You are on page 1of 46

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi

tersering yang terjadi pada anak.1 Pada kebanyakan anak, ISK sering terjadi
rekuren, menyebabkan morbiditas, hospitalisasi, dan dampak kesehatan jangka
panjang seperti terbentuknya jaringan parut, hipertensi, dan gagal ginjal kronik.2
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi kedua tersering yang terjadi pada
anak setelah ISPA. Di Amerika Serikat, infeksi saluran kemih mempengaruhi
2,4%-2,8% dari anak-anak setiap tahun.2 Berdasarkan sebuah penelitian di
Indonesia dalam waktu 5 tahun insiden kasus baru ISK pada anak berkisar 0,1%1,9%.1 Berdasarkan hasil penelitian di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada Maret
2010-April 2011, didapatkan dari 164 anak berusia kurang dari 15 tahun yang
diduga menderita ISK didapatkan 77 anak dengan biakan urin positif.Amirah
ISK terutama disebabkan oleh koloni bakteri. Pada anak perempuan, 7590% disebabkan oleh Escherichia coli (E. coli), diikuti oleh Klebsiella spp dan
Proteus spp. Beberapa laporan menyebutkan bahwa pada anak laki-laki > 1 tahun,
Proteus merupakan penyebab yang sering seperti E. Coli. Laporan lain
menyebutkan organisme gram positif dominan terjadi pada anak laki-laki.
Staphylococcus saprophyticus dan Enterococcus merupakan patogen pada anak
laki-laki maupun perempuan. Adenovirus dan infeksi virus lain juga dapat terjadi,
terutama sebagai penyebab sistitis.4

Manifestasi klinis ISK bervariasi dan tergantung pada umur, mulai dengan
asimtomatik hingga gejala yang berat, sehingga ISK sering tidak terdeteksi baik
oleh tenaga medis maupun oleh orang tua.1
ISK pada anak menyebabkan morbiditas akut serta masalah medis jangka
panjang termasuk delayed hypertension dan disfungsi renal progresif. Diagnosis
yang akurat dan pengobatan yang tepat waktu sangat penting dalam membatasi
masalah medis jangka panjang tersebut karena ginjal pada anak sangat rentan
untuk terjadi pembentukan jaringan parut dan kerusakan ginjal permanen.2

1.2

Batasan Penulisan
Referat ini membatasi pembahasan pada anatomi saluran kemih, definisi,

epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana,


komplikasi, dan prognosis infeksi saluran kemih pada anak.

1.3

Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui anatomi saluran

kemih, definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,


tatalaksana, komplikasi, dan prognosis infeksi saluran kemih pada anak.

1.4
a.
b.

Manfaat Penulisan
Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran
Menambah informasi bagi para pembaca mengenai anatomi saluran
kemih, definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis,

diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis infeksi saluran kemih


pada anak.
1.5

Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan metode penulisan tinjauan kepustakaan

yang merujuk pada berbagai literatur.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi Saluran Kemih


Organ urinaria terdiri atas ginjal beserta salurannya, ureter, buli-buli dan

uretra (Gambar 1).5

Gambar 2.1. Anatomi Saluran Kemih6


2.1.1 Ginjal
Ginjal terletak diruang retroperitoneal antara vertebra torakal 12 atau
lumbal 1 dan lumbal 4. Panjang dan beratnya bervariasi yaitu lebih kurang 6 cm
dan 24 gram pada bayi yang lahir cukup bulan. Pada bayi baru lahir ginjal sering
dapat diraba. Pada janin permukaan ginjal tidak rata, berlobus-lobus yang
kemudian akan menghilang dengan bertambahnya umur. Tiap ginjal terdiri atas 8-

12 lobus yang berbentuk piramid. 6


Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan medula
ginjal. Korteks merupakan lapisan luar ginjal yang di dalamnya terdapat 1 juta
nefron. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang mengandung
glomerulus, tubulus proksimal dan distal yang berkelok-kelok dan duktus
koligens. Lapisan dalam yaitu medula, yang mengandung bagian tubulus yang
lurus, ansa henle, vasa rekta, dan duktus koligens.5,6
Sistem pelviokaliks ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks
mayor dan pielum/ pelvis renalis. Mukosa sistem pelviokaliks terdiri atas epitel
transisional dan dindingnya terdiri atas otot polos yang mampu berkontraksi untuk
mengalirkan urin sampai ke ureter. Puncak piramid medula yang menonjol ke
dalam disebut papil ginjal yang merupakan ujung kaliks minor. 5
Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam
glomeruli kemudian di tubuli ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan tubuh
mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi
bersama air membentuk urin.5
Urin dialirkan melalui beberapa duktus koligens yang bermuara pada
duktus papilaris Bellini yang bermuara di papil ginjal dan mengalirkan urin
kedalam kaliks minor kemudian melalui sistem pelviokaliks, urin disalurkan ke
dalam ureter. Karena ada 18-24 lubang muara duktus Bellini pada ujung papil
maka daerah tersebut terlihat sebagai tapisan beras dan disebut area kribrosa.5,6
Antara dua piramid terdapat jaringan korteks tempat masuknya cabang
arteri renalis disebut kolumna Bertini. Beberapa kaliks minor membentuk kaliks

mayor yang bersatu menjadi piala (pelvis) ginjal yang kemudian bermuara ke
dalam ureter (gambar 2.2).6

Gambar 2.2. Ginjal dan Struktur Ginjal6


Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosis tipis dan mengkilat yang disebut
kapsul fibrosa (true capsule) ginjal dan diluar kapsul ini terdapat jaringan lemak
perineal. Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula
adrenal/ suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal
dan jaringan lemak perineal dibungkus oleh fasia gerota. Fasia ini beRVUngsi
sebagai barrier yang menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal
serta mencegah ekstravasasi urine pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu fasia
gerota dapat pula beRVUngsi sebagai barier dalam menghambat penyebaran
infeksi atau menghambat metastasis tumor ginjal ke organ sekitarnya. Di luar
fasia gerota terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau diseebut jaringan lemak
pararenal.5

