You are on page 1of 20

MAKALAH TUTORIAL IN CLINIC DI FRESIA LT.

II
KANKER NASOFARING

Disusun Oleh :
Kelompok 4
1. Nama2 kelompoknya belum hahha

Program Profesi Ners Angkatan XXX


Fakultas Keperawatan
Universitas Padjadjaran
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya karena hal tersebut kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Makalah Tutorial In Clinic Di Fresia Lt. Ii Kanker Nasofaring pada mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah tepat pada waktunya.
Makalah ini berisi informasi mengenai hasil diskusi berdasarkan kasus kanker
Ca Nasofaring yang terdapat di Ruang Fresia LT. II RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Diharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan
dalam proses belajar kami sebagai calon perawat untuk menjadi perawat profesional.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Eka sebagai dosen pembimbing di
Ruang Fresia Lt. II. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa merestui segala usaha kita. Aamin.

Bandung, November 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul pada daerah
nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Karsinoma ini terbanyak
merupakan keganasan tipe sel skuamosa. KNF terutama ditemukan pada pria usia
produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien
berusia antara 25 hingga 60 tahun.
Pada daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang tinggi.
Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di provinsi Cina Tenggara yakni sebesar
40 50 kasus KNF diantara 100.000 penduduk. KNF sangat jarang ditemukan di
daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar <1/100.000
penduduk. Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan
yang sering ditemukan, berada pada urutan ke 4 kanker terbanyak di Indonesia
setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker paru. Sayangnya deteksi dini
terhadap gejala kanker nasofaring belum banyak dikembangkan.
Pengetahuan seputar kanker nasofaring ini juga masih sangat terbatas dan
gejala yang ditujukan tidak khas pada kanker nasofaring sehingga sebagian besar
penderita datang dalam kondisi stadium lanjut sehingga sulit ditangani. Oleh karena
itu, informasi yang disampaikan pada kesempatan ini dapat menambah wawasan
sebagai langkah pencegahan yang bisa perawat lakukan untuk khalayak umum.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah pembahasan
kasus yaitu :
1. Bagaimana asuhan keperawatan yang sesuai dengan kasus ca nasofaring di
Ruang Fresia Lt. II?
2. Bagaimana konsep umum yang harus diketahui pada penyakit ca nasofaring?
3. Bagaimana perjalanan penyakit kasus Ca Nasofaring?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui asuhan keperawatan berdasarkan kasus Ca Nasofaring
2. Untuk mengetahui konsep umum penyakit Ca Nasofaring
3. Untuk mengetahui perjalanan penyakit (Patofisiologi) kasus Ca Nasofaring

BAB II
KASUS

Kasus
Eci tolong bikinin kasusnya juga yaaaa

Step 1
Stadium IV B T1N3M0 (Tiara)
Step 2
1. Diagnosa utama yang muncul sesuai kasus? (Lusi)
2. Mengapa tidak muncul gejala khas dari ca nasofaring padahal klien sudah
masuk termasuk stadium IV B? (Fitria)
3. Intervensi yang sesuai dengan diagnosa yang muncul? (Yunnisa)
4. Pemeriksaan penunjang untuk menentukan metastasis? (Nur Ainiyah)
5. Bagaimana prognosis klien dengan stadium IV B? (Seviya)
6. Bagaimana pengklasifikasian TNM pada Ca Nasofaring? (Anggun)
7. Discharge planning pada klien dengan Ca Nasofaring post kemoterapi? (Evi)
8. Metastase yang mungkin muncul pada Ca nasofaring ? (Regina)
9. Masalah Psikososial yang mungkin Muncul? (Ati)
10. Gejala Khas pada Ca Nasofaring? (Dewi Kania)
11. Etiologi pada Ca Nasofaring? (Rezi)
Step 3
1. Diagnosa utama yang muncul:
a. Mual Muntah b.d kemoterapi
b. Keletihan b.d Suplai O2 tidak adekuat
c. Konstipasi
2. A. Diagnosa : Mual Muntah b.d kemoterapi
Intervensi
: - identifikasi makanan yang meningkatkan nafsu makan dan
menurunkan mual muntah
- Anjurkan makan sedikit tapi sering
- Kolaborasi pemberian antiemetik
B. Diagnosa : Keletihan Mual Muntah b.d kemoterapi
Intervensi
: - batasi aktivitas klien
- Dekatkan barang yang dibutuhkan
- Bantu ADL klien yang belum terpenuhi
- Anjurkan istirahat setelah aktivitas
2

