Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Hipertensi adalah penyakit yang bersifat multifaktorial. Tetapi obat
ditujukan pada penurunan tekanan darah melalui efek farmakodinamik obat
bersangkutan pada organ pengendalian darah.
Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu curah jantung dan
resistensi perifer, sedangkan curah jantung adalah hasil kali denyut jantung dan isi
sekuncup. Besarnya isi sekuncup ditentukan oleh kekuatan konstruksi miokard
dan volume darah yang kembali ke jantung yang terakhir. Ini merupakan selisih
dari volume darah total dan volume darah yang ditampung dalam vena. Resistensi
perifer merupakan gabungan resistensi pada pembuluh darah (arteri dan arteriol)
dan resistensi akibat darahnya sendiri (viskositas darah). Resistansi pembuluh
darah disebabkan oleh tonus otot polos arteri dan arteriola dan oleh berkurangnya
elastisitas dinding pembuluh darah, yang terakhir ini akibat arteriosklerosis yang
terjadi dengan meningkatnya usia.
Besarnya tekanan darah sistolik ditentukan terutama oleh isi sekuncup dan
kecepatan ejeksinya, sedangkan tekanan darah diastolik ditentukan oleh resistensi
perifer dan denyut jantung (karena denyut jantung menentukan waktu diastolik).
Denyut Jantung
Kontraktilitas
Alokrad
Curah semenit
Curah Jantung
Tekanan Darah
Tekanan Perifer
Aliran Darah
Balik
Volume Plasma
Kapasitas vena
Dari skema di atas tercermin ada 4 organ yang terlibat dalam pengaturan tekanan
darah, yaitu:
1. Arteriola, mengatur tekanan perifer.
2. Venul dan Vena, mengatur aliran darah balik.
3. Ginjal, mengendalikan volume sirkulasi/plasma.
4. Jantung, menentukan besar curah sekuncup.
Kerja dari kecepatan macam organ pengendali tekanan darah ini
dikoordinasi oleh 2 sistem refleks, yaitu:
1. sistem saraf simpatik
2. sistem Renin-Angiotensin-Aldoteron.
Dari uraian di atas, paling sedikit terdapat 8 sistem pengaturan tekanan darah yang
bekerja sama dalam menentukan tekanan darah, yaitu:
1. Mekanisme Baroreseptor
Bila tekanan darah naik akan merangsang baroreseptor yang terletak di
sinus caroticus dan arcus aorta, selanjutnya merangsang pusat vasomotor dan
dengan melalui sistem saraf otonom menyebabkan jantung berdenyut lebih pelan
dan dilatasi pembuluh darah perifer. Akibatnya tekanan darah turun menjadi
normal kembali.
2. Mekanisme kemoreseptor
Bila tekanan darah sistolik turun di bawah 80 mmHg, maka kemoreseptor
yang terletak di sinus caroticus dan aorta akan terangsang oleh penurunan O 2 dan
peningkatan CO2. rangsangan diteruskan ke pusat vasomotor dan menyebabkan
tekanan darah kembali menjadi normal.
3. Sistem SSN saraf pusat terhadap rangsang iskemik
Bila tekanan darah sistolik turun sangat rendah di bawah 40 mmHg, maka
terjadi iskemik di pusat vasomotor dan merangsang seluruh sistem simpatik yang
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan memacu aktivitas
jantung sehingga tekanan darah menjadi normal kembali.
4. Mekanisme Renin-angiotensin-Vasokonstriktor
Bila tekanan darah sistolik turun kurang dari 100 mmHg, maka akan
merangsang ginjal untuk mengeluarkan rennin yang mendorong pembentukan
angiotensin I selanjutnya angiotensin II yang menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer dan tekanan darah naik menjadi normal.
5. Mekanisme streos relaksasi
Bila tekanan darah naik terlalu tinggi, maka pembuluh darah dengan
perlahan-lahan akan memanjang yang menyebabkan tekanan darah menjadi turun.
6. Mekanisme Capillary-Fluid Shift
Bila tekanan darah naik maka tekanan dalam kapiler akan meningkat pula
dan menyebabkan transsudasi cairan dari sirkulasi keluar, sehingga volume darah
berkurang dan tekanan darah turun menjadi normal.
