Professional Documents
Culture Documents
Home
Sumbang Makalah
Makalah
Buku Tamu
Tukar Link
My Facebook
Category
Software (1)
Template (1)
Kumpulan Makalah Berita Terkini Software Dan Hiburan Artikel Unik Makalah Kedudukan
Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Dalam Hukum Islam Di Indonesia
ini berakibat keluarnya anak angkat dari hubungan nasab atau keturunan antara
anak dengan orang tua kandungnya sendiri dan masuk dalam hubungan nasab dengan
orang tua angkatnya . Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar
menjadikan sebagai anak kandung didasarkan pada Firman Allah SWT. Dalam surat
Al-ahzab (33) ayar 4 dan 5.
Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri).
yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. 5. Panggilah mereka (anakanak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil
pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka
(panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.
Pengangkatan anak yang diperbolehkan hukum Islam juga tidak berpengaruh
dalam hukum kewarisan. Dengan demikian Islam tidak menjadikan anak adopsi
sebagai sebab terjadinya hak waris-mewarisi antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat Penyusun
sampaikan satu hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum Islam
di Indonesia?
2. Mengapa Kompilasi Hukmum Islam memberikan hak kepada anak angkat untuk
memperoleh harta?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertain anak angkat dan harta waris
1. Pengertian anak angkat
Pengertian anak angkat secara bahasa atau etimologi dapat diartikan sbagai
berikut : Pertama, anak angkat dalam bahasa arab disebut tabanny yaitu suatu
kebiasaan pada masa jahiliyah dan permulaan Islam yaitu apabila seorang yang
mengangkat anak orang lain sebagai anak, yaitu berlakulah hukum-hukum yang
berlaku atas anak kandung dan menurut Muhammad Yunus mengartikannya dengan
mengambil anak angkat, sedangkan dalam kamus Munjid diartikan ittikhhadzahu
ibnan , yaitu manjadikannya sebagai anak. Kedua anak angkat yang berasal dari
kata luqata yang berarti mengambil anak pungut artinya pengangkatan anak yang
belum dewasa ditemukan dijalan dan tidak diketahui keturunannya.
Pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi yang berasal dari bahasa
Inggris yaitu adoptie atau adopt . Pengertiannya dalam bahasa belanda menurut
kamus hukum adalah pengangkatanseorang anak untuk dijadikan anak kandung.
Sejalan dengan pengeratian anak angkat, KHI kemudian memasukan akibat hukum
dari pengangkatan anak menurut Muthi Artho, yaitu:
a. Beralih tanggungjawab pemeliharaan hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya dari orang tua asal kepada orang tua angkat.
b. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah / nasab antara anak
angkat dengan orang tua kandungnya sehingga tetap berlaku hubungan mahram dan
saling mewarisi.
c. Pengangkatan anak tidak menimbulkan hubungan darah/ nasab antara anak
angkat dengan orang tua angkatnya.
Demikian merupakan penjabaran dari pasal 171 KHI pada huruf h, yang mengatakan
bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari hari,
biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan; jika melihat
pengertian tersebut maka dapat diartikan pula bahwa anak angkat di sini telah
menjadi bagian keluarga dari orang tua yang mengangkatnya. Sebagai bagian dari
keluarga (anak), iapun berhak mendapatkan cinta dan kasih sayang orang tua seperti
yang lainnya.
2. Pengertian waris
Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang
telah meninggal dunia kepada ahli warisnya (Wirjono Prodjodikoro, 1991:13). Dalam
istilah lain waris juga disebut dengan faraidh, yang artinya bagian tertentu yang
dibagi menurut agama islam kepada semua yang berhak menerimanya (Moh. RifaI,
Zuhri, dan Solomo, 1978:242).
Selain itu pengertian waris juga terdapat pada pasal 171 ayat (a) KHI yang berbunyi
: "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing." Dalam literatur hukum Islam
ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam seperti faraid,
fikih mawaris dan hukum waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena
perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Selain kedua
istilah tersebut, kata yang lazim dipakai adalah faraid. Beberapa ahli hukum di
Indonesia tidak mempergunakan penamaan tersebut secara seragam. Misalnya saja,
Wirjono Prodjodokoro, menggunakan istilah hukum warisan. Hazairin,
mempergunakan istilah hukum kewarisan. dan Soepomo menyebutnya dengan istilah
hukum waris.
Pembahasan hukum waris disini hanya tertuju kepada anak angkat, sebagaimana
latar belakang diatas, maka tidak ada tuntutan hak yang lebih bagi si anak angkat
dari sekedar mendapatkan kasih sayang orang tua angkatnya, serta memenuhi segala
kewajiban sebagaimana anak terhadap orang tua. Namun demikian, kasih sayang
itupun tidak hanya dapat diwujudkan secara moral saja, tetapi juga diwujudkan
secara materil. Adapun mengenai anak angkat perlu ada penegasan bahwa sesuai
dengan ketentuan hukum Islam anak angkat tidak mewarisi orang tua angkatnya.
