang menimbulkan anemia aplastik. Anemia aplastik dapat
1

diggolongkan menjadi tiga berdasarkan penyebabnya yaitu : anemia


aplastik didapat (acquired aplastic anemia); familial (inherited);
idiopathik (tidak diketahui). Sumber lainnya membagi penyebabnya
menjadi primer (kongenital, idiopatik) dan sekunder (radiasi, obat,
penyebab lain). Berikut ini merupakan penjelasan mengenai ketiga
penyebab tersebut:
Anemia Aplastik Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Bahan Kimia.
Berdasarkan pengamatan pada pekerja pabrik sekitar abad ke-20an,
keracunan pada sumsum tulang, benzene juga sering digunakan
sebagai bahan pelarut. Benzene merupakan bahan kimia yang
paling berhubungan dengan anemia aplastik. Meskipun diketahui
sebagai penyebab dan sering digunakan dalam bahan kimia pabrik,
sebagai obat, pewarna pakaian, dan bahan yang mudah meledak.
Selain penyebab keracunan sumsum tulang, benzene juga
menyebabkan abnormalitas hematologi yang meliputi anemia
hemolitik, hiperplasia sumsum, metaplasia mieloid, dan akut
mielogenous leukemia. Benzene dapat meracuni tubuh dengan cara
dihirup dan dengan cepat diserap oleh tubuh, namun terkadang
benzene juga dapat meresap melalui membran mukosa dan kulit
dengan intensitas yang kecil. Terdapat juga hubungan antara
pengguanaan insektisida menggunakan benzene dengan anemia
aplastik. Chlorinated hydrocarbons dan organophospat menambah
banyaknya kasus anemia aplastik seperti yang dilaporkan 280 kasus
dalam literatur. Selain itu DDT(chlorophenothane), lindane, dan
chlordane juga sering digunakan dalam insektisida.1 Trinitrotolune
(TNT), bahan peledak yang digunakan pada perang dunia pertama
dan kedua juga terbukti sebagai salah satu faktor penyebab anemia
aplastik fatal. Zat ini meracuni dengan cara dihirup dan diserap
melalui kulit. Kasus serupa juga diamati pada pekerja pabrik mesia
di Great Britain dari tahun 1940 sampai 1946.
Obat
Beberapa jenis obat mempunyai asosiasi dengan anemia aplastik,
baik itu mempunyai pengaruh yang kecil hingga pengaruh berat
pada penyakit anemia aplastik. Hubungan yang jelas antara
penggunaan obat tertentu dengan masalah kegagalan sumsum
tulang masih dijumpai dalam kasus yang jarang. Hal ini disebabkan
oleh dari beberapa interpretasi laporan kasus dirancukan dengan
kombinasi dalam pemakaian obat. Kiranya, banyak agen dapat
mempengaruhi fungsi sumsum tulang apabila menggunakan obat
dalam dosis tinggi serta tingkat keracunan tidak mempengaruhi
organ lain. Beberapa obat yang dikaitkan sebagai penyebab anemia
2

aplastik yaitu obat dose dependent (sitostatika, preparat emas), dan


obat dose independent (kloramfenikol, fenilbutason, antikonvulsan,
sulfonamid)
Radiasi
Penyinaran yang bersifat kronis untuk radiasi dosis rendah atau
radiasi lokal dikaitkan dengan meningkat namun lambat dalam
perkembangan anemia aplastik dan akut leukemia. Pasien yang
diberikan thorium dioxide melalui kontras intravena akan menderita
sejumlah komplikasi seperti tumor hati, leukemia akut, dan anemia
aplastik kronik. Penyinaran dengan radiasi dosis besar berasosiasi
dengan perkembangan aplasia sumsum tulang dan sindrom
pencernaan.1 Makromolekul besar, khususnya DNA, dapat dirusak
oleh: (a) secara langsung oleh jumlah besar energi sinar yang dapat
memutuskan ikatan kovalen; atau (b) secara tidak langsung melalui
interaksi dengan serangan tingkat tinggi dan molekul kecil reaktif
yang dihasilkan dari ionisasi atau radikal bebas yang terjadi pada
larutan. Secara mitosis jaringan hematopoesis aktif sangat sensitif
dengan hampir segala bentuk radiasi. Sel pada sumsum tulang
kemungkinan sangat dipengaruhi oleh energi tingkat tinggi sinar ,
yang dimana dapat menembus rongga perut. Kedua, dengan
menyerap partikel dan (tingkat energi yang rendah
membakar tetapi tidak menembus kulit). Pemaparan secara
berulang mungkin dapat merusak sumsum tulang yang dapat
menimbulkan anemia aplastik.
Virus
Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat menginfeksi
sumsum tulang manusia dan menyebabkan kerusakan. Beberapa
virus seperti parvovirus, herpesvirus, flavivirus, retrovirus dikaitkan
dengan potensi sebagai penyebab anemia aplastik
Familial (Inherited) Anemia Aplastik
Beberapa faktor familial atau keturunan dapat menyebabkan anemia
aplastik antara lain pansitopenia konstitusional Fanconi, defisiensi
pancreas pada anak, dan gangguan herediter pemasukan asam folat
ke dalam sel
Leukemia
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari Leukemia tidak diketahui.
Meskipun demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat
menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor prediposisi Leukemia
pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak
3