C. Diagnosa : Konstipasi
Intervensi
: - Anjurkan klien minum banyak
- Anjurkan klien mobilisasi bertahap
- Anjurkan makan buah yang dapat melancarkan BAB
- Kolaborasi pemeberian pelunak feses
3. Discharge Planning pada pasien dengan Ca Nasofaring Post Kemoterapi
- Tingkatkan intake nutrisi yang dianjurkan dan pertahankan intake
adekuat
- Batasi aktivitas namun dapat menganjurkan olahraga ringan
- Anjurkan istirahat cukup
- Hindari konsumsi alkohol, rokok, dan ikan asin serta makanan sengan
pengawet
- Anjurkan untuk konsultasi ke dokter bila ada keluhan dan lakukan
kemoterapi sesuai jadwal
4. Masalah psikososial yang mungkin muncul pada pasien dengan Ca
Nasofaring
- Klien merasa perannya sebagai kepala keluarga, ayah, suami menjadi
tidak optimal
- Klien mungkin merasa malu dengan kondisi tubuhnya yang menjadi
lebih rentan
- Klienmungkin merasa dirinya tidak berguna, dan tidak berdaya
5. Gejala yang khas pada pasien dengan Ca nasofaring
- Hidung berdarah
- Gangguan penciuman
- Gangguan pendengaran
- Kgb menonjol tampak memebesar
6. Penyebab pada pasien dengan Ca nasofaring
- Konsumsi ikan asin yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama
- Paparan zat karsinogen
- Radang kronis nasofaring

Step 4
Faktor resiko dan etiologi (ikan asin dan rokok)
Pemeriksaan
penunjang

Ca Nasofaring

Kemoterapi siklus 1 ke 3
Efek Kemoterapi
3

Penegakan klasifikasi TNM

MUAL

Mual Muntah

Pusing

Lemah Badan

KELETIHAN

MUNTAH
Mobilitas kurang

Penurunan intake
nutrisi

KONSTIPASI

Step 5 (LO)
1. Konsep umum penyakit Ca Nasofaring
(Definisi, penyebab, faktor resiko, klasifikasi, prognosis, penatalaksanaan,
pemeriksaan penunjang)
2. Asuhan keperawatan kasus Ca Nasofaring
3. Patofisiologi Ca Nasofaring
Step 6 (Self study)

BAB III
PEMBAHASAN
4

3.1 Definisi
Kanker Nasofaring (NPC) atau lebih dikenal sebagai kanker hidung terjadi saat
sel kanker yang berkembang berasal dari nasofaring, yang terletak di area belakang
rongga hidung dan di atas bagian belakang tenggorokan. Karena
keunikannya,nasopharyngeal carcinoma (NPC) lebih sering dibahas terpisah dari
kanker yang menyerang leher dan kepala.
Kanker nasofaring memiliki perbedaan etnis yang signifikan terjadi pada ras
kuning (Cina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina), dan kanker
nasofaring ditemukan hanya sedikit pada ras Kaukasia. Kanker nasofaring umumnya
menyerang orang tua, anak anak serta sebagian remaja dan pemuda berusia 30 tahun,
umumnya kasus kanker nasofaring akan meningkat tajam dalam 40-60 tahun lalu
setelah memasuki usia 65 tahun, resiko penyakit ini akan mulai menurun.
3.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Karsinoma nasofaring umumnya disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang
penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma
nasofaring ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit
memakan sayur dan buah segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu, asap
rokok, uap zat kimia, asap kayu
Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring.
Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein Barr juga dihubungkan dengan
terjadinya karsinoma nasofaring terutama pada tipe karsinoma nasofaring nonkeratinisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan titer antigen EBV dalam
tubuh penderita Ca Nasofaring non keratinisasi dan kenaikan titer ini pun berbanding
lurus dengan stadium Ca nasofaring; di mana semakin berat stadium Ca Nasofaring,
ditemukan titer antibodi EBV yang semakin tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan
dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma
nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan
protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda
(marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1,
LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum
penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum
5