Akan tetapi, anak angkat berhak mendapatkan bagian harta dari orang tua
angkatnya melalui prosedur lain. Yakni dengan cara melalui wasiat wajibah. Sebagai
mana yang telah diungkapkan dalam hasil kesepakatan yakni berupa KHI bahwa :
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
B. Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Dalam Hukum Islam
Hukum Islam atau Syariat Islam merupakan syariah yang universal, Al-Quran
sebagai pokok yang fundamental dalam syariat Islam berisi ketentuan-ketentuan
yang lengkap. Hal ini yang mencakup ke segenap bentuk tingkah laku manusia yang
akan muncul di masa yang akaan datang. Semua tingkah laku itu dapat diukur dengan
norma dan ukuran yang pedomannya terdapat dalam Al-Quran. Dengan demikian
garis hukum apapun yang akan dibuat oleh manusia dapat diukur menurut Al-Quran.
Ada tiga cara pendekatan untuk memahami islam atau Syariat Islam,yakni dengan
pendekatan nakli atau tradisional, pendekatan aqli atau akal dan pendekatan kasyfi
atau mistik. Ketiga pendekatan tersebut sudah ada sejak zaman nabi Muhammad
SAW, dan terus digunakn oleh ulama-ulama selanjutnya.
1.
Anak angkat menurut Pendapat Ulama klasik tidaklah mendapatkan hak waris,
karena tidak adanya hubungan darah atau perkawinan, namun KHI mengisyaratkan
dengan cara memberi wasiat wajibah terhadap anak angkat. Yang mana
melaksanakan wasiat menurut Imam empat madzhab, hukum asalnya sunnah
berdasarkan kata yuridu (arab) dalam hadits yang diriwayatkan Imam Maliki dari
An-Nafi sebagai berikut : "Tidak ada hak bagi seorang Muslim yang mempunyai
sesuatu (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai bermalam dua malam, maka
wasiat itu wajib tertulis baginya". Para Imam empat madzhab berpendapat bahwa
berwasiat hendaknya sunah dengan alasan, karena tidak ada dalil yang menyatakan
Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakannya. Namun demikian wasiat
dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh bahkan haram tergantung pada
maksud dan tujuannya.
2.
a.
Muhammadiyah
demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi harta warisan anak
angkatnya. Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam kedudukan anak angkat dalam
pembagian harta warisan disebutkan sebagai penerima wasiat; sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2): Terhadap anak angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta orang tua angkatnya.
Atas dasar ketentuan tersebut, maka jika dua orang anak angkat sebagaimana yang
disebutkan dalam pertanyaan ini, tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya,
maka ia berhak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya.
b.
Nahdlatul Ulama
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur
pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam
fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa "Mengangkat anak orang lain untuk
diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah." Sebagai
dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW. "Barang siapa mengaku orang
lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka
surga diharamkan terhadap dirinya." Qatadah berkata, siapapun tidak boleh
mengatakan "Zaid itu putra Muhammad". (Khazin, Juz Vi hlm 191) "Pengangkatan
anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab,
mahram maupun hak waris," papar ulama NU dalam fatwanya. Jadi anak angkat
tidak berhak menerima harta warisan, tetapi dengan melihat kasih sayang diberikan
sianak angkat dan perjuangannya dalam mengurus orang tua angkatnya maka demi
kemaslahatan Ulama NU sepakat dengan keputusan KHI bahwa anak angkat berhak
menerima harta dengan jalan diberikannya wasiat wajibah,
3.
Bicara masalah hak waris anak angkat, memang tidak ada dalil yang membolehkan
adanya hak waris terhadap anak angkat, namun alangkah baiknya anak angkat tetap
diberikan harta atas peninggalan orang tua angkatnya. Yakni dengan jalan
memberinya wasiat sebagaimana yang telah diungkapkan didalam buku Fiqh Mawaris
(Beni Ahmad Saebani, 2009:346): wasiat dapat ditujukan kepada siapapunsesuai
dengan kehendak orang yang berwasiat, bahkan kepada bayi yang masih dalam
kandungan pun hukumnya boleh. Maka dengan demikian menurut penulis tidak ada
halangan anak angkat boleh diberikan dengan jalan wasiat, karena anak angkat
sangatlah berjasa yang telah merawat orang tua angkatnya bahkan dia yang telah
menjalankan roda perekonomian keluarga.