digunakan pada insidens penyamakan kulit di negara berkembang,


diketahui merupakan zat leukomogenik untuk Leukemia. Selain itu
radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan Leukemia. Ini diketahui
dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk
Leukemia, pada orang-orang yang selamat bom atom di Hirosima dan
Nagasaki pada 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi
tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan
mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman. Faktor lain
yang diketahui sebagai predisposisi untuk Leukemia adalah trisomi
kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom down.
Pasien Sindrom Down dengan trisommi kromosom 21 mempunyai
resiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia,
khususnya Leukemia tipe M7. Selain itu pada beberapa pasien sindrom
genetik seperti sindrom bloom dan anemia Fanconi juga diketahui
mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal
untuk menderita Leukemia. Faktor lain yang dapat memicu terjadinya
Leukemia adalah pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada
pasien tumor padat. Leukemia akibat terapi adalah komplikasi jangka
panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel,
kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker testis. Jenis terapi yang
paling sering memicu timbulnya Leukemia adalah golongan alkylating
agent dan topoisomerase II inhibitor.
C. PATOGENESIS
Anemia Aplastik
Pansitopenia dalam anemia aplastik menggambarkan kegagalan
proses hematopoetik yang ditunjukkan dengan penurunan drastis jumlah
sel primitif hematopoetik. Dua mekanisme dijelaskan pada kegagalan
sumsum tulang. Mekanisme pertama adalah cedera hematopoetik
langsung karena bahan kimia seperti benzene, obat, atau radiasi untuk
proses proliferasi dan sel hematopoetik yang tidak bergerak. Mekanisme
kedua, didukung oleh observasi klinik dan studi laboratorium, yaitu imun
sebagai penekan sel sumsum tulang, sebagai contoh dari mekanisme ini
yaitu kegagalan sumsum tulang setelah graft versus host disease,
eosinophilic fascitis, dan hepatitis. Mekanisme idiopatik, asosiasi dengan
kehamilan, dan beberapa kasus obat yang berasosiasi dengan anemia
aplastik masih belum jelas tetapi dengan terperinci melibatkan proses
imunologi. Sel sitotoksik T diperkirakan dapat bertindak sebagai faktor
penghambat dalam sel hematopoetik dalam menyelesaikan produksi
hematopoesis inhibiting cytokinesis seperti interferon dan tumor
nekrosis faktor .. Efek dari imun sebagai media penghambat dalam
hematopoesis mungkin dapat menjelaskan mengapa hampir sebagian
4

besar pasien dengan anemia aplastik didapat memiliki respon terhadap


terapi imunosupresif.
Pasien dengan anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih dari
10% jumlah sel batang normal. Bagaimanapun, studi laboratorium
menunjukkan bahwa sel stromal dari pasien anemia aplastik dapat
mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari sel induk
hematopoetik dan dapat juga menghasilkan kuantitas faktor
pertumbuhan hematopoetik dengan jumlah normal atau meningkat.
Leukemia
Patogenesis utama Leukemia adalah adanya blokade maturitas yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel
muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang.
Akumulasi Blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan
hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom
kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai
dengan adanya sitopenia ( anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya
anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang
lebih berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia akan
menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan
menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termausk infeksi oportunis
dari flora normal bakteri yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu,
sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar
sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang,
jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ
tersebut dengan segala akibatnya.
Dalam hematopoiesis normal, myeloblast merupakan prekursor
belum matang myeloid sel darah putih, sebuah myeloblast yang normal
secara bertahap akan tumbuh menjadi sel darah dewasa putih. Namun,
dalam Leukemia, sebuah myeloblast tunggal akumulasi perubahan
genetik yang "membekukan" sel dalam keadaan imatur dan mencegah
diferensiasi.Seperti mutasi saja tidak menyebabkan leukemia, namun
ketika seperti "penangkapan diferensiasi" dikombinasikan dengan mutasi
gen lain yang mengganggu pengendalian proliferasi, hasilnya adalah
pertumbuhan tidak terkendali dari klon belum menghasilkan sel, yang
mengarah
ke
entitas
klinis
Leukemia.
Sebagian besar keragaman dan heterogenitas Leukemia berasal dari
kenyataan bahwa transformasi Leukemia dapat terjadi di sejumlah
langkah yang berbeda di sepanjang jalur diferensiasi. Para translokasi
kromosom yang abnormal menyandikan protein fusi, biasanya faktor
transkripsi yang mengubah sifat dapat menyebabkan "penangkapan
diferensiasi." Sebagai contoh, pada leukemia promyelocytic akut, t (15;
17) translokasi menghasilkan protein fusi PML-RAR yang mengikat ke
5