semua pasien karsinoma nasofaring2. Selain itu dibuktikan oleh hasil penelitian
Khrisna dkk (2004) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum
penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma
nasofaring primer. 12,13,15 Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus
Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di
dunia ini. Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti
EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma.1-19 EBNA-1 adalah protein nuklear yang
berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya,
mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma
nasofaring. 12,13,15 Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini mungkin
disebabkan karena letaknya sangat tersembunyi dan juga pada keadaan dini pasien
tidak datang untuk berobat. Biasanya pasien baru datang berobat, bila gejala telah
mengganggu dan tumor tersebut telah mengadakan infiltrasi serta metastase pada
pembuluh limfe sevikal. Hal ini merupakan keadaan lanjut dan biasanya prognosis
yang jelek. Pemeriksaan terhadap karsinoma
nasofaring dilakukan dengan cara anamnesa penderita dan disertai dengan
pemeriksaan nasofaringoskopi, radiologi, histopatologi, immunohistokimia, dan juga
pemeriksaan serologi dengan menggunakan tehnik Enzyme Linked Immunosorbent
Assay atau disingkat dengan ELISA6. Karena beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dijumpai
EBNA-1 maka sebaiknya pasien yang mempunyai gejala yang mengarah ke
karsinoma nasofaring dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan serologi yaitu anti
a. Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen
HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait
nitrosamine dan karsinogen. Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan
dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki
gen ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. Studi
pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya

kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari kelemahan HLA pada orang-orang Cina
menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA.
b. Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan
makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine
(NDMA), nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin
merupakan factor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu pengkonsumsi
alkohol dan perokok juga merupakan salah satu faktor yan diperkirakan menginisiasi
terjadinya karsinoma nasofaring. Di mana alkohol dan asap rokok ditemukan
mengadung formaldehyde yang diteliti merupakan faktor risiko karsinoma
nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
3.3 Tanda dan Gejala
A. Gejala Dini.
Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana
tumor masih terbatas di nasofaring, yaitu :
a. Gejala telinga
- Rasa penuh pada telinga
- Tinitus
- Gangguan pendengaran
b. Gejala hidung
- Epistaksis
- Hidung tersumbat
c. Gejala mata dan saraf
- Diplopia
- Gerakan bola mata terbatas
B. Gejala lanjut
- Limfadenopati servikal
- Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
- Gejala akibat metastase jauh. Penyebaran KNF dapat berupa :
1. Penyebaran ke atas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis,
disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian
7

ke sinus kavernosus dan Fossa kranii media dan fossa kranii anterior
mengenai saraf-saraf kranialis anterior ( n.I n VI). Kumpulan gejala yang
terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini
disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan
neuralgia trigeminal.
2. Penyebaran ke belakang
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia
pharyngobasilaris yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya
foramen spinosum, foramen ovale dll) di mana di dalamnya terdapat nervus
kranialais IX XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah
grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus simpatikus
servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada n IX n XII disebut
sindroma retroparotidean atau disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus
VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang
tonggi dalam sistem anatomi tubuh.
Gejala yang muncul umumnya antara lain:
a. Trismus
b. Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis)
c. Afonia akibat paralisis pita suara
d. Gangguan menelan
3. Penyebaran ke kelenjar getah bening
Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab
utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF,
penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya
stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub mukosa nasofaring. Biasanya
penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang
terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier. Di dalam kelenjar ini
sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar
dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini
dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya
sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot
dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan
ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis
merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.
8

4.