BAB III
KESIMPULAN
anak angkat tidak boleh didaku dan disamakan sebagai anak kandung, sehingga dalam
pembagian harta warisan, anak angkat yang tidak memiliki hubungan nasab atau
hubungan darah dengan orang tua angkatnya tidak dapat saling mewarisi. Dengan
kata lain anak angkat tidak mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua
angkatnya, demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi harta warisan
anak angkatnya. Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam kedudukan anak angkat dalam
pembagian harta warisan disebutkan sebagai penerima wasiat; sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2): Terhadap anak angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta orang tua angkatnya.
Atas dasar ketentuan tersebut, maka jika dua orang anak angkat sebagaimana yang
disebutkan dalam pertanyaan ini, tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya,
maka ia berhak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Soeroso R, Perbandingan Hukum Perdata, cet. ke-4 (Jakarta: Sinar Grafika, 2001)
H.Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, Hukum perlindungan dan pengangkatan anak
diindonesia, (Jakarta : Gema Insani Press, 1991)
Mahmud Yunus, kamus arab indonesia, ( Jakarta: Hidakarya Agung, 1972)
Muderis Zaini, Adosi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum,( Jakarta: Sinar
Grafika, 2002.
Soebekti, kamus hukum, (Semarang :CV. Aneka Ilmu, 1995)
Muthi Artho, Pengangkatan anak menurut Hukum Islam, makalah, (Perpustakaan
Pengadilan Agama Bantul).
H. Abdurrahman, Kompilasi hukum Islam, Akamedika pressindo, Jakarta 2007
Beni Ahmad Saebai, fiqh mawaris,Pustaka Setia, Bandung, 2009
Nama Nama Bayi Islami Yang Bagus Untuk Putra Putri Anda
Jika artikel ini bermanfaat untuk Sahabat. Mohon klik tombol Share atau tombol Tweet dibawah
ini untuk mendukung blog ini anggap saja sebagai ucapan terima kasih dari anda he he he. @
Matur Suwun...!!!
Tweet
Diposkan oleh Sulaiman Rosyid
Label: Artikel Unik
6 komentar:
1.
obat asam urat6 September 2012 00.44
mengunjungi blog yang bagus dan penuh dengan informasi yang menarik adalah
merupakan kebahagiaan tersendiri.... teruslah berbagi informasi
Balas
2.
harjatno mustofa27 Oktober 2012 20.25
ow ya aq ada maslh..aq anak angkat aq sudah diberi hibah oleh orang tua angkatq berupa
rumah pada tahun 2010 balik nama aq , nah pada tahun 2012 ibu angkatq meninggal, nak
sekarang adik ibuq pengen merebut rumah ini katanya aq tidak berhak
memilikiy...lagipula orangtua angkatq tidak memiliki anak...apa aq berhak atw tidak
...ibuq ngasih dalam keadaan sadar bukan paksaan ...
Balas
3.
hendrik candra10 November 2012 03.42
assalamualaikum wr.wb
mslahku sama sperti yang di atas
kedua org tua angkatku sudah meninggal
dan adik" dari ibuku mau mengambilnya semua
yg aku tanyakan 1/3 bagian itu dihitung dari harta kseluruhan atau tidak
aku juga sudah diberikan rumah
mohon balasannya ya
walaikum salam wr.wb
Balas
4.
uii profile19 November 2012 20.18
saya mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia
Artikel yang menarik, bisa buat referensi ini ..
terimakasih ya infonya :)
Balas
5.
Abu Zaini11 Maret 2015 10.19
Makasih untuk makalahnya tentang Anak Angkat yang sangat jelas dan lengkap ini...
Balas
6.
Dzaky Sulaiman4 Juli 2015 10.40
terimaksih atas komentar sobat semua, jgn lupa kunjungi juga blog sya yang baru :
http://zakypotensi.blogspot.com
Balas
Muat yang lain...
NB: Berikan Komentar yang sopan dan berkenaan dengan Artikel diatas.
Saya mohon maaf jika komentar sahabat dan rekan blogger terlambat di respon Karena
banyaknya kegiatan yang mengikat he he he, Silahkan copas asalkan cantumkan juga sumbernya
yah...!
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Translate
Powered by
Translate
Follow @grupsyariah
Entri Populer
Makalah Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Dalam Hukum Islam Di
Indonesia
Random Post
Statistik Pengunjung
Sahabat Blog
Back-link:
Copyright: 2012- By : Grup Syariah Metro Kumpulan Makalah Pendidikan Dan Tempat
Berbagi Ilmu Pengetahuan
Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute
Read more: http://grupsyariah.blogspot.com/2012/04/makalah-kedudukan-anak-angkatterhadap.html#ixzz3vPrHIEg1