reseptor unsur asam retinoat dalam beberapa promotor myeloid-gen


spesifik dan menghambat diferensiasi myeloid. Klinis tanda dan gejala
hasil AML dari kenyataan bahwa, sebagai klon leukemia sel tumbuh, ia
cenderung untuk menggantikan atau mengganggu perkembangan sel-sel
darah normal dalam sumsum tulang. Hal ini menyebabkan neutropenia,
anemia, dan trombositopenia.
D. GEJALA KLINIS
Anemia Aplastik
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan
gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia
eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala
anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi cordis, takikardi,
pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan
granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka
terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi
baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu
dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau
pendarahan di organ-organ. Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari
anemia
aplastik
yang
sering
dikeluhkan
adalah
anemia
atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga
dikeluhkan.
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada
pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi.
Pada tabel dibawah ini terlihat bahwa pendarahan, lemah badan dan
pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.

Keluhan Pasien Anemia Aplastik:


Jenis keluhan
Pendarahan
Lemah badan
Pusing
Jantung berdebar
Demam
Nafsu makan berkurang
Pucat
Sesak nafas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung

%
83
80
69
36
33
29
26
23
19
13

Pemeriksaan

fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat


bervariasi. Pada tabel dibawah ini terlihat bahwa pucat ditemukan
pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan
pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang
sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien
sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun.
Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan
diagnosis. Pemeriksaan fisik pada Pasien Anemia Aplastik
Jenis pemeriksaan fisik
Pucat
Pendarahan
Kulit
Gusi
Retina
Hidung
Saluran cerna
Vagina
Demam
Hepatomegali
Splenomegali

%
100
63
34
26
20
7
6
3
16
7
0

Leukemia
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien
Leukemia tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada
sekitar 50% kasus Leukemia, sedang 15% pasien mempunyai angka
leukosit yang normal dan sekitar 35% mengalami netropenia. Meskipun
demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan
ditemukan pada 85% kasus Leukemia. Oleh karena itu sangat penting
untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai
pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang
yang diduga menderita LMA.
Tanda dan gejala utama Leukemia adalah adanya rasa lelah,
perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan
sumsum tulang sebagaimana telah disebutkan di atas. Perdarahan
biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering
dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi
dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada
kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini pling sering dijumpai
pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paruparu, kulit dan daerah peri rektal, sehingga organ-organ tersebut harus
diperiksa secara teliti pada pasien Leukemia dengan demam.
7

Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari
100 ribu/mm3), sering terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit
yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala
leukositosis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala
yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri
dada dan priapismus.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang
bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di
kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang
tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di
jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma).
Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan meninbulkan nyeri tulang
yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakkan gusi
sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam
gusi. Meskipun jarang, pada Leukemia juga dapat dijumpai infiltrasi selsel blast ke daerah menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan
pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui
prosedur pungsi lumbal.
E. DIAGNOSIS
Anemia Aplastik
Untuk menegakkan diagnosis anemia aplastik dan menyingkirkan
berbagai kemungkinan penyakit penyebab pansitopenia sehingga tidak
meragukan hasil diagnosisnya, kita dapat memulainya dengan
melakukan anamnesis seputar keluhan dari pasien, kemudian
melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang baik
pemeriksaan laboratorium ataupun radiologis.
1. Anamnesis
Dari anamnesis bisa kita dapatkan keluhan pasien mengenai
gejala-gejala seputar anemia seperti lemah, letih, lesu, pucat,
pusing, penglihatan terganggu, nafsu makan menurun, sesak nafas
serta jantung yang berdebar. Selain gejala anemia bisa kita temukan
keluhan seputar infeksi seperti demam, nyeri badan ataupun adanya
riwayat terjadinya perdarahan pada gusi, hidung, dan dibawah kulit.
Kita juga bisa menanyakan apakah anggota keluarga lain
mengeluhkan gejala seperti ini atau apakah gejala ini sudah terlihat
sejak masih kecil atau tidak. Dimana nantinya akan dapat
mengetahui penyebab dari anemia aplastik ini sendiri. Apakah
karena bawaan (kongenital) atau karena didapat.
2. Pemeriksaan fisik
Kita akan menegaskan kembali apa yang sudah dikeluhkan oleh
pasien.
3. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan darah
8