7. Mekanisme Ginjal Cairan Tubuh
Bila tekanan darah turun di bawah normal maka ginjal akan mengurangi
pengeluaran air dan garam, maka terjadi penumpukan air dan garam dalam tubuh
sehingga volume cairan tubuh meningkat dan tekanan darah naik kembali menjadi
normal.
8. Mekanisme aldosteron
Penurunan tekanan darah merangsang pengeluaran renin oleh ginjal, dan
menyebabkan kenaikan angiotensin II yang merangsang pengeluaran aldosteron
oleh kelenjar adrenal. Aldosteron ini mempunyai efek reabsorpsi garam melalui
tubuli ginjal sehingga kadar garam dalam tubuh meningkat dan merangsang
pengeluaran ADH yang menyebabkan penumpukan air dalam tubuh, maka
tekanan darah naik menjadi normal.
Selain 8 sistem kontrol tekanan darah ini, terdapat pula beberapa faktor
yang ikut mempengaruhi tekanan darah, yaitu:
a. Anti Diuretik Hormon (ADH)
b. Bahan vasodilator yang dikeluarkan pada kerusakan jaringan.
c. Kontrol Feed Back dari prostaglandin terhadap fungsi ginjal dan
tahanan perifer.
d. Mekanisme vasodilator dan vasikonstriktor lain yang belum diketahui.
Sistem kontrol tekanan darah melalui mekanisme 1, 2, dan 3 bekerja
paling cepat, hanya dalam beberapa detik, yaitu terhadap perubahan tekanan darah
yang mendadak. Sedangkan mekanisme 4, 5 dan 6 bekerja dalam waktu sedang
(beberapa menit sampai beberapa jam). Mekanisme 7 dan 8 bekerja paling lambat,
tetapi mempunyai efek paling lama dan merupakan mekanisme kontrol yang
sangat penting dalam menjaga tekanan darah untuk waktu yang tidak terbatas.
Pada keadaan hipertensi pengaturan tekanan darah tetap merupakan fungsi
dari organ dan sistem refleks tersebut, tetapi di atur pada ambang yang lebih
tinggi, atau mungkin terjadi peningkatan fungsi yang berlebih pada salah satu atau
lebih organ dan sistem refleks. Berarti penurunan tekanan darah yang konsisten
pada penderita hipertensi dapat dilakukan dengan memberi obat-obat yang dapat
menekan fungsi organ/sistem refleks tersebut. Ini merupakan dasar pemikiran
yang sekarang kita anut dalam menurunkan tekanan darah penderita hipertensi.
PATOGENESIS HIPERTENSI
Seorang dikatakan hipertensi bila terjadi peningkatan tekanan darah
diastolik dan atau sistolik yang persisten atau kronik. Diagnosisnya di tegakkan
berdasarkan pengukuran pada sedikitnya dua kali kunjungan karena tekanan darah
seseorang berfluktuasi. Bila nilai rata-rata dari dua kali pengukuran tekanan darah
diastolik pada sedikitnya kunjungan dua kali berturut-turut selalu 90 mmHg atau
lebih, atau bila nilai rata-rata dari beberapa kali pengukuran tekanan darah
sistemik pada sedikitnya dua kunjungan berturut-turut selalu lebih dari 140
mmHg, maka penderita ini dinyatakan hipertensi. Peningkatan tekanan darah pada
satu kali kunjungan saja hanya merupakan tanda bahwa diperlukan observasi lebih
lanjut.
Klasifikasi hipertensi dibedakan berdasarkan tingginya tekanan darah,
derajat kerusakan organ dan etiologinya.
Seseorang dikatakan menderita hipertensi labil bila tekanan darah tidak
selalu berada dalam kisaran hipertensif. Pada hipertensi akselerasi, peningkatan
tekanan darah terjadi progresif dan cepat, disertai kerusakan vaskuler yang terlihat
pada funduskopi sebagai perdarahan retina tetapi tanpa papil udema. Hipertensi
maligna adalah hipertensi akselerasi yang disertai papil udema pada keadaan ini
tekanan darah sering kali lebih dari 200/140 mmHg.
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan
hipertensi sekunder.
1. Hipertensi sekunder:
Dalam hal ini kenaikan tekanan darah disebabkan oleh karena penyakit
lain atau hal lain yang jelas menyebabkan kenaikan tekanan darah .
2. Hipertensi primer (esensial hipertensi, idiopatik hipertensi)
Dalam keadaan ini penyebab kenaikan tekanan darah adalah tidak jelas
atau sama sekali tidak diketahui.