Gejala akibat metastase jauh:


Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,

mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah
tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat
buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat
mengadakan metastase jauh, yang terbanyak ke paru-paru dan tulang, masingmasing sebanyak 20%, sedangkan ke hati 10%, otak 4%, ginjal 0,4%, tiroid
0,4%. Kira-kira 25% penderita dating berobat ke dokter sudah-mempunyai
pertumbuhan ke intrakranial atau pada foto rontgen terlihat destruksi dasar
tengkorak dan hampir 70% metastase kelenjar leher.
3.4 Klasifikasi
Klasifikasi TNM (AJCC/UICC 2002)
Tumor Primer(T)
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak terdapat tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada nasofaring
T2 Tumor meluas ke jaringan lunak nasofaring dan/atau nasal fossa
T2a Tanpa perluasan ke parafaringeal
T2b Dengan perpanjangan parafaringeal
T3 Tumor masuk ke struktur tulang dan atau sinus paranasal/ orofaring
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau keterlibatan saraf kranial,
infratemporal fossa, hipofaring atau orbita
KGB regional (N)
NX KGB regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
N1 Metastasis bilateral di KGB, 6cm atau kurang di atas fosa suprakavikula
N2 Metastasis bilateral di KGB, 6cm atau kurang dalam dimensi
terbesar di atas fosa suprakalvikula
N3 Metastasis di KGB, ukuran >6cm
N3a Ukuran >6cm
N3b Perluasan ke fosa supraklavikula
9

Metastasis Jauh (M)


MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Pengelompokkan Stadium (Stage Grouping)
Stadium 0

Tis N0 M0

Stadium I

T1 N0 M0

Stadium IIA

T2a N0 M0

Stadium IIB

T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0 M0
T2b N1 M0

Stadium III

T1 N2 M0
T2a N2 M0
T2b N2 M0
T3 N0 M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0

Stadium IVA T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
Stadium IVB SemuaT N3 M0
Stadium IVC Semua T Semua N M0
3.5 Penatalaksanaan
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung
dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.
1. Radioterapi
Radioterapi sebagai pengobatan terpilih yang berdiri sendiri pada
karsinoma nasofaring telah diakui sejak lama dan banyak dilakukan di
berbagai sentra dunia. Radiasi diberikan kepada seluruh stadium (I, II, III, IV

10

lokal) tanpa metastasis jauh (M1) degan sasaran radiasi tumor primer dan
KGB leher dan supraklavikula. Radiasi dapat diberikan dalam bentuk:
Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta kelenjar
getah bening leher, dengan dosis 66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4;
disertai penyinaran kelenjar supraklavikula dengan dosis 50 Gy.
Radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada tumor primer diberikan
dengan dosis (4x3 Gy), sehari 2 x
Bila diperlukan booster pada kelenjar getah bening diberikan penyinaran
dengan elektron.

Radiasi bertujuan paliatif diberikan pada stadium IV dengan metastasis

tulang atau otak.


2. Kemoterapi
Kombinasi radiokemoterapi sebagai radiosensitizer terutama
diberikan pada pasien dengan T3-T4 dan N2-N3. Kemoterapi sebagai
radiosensitizer diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6
kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi.
3. Obat-obatan Simptomatik
Keluhan yang biasa timbul saat sedang diradiasi terutama adalah
akibat reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan
menelan. Keluhan ini dapat dikurangi dengan obat kumur yang mengandung
antiseptik dan adstringent, (diberikan 3 4 sehari). Bila ada tanda-tanda
moniliasis, dapat diberikan antimikotik. Pemberian obat-obat yang
mengandung anestesi lokal dapat mengurangi keluhan nyeri menelan.
Sedangkan untuk keluhan umum, misalnya nausea, anoreksia dan
sebagainya dapat diberikan terapi simptomatik. Radioterapi juga diberikan
pada kasus metastasis untuk tulang,paru, hati, dan otak.
3.6 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.
Alkali fosfatase
SGPT SGOT