Pada pemeriksaan darah lengkap kita dapat mengetahui jumlah


masing-masing sel darah baik eritrosit, leukosit maupun trombosit.
Apakah mengalami penurunan atau pansitopenia. Pasien dengan
anemia
aplastik
mempunyai
bermacam-macam
derajat
pansitopenia. Tetapi biasanya pada stadium awal penyakit,
pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia dihubungkan dengan
indeks retikulosit yang rendah, biasanya kurang dari 1% dan
kemungkinan nol walaupun eritropoetinnya tinggi. Jumlah
retikulosit absolut kurang dari 40.000/L (40x109/L). Jumlah
monosit dan netrofil rendah. Jumlah netrofil absolut kurang dari
500/L (0,5x109/L) serta jumlah trombosit yang kurang dari
30.000/L(30x109/L) mengindikasikan derajat anemia yang berat
dan jumlah netrofil dibawah 200/L (0,2x10 9/L) menunjukkan
derajat penyakit yang sangat berat. Jenis anemia aplastik adalah
anemia normokrom normositer. Adanya eritrosit muda atau
leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia
aplastik. Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Ini
dapat dibedakan dengan anemia hemolitik dimana dijumpai sel
eritrosit muda yang ukurannya lebih besar dari yang tua dan
persentase retikulosit yang meningkat.
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan
biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan
akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada
anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia
aplastik konstitusional.
Plasma
darah
biasanya
mengandung
growth
factor hematopoiesis, termasuk eritropoietin, trombopoietin, dan
faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya
meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan
inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.
2) Pemeriksan sumsum tulang
Pada pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pemeriksaan biopsi
dan aspirasi. Bagian yang akan dilakukan biopsi dan aspirasi dari
sumsum tulang adalah tulang pelvis, sekitar 2 inchi disebelah
tulang belakang. Pasien akan diberikan lokal anastesi untuk
menghilangkan nyerinya. Kemudian akan dilakukan sayatan kecil
pada kulit, sekitar 1/8 inchi untuk memudahkan masuknya jarum.
Untuk aspirasi digunakan jarung yang ukuran besar untuk
mengambil sedikit cairan sumsum tulang (sekitar 1 teaspoon).
Untuk biopsi, akan diambil potongan kecil berbentuk bulat dengan
diameter kurang lebih 1/16 inchi dan panjangnya 1/3 inchi dengan
menggunakan jarum. Kedua sampel ini diambil di tempat yang
sama, di belakang dari tulang pelvis dan pada prosedur yang
9

sama. Tujuan dari pemeriksaan ini untuk menyingkirkan faktor lain


yang menyebabkan pansitopenia seperti leukemia atau
myelodisplastic syndrome (MDS).
Pemeriksaan sumsum tulang akan menunjukkan secara tepat jenis
dan jumlah sel dari sumsum tulang yang sudah ditandai, level dari
sel-sel muda pada sumsum tulang (sel darah putih yang imatur)
dan kerusakan kromosom (DNA) pada sel-sel dari sumsum tulang
yang biasa disebut kelainan sitogenik. Pada anaplastik didapat,
tidak ditemukan adanya kelainan kromosom. Pada sumsum tulang
yang normal, 40-60% dari ruang sumsum secara khas diisi dengan
sel-sel hematopoetik (tergantung umur dari pasien). Pada pasien
anemia aplastik secara khas akan terlihat hanya ada beberapa sel
hematopoetik dan lebih banyak diisi oleh sel-sel stroma dan
lemak. Pada leukemia atau keganasan lainnya juga menyebabkan
penurunan jumlah sel-sel hematopoetik namun dapat dibedakan
dengan anemia aplastik. Pada leukemia atau keganasan lainnya
terdapat sel-sel leukemia atau sel-sel kanker.
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang
dari 30% sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika
kurang dari 20% pada individu yang berumur lebih dari 60 tahun.
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik
berat bila selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang
dari 50% dengan kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada
sumsum tulang.
3) Pemeriksaan Flow cytometry dan FISH (Fluoresence In Situ
Hybridization)
Kedua pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan spesifik. Pada
pemeriksaan Flow cytometry, sel-sel darah akan diambil dari
sumsum tulang, tujuannya untuk mengetahui jumlah dan jenis selsel yang terdapat di sumsum tulang. Pada pemeriksaan FISH,
secara langsung akan disinari oleh cahaya pada bagian yang
spesifik dari kromosom atau gen. Tujuannya untuk mengetahui
apakah terdapat kelainan genetic atau tidak
4) Tes fungsi hati dan virus
Tes fungsi hati harus dilakukan untuk mendeteksi hepatitis, tetapi
pada pemeriksaan serologi anemia aplastik post hepatitis
kebanyakan sering negative untuk semua jenis virus hepatitis
yang telah diketahui. Onset dari anemia aplastik terjadi 2-3 bulan
setelah episode akut hepatitis dan kebanyakan sering pada anak
laki-laki. Darah harus di tes antibodi hepatitis A, antibodi hepatitis
C, antigen permukaan hepatitis B, dan virus Epstein-Barr (EBV).
Sitomegalovirus dan tes serologi virus lainnya harus dinilai jika
mempertimbangkan
dilakukannya
BMT
(Bone
Marrow
10