Disebelah posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal


serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan disebelah anterior dilindungi oleh
organ-organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, duodenum
sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejunum dan
kolon.5
2.1.2 Ureter
Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang beRVUngsi
mengalirkan urin dari pielum ginjal ke dalam buli-buli. Dindingnya terdiri atas
mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot polos sirkuler dan
longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik (berkontraksi) guna
mengeluarkan urin ke buli-buli.5
Sepanjang perjalanan ureter dari pielum menuju buli-buli, secara anatomis
terdapat beberapa tempat yang ukuran diameternya relatif lebih sempit daripada di
tempat lain, sehingga batu atau benda-benda lain yang berasal dari ginjal
seringkali tersangkut ditempat itu. Tempat-tempat penyempitan itu antara lain
adalah (1) pada perbatasan antara pelvis renalis dan ureter atau pelvicoureter
junction (2) tempat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis dan (3) pada
saat ureter masuk ke buli-buli. Ureter masuk ke buli-buli dalam posisi miring dan
berada di dalam otot buli-buli (intramural), keadaan ini dapat mencegah terjadinya
aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau refluks vesiko-ureter pada saat bulibuli berkontraksi.5
Untuk kepentingan radiologi dan kepentingan pembedahan, ureter dibagi
menjadi dua bagian yaitu: ureter pars abdominalis yaitu yang berada dari pelvis

renalis sampai menyilang vasa iliaka dan ureter pars pelvika yaitu mulai dari
persilangan dengan vasa iliaka sampai masuk ke buli-buli. Disamping itu secara
radiologis ureter dibagi dalam tiga bagian yaitu (1) ureter 1/3 proksimal mulai dari
pelvis renalis sampai batas atas sakrum (2) ureter 1/3 medial mulai dari batas atas
sakrum sampai pada batas bawah sakrum dan (3) ureter 1/3 distal mulai batas
bawah sakrum sampai masuk ke buli-buli.5
2.1.3 Buli-buli
Buli-buli adalah organ berongga yang berdinding otot polosyang terdiri
dari dua bagian besar: (1) badan (korpus), merupakan bagian utama kandung
kemih dimana urin berkumpul, dan (2) leher (kollum) merupakan lanjutan dari
badan yang berbentuk corong, berjalan secara inferior dan anterior kedalam
daerah segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra. Bagian yang lebih
rendah dari leher kandung kemih disebut uretra posterior karena hubungannya
dengan uretra. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra
internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. 5
Buli-buli terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling beranyaman.
Disebelah dalam adalah otot longitudinal, ditengah merupakan otot sirkuler, dan
yang paling luar merupakan otot longitudinal. Serat-serat ototnya meluas kesegala
arah dan, bila berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan dalam kandung kemih.
Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting untuk
mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot detrusor terangkai satu
sama lain sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah dari satu sel otot ke
sel otot lain. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot

detrusor, dari satu sel otot ke sel otot berikutnya, sehingga terjadi kontraksi
seluruh kandungan kemih dengan segera.5,6
Secara anatomi bentuk buli-buli terdiri atas 3 permukaan yaitu (1)
permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum (2) dua
permukaan inferiolateral dan (3) permukaan posterior. Permukaan superior
merupakan lokus minoris (daerah terlemah) dinding buli-buli.5
Buli-buli beRVUngsi menampung urin dari ureter dan kemudian
mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Pada anak,
kapasitas buli-buli menurut formula dari Koff adalah: 5
Kapasitas Buli-buli = {Umur (tahun) + 2}x 30 ml
2.1.4 Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin ke luar dari buli-buli
melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra
posterior dan uretra anterior. Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang
terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang
terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna
terdiri dari otot polos yang dipersarafi oleh sistem saraf simpatik sehingga pada
saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot
bergaris yang dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai dengan
keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada
saat menahan kencing.5
2.2

Definisi ISK
Infeksi Saluran Kemih adalah keadaan adanya infeksi (pertumbuhan dan

perkembangbiakan bakteri) dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim


ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang
bermakna.7
Bakteriuria adalah ditemukannya bakteri dalam urin yang berasal dari ISK
atau kontaminasi dari uretra, vagina ataupun dari flora di periuretral. Dalam
keadaan normal, urin baru dan segar adalah steril. Bakteriuria bermakna yaitu bila
ditemukan jumlah koloni > 105/ml spesies yang sama pada kultur urin dari sampel
mid-stream urine. Ini merupakan gold standard untuk diagnostik ISK.7

2.3

Epidemiologi ISK
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi kedua tersering yang terjadi pada

anak setelah ISPA. Berdasarkan studi kolaboratif pada 7 rumah sakit institusi
pendidikan dokter spesialis anak di Indonesia dalam waktu 5 tahun insiden kasus
baru ISK pada anak berkisar 0,1%-1,9%. Prevalensi ISK bervariasi berdasarkan
usia. Selama tahun pertama kehidupan, rasio penderita laki-laki: rasio wanita
adalah 2,8-5,4:1. Sedangkan dalam tahun pertama sampai tahun kedua kehidupan,
terjadi perubahan yang mencolok, dimana rasio laki-laki: perempuan adalah 1:10.2
Prevalensi ISK pada anak menurun seiring dengan bertambahnya usia.
Pada neonatus prevalensi ISK berkisar 0,1-1% dan meningkat menjadi 14% pada
neonatus yang disertai demam, sedangkan pada bayi bakteriuria ditemukan pada
0,3-0,4% bayi yang asimtomatik dan 5,3% pada bayi yang disertai demam.2
Pada anak perempuan, ISK pertama biasanya terjadi pada umur 5 tahun,
dengan puncaknya pada bayi dan anak-anak yang sedang toillete training. Setelah

10

ISK pertama, 60%-80% anak perempuan akan mengalami ISK yang kedua dalam
18 bulan. Pada anak laki-laki, ISK paling banyak terjadi selama tahun pertama
kehidupan. ISK jauh lebih sering terjadi pada anak laki-laki yang tidak disunat. 5
Pada anak-anak prasekolah usia, prevalensi anak perempuan dengan
infeksi tanpa gejala yang akhirnya didiagnosa oleh aspirasi suprapubik adalah
0,8% dibandingkan dengan 0,2% pada anak laki-laki. Pada kelompok usia
sekolah, angka insidensi bakteriuria pada perempuan lebih banyak 30 kali
dibandingkan pada anak laki-laki.4

2.4

Etiologi ISK
Escherichia coli (E. Coli) merupakan penyebab tersering ISK pada anak

(72,6%-79,5%).6,7 Pada bayi baru lahir (0-28 hari), infeksi diperantarai oleh aliran
darah. Sedangkan setelah usia itu, ISK umumnya terjadi akibat naiknya bakteri ke
saluran kemih.7 Selain E. Coli kuman lain yang ditemukan sebagai penyebab ISK
adalah Klebsiella (3,5%), Proteus mirabilis (3,5%), Pseudomonas (0,5%),
Enterococcus (2,6%), Staphylococcus saprophyticus (2,6%), lain-lain (8%).
Proteus mirabilis selain menyebabkan infeksi, bakteri ini juga mengeluarkan zat
yang dapat memfasilitasi pembentukan batu di saluran kemih. 7,8
Selain bakteri, mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan ISK adalah
jamur seperti Candida albicans yang umumnya menginfeksi pasien melalui
kateter. Virus seperti Haemofilus influenza dan parainfluenza juga dapat menjadi
penyebab ISK pada anak, namun sering tidak diperhitungkan sebagai penyebab
ISK karena kuman ini tidak dapat tumbuh pada media biakan standar.7,8

11

Sebagian besar ISK tidak dihubungkan dengan faktor risiko tertentu.