11

Serologi IgA VCA, IgA EA; sebagai tumor marker (penanda tumor) pada
tempat yang dicurigai KNF tidak berperan dalam menegakkan diagnosis
tetapi dilakukan sebagai data dasar untuk evaluasi pengobatan.
2. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan foto toraks PA
Pemeriksaan CT-Scan atau Magnetic Resonance Imaging nasofaring
potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras
Pemeriksaan Bone Scan
Pemeriksaan scintigraphy MIBI pada kasus follow up yang meragukan pada
kasus-kasus residif atau residu tumor.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen
3. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Karsinoma nasofaring dibuktikan melalui pemeriksaan patologianatomi
dengan spesimen berasal dari biopsi nasofaring. Hasil biopsi menunjukkan jenis
keganasan dan derajat diferensiasi. Diagnosis Banding
Limfoma
Proses non keganasan (TB kelenjar)
Metastasis (tumor sekunder)
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan/MRI nasofaring berguna untuk
melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitar dan penyebaran KGB.
Untuk metastasis jauh dilakukan pemeriksaan foto toraks, bone scan, dan USG
abdomen. Pemeriksaan scintigrafi MIBI merupakan pemeriksaan radiologik yang
sangat baik digunakan untuk follow up terapi pada kasus-kasus dengan dugaan residu
dan residif.
Pengambilan spesimen biopsi dari nasofaring dapat dikerjakan dengan bantuan
anestesi lokal ataupun dengan anestesi umum.
a. Biopsi Nasofaring Dengan Anestesi Lokal
Biopsi dilakukan dengan menggunakan tang biopsi yang dimasukkan
melalui hidung atau mulut dengan tuntunan rinoskopi posterior atau tuntunan
nasofaringoskopi rigid/fiber.
b. Eksplorasi Nasofaring dengan Anestesi Umum:

12

1. Prosedur ini dilakukan jika dari biopsi dengan anestesi lokal tidak
didapatkan hasil yang positif sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan
menunjukkan ciri karsinoma nasofaring Unknown Primary Cancer
2. Prosedur ini dapat langsung dikerjakan pada :
Penderita anak
Penderita dengan keadaan umum kurang baik
Keadaan trismus sehingga nasofaring tidak dapat
diperiksa.
Penderita yang tidak kooperatif
Penderita yang laringnya terlampau sensitif
c. Biopsi Kelenjar Leher
Pembesaran kelenjar leher yang diduga keras sebagai metastasis tumor
ganas nasofaring yaitu, internal jugular chain superior, posterior cervical triangle
node, dan supraclavicular node jangan di biopsi dulu sebelum ditemukan tumor
induknya. Yang mungkin dilakukan adalah biopsi aspirasi jarum halus (FNAB).
3.7 Prognosis
Prognosis dan pilihan pengobatan sangat tergantung pada tahap pertumbuhan
NPC. Berikut ini adalah berhubungan dengan kanker stadium lanjut dan oleh sebab
itu resiko kembalinya kanker ini juga menjadi lebih tinggi:

Telah terjadi invasi pada bagian dasar tengkorak oleh tumor utama (stadium

III)
Terjangkitnya bagian sekitar saraf kranial (stadium IVA), yang dapat terlihat

jelas dari menurunnya kelopak mata, penglihatan ganda, dsb.


Pembesaran kelenjar getah bening pada leher, khususnya saat kelenjar lebih
besar dari 6am (Stadium IVB), menyerang kedua sisi leher (Stadium III),
atau terjangkitnya kelenjar pada bagian dasar leher, persis diatas tulang

selangka (supraclavicular fossa) (Stadium IVB).


Daerah yang paling sering terjadi metastasis bila terkena NPC adalah tulang,
paru-paru, dan hati. Pasien dengan kanker stadium IVC diarahkan pada

prosedur pengobatan palliative.