HIPERTENSI SEKUNDER
1. Karena Obat-obatan
a. Amine Simpatomimetik
Agonist
(alfa)
adrenoreseptor, bila
diberikan
secara
intra
vena
2. Hormonal
Pada hipertiroid atau pemberian hormon tiroid dapat menyebabkan
kenaikan tekanan sistolik.
3. Tumor
Hipertensi pada penderita feokromositoma disebabkan karena adanya
katekolamin (noradrenalin) yang diproduksi oleh jaringan kromatin tumor.
4. Kelainan Ginjal
Penyakit ginjal seperti glomerulonephritis, renal periarteritis nodusa,
diabetes renal, penyakit amilloldosis dan lain-lain dapat menyebabkan kenaikan
tekanan darah. Hipertensi g i n j a l (renal hipertensi) ini disebabkan karena
pelepasan renin dari sel juntaglomerulus, selanjutnya akan mengaktifkan
angiotensin II dan menyebabkan sekresi aldosteron.
5. Mineralokortikoid Hipertensi.
Contoh: sindroma Cushing's.
6. Hipertensi Neurogenik.
Perubahan dalam pusat
PROGNOSIS HIPERTENSI
Beberapa faktor jelas mempengaruhi prognosis hipertensi, terutama
hipertensi esensial, yakni umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kadar
kolesterol serum,glukosa darah,berat badan dan aktivitas renin plasma. Makin
muda usia penderita sewaktu mulai menderita hipertensi, makin buruk
prognosisnya. Hipertensi pada pria lebih buruk prognosisnya dibandingkan pada
wanita yang usianya sama. Oleh karena aterosklerosis yang prognosif selalu
menyertai hipertensi, maka faktor-faktor risiko terjadinya aterosklerosis misalnya
peningkatan kolesterol serum, glukosa darah, dan/atau merokok, memperburuk
prognosis hipertensi. Demikian juga peningkatan aktivitas renin plasma
memperburuk prognosis hipertensi, sedangkan peningkatan berat badan
meningkatkan tekanan darah.
Apapun penyebabnya, hipertensi yang tidak diobati akan memperpendek
umur penderita karena terjadinya komplikasi. Proses arteriosklerosis, yang
ditentukan terutama oleh kadar serum LDL-kolesterol dan HDL-kolesterol,
dipercepat oleh hipertensi dan percepatannya sebanding dengan keparahan
hipertensinya. Percepatan proses arteriosklerosis ini dapat menimbulkan
komplikasi aterosklerotik berupa angina pectoris, infark miokard dan infark
serebral. Di samping itu hipertensi sendiri dapat menyebabkan kerusakan organ,
misalnya hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung kongestif, perdarahan otak,
kerusakan ginjal,dan dissecting aorticaneurysm. Selanjutnya, hipertensi juga
dapat berkembang menjadi hipertensi akselerasi atau hipertensi maligna, yang
ditandai dengan nekrosis arteri yang fibrinoid. Ini terlihat pada biopsi ginjal, pada
funduskopi sebagai perdarahan dan eksudat retina dengan atau tanpa papil udem,
dan pada otak sebagai ensefalopati hipertensif. Frekuensi terjadinya semua
komplikasi ini meningkat dengan makin tingginya peningkatan tekanan darah.
Kematian akibat hipertensi merupakan kematian kardiovaskuler, dengan
penyakit jantung koroner(infark miokard dan kematian mendadak) sebagai
penyebab utama, diikuti dengan penyakit serebrovaskuler (terutama stroke) dan
penyakit jantung lainnya, misalnya gagal jantung kongestif. Jumlah kematian
atau lebih penderita mulai diobati. Bila tekanan darah diastolik rata-rata turun di
bawah 105 mmHg, maka dilakukan pengukuran ulang sekali lagi dalam waktu 2
Minggu lagi, dan selanjutnya sama dengan pada hipertensi ringan.