Namun pada ISK berulang, perlu dipikirkan kemungkinan faktor risiko seperti
kelainan fungsi atau kelainan anatomi saluran kemih, gangguan pengosongan
kandung kemih (incomplete bladder emptying), konstipasi, sertagangguan sistem
imun.7,8
2.5

Patogenesis ISK
Penyebab terbanyak infeksi saluran kemih adalah Escherichia Coli, sekitar

70% dari keseluruhan kasus. Biasanya, E. Coli bersimbosis saling menguntungkan


dengan host dan memainkan peran yang penting dalam menjaga kestabilan flora
normal usus dan mempertahankan homeostatis saluran cerna. Namun beberapa
jenis E. Coli dapat menimbulkan infeksi saluran kemih, terutama Uropatogenic
E. Coli (UPEC). UPEC dapat menyebabkan sistitis dan pielonefritis. Faktor
virulensi dari E. Coli yang dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi saluran
kemih terbagi menjadi 2 kelompok.9,10
1. Faktor virulensi yang berhubungan dengan permukaan sel bakteri9,10

Faktor permukaan virulensi UPEC mencakup tipe-tipe fimbrae yang bersifat


adhesi yang berbeda untuk merangsang perlekatan bakteri ke epitel di saluran
kemih. Gambaran molekul yang beradhesi ini sangat penting dalam menentukan
patogenisitas. Adhesi UPEC ini dalam cara yang berbeda.
a. Jalur yang merangsang langsung host melalui sel bakteri
b. Memfasilitasi pengiriman produk bakteri ke epitel saluran kemih
c. Merangsang invasi bakteri
Fimbrae tipe 1 termasuk faktor virulen pada infeksi saluran kemih hewan
percobaan. Namun, fungsinya dalam patologi manusia masih belum jelas karena

12

tidak ada perbedaan signifikan jumlah gen Fim diantara strain virulen didalam
saluran kemih.9,10
Fimbrae P merupakan faktor virulen kedua tersering dari UPEC yang
memiliki peran penting dalam patogenesis infeksi saluran kemih atas dan
pielonefritis. Ini bertanggungjawab terhadap perlekatan ke mukosa dan matriks
jaringan dan terhadap produksi sitokin. Perlekatan fimbrae P ke reseptor di epitel
akan merangsang pengeluaran ceramide, yang berperan sebagai agonis toll-like
receptor 4 (TLR-4), terlibat dalam aktivasi dari respon sel imun. Hal ini akan
merangsang perkembangan dari inflamasi lokal dan nyeri yang berhubungan
dengan infeksi saluran kemih. Pada pasien dengan transplantasi ginjal, fimbrae P
lebih banyak muncul sebagai faktor virulen.9,10
Fimbrae S dan F1C fimbrae juga terlibat dalam proses infeksi saluran kemih.
Kedua tipe fimbrae ini muncul melekat pada epitel dan sel endotelial berasal dari
saluran kemih bawah dan ginjal. Fimbrae S juga memfasilitasi penyebaran pada
jaringan host dan sering dihubungkan dengan strain E. Coli yang menyebabkan
sepsis, meningitis dan infeksi saluran kemih atas.9,10
Faktor virulensi terdapat pada permukaan bakteri, kapsul dan lipopolisakarida.
Kapsul melindungi bakteri dari fagosit dan reaksi komplement di didalam tubuh
host akibat adanya bakteri. Lipopolisakarida (LPS) merupakan salah satu
komponen di dinding sel bakteri gram negatif. LPS beRVUngsi untuk
mengaktivasi respon host dan untuk merangsang pengeluaran nitrit oksida dan
sitokin.9,10

13

Flagella adalah organel yang bertanggung jawab terhadap motilitas bakteri,


terlibat dalam interaksi berbagai jenis stain E. Coli yang patogenik dengan sel
epitelial. UPEC yang memiliki flagella menyebabkan 70-90% infeksi saluran
kemih.9,10
2. Faktor sekresi virulen
Toksin penting untuk menentukan keparahan virulensi penyakit. Produksi
toksin oleh kolonisasi E. Coli dapat menyebabkan respon inflamasi, jalur yang
mungkin untuk keluhan infeksi saluran kemih. Hal yang paling penting dari faktor
sekresi virulen pada E. Coli yang uropatogenik adalah lipoprotein yaitu alfahaemolysin (HlyA), yang dihubngkan dengan infeksi saluran kemih atas seperti
pielonefritis. HlyA adalah toxin yang membentuk pori (pore-forming) yang
menyebar diantara bakteri gram negatif. 9,10
3. Faktor pertahanan host
Faktor pertahanan tubuh secara normal akan mencegah terjadinya infeksi
saluran kemih. Aliran urin merupaka pertahanan pertama, beRVUngsi sebangai
pembilas atau pembersih saluran kemih. Urin memiliki fungsi mencegah
perlengketan bakteri pada epitel saluran kemih. Urin dengan PH yang rendah,
kandungan garam, urea, dan asam organik akan menurunkan jumlah bakteri yang
ada pada saluran kemih hingga tidak ada populasi bakteri.10
UPEC memiliki kemampuan yang khas. UPEC memiliki fimbrae P dan
menghasilkan beberapa toksin seperti hemolisin, sitotoksik, dan faktor nekrosis.
Dengan adanya perubahan sekresi Ig A dan faktor pertahanan tubuh maka substrat
dari bakteri yaitu UPEC, dengan bantuan fimbrae P akan melekat ke epitel saluran
kemih. Selanjutnya UPEC akan melakukan kolonisasi. UPEC yang berkontak

14

dengan epitel saluran kemih akan memicu respon tubuh untuk melawan kolonisasi
dengan mekanisme apoptosis dan eksfoliasi dari epitel saluran kemih.9,10
Apoptosis dari epitel saluran kemih akan mengirimkan IL-6 untuk respon
kerusakan jaringan dan memulai respon inflamasi. Selama berkoloni, UPEC yang
mampu bertahan terhadap eksfoliasi dan serbuan PMN akan melakukan migrasi
ke bagian vesika urinaria yang lebih tinggi dan memulai infeksi pada bagian atas.
Ketika di ginjal UPEC akan menghasilkan hemolisin dan cytotoxic necroting
factor. Kedua toksin ini akan menyebabkan kerusakan jaringan di ginjal. Ginjal
dan vesika urinaria merupakan sumber utama dari IL-6 dan IL-8 selama infeksi
saluran kemih berlangsung. Interleukin-8 adalah sitokin yang bertindak sebagai
faktor kemotaktik dalam inflamasi akut untuk neutrofil, subset T-sel, dan basofil
yang mengaktifkan neutrofil agar melepaskan enzim lisosom, terjadi lisis, dan
Uropatogenik
E. epitel
coli ginjal cytotoxic necroting factor
berdegranulasi.9,10 Hemolisin
akan merusak
10
akan merusak tubular
dan glomerulus.
-Fimbrie
-HlyA