Dengan keadaan stadium lanjut maka tingkat keberhasilan penanganan
penyakit rendah, yaitu kurang dari 30 persen. Selain itu penanganannya pun
harus dengan terapi kombinasi yakni radioterapi dan kemoterapi dengan
efek samping tinggi dan biaya mahal. Sedangkan NPC stadium dini dapat
13

ditangani dengan radioterapi saja, dengan tingkat keberhasilan lebih dari 80


persen, efek samping yang lebih rendah dan biayanya relatif murah. Untuk
itu, dibutuhkan metode untuk mendeteksi NPC pada stadium dini (Paramita,

2015)
Terdapat alat deteksi dini NPC yang mudah, cepat, serta akurat. Bahkan
dengan biaya yang jauh lebih murah. Satu kit alat tes yang diberi nama IgG
NPC Strip ini dibanderol dengan harga maksimal Rp 50 ribu. Alat akan
dilempar ke pasaran dalam waktu dekat setelah proses registrasi ke
Kementrian Kesehatan RI. Penelitian mengenai NPC di fakultas Kedokteran
awalnya dimotori oleh Prof. Sofia Mubarika. Alat ini diharapkan mampu
mendeteksi kanker nasofaring pada stadium awal. Dengan begitu angka
kesembuhan kanker nasofaring dapat ditingkatkan.

Deteksi dini terhadap NPC juga dapat menekan biaya pengobatan karena
belum membutuhkan berbagai terapi. Penderita NPC stadium awal dapat ditangani
dengan radioterapi. Selain itu, deteksi dini juga akan meminimalisir efek samping
terapi pada penderita. Deteksi NPC dilakukan dengan menggunakan protein dari
virus Epstein-Barr (EBV). Pasalnya NPC memiliki keterkaitan dengan EBV.
Karenanya beberapa protein EBV dapat digunakan sebagai marker untuk mendeteksi
NPC. Salah satunya adalah protein early antigen (EA). IgG NPC Strip ini memakai
protein EBV sebagai antigen untuk mendeteksi antibodi IgG terhadap protein EA
pada pasien kanker nasofaring. Satu kit IgG NPC Strip berisi 1 strip yang dibungkus
aluminium foil dengan rapat, 1 tube berisi 100 L larutan buffer untuk
mengencerkan darah, 1 lancet, dan 1 stik plastik untuk memasukkan darah ke dalam
larutan buffer. Penggunaan alat deteksi NPC cukup mudah layaknya alat tes
kehamilan. Namun dalam tes ini menggunakan satu tetes darah pasien untuk diuji
serumnya. Darah kemudian diencerkan dengan larutan buffer yang telah tersedia
pada kit. Selanjutnya NPC strip dicelupkan pada larutan. Dalam waktu 3-5 menit
hasilnya sudah bisa dilihat. Dinyatakan positif jika terbentuk 2 garis berwarna merah
muda dan negatif jika hanya terbentuk 1 garis warna merah muda (Paramita, 2015)

14

3.8 Asuhan Keperawatan


3.8.1 Analisa Data
No.

Data Yang
Menyimpang

3.8.2

Etiologi

Masalah

Diagnosa Keperawatan
1.

15

No DX

3.8.3 Rencana Asuhan Keperawatan


Tujuan
Intervensi

16

Rasional

BAB IV
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Komite Nasional Penanggulangan Kanker (KNKP). 2015. Kanker


Nasofaring. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Paramita, Dewi Kartika, S.Si., M.Si., Ph.D. 2014. Deteksi Dini Kanker
Nasofaring Dengan Cepat, Mudah, dan Murah. https://ugm.ac.id/id/berita/8628deteksi.dini.kanker.nasofaring.dengan.cepat.mudah.dan.murah (diakses bulan
Desember 2015)
Protokol Kanker Nasofaing. PP. POI. Depkes.
Nasopharingeal Cancer Treatment. National Cancer Institute (NCI).
2008.
UICC TNM System. 2002.

You might also like