Pada hipertensi ringan, pengukuran ulang dilakukan pada sedikitnya 2
kunjungan lagi dalam waktu 4 Minggu, dan penderita dengan tekanan darah
diastolik rata-rata selalu 100 mmHg atau lebih mulai diobati dengan
antihipertensi. Obat anti hipertensi juga mulai diberikan kepada penderita dengan
tekanan darah diastolik rata-rata di bawah 100 mmHg bila di sertai dengan
kerusakan
organ
dan/atau
faktor-faktor
risiko
lainnya
untuk
penyakit
Klorotiazid
Metiklotiazid
Klortalidon
2. Cloretik Kuat:
Furasemid
Busetamid
3. Urikosurik:
Tiorynafen
Triameteren
Amilorid
B. PELEMAS OTOT POLOS VASKULER (VASCODILATOR)
Hidralazin
Pinoxidil
Nifeddipin (Ca-antagonist)
Nitroprusid
Verapamil
C. OBAT-OBAT SIMPATOLITIK
1. Bekerja sentral: Reserpin
Metil Dopa
Klonodin.
2. Bekerja perifer: Guanetidin
Fentolamin
Penoksi Benzamin
Prazosin (Alfa-alfa bloker)
Labetalol (Alfa-beta bloker)
3. Penyekat Adrenoseptor: Propanolol
Oxprenolol
Allrenolol
Pindolol
Sotalol
Tinolol
Acebutolol
Metoprolol
Atenolol dan lain-lain.
D. PENGHAMBAT ANGIOTENSIN
1. Antagonis Angiotensin:
Saralamin
10
DIURETIKA
Pekerja pada ginjal mengeluarkan garam dan air diikuti dengan perurunan
volume cairan intraseluler dan curah jantung. Pada permulaan terapi dengan
diuretik, penurunan tekanan darah terutama timbul karena penurunan curah
jantung selanjutnya terjadi adaptasi yang menyebabkan curah jantung kembali
normal, tetapi adaptasi yang menyebabkan curah jantung kembali normal, tetapi
perurunan tekanan darah tetap dipertahankan melalui vasodilatasi perifer.
PELEMAS OTOT POLOS VASKULER (VASODILATOR)
Pekerja langsung melemaskan otot polos vaskuler vasodilator ada pula
yang bekerja melalui perubahan aliran kalsium dalam sel. Efek vasodilatasi tidak
dilewatkan melalui adrenoseptcr alfa atau beta.
OBAT-OBAT SIMPATOLITIK
Bekerja dengan cara mengganggu Arserosis neuro hormonal, berbagai
tempat sepanjang serabut saraf simpatis. Golongan simpatolitik merupakan
kelompok terbesar dan secara farmakologik dapat dibagi atas beberapa kelas:
1. Kelompok simpatolitik yang bekerja sentral
Menurunkan tekanan darah dengan cara yang belum diketahui semua obat
dalam kelompok ini memperlihatkan penekan aliran keluar (out flow) dari
simpatis sentral. Kerja dari metil dapat diduga terjadi melalui metabolit aktifnya,
metil norepinefrin yang mempunyai khasiat agonis yang kuat terhadap reseptor
alfa yang terdapat di batang otak, sedang efek perifernya sedikit sekali. Klonidin
di samping mempunyai efek sentral juga merupakan agonis yang potent terhadap
reseptor alfa pascasinaptik di saraf perifer. Agaknya perangsangan reseptor alfa
sentral inilah yang menyebabkan penurunan cut flow simpatis sentral, sehingga
tekanan darah turun. Sebaliknya bila yang terangsang adalah reseptor alfa perifer
tekanan darah dapat naik, seperti yang diperlihatkan oleh pemberian klonidane
secara intra vena.
11
luar
dari
vesikel
sehingga
terjadi
12
beta. Tetapi pada penggunaan kronik belum jelas diketahui apakah efek penurunan
tekanan darah terutama terjadi melalui reseptor alfa atau beta.
PENGHAMBAT ANGIOTENSIN
Bekerja dengan cara menghambat pengaruh sistem renin angiotensin
terhadap otot polos vaskuler, dan mungkin pula ada efeknya terhadap korteks
adrenal,ginjal dan batang otak. Ada dua antagonis angiotensin yaitu saralasin yang
secara kompentitif bekerja menghambat angiotensin II pada tingkat reseptornya
dan kaptopril yang bekerja menghambat Converting Enzym suatu enzim yang
berfungsi mempercepat pembentukan angiotensin II dari angiotensin I.
Selanjutnya bekerja pada sistem renin-angiotensin aldosteron, kaptopril. juga
menurunkan tekanan darah melalui sistem kinin dan sistem-sistem lain yang
belum dapat diungkapkan.