-LPS

LPS/LBP/CD14
Sebelumnya, penelitian lain telah menunjukkan bahwa
IL-1, IL-6, dan
Kematian sel
Respon Inflamasi
IL-8 dihasilkan sebagai respon inflamasi, semua ditemukan GTP-ase
dalam jumlah
RhoAtinggi
-apoptosis, nekrosis
CD14/MD2
dalam urin pasien dengan infeksi
saluran kemih. Produksi IL-8 oleh sel mesangial
ditunjukan dalam merespon
IL-1 dan tumor nekrosis faktor-, tetapi
MD88/TIRAP/TRAM
Ca2+ tidak untuk
TL84
Kerusakan jaringan
lipopolisakarida.10 Tahap terakhir dari infeksi saluran kemih adalah UPEC akan
menembus barier epitel dan masuk ke sirkulasi
yang Cyclase3
nantinya (AC3)
akan
PLC darah Adenil
menyebabkan bakterimia.9,10
PKA

cAMP

P38 MAPK

NF-kB

CREB

IL6/IL8

IFR3

Rekrutmen neutrofil

Aktivasi
antibacterial
IFR3/IFN
dependen

Kerusakan jaringan permanen

15

3
a
.
a
.

3
b

4
b
.
4
a
.

Algoritma 2.1. Uropatogenesis E. coli9


1. Fimbrae, Hly A dan LPS yang ada pada UPEC akan menginduksi
sinyal terhadap sel urothelial. 9
2. Bakteri UPEC akan menghasilkan cytotoxic necroting factor 1 sehingga
uroepithel akan mengalami apoptosis. Sel yang apotosis akan nekrosis dan akan
terjadi kerusakan jaringan. 9
3a. Jaringan yang sehat disekitar jaringan nekrosis akan menghasilkan
CD14 (Cluster of Differntiation 14), MD2 (Myeloid Differntiation factor 2),
TIRAP (Toll interleukin 1 Reseptor (TIR) domain containing Adaptor Protein)

16

dan TRIF (TIR domain containing Adaptor Protein inducing IFN Beta) yang
akan menyebabkan migrasi neutrofil ke daerah yang mengalami nekrosis. 9
3b.. LPS (Lipopolysaccharide) pada UPEC akan membuat GTP-ase
menjadi tetap aktif dan membuat ion Ca2+ berikatan dengan kalmodulin
selanjutnya akan mengaktivasi Adenyl cyclase (AC3) dan berkitan dengan ATP
(Adenosin Tri Phospate) menghasilkan cAMP (cyclic Adenosin Mono
Phosphate).9
4a. MAPK juga akan menginisiasi Nekrosis Faktor-Kappa B(NF-kB) yang
akan membuat inti sel mensintesis protein dan dihasilkan IL-6 dan IL-8. IL-6
berperan sebagai proinflamasi dan IL-8 berperan sebagai pengumpul Neutrofil
pada jaringan. Neutrofil berkumpul dan memfagositosis UPEC dan uroepitelial,
yang akan menimbulkan skar permanen. 9
4b. cAMP yang dihasilkan akan diikat oleh Protein Kinase A (PKA),
selanjutnya PKA akan mengirimkan informasi ke p38 Mitogen Activated Protein
Kinase (p38 MAPK). MAPK akan mengirimkan transduksi sinyal ke cAMP
Response Element Binding Proteins (CREBS) nantinya akan dihasilkan interferon
3 (IFR 3) yang beRVUngsi terhadap mekanisme aktifasi antibakteria. 9
2.6

Klasifikasi ISK
ISK pada anak dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis, lokasi infeksi,

dan kelainan saluran kemih. Berdasarkan gejala, ISK dibedakan menjadi ISK
asimtomatik dan simtomatik. Berdasarkan lokasi infeksi, ISK dibedakan menjadi
ISK atas dan ISK bawah, berdasarkan kelainan saluran kemih, ISK dibedakan
menjadi ISK simpleks dan ISK kompleks.1

17

ISK asimtomatik adalah bakteriuria bermakna tanpa gejala. ISK


simtomatik yaitu terdapatnya bakteriuria bermakna disertai gejala dan tanda
klinik. Sekitar 10-20% ISK yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau
sistitis baik berdasarkan gejala klinik maupun pemeriksaan penunjang disebut
dengan ISK nonspesifik.1
Membedakan ISK atas atau pielonefritis dengan ISK bawah (sistitis dan
urethritis) sangat perlu karena risiko terjadinya parut ginjal sangat bermakna pada
pielonefritis dan tidak pada sistitis, sehingga tata laksananya (pemeriksaan,
pemberian antibiotik, dan lama terapi) berbeda.1
Untuk kepentingan klinik dan tata laksana, ISK dapat dibagi menjadi ISK
simpleks (uncomplicated UTI) dan ISK kompleks ( complicated UTI). ISK
kompleks adalah ISK yang disertai kelainan anatomik dan atau fungsional saluran
kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran baik (refluks) urin. Kelainan
saluran kemih dapat berupa refluks vesikoureter, batu saluran kemih, obstruksi,
anomali saluran kemih, buli-buli, neurogenik, benda asing, dan sebagainya. ISK
simpleks ialah ISK tanpa kelainan struktural maupun fungsional saluran kemih.1
National Institute for health and Clinical Excellence (NICE) membedakan
ISK menjadi ISK atipikal dan ISK berulang. Kriteria ISK atipikal adalah keadaan
pasien yang sakit berat, dieresis sedikit, terdapat massa abdomen atau kandung
kemih, peningkatan kreatinin darah, septikemia, tidak memberikan respon
terhadap antibiotik dalam 48 jam, serta disebabkan oleh kuman non E. Coli. ISK
berulang berarti terdapat dua kali atau lebih episode pielonefritis akut atau ISK

18

atas, atau satu episode pielonefritis akut atau ISK atas disertai satu atau lebih
episode sistitis atau ISK bawah, atau 3 atau lebih episode sistitis atau ISK bawah.1
2.7

