You are on page 1of 5

Istri Qonaah

Bismillaah
Tadi malam saya mendapatkan satu pelajaran lagi tentang sifat qonaah seorang
istri. Setelah banyak kisah tentang wanita-wanita yang qonaah sampai kepada
saya. Baik dari kalangan shahabiyah -radliyallaahu anhunna-, maupun dari teman
dan sahabat saya.
Tiap kali mendengar tentang seorang wanita yang berhasil mendidik jiwanya agar
mudah untuk merasa cukup, maka tiap kali itu pula hati ini bergetar.. Kadang ada
air mata yang tak dapat terbendung. Entahlah! Hanya merasa bahwa mereka
begitu luar biasa di mata saya. Dalam zaman yang serba hedonis ini, ada sebentuk
kepasrahan dalam hati mereka atas apa yang Allah berikan. Ridha. Tidak mengeluh.
Bersabar.
Teman saya itu masih terlalu muda untuk menikah. Usianya masih belasan. Tapi ia
berani untuk menyelamatkan agama dan kehormatannya dengan cara yang agung:
menikah. Ia tahu sang suami belum punya pekerjaan tetap. Tapi ia yakin bahwa
sang suami tidak akan menyia-nyiakan dirinya. Mulai dari berjualan gorengan,
sampai jadi kuli bangunan. Apa sajalah asalkan halal. Asalkan dapat menafkahi
anak dan istri. Pernah sang suami bekerja di proyek bilangan Salemba. Karena tidak
punya kendaraan, mau naik angkot pun biaya pas-pasan. Akhirnya ditempuh juga
perjalanan itu, Cibubur-Salemba dengan bersepeda. Setiap hari pulang pergi.
Subhanallaah
Mengapa dia rela berpayah-payah seperti itu? Karena ia sadar kewajibannya
sebagai kepala keluarga. Dan bagaimanakah sikap sang istri? Dia senantiasa
tersenyum dalam kesabaran. Walau terpaksa tinggal dengan mertua, walau tempat
tinggalnya sangat tidak layak dikatakan sebagai rumah, tapi lebih pantas disebut
bedeng, walau penghasilan suami pas-pasan.. Tapi ketaqwaan pada Allah
menahannya dari berkeluh kesah dan meminta-minta. Ia tampak bahagia dengan
suami dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil..bahagia dengan kehidupannya.
Walau ia pernah bercerita bahwa ia tidak pernah membelikan baju untuk anaknya
seharga lebih dari dua puluh ribu..
Astaghfirullah. Saya merasa amat malu pada diri sendiri. Bukankah yang saya
terima ini sudah lebih dari cukup? Patutkah saya mengeluh? Apa lagi yang kurang?
Tidakkah semua ini patut disyukuri?
Fabiayyi alaai rabbikuma tukadzdziban? Maka, nikmat Rabb-Mu manakah yang
kamu dustakan? (Surah Ar-Rahmaan)

Ada lagi seorang kawan yang suaminya seorang tukang permak baju keliling.
Anaknya sudah dua, yang paling besar sudah masuk SD. Yang kecil baru 13 bulan.
Seringkali diuji dengan anaknya yang sakit-sakitan. Tampak kesabaran menghiasi
wajah sang istri. Tak ada keluhan. Seolah tanpa beban. Karena ia yakin.. Allah-lah
sebaik-baik penjaga dan pemberi rizqi. Qaddarallaahu wa maa syaa faal
Suami mana yang tidak teduh hatinya memiliki istri-istri yang begitu sabar dan
tabah dalam mengayuh biduk bersamanya?
Mereka (para suami) pantaslah bersyukur. Di saat banyak wanita yang menuntut
tambahan harta dunia, bahkan mendorong suaminya untuk menghalalkan segala
cara. Hanya untuk memuaskan rasa dahaga yang tidak akan pernah tuntas. Tapi
istri shalihah selalu menyejukkan mata suaminya dengan kesyukuran dan
kesabarannya.
Jadi teringat ucapan suami sehari setelah pernikahan kami, dengan menatap mata
dan menggenggam tangan saya, Istriku, apakah engkau akan selalu setia
menemaniku, dalam suka maupun duka?.
Dengan mantap saya menjawab, Insya Allah wahai suamiku..
Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.
(Riwayat Muslim)
Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa satu bulan
(Ramadhan) penuh dan mentaati suaminya, maka hendaklah ia memasuki dari
pintu Surga manapun yang ia kehendaki. (Riwayat Ahmad dan ath-Thabrani).

You might also like