Transplantasion). Parvovirus menyebabkan aplasia sel darah


merah namun bukan merupakan anemia aplastik.
5) Level vitamin B-12 dan Folat
Level vitamin B-12 dan Folat harus diukur untuk menyingkirkan
anemia megaloblastik yang mana ketika dalam kondisi berat
dapat menyebabkan pansitopenia
6) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khususnya
berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang
diturunkan,
karena
banyak
diantaranya
memperlihatkan
abnormalitas skeletal
a. Pemeriksaan X-ray rutin dari tulang radius untuk menganalisa
kromosom darah tepi untuk menyingkirkan diagnosis dari
anemia fanconi
b. USG abdominal. Untuk mencari pembesaran dari limpa dan/
atau
pembesaran
kelenjar
limfa
yang
meningkatkan
kemungkinan adanya penyakit keganasan hematologi sebagai
penyebab dari pansitopenia. Pada pasien yang muda, letak dari
ginjal yang salah atau abnormal merupakan penampakan dari
anemia Fanconi.
c. Nuclear
Magnetic
Resonance Imaging.
Pemeriksaan
ini
rnernpakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan
karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah
sumsum tulang berlemak dan sumsum tulang berselular.
d. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning.
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh
scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radoaktif
technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum
tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferin.
Dengan bantuan scan sumsum tulang dapt ditentukan daerah
hemopoesis aktif untuk memperoleh sel-sel guna pemeriksaan
sitogenik atau kultur sel-sel induk
Leukemia
Secara klasik diagnosis Leukemia ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Seperti
sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu
berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping
dan analisis sitogenik.
Pertama, tes darah dilakukan untuk menghitung jumlah setiap
jenis sel darah yang berbeda dan melihat apakah mereka berada
dalam batas normal. Dalam AML, tingkat sel darah merah mungkin
rendah, menyebabkan anemia, tingkat-tingkat platelet mungkin
11

rendah, menyebabkan perdarahan dan memar, dan tingkat sel darah


putih mungkin rendah, menyebabkan infeksi.
Biopsi sumsum tulang atau aspirasi (penyedotan) dari sumsum
tulang mungkin dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama biopsi
sumsum tulang, jarum berongga dimasukkan ke tulang pinggul untuk
mengeluarkan sejumlah kecil dari sumsum dan tulang untuk pengujian
di bawah mikroskop. Pada aspirasi sumsum tulang, sampel kecil dari
sumsum tulang ditarik melalui cairan injeksi.
Pungsi lumbal, atau tekan tulang belakang, dapat dilakukan untuk
melihat apakah penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan
cerebrospinal, yang mengelilingi sistem saraf pusat atau sistem saraf
pusat (SSP) - otak dan sumsum tulang belakang. Tes diagnostik
mungkin termasuk flow cytometry penting lainnya (dimana sel-sel
melewati sinar laser untuk analisa), imunohistokimia (menggunakan
antibodi untuk membedakan antara jenis sel kanker), Sitogenetika
(untuk menentukan perubahan dalam kromosom dalam sel), dan studi
genetika molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker). Penyakit
Leukemia
dapat
dipastikan
dengan
beberapa
pemeriksaan,
diantaranya adalah ; Biopsy, Pemeriksaan darah {complete blood
count (CBC)}, CT or CAT scan, magnetic resonance imaging (MRI), Xray, Ultrasound, Spinal tap/lumbar puncture.
Kelainan hematologis
Anemia dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x
106/mm3.
Leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100 x 10 3 /mm3.
Leukosit yang ada dalam darah tepi terbanyak adalah myeloblas.
Trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-kadang
mengandung badan auer suatu kelainan yang pathogonomis
untuk LMA.
Sumsum tulang hiperseluler karena mengandung mieloblas yang
masif, sedang megakariosit dan pronormoblas dijumpai sangat jarang.
Kelainan sumsum tulang ini sudah akan jelas meskipun myeloblas
belum tampak dalam darah tepi. Jadi kadang-kadang ditemukan kasus
dengan pansitopenia perifer akan tetapi sumsum tulang sudah jelas
hiperseluler karena infiltrasi dengan myeloblas. Kadang-kadang
ditemukan Auer body dalam mieloblas. Kadang manifestasi pertama
sebagai eritroleukemia (ploriferasi eritroblas dan mieloblas dalam
sumsum tulang) yang berlangsung beberapa bulan/tahun sebelum
fambaran mieloblastiknya menjadi jelas benar.
F. TERAPI
Anemia Aplastik
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi
akibat granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana
12