Manifestasi Klinis ISK


Gejala klinik ISK pada anak sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas

reaksi peradangan, letak infeksi (ISK atas dan ISK bawah), dan umur pasien.
Sebagian ISK pada anak merupakan ISK asimtomatik, umumnya ditemukan pada
anak umur sekolah, terutama anak perempuan dan biasanya ditemukan pada uji
tapis (screening programs). ISK asimtomatik umumnya tidak berlanjut menjadi
pielonefritis dan prognosis jangka panjang baik.1
Pada masa neonatus, gejala klinik tidak spesifik dapat berupa apati,
anoreksia, ikterus atau kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau
minum, oliguria, iritabel, atau distensi abdomen. Peningkatan suhu tidak begitu
tinggi dan sering tidak terdeteksi. Kadang-kadang gejala klinik hanya berupa apati
dan warna kulit keabu-abuan (grayish colour). Pada bayi sampai satu tahun,
gejala klinik dapat berupa demam, penurunan berat badan, gagal tumbuh, nafsu
makan berkurang, cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus, dan distensi abdomen.
Pada palpasi ginjal anak merasa kesakitan. Demam yang tinggi dapat disertai
kejang. 1
Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang
tinggi hingga menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan dapat timbul
dehidrasi. Pada anak besar gejala klinik umum biasanya berkurang dan lebih
ringan, mulai tampak gejala klinik lokal saluran kemih berupa polakisuria, disuria,

19

urgency, frequency, ngompol, sedangkan keluhan sakit perut, sakit pinggang, atau
pireksia lebih jarang ditemukan. 1
Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala
saluran cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih
normal, dapat ditemukan nyeri pinggang. Gejala neurologis dapat berupa iritabel
dan kejang. Nefritis bakterial fokal akut adalah salah satu bentuk pielonefritis,
yang merupakan nefritis bakterial interstitial yang dulu dikenal sebagai nefropenia
lobar.1,11
Pada sistitis, demam jarang melebihi 380C, biasanya ditandai dengan nyeri
pada perut bagian bawah, serta gangguan berkemih berupa frekuensi, nyeri waktu
pberkemih, rasa tidak nyaman di suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih, retensio
urin, dan enuresis.1
2.8

Diagnosis ISK
Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin. ISK serangan


pertama umumnya menunjukkan gejala klinik yang lebih jelas dibandingkan
dengan infeksi berikutnya. Gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih,
pola berkemih, dan aliran urin dapat sebagai petunjuk untuk menentukan
diagnosis. Demam merupakan gejala dan tanda klinik yang sering dan kadangkadang merupakan satu-satunya gejala ISK pada anak.1
Pemeriksaan

tanda

vital

termasuk

tekanan

darah,

pengukuran

antropometrik, pemeriksaan massa dalam abdomen, kandung kemih, muara uretra,


pemeriksaan neurologik ekstremitas bawah, tulang belakang untuk melihat ada

20

tidaknya spina bifida, perlu dilakukan pada pasien ISK. Genitalia eksterna
diperiksa untuk melihat kelainan fimosis, hipospadia, epispadia pada laki-laki atau
sinekie vagina pada perempuan.1
Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah prosedur yang terpenting.
Oleh sebab itu kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama untuk
menegakkan diagnosis. 12 Academy of Pediatrics (15) membuat rekomendasi
bahwa pada bayi umur di bawah 2 bulan, setiap demam harus dipikirkan
kemungkinan ISK dan perlu dilakukan biakan urin. Pada anak umur 2 bulan
sampai 2 tahun dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan
ISK harus dipikirkan dan perlu dilakukan biakan urin, dan anak ditata laksana
sebagai pielonefritis. Untuk bayi perempuan 15 membuat kriteria diagnosis
sederhana berdasarkan 5 gejala klinik yaitu:1. suhu tubuh 390C atau lebih, 2.
demam berlangsung dua hari atau lebih, 3. ras kulit putih, 4. umur di bawah satu
tahun, 5. tidak ditemukan sumber infeksi lainnya. Kriteri ini memiliki sensitifitas
mencapai 88% dan spesifisitas 30%.3 Bila ditemukan 2 atau lebih faktor risiko
tersebut maka sensitivitas untuk kemungkinan ISK mencapai 95% dengan
spesifisitas 31%.1,12

2.9

Pemeriksaan Penunjang ISK


Laboratorium urinalisis sampel urin segar dan tidak disentrifugasi

(lekosituria > 5/LPB atau dipstick positif untuk lekosit) dan biakan urin adalah
pemeriksaan yang penting dalam penegakkan diagnosis ISK. Diagnosis ISK
ditegakkan dengan biakan urin yang sampelnya diambil dengan urin porsi tengah
dan ditemukan pertumbuhan bakteri > 105 koloni/ml urin dari satu jenis bakteri,

21

atau bila ditemukan > 104 koloni tetapi disertai gejala yang jelas dianggap ISK. 13,14
Cara pengambilan sampel lain yaitu melalui kateterisasi kandung kemih, pungsi
suprapubik dan menampung urin melalui steril collection bag yang biasa
dilakukan pada bayi. Akurasi cara pengambilan urin tersebut memberikan nilai
intepretasi yang berbeda.15 Pemeriksaan darah yang dapat dilakukan selain
pemeriksaan rutin adalah: kadar CRP, LED, LDH dan Antibody Coated Bacteria
(ACB).14,16
a.
Urinalisis
Urinalisis tidak dapat menggantikan pemeriksaan kultur urin untuk
menegakkan diagnosis ISK. Pemeriksaan kultur urin harus dikombinasikan
dengan urinalisis untuk menemukan adanya infeksi saluran kemih. Karena hasil
kultur urin tidak tersedia dalam 24 jam, maka digunakan hasil pemeriksaan
urinalisis untuk memulai terapi secara dini sambil menunggu hasil kultur urin.
Urin yang dapat digunakan untuk pemeriksaan urinalisis adalah urin yang
disimpan dalam suhu kamar selama 1 jam atau dalam lemari pendingin selama 4
jam.12
Pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase,
protein, dan darah. Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan adanya
bakteriuria, tetapi tidak dipakai sebagai patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria
biasanya ditemukan pada anak dengan ISK (80-90%) pada setiap episode ISK
simtomatik, tetapi tidak adanya leukosituria tidak menyingkirkan ISK. Bakteriuria
dapat juga terjadi tanpa leukosituria. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu
dipertimbangkan pada infeksi oleh kuman Proteus sp., Klamidia sp., dan
Ureaplasma urealitikum.1,11