Walaupun demikian suatu penelitian telah diperlihatkan bahwa penurunan
tekanan darah yang dihasilkan mempunyai korelasi dengan tingkat aktivitas renin
plasma sebelum pengobatan dan dengan penekanan ekskresi aldosteron dalam
urine.
RESPONS HOMEOSTATIK PADA PENGGUNAAN OBAT ANTI HIPERTENSI
Pada penggunaan pengendali tekanan darah diimbangi oleh
aktivitas
organ lain yang ikut menentukan tekanan darah lebih lanjut dapat tertahan atau
toleransi dan terjadi pada penggunaan satu macam obat anti hipertensi.
Aktivitas
sistem
renin
angiotensin-aldosteron
dapat
terjadi
pada
penggunaan diuretik dan pelemas otot polos, menyebabkan kadar renin dan
angiotensin meningkat dalam plasma dan penurunan tekanan darah lebih lanjut
tidak terjadi dengan penambahan dosis. Penggunaan obat penyebab adrenoseptor
beta dapat menahan sekresi renin, sedangkan penggunaan antagonis angiotensin
menghalangi aktivitas angiotensin, sehingga penurunan tekanan darah lebih lanjut
dapat dicapai. Obat-obat simpatolitik sentral penekanan sekresi renin yang lemah
sedangkan simpatolitik perifer memperlihatkan efek yang tidak seragam terhadap
sekresi renin.
13
reseptor
beta,
atau
vasokonstriksi
melalui
perangsangan
14
15
hipertensi yang mempunyai riwayat lupus dalam keluarga sebaiknya obat ini
tidak digunakan. Penderita yang dikenal
16
neuron
adrenergik
misalnya
guanetidin,
sering
kali
berat terutama
17
Dengan
demikian
obat-obat
yang
kardioselektif
cenderung
kurang
18
kimia
Kaptopril
adalah
MECAPTO
19
Renin
Protein
1
2
3
4
5 6
7 8
9 10
NHAsgArgValTyrIleHisProPheHisLeuCOOH (Dekapeptid)
Peptidil dipeptidase
Angiotensin I
(Converting Enzym)
1
2
3
4 5 6 7
8
AspArgValTyrIleHisProPhe
Angiotensin II
(Oktapeptid)
Aminopeptidase
2
3
4 5 6 7
8
ArgValTyrIleHisProPhe
Angiotensin III
Angioteninase
Fragmen-fragmen peptida inaktif
Angiotensin II berefek:
1. Vasokonstriktor kuat melalui reseptor-reseptor pada otot polos pembuluh
darah (terutama arteriola) dengan akibat tahanan perifer meningkat.
20
Sekresi
Aktivitas
Sekresi
konstruksi
Aldosteron
simpatis
ADH
Retensi Na
Jantung
Ekskresi K
inotropik +
Minum
Tekanan
perifer
kronitopik +
Retensi air
Vol. darah
Tekanan perfusi
ginjal
21
Vasokonstriksi
Sekresi Aldosteron
Renin
Angiotensinogen
Angiotensin I
Angiotensin II
Angiotensin
Converting Enzym
(Kinase II)
Dihambat
oleh
Kaptopril
Kalikrei
n
Kinogen
Fragmen
fragmen inaktif
Bradikinin
Aktivitas
Fosfolipase A2
?
?
?
Fosfolipit
Prostaglandin
Vasodilatasi
22
menunjukkan
bahwa
penghambatan
ACE
mungkin
mengganggu
23
Hipertensi Renovaskuler.
Kira-kira
hipertensi esensial.
Maka Kaptopril yang terutama bekerja pada sistem RNA akan dapat menurunkan
tekanan darah. Walaupun demikian Kaptopril juga efektif pada hipertensi dengan
PRA yang
sebenarnya adalah tinggi oleh karena nilai yang relatif normal tersebut terdapat
pada keadaan-keadaan di mana sekresi Renin ditekan, misalnya:
dan lain-lain.
Efektivitas Kaptopril pada hipertensi dengan nilai PRA yang rendah menunjukkan
bahwa kerja Kaptopril tidak hanya melalui sistem RAA.