untuk menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini


dan untuk memperbaiki keadaan pasien.
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi immunosupresi
atau transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor seperti usia
pasien adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), dan
faktor-faktor risiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus
dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik
mendapatkan terapi immunosupresi atau TST. Pasien yang lebih
mudah mentoleransi TST lebih baik dan sedikit mengalami GVHD.
Pasien yang lebih tua dan mempunyai komorbiditas biasanya
ditawarkan serangkaian terapi immunosupresif. Pasien berusia lebih
dari 20 tahun dengan hitung neutrofil 200-500/ mm 3 tampaknya lebih
mendapat manfaat manfaat immunosupresi dibandingkan TST. Secara
umum pasien dengan hitung neutrofil yang sangat rendah cenderung
lebih baik dengan TST., karena dibutuhkan waktu yang lebih pendek
untuk resolusi neutropenia (harus diingat bahwa neutropenia pada
pasien yang mendapat terapi immunosupresif mungkin baru membaik
setelah 6 bulan). Untuk pasien usia menengah yang memiliki donor
saudara yang cocok, rekomendasi terapi harus dibuat setelah
memperhatikan kondisi kesehatan pasien secara menyeluruh, derajat
keparahan penyakit, dan keinginan penyakit. Suatu algoritme terapi
dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.
Manajemen Awal Anemia Aplastik
1. Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang
diduga menjadi penyebab anemia aplastik.
2. Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang
dibutuhkan.
3. Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit
sesuai yang dibutuhkan.
4. Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia
berat.
5. Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila
organisme spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang
menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh
bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit
dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF.
6. Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan
histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan
yaitu transplantasi
stem sel allogenik,
kombinasi terapi
imunosupresif
(ATG,
siklosporindan
metilprednisolon)
atau
pemberian dosis tinggi siklofosfamid.
a. Pengobatan Suportif
13

Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit


berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau
lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari
20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat
pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm 3 sebagai
profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.
Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan
pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi
sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua
atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai
profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek
samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup
leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
b. Terapi imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah
antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG)
dan siklosporin A (CSA).
c. Terapi Penyelamatan (Salvage theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang,
pemberian
faktor-faktor
pertumbuhan
hematopoietik
dan
pemberian steroid anabolik. Pasien yang refrakter dengan
pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus
imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang
refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti
Granulocyte-Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk
meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia berat akibat
anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh
stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktorfaktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai
satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF
dengan terapi imunosupresif telah digunakan untuk terapi
penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya
yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada
beberapa pasien. Steroid anabolik seperti androgen dapat
merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk sumsum
tulang.
Androgen
terbukti
bermanfaat
untuk
anemia
aplastk ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak
bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan
untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.
d. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada
pasien anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara
14

dengan kecocokan HLA (Human leukocyte antigen). Akan tetapi,


transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada
sebagian kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai
saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi
sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun
pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan
terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin
meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum
tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD). Pasien dengan
usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek
dibandingkan pasien yang berusia muda. Pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival
yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi
imunosupresif. Pasien dengan umur kurang dari 50 tahun yang
gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian
transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan. Akan
tetapi survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang
namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek
daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif
sama sekali. Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif
sering kali diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Transfusi
komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor
yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini
diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft
rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi. Kriteria
respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation
(EBMT) adalah sebagai berikut:
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya
2000/mm3 dan trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit
dibawah 2000/mm3 dan trombosit dibawah 100.000/mm3
- Refrakter : tidak ada perbaikan.

Leukemia
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan
suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia,
komplikasi dan tindakan yang mendukung penyembuhan, termasuk
perawatan psikologi. Perawatan suportif tersebut antara lain transfusi
darah/ trombosit, pemberian antibiotik pada infeksi/ sepsis, obat anti
jamur, pemberian nutrisi yang baik dan pendekatan aspek psikososial.
Terapi kuratif/ spesifik bertujuan untuk menyembuhkan penderita.
Strategi umum kemoterapi leukemia akut meliputi induksi remisi,
15