22

Pemeriksaan dipstik urin dapat mendeteksi adanya leukosit esterase dan


nitrit. Pemeriksaan ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan pemeriksaan
menggunakan mikroskop karena penggunaan alat-alat yang sederhana dan hasil
pemeriksaan yang cepat. Leukosit esterase adalah enzim yang terdapat di dalam
lekosit neutrofil, yang menggambarkan banyaknya leukosit dalam urin. Uji nitrit
merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam
keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat
diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Sebagian besar kuman Gram negatif dan
beberapa kuman Gram positif dapat mengubah nitrat menjadi nitrit, sehingga jika
uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam urin. Namun kebanyakan kuman
gram positif tidak menghasilkan nitrit sehingga menunjukkan hasil negatif palsu.
Urin dengan berat jenis yang tinggi menurunkan sensitivitas uji nitrit.1,11
Hematuria kadang-kadang dapat menyertai infeksi saluran kemih, tetapi
tidak dipakai sebagai indikator diagnostik. Protein dan darah mempunyai
sensitivitas dan spesifitas yang rendah dalam diagnosis ISK. Urin Neutrophil
gelatinase associated lipocalin (uNGAL) dan rasio uNGAL dengan kreatinin urin
(uNGAL/Cr) merupakan petanda adanya ISK. NGAL adalah suatu iron-carrierprotein yang terdapat di dalam granul neutrofil dan merupakan komponen
imunitas innate yang memberikan respon terhadap infeksi bakteri.1
Peningkatan uNGAL dan rasio uNGAL/Cr > 30 ng/mg merupakan tanda
ISK. Bakteri sulit dilihat dengan mikroskop cahaya, tetapi dapat dilihat dengan
mikrokop fase kontras. Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine),
terdapatnya kuman pada setiap lapangan pandangan besar (LPB) kira-kira setara

23

dengan hasil biakan 107 cfu/mL urin, sedangkan pada urin yang dipusing,
terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan mikroskopis menandakan
jumlah kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop fase kontras
tidak terlihat kuman, umumnya urin steril.1,11
ACB dalam urin yang diperiksa dengan menggunakan fluorescein-labeled
anti-immunoglobulin merupakan tanda pielonefritis pada remaja dan dewasa
muda.1
b.

Pemeriksaan darah
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosis dan membedakan ISK atas dan bawah, namun sebagian
besar pemeriksaan tersebut tidak spesifik. Leukositosis, peningkatan nilai absolut
neutrofil, peningkatan laju endap darah (LED), C-reactive protein (CRP) yang
positif, merupakan indikator non-spesifk ISK atas.1
Kadar prokalsitonin yang tinggi dapat digunakan sebagai prediktor yang
valid untuk pielonefritis akut pada anak dengan ISK febris (febrile urinary tract
infection) dan skar ginjal. Sitokin merupakan protein kecil yang penting dalam
proses inflamasi. Prokalsitonin, dan sitokin proinflamatori (TNF-; IL-6; IL-1)
meningkat pada fase akut infeksi, termasuk pada pielonefritis akut.1
c.
1.

Biakan urin
Cara pengambilan spesimen urin
Urin biasanya dalam keadaan steril, sehingga apabila ditemukan bakteri di

dalamnya harus dicurigai ada infeksi. Namun, seringkali hasil kultur


menunjukkan positif palsu akibat sampel terkontaminasi kulit atau bagian lain dari
traktus urinarius. Idealnya, teknik pengumpulan urin harus bebas dari

24

kontaminasi, cepat, mudah dilakukan untuk semua umur oleh orangtua, murah,
dan menggunakan peralatan sederhana. Teknik pengambilan urin akan
mempengaruhi angka kontaminasi dan mempengaruhi interpretasi hasil kultur.1
Pengambilan sampel urin untuk biakan urin dapat dilakukan dengan cara
aspirasi suprapubik, kateter urin, pancar tengah (midstream), dan menggunakan
urine collector. Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan kontaminasi ialah
dengan aspirasi suprapubik dan dianggap gold standard pemeriksaan infeksi
saluran kemih, dan merupakan baku emas pengambilan sampel urin untuk biakan
urin. Kateterisasi urin merupakan metode yang dapat dipercaya terutama pada
anak perempuan, tetapi cara ini traumatis. Teknik pengambilan urin pancar tengah
merupakan metode non-invasif yang bernilai tinggi. Namun pengambilan urin
pancar tengah dapat terkontaminasi bakteri dari kulit atau area genital yang tidak
bisa menggambarkan kuman di saluran kemih. 1,11
Pada bayi dan anak kecil, urin dapat diambil dengan memakai kantong
penampung urin (urine bag atau urine collector). Pengambilan sampel urin
dengan metode urine collector, merupakan metode yang mudah dilakukan, namun
risiko kontaminasi yang tinggi dengan positif palsu hingga 80%. Child Health
Network (CHN) guideline (2002) hanya merekomendasikan 3 teknik pengambilan
sampel urin, yaitu pancar tengah, kateterisasi urin, dan aspirasi supra pubik,
sedangkan pengambilan dengan urine bag tidak digunakan.1
Pengiriman bahan biakan ke laboratorium mikrobiologi perlu mendapat
perhatian karena bila sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari
jam, maka kuman dapat membiak dengan cepat sehingga memberikan hasil

25

biakan positif palsu. Jika urin tidak langsung dikultur dan memerlukan waktu
lama, sampel urin harus dikirim dalam termos es atau disimpan di dalam lemari
es. Urin dapat disimpan dalam lemari es pada suhu 4 0C, selama 48-72 jam
sebelum dibiak.1
2.

Interpretasi biakan urin


Urin umumnya dibiak dalam media agar darah dan media McConkey.

Beberapa bakteri yang tidak lazim menyebabkan ISK, tidak dapat tumbuh pada
media yang sering digunakan dan memerlukan media kultur khusus. Interpretasi
hasil biakan urin bergantung pada teknik pengambilan sampel urin, waktu, dan
keadaan klinik. Untuk teknik pengambilan sampel urin dengan cara aspirasi supra
pubik, semua literatur sepakat bahwa bakteriuria bermakna adalah jika ditemukan
kuman dengan jumlah berapa pun. Namun untuk teknik pengambilan sampel
dengan cara kateterisasi urin dan urin pancar tengah, terdapat kriteria yang
berbeda-beda.1,11
Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah
dipakai jumlah kuman 105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna.
Dengan kateter urin, Garin dkk., menggunakan jumlah > 10 5 cfu/mL urin sebagai
kriteria bermakna, dan pendapat lain menyebutkan bermakna jika jumlah kuman >
50x103 cfu/mL, 6,18,26 dan ada yang menggunakan kriteria bermakna dengan
jumlah kuman > 104 cfu/mL. Paschke dkk. menggunakan batasan ISK dengan
jumlah kuman > 50x 103 cfu/mL untuk teknik pengambilan urin dengan
midstream/clean catch, sedangkan pada neonatus, Lin dkk. menggunakan jumlah
> 105 cfu/mL,dan Baerton dkk., menggunakan batasan kuman > 104 cfu/mL jika

26

sampel urin diambil dengan urine bag. Penelitian Pryles menyimpulkan bahwa
kuman < 103 cfu/mL berarti terkontaminasi, hasil koloni antara 104 cfu/mL sampai
105 cfu/mL harus dicurigai dan kultur harus diulang, > 105 cfu/mL berarti positif
infeksi saluran kemih. Interpretasi hasil biakan urin bukanlah suatu patokan
mutlak dan kaku karena banyak faktor yang dapat menyebabkan hitung kuman
tidak bermakna meskipun secara klinis jelas ditemukan ISK.1.11
Cara lain untuk mengetahui adanya kuman adalah dipslide. Cara dipslide
adalah cara biakan urin yang dapat dilakukan setiap saat dan di mana saja, tetapi
cara ini hanya dapat menunjukkan ada tidaknya kuman, sedang indentifikasi jenis
kuman dan uji sensitivitas memerlukan biakan cara konvensional.1
d.