Kaptopril efektif untuk hipertensi yang ringan, sedang, maupun berat, bahkan
untuk sebagian dari hipertensi berat yang tidak lagi responsif terhadap Standard
24
Triple Terapi (kombinasi diuretik, beta bloker dan Hiralasin). Dalam Steppedcare-regimens dari hipertensi, yang telah direvisi oleh JOINT NATIONAL
COMMITEE ON DETECTION, EVALUATION, AND TREATMENT OF HIGH
BLOOD PRESURE di USA pada tahun 1984.
Kaptopril diletakkan pada langkah-langkah 2, 3 dan 4 sebagai pengganti obat-obat
pada langkah yang bersangkutan bila obat-obat tersebut tidak efektif atau dibatasi
penggunaannya oleh efek samping. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Diuretik Tiazid atau beta bloker.
2. Tambahkan:
Penghambat adrenergik
o Beta bloker
o sentral: metil dopa, Klonidin
o Anti adrenergik (Reserpin)
o Alfa bloker (Prazosin)
atau ACE INHIBITOR.
atau KALSIUM ANTAGONIS
3. Tambahkan:
o vasodilator: Hidralazin
Minoksidil
atau ACE INHIBITOR
atau KALSIUM ANTAGONIS
4. Tambahkan:
o Guanetidin monosulfat
atau ACE INHIBITOR
Sebagai obat tunggal, efek Arti hipertensi Kaptopril kira-kira sebanding dengan
diuretik Tiazid, yakni menurunkan tekanan darah sebanyak 10-15 mmHg pada
kira-kira 60% penderita hipertensi esensial.
Sebagai obat anti hipertensi yang masih relatif baru. Kaptopril di
Indonesia sast ini diindikasikan untuk hipertensi sedang dan berat yang tidak
25
Oleh karena makanan mengurangi absorpsi Kaptopril (kira-kira 35%), maka obat
ini sebaiknya diberikan 1 jam sebelum makan. Peningkatan dosis dari 6,25 - 12,5
mg t. i. d. dilakukan bila belum diperoleh penurunan tekanan darah yang
memuaskan, dengan interval 2 minggu. Tetapi bila dosis 25 mg t. i. d. masih
belum cukup untuk menurunkan tekanan darah sebaiknya dilakukan diet, rendah
garam, bila perlu ditambah diuretik (mula-mula Hct 25 mg sehari).
Bila masih juga belum, terkontrol,dosis diuretik ditingkatkan bila perlu diganti
dengan diuretik yang lebih kuat (Furasemid), kemudian dapat pula ditambah beta
26
27
Ekskresi :
Kaptopril dibuang lewat ginjal dalam bentuk sebanyak 40-50%.
Probenesid mengurangi ekskresi Kaptopril dalam urine. Karena eliminasi
Kaptopril melalui ginjal sejajar dengan klirene kreatinin maka dosisnya harus
disesuaikan dengan derajat fungsi ginjal penderita.
Terapi kombinasi:
Kombinasi Kaptopril dengan diuretik memberikan efek aditif, dan Kirakira 85% penderita tekanan darahnya terkontrol dengan kombinasi tersebut,
sedang efek hipokalemi dari diuretik tersebut dapat dikurangi/dicegah.
Kombinasi Kaptopril dengan beta bloker berefek kurang aditif.
Kombinasi Kaptopril dengan nifedipin memberikan efek aditif sambil
mencegah takikardi oleh nifedipin.
Kombinasi Kaptopril dengan prazosin dan vasodilator lain juga
memberikan efek yang baik, namun kombinasi Kaptopril dengan obat-obat yang
menghambat respons adrenergi alfa + beta seperti metil dopa, klonidin, labetolol
atau prazosin + beta bloker sebaiknya dihindari oleh karena dapat menyebabkan
hipotensi yang berlebihan dan berkepanjangan.
Kombinasi
Kaptopril
dengan
diuretik
hemat
Kalium
seperti,
28
Neutropenia/Agranulositosis
Insidennya 0,02% pada penderita dengan fungsi ginjal normal meningkat
menjadi 0,5% pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal (Serum kreatinin di
atas 3 mg %) dan menjadi 1,2% pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal
dan penyakit vaskulerkolagen seperti SLE atau skleroderma. Neuropenia muncul
dalam 12 minggu pertama pengobatan, reversibel bila terapi dihentikan atau dosis
diturunkan.
Proteinuria /Sindroma nefrotik.