intensifikasi (profilaksi susunan saraf pusat) dan lanjutan. Klasifikasi


resiko standar dan resiko tinggi, menentukan protokol kemoterapi.
Pada induksi remisi diberikan kemoterapi maksimum yang dapat
ditoleransi dan perawatan suportif yang maksimum. Kemungkinan
hasil yang dicapai remisi komplet, remisi parsial atau gagal.
Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah remisi
komplet dan untuk profilaksi terjadi leukemia pada saluran syaraf
pusat.
Hasil yang diharapkan adalah tercapainya perpanjangan remisi
dan meningkatkan kesembuhan. Pengobatan lanjutan sampai sekitar 2
tahun, diharapkan tercapai perpanjangan remisi dan dapat bertahan
hidup.
Sitostatika yang digunakan pada tiap tahap pengobatan leukemia
merupakan kombinasi dari berbagai sitostatika. Pengobatan dengan
granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF) bermanfaat untuk
mengatasi penurunan granulosit sebagai efek samping sitistatika,
namun tidak mengurangi lama perawatan di rumah sakit.
Penderita dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan
bebas gejala leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapat
selularitas normal dan jumlah sel blast < 5% dari sel berinti,
hemoglobin > 12 gr/dL tanpa transfusi, jumlah sel leukosit > 3000/l,
dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit > 2000/ l,
jumlah trombosit > 100.000/ l, dan pemeriksaan cairan serebropinal
normal.
Permasalahan yang dihadapi pada penanganan pasien leukemia
adalah obat yang mahal, ketersediaan obat yang belum tentu langkap,
dan adanya efek samping, serta perawatan yang lama. Obat untuk
leukemia dirasakan mahal bagi kebanyakan pasien apalagi dimasa
krisis sekarang ini, Selain macam obat yang banyak , juga lamanya
pengobatan menambah beban biaya untuk pengadaan obat. Efek
samping sitostatika bermacam-macam seperti anemia, pedarahan,
rambut rontok, granulositopenia (memudahkan terjadinya infeksi),
mual/ muntah, stomatitis, miokarditis dan sebagainya. Penderita
dengan granulositopenia sebaiknya dirawat di ruang isolasi. Untuk
mengatasi kebosanan karena perawatan yang lama perlu disediakan
ruang bermain dan pelayanan psikologis. Penderita yang telah remisi
dan selesai pengobatan kondisinya akan pulih seperti anak sehat.
Problem selama pengobatan adalah terjadinya relap (kambuh). Relaps
merupakan
pertanda
yang
kurang
baik
bagi
penyakitnya.
Pada dasarnya ada 3 tempay relaps :
Intramedular (Sumsum tulang)
Ekstramedular (Susunan saraf pusat, testis, iris)
Intra dan ekstra meduler.
16

Relaps bisa terjadi pada relaps awal (early relaps) yang terjadi
selama pengobatan atau 6 bulan dalam masa pengobatan dan relaps
lambat (late relapse) yang terjadi lebih dari 6 bulan setelah
pengobatan

G. DIAGNOSIS BANDING
Pansitopenia merupakan ciri-ciri yang sering muncul dari
kebanyakan penyakit. Walaupun anamnesis, pemeriksaan fisik, dan studi
laboratorium dasar sering dapat mengeksklusi anemia aplastik dari
diagnosis, perbedaan merupakan hal yang lebih susah dalam penyakit
hematologi tertentu, dan tes lanjutan sangat diperlukan.
Penyebab dari pansitopenia perlu dipertimbangkan dalam diagnosis
banding yang meliputi Fanconis anemia, paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria (PHN), myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis,
aleukemic leukemia, agranulocytosis, dan pure red cell aplasia. Berikut
ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai penyakit-penyakit
tersebut.
Fanconis anemia. Ini merupakan bentuk kongenital dari anemia
aplastik dimana merupakan kondisi autosomal resesif yang diturunkan
sekitar 10% dari pasien dan terlihat pada masa anak-anak. Tandatandanya yaitu tubuh pendek, hiperpigmentasi pada kulit, mikrosefali,
hipoplasia pada ibu jari atau jari lainnya, abnormalitas pada saluran
urogenital, dan cacat mental. Fanconis anemia dipertegas dengan cara
analisis sitogenetik pada limfosit darah tepi, yang dimana menunjukkan
patahnya kromosom setelah dibiakkan menggunakan zat kimia yang
meningkatkan penekanan kromosom (seperti diepoxybutane atau
mitomycin C).
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. PNH adalah sebuah
kerusakan yang didapat yang dikarakteristikan dengan anemia yang
disebabkan oleh hemolisis intravaskular dan dimanifestasikan dengan
hemoglobinuria yang bersifat sementara dan life-threatening venous
thromboses. Suatu kekurangan CD59, antigen pada permukaan eritrosis
yang menghambat lisis reaktif, sangat bertanggung jawab terhadap
hemolisis. Kira-kira 10% sampai 30% pada pasien anemia aplastik
mengalami PNH pada rangkaian klinis nantinya. Ini menunjukkan bahwa
sangat mungkin bahwa mayoritas pasien dengan PHN dapat mengalami
proses aplastik. Diagnosis PNH biasanya dibuat dengan menunjukkan
pengurangan ekpresi dari sel antigen CD59 permukaan dengan cara
aliran sitometri, mengantikan tes skrining yang sebelumnya
dipergunakan seperti tes hemolisis sukrosa dan pemeriksaan urin untuk
hemosiderin.
Myelodiysplastic Sindrome. MDSs adalah sebuah kumpulan dari
kerusakan sel batang hematopoetik klonal yang ditandai oleh diferensiasi
17