Radiografi

Pencitraan ISK kompleks beruhubungan dengan adanya kelainan anatomi dan


fungsi saluran kemih. Pencitraan dilakukan dengan tujuan untuk:17

Mendeteksi adanya kelainan struktural dan fungsional seperti obstruksi,

RVU atau gangguan pengosongan kandung kemih


Mendeteksi akibat dini dan lanjut ISK
Mendeteksi dan memonitor anak yang mempunyai risiko ISK

Terdapat beberapa kontroversi mengenai konsensus pemeriksaan pencitraan


dalam evaluasi ISK pada anak. Teknik pencitraan yang umum digunakan adalah
sebagai berikut.16,17
1. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sering digunakan untuk menggantikan
urografi intravena sebagai skrining inisial, karena lebih cepat, non-invasif, aman,
tidak mahal, sedikit menimbulkan stres pada anak, dapat diulang untuk

27

kepentingan monitoring dan mengurangi paparan radiasi. Dengan pemeriksaan


USG dapat terlihat formasi parut ginjal, tetapi beberapa parut juga dapat luput dari
pemeriksaan karena pemeriksaan USG sangat tergantung dengan keterampilan
orang yang melakukan USG tersebut. Dan pemeriksaan dengan USG saja tidak
cukup, kombinasi dengan pemeriksaan foto polos abdomen dapat membantu
memberikan informasi mengenai ukuran ginjal, konstipasi, spina bifida occulta,
kalsifikasi ginjal dan adanya batu radioopak. Secara teori, obstruksi dan RVU
dapat mudah dideteksi, tetapi kadang-kadang lesi yang ditemukan dikatakan
sebagai kista jinak atau penyakit polikistik apabila pemeriksaan USG tersebut
tidak diikuti dengan pemeriksaan radiologi.16
2. Urogafi Intravena
Urografi intravena adalah pemeriksaan saluran kemih yang paling sering
dilakukan apabila dicurigai adanya refluks atau parut. Dengan urografi intravena
dapat diketahui adanya duplikasi ginjal dan ureter, dimana sangat sulit dideteksi
dengan USG. Kelainan lain yang dapat pula dideteksi dengan urografi adalah
horseshoe kidney dan ginjal/ureter ektopik. Kekurangan urografi intravena adalah
kurang

sensitif

dibandingkan

Renal

Scintigraphy

dalam

mendeteksi

Pyelonephritis dan parut ginjal. Tingkat radiasi yang tinggi dan risiko dari reaksi
kontras juga menjadi hal yang harus dipertimbangkan.16
3. Renal Cortical Scintragphy (RCS)
Renal Cortical Scintragphy (RCS) telah menggantikan urografi intravena
sebagai teknik standard dalam deteksi skar dan inflamasi ginjal. RCS dengan
glucoheptonate atau Dimercaptosuccinic acid (DMSA) yang dilabel dengan

28

technetium yang memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi. DMSA scan
mempunyai kemampuan lebih baik dalam deteksi dini perubahan inflamasi akut
dan skar permanen dibandingkan dengan USG atau urografi intravena.
Computerized Tomography (CT) juga sensitif dan spesifik dalam mendeteksi
pielonephritis akut, tetapi belum terdapat penelitian yang membandingkan CT
dengan skintigrafi. CT juga lebih mahal dibandingkan skintigrafi dan pasien
terpajan radiasi dalam tingkat yang tinggi, selain itu penggunaanya belum
ditunjang oleh bukti penelitian.17
4. Voiding Cystourethrography (VCUG )
VCUG biasanya dilakukan apabila terdapat kelainan yang bermakna pada
pemeriksaan USG seperti hidronefrosis, disparitas panjang ginjal atau penebalan
dinding kandung kemih. RVU merupakan kelaianan yang paling sering ditemukan
dengan VCUG yaitu sekitar 40%. Kapan waktu yang tepat dilakukan VCUG
masih kontroversi, mengingat dapat timbulnya efek transien infeksi. Apabila
tersedia, VCUG radionuklid lebih baik dibandingkan VCUG kontras pada anak
perempuan karena dapat mengurangi efek radiasi pada gonad. Pemeriksaan
VCUG merupakan tindakan invasif dan traumatik bagi anak, sehingga tidak rutin
dilakukan.17
5. Isotope Cystogram
Meskipun Isotope Cystogram menyebabkan ketidaknyamanan seperti
kateterisasi kandung kemih pada VCUG, isotope cystogram memiliki dosis radiasi
1% dari VCUG, dan monitoring kontinyunya juga lebih sensitif untuk identifikasi
refluks dibandingkan fluoruskopi, intermiten VCUG.17,18

29

2.10

Penatalaksanaan ISK
Tujuan utama dalam penatalaksanaan infeksi saluran kemih adalah:1)

menghilangkan gejala dan eradikasi kuman di pada saat episode akut. 2)


mencegah terjadinya parut ginjal. 3) mencegah terjadinya infeksi berulang saluran
kemih. 4) memperbaiki kerusakkan pada saluran kemih. 19
Pada ISK ringan memiliki risiko lebih rendah pada anak. Pengobatan
empiris secara oral dengan TMP, atau amoksisilin/kalvulanat dianjurkan.
Lamanya pengobatan ISK tanpa komplikasi sebaiknya di obati secara oral selama
5- 7 hari. Jika tidak ada perbaikan atau adanya komplikasi anak harus dirawat di
rumah sakit untuk pengobatan parenteral.19
Pada ISK berat memerlukan penggantian cairan parenteral yang cukup dan
pengobatan antibiotik yang tepat. Sebaiknya menggunakan sefalosporin (generasi
ketiga). Jika ditemukan adanya gram positif pada ISK dapat diberikan
aminoglikosida

kombinasi

yaitu

amoksisiklin/klavulanat. 20

Terapi

harus

disesuaikan dengan hasil kultur. Pada pasien yang alergi terhadap sefalosporin
dapat digunakan aztreonam atau gentamisin. Ketika anak sudah mampu makan
dan minum antibiotik dapat diberikan peroral selama 10-14 hari.19
Pemberian profilaksis dalam dosis rendah jila ada peningkatan risiko
pielonefritis, misalnya RVUdan ISK berulang. Antibiotik yang paling efektif
adalah: nitrofurantoin, TMP, sefaleksin dan sefaklor.19

30

Disangka ISK pertama


dan biakan urin sudah
dilakukan

Pasien diduga
menderita ISK

Neonatus

Anak- anak

Gejala sistemik

Gejala lebih ringan

Antibiotik
peroral

Dibawa kerumah sakit,


pemberian antibiotik
secara intravena

Biasanya sesudah 24-48 jam,


kebanyakkan penderita: panas
Algoritma 2.2. Tatalaksana Anak dengan ISK dan Pencitraan12
turun dan keadaan membaik,
1. Ampisilin
danDosis antibiotik pada
Kultur
setelah
Tabel 2.1.
anak
umurpemberian
3 bulan- 12 tahun19
obat-obat disesuaikan dengan
Aminoglikosida
antibiotik 48 jam
hasil biakan urin sensitivity test
2. Ampisilin dan
Antibiotik
Penggunaan
Umur
Jumlah
Dosis
Pemberian Dosis
dipilih yang kurang toksik. Lama
Sefotaksim
Perhari
Perhari
pengobatan dengan antibiotik 10Ampisilin
Intravena
3-12 bulan
100-300 mg/kgbb
3
14 hari, setelah 48 jam tidak
Ampisilin
Intravena
1-12 tahun
60-150 mg/kgbb
3
minum obat , biakan urin diulang
Amoksisilin
Oral
3
bulan12
50-100
mg/kgbb
2-3
USG + VCUG 2-4
untuk melihat terapi.

tahunsetelah urin steril


minggu
3 bulan-12 60-100 mg/kgbb
3
tahun
VCUG: Voiding

Amoksisilin/
klavulanat

Intravena

Amoksisilin/
klavulanat

Oral

3 bulan- 12 37,5-75 mg/kg bb


tahun

Oral

3 bulan-12 50-100
3
IVPmg/kgbb
atau Scan untuk
tahun
melihat apa ada RVU atau
1-12 tahun
10 mg/kgbb
1-2
RN

Sefaleksin
Follow up :
pengobatan

Banyak minum, jangan


Profilaksis
Oral
menahan kencing, kencing
Sefaklor
Pengobatan
habiskan sebelum Oral
tidur
profilaksis
Sefiksim

Oral
Oral

Seftriakson

Intravena

Cystoureterography

3 bulan -12
tahun
1-12 tahun
3 bulan-12
tahun
3 bulan-12

2-3

50-100 mg/kgbb

10 mg/kgbb
8-12 mg/kgbb

2
1-2

50-100 mg/kgbb

31

Aztreonam

Intravena

Gentamisin

Intravena

Gentamisin

Intravena

Trimetroprim
pengobatan
Profilaksis
Nitrofurantoin
Pengobatan
Profilaksis

tahun
3 bulan-12 50-100 mg/kgbb
tahun
3-12 bulan
5-7,5 mg/kgbb
1- 2 tahun
5 mg/kgbb

3
1-3
1-3

Oral
Oral

1-12 tahun
1-12 tahun

6 mg/kgbb
1-2 mg/kgbb

2
1

Oral
Oral

1-12 tahun
1-12 tahun

3-5 mg/kgbb
1 mg/kgbb

2
1-2

Tabel 2.2. Pilihan antibiotik oral pada infeksi saluran kemih20


Jenis Antibiotik
Dosis Perhari
Amoksisilin
20-40 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis
Sulfonamid
Trimetroprim
(TMP)- 6-12mg TMP dan 30-60 mg SMX/kgbb/hari dibagi
dalam 2 dosis
Sulfametoksazol (SMX)
Sulfisoksazol
Sefalosporin
-Sefiksim
-Sefodiksim
-Sefprozil
-Sefaleksin
-Lorakarbef

120-150 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis


8mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
10 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
30 mg/kg/bb/hari dibagi dalam 2 dosis
50-100mg/kg/bb/hari dibagi dalam 4 dosis
15-30 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis

Tabel 2.3. Pilihan antibiotik parenteral pada infeksi saluran kemih20


Jenis Antibiotik
Sefriakson
Sefotaksim

Dosis Perhari
75mg/kgbb/hari
150 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam

32

Sefazolin
Seftazidim
Gentamisin
Amikasin
Tobramisin
Tikarsilin
Ampisilin

50 mg/kgbb/hari dibagi setiap 8 jam


150 mg/kgbb/hari dibagi dalam 6 jam
7,5 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
15 mg /kgbb/hari dibagi setiap 8 jam
5 mg/kgbb/hari dibagi setiap 8 jam
300 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
100 mgg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam

Dalam 2x24 jam setelah pengobatan fase akut dimulai, umumnya gejala
ISK akan menghilang. Jika dalam waktu tersebut belum ada terlihat respon klinik
mungkin antibiotik yang diberikan tidak sesuai atau mungkin yang dihadapi
adalah ISK kompleks.1 Pada sistitis akut, golongan sefalosporin sebaiknya tidak
diberikan untuk menghindari resistensi kuman. Pemberian antibiotik oral seperti
trimetroprim-sulfametoksaxol, nitrofurantoin, amoksisilin lebih direkomendasikan
pada ISK.12
NICE merekomendasikan untuk penanganan ISK fase akut, sebagai
berikut:1
a. Bayi < 3 bulan dengan kemungkinan ISK harus dirujuk segera ke dokter
spesialis anak, pengobatan harus dengan pemberian antibiotik parenteral.
b. Bayi 3 bulan dengan pielonefritis akut/ISK atas sebaiknya pertimbangkan
untuk dirujuk ke rumah sakit. Pengobatan dengan antibiotik oral 7-10 hari,
dengan antibiotik yang resistensinya masih rendah berdasarkan pola resistensi
kuman, seperti sefalosporin atau ko-amoxiclav. Jika antibiotik peroral tidak
dapat digunakan, diberikan antibiotik secara parenteral, seperti sefotaksim,
atau seftriakson selama 2-4 hari dilanjutkan dengan pemberian peroral sampai
total 10 hari pemberian.
c. Bayi 3 bulan dengan sistitis/ ISK bawah dapat diberikan antibiotik oral
selama 3 hari, pemilihan antibiotik harus berdasarkan hasil pola resistensi

33

kuman laboratorium mikrobiologi setempat. Bila tidak ada dapat dipakai


trimetroptrim, nitrofurantoin, sefalosforin, atau amoksisilin. Bila dalam 24-48
jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali, dilakukan pemeriksaan
kultur urin untuk melihat pertumbuhan bakteri dan kepekaan terhadap obat