Proteinuria di atas 1 gram sehari terjadi 1,2 % penderita yang sebelum
pengobatan ginjalnya normal, insidennya hanya 0,5%, sedang pada penderita
dengan penyakit ginjal insidennya meningkat menjadi 2,1%.
Sindroma nefrotik terjadi pada kira-kira 20% penderita proteinuria.
Proteinuria biasanya muncul setelah 3-9 bulan pengobatan. Pada sebagian
penderita, proteinuria hilang sendiri setelah pengobatan dihentikan, diturunkan
dosisnya, meskipun obat diteruskan. Pada sebagian lagi, proteinuria menetap
meskipun obat dihentikan.
29
30
Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal dipertahankan dan bahkan membaik.
31
Kerugian /Risiko.
32
33
Sistem
ini
memungkinkan
adanya
interaksi
sinergistik
yang
hipokalemia
ticrynafen.
Hiperkalsemia
Diuretik tiazid
Depresi
Klonidin
Usia lanjut
e-V
Asma, Insomnia
selektif.
34
Kondisi penderita
Payah jantung, oedema
Hiperurisemia
Ticrynafen
Hipokalemia
Migraline
Beta verapamil
Ektopik
Aritmia
Infark jantung baru
Tremor essenalal
Payah jantung
35
36
beta
dapat
mengurangi
kecenderungan
prozozine
untuk
37
Rangkuman:
Hipertensi adalah penyakit yang bersifat multifaktorial. Tetapi obat
ditujukan pada penurunan tekanan darah melalui efek farmakodinamik obat yang
bersangkutan pada organ pengendalian tekanan rendah.
Seyogianya obat-obat anti hipertensi dapat digunakan secara spesifik
pada setiap kasus untuk mengoreksi gangguan fungsi organ yang menyebabkan
tingginya tekanan darah. Karena patogenesis hipertensi dari kebanyakan kasus
tidak dapat diungkapkan dengan jelas, penjelasan yang bersifat mekanistik ini
sukar dilakukan.
Tetapi melalui pengetahuan tentang mekanisme kerja dan efek
samping masing-masing obat anti hipertensi, tiap kasus dapat menerima obat yang
sesuai dengan kondisi penyakit. Di samping itu dengan tersedianya berbagai obat
anti hipertensi yang beragam efek farmakologiknya, diperlukan suatu pedoman
bagi penggunaannya secara aman dan efisien. Sistem terapi bertahap (Steppedcare therapi), adalah suatu tata cara penggunaan obat anti hipertensi guna
mendapatkan efek sinergistik dan memperkecil timbulnya efek samping dan
mencegah timbulnya toleransi akibat aktifasi refleks homeostasis.
38
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Douglas WV.
Polipeptides-angiotensin, plasma kinins, and others, Dalam: Gilman AG,
Goodman LS, Gilman A, Mayer SE, Melmonki. Ds. Goodman and
Gilmans THE PHARMACOLOGICAL BASIS OF THERAPEUTICS.
Sixth edition. New York, Macmillan 1980. 647-659.
2. Edward, R. R. W. Padfild. P. L.
ANGIOTENSIN-CONVERTING-ENZYM INHIBITOR.
Past, Present, and Bright future the lacent, January 5, 1985. Pag 30-34.
3. Frahlich ED, Couper RA, Lewis EJ.
REVIEW OF THE OVERALL EXPERIENCE OF CAPTOPRIL IN
HIPERTENSION.
Arch Intern Med 1984, 144: 1441-1444.
4. Groel J. T. Tadros SS, Dreslinski GR, Jeakins AC.
Longterm anti hypertensive therapy with captopril
Hypertension 1983: -5 (suppl 111)
111-145 111-151.
5. Heel RC. Brogden Rn, Speight TM, Avery captopril:
A
PRELIMINARY
REVIEW
OF
ITS
PHARMACOLOGICAL
39
7. Romankiewicz JA, Broden RN, Heel RC, Speight Tm, Avery Cs.
Captopril: ANUPDATE REVIEW OF ITS PHARMACOLOGICAL.
PROPERTIES AND THERAPEUTIC EFFICACY IN CONGESTIVE
HEART FAILLURE. DRUGS 1983: 25: 6-40.S
8. Setiawati. A. Kaptopril:
PENGHAMBAT
ENZIM
KONVERSI
ANGIOTENSIN
(ACE
ON
ANGIOTENSIN
CONVERTING
ENZYM
40
41