dan maturasi abnormal sumsum tulang, dimana dapat menyebabkan


kegagalan sumsum tulang dengan peripheral sitopenias, disfungsional
elemen darah, dan memungkinkan perubahan leukemi. Sumsum tulang
pada MDS memiliki tipe hiperselular atau normoselular, walaupun
hiposelular biasanya juga ditemukan. Sangat penting membedakan
hiposelular MDS dengan anemia aplastik karena diagnosis yang
ditegakkan untuk penanganan dan prognosis.
Idiopathic
Myelofibrosis.
Dua
keistimewaan
idiopathic
myelofibrosis adalah hematopoesis ekstramedulari menyebabkan
hepatosplenomegali pada kebanyakan pasien. Biopsi spesimen sumsum
tulang menunjukkan berbagai tingkat retikulin atau fibrosis kolagen,
dengan megakariosit yang mencolok.
Aleukemic Leukemia. Aleukemic leukemia merupakan suatu
kondisi yang jarang yang ditandai oleh tidak adanya sel blast pada darah
tepi pasien leukemia, terjadi kurang dari 10% dari seluruh pasien leukemi
dan penyakit ini biasanya terjadi pada remaja atau pada orang tua.
Aspirasi sumsum tulang dan biopsy menunjukkan sel blast.
Pure red cell aplasia. Kerusakan ini jarang terjadi dan hanya
melibatkan produksi eritrosit yang ditandai oleh anemia berat, jumlah
retikulosit kurang dari 1%, dan normoselular sumsum tulang kurang dari
0.5% eritroblast yang telah matang.
Agranulocytosis. Agranulocytosis adalah kerusakan imun yang
mempengaruhi produksi granulosit darah tetapi tidak pada platelet atau
eritrosit
H. Prognosis
Anemia Aplastik
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit.
Jumlah absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain.
Jumlah netrofil kurang dari 500/l (0,5x10 9/liter) dipertimbangkan
sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/l
(0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi
dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang
allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih baik
daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon
sementara terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya
fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi sumsum tulang.
Leukemia
Faktor prognosis yang kurang baik antara lain : usia kurang dari 2
tahun, usia lebih dari 10 tahun, jumlah leukosit (sel darah putih) saat
awal lebih dari 50x109/L, jumlah trombosit (keping darah) kurang dari
100x109/L, ada masa mediastinum, ras hitam, laki-laki, ada
pembesaran kelenjar limfe, pembesaran hati lebih dari 3 cm, tipe
18

limfoblas L2 atau L3, dan adanya penyakit susunan syaraf pusat saat
diagnosisi. Viana dkk (1994) mendapatkan, penderita dengan gizi
buruk (menurut standar tinggi badan/ umur) resiko kambuhnya lebih
tinggi dibanding yang gizinya baik. Di Singapura walaupun ada
perbaikan, 30%-40% penderita mengalami kambuh, dan kelompok ini
prognosisinya baik. Perkembangan dan keberhasilan pengobatan
pencegahan untuk leukemia meningeal yang diikuti dengan
kemoterapi sistemik memperbaiki secara progresif angka kesembuhan
LLA pada anak. Angka kelangsungan hidup 5 tahun LLA sekitar 6667%. Pada LMA, jumlah lekosit yang tinggi (>100.000/L), ras hitam,
koagulasi abnormal berprognosis jelek.

DAFTAR PUSTAKA
1. American Cancer Society. Aplastic Anemia. Dalam : ACS Information
andGuide,
2005.
Diakses
:
12/01/2014.
Dari
URL
:
http://www.cancer.org/cancer/aplasticanemia/
2. Bakhsi S. Aplastic Anemia, Dalam : Emedicine Article, 2004. Diakses :
13/01/2014, Dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/198759
19

3. Dan L, Longo., Denis L, Kasper,. Et al, Aplastic anemia, Myelodisplasia, and


Related Bone Marrow Failure syndromes, dalam Harrisons Principles Of
Internal Medicine, Ed. 18. NewYork: Lange McGraw Hill, 2008
4. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed.
NewYork: Lange McGraw Hill, 2005. Hal. 31-40
5. Hoffbrand, AV., Pettit, J.E, et al, Anemia Aplastik dan Kegagalan Sumsum
Tulang, dalam Kapita Selekta Hematologi. Penerbit buku kedokteran, EGC,
Jakarta. Hal. 83-87.
6. Linker CA, Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al
(eds). Current Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw
Hill, 2007;510-11.
7. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds).
Aplastic anemia, dalam Modern Hematology Biology and Clinical
Management 2nd ed. New Jersey:Humana Press, 2007. Hal. 207-216
8. Shadduck RK, Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds).
William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007

20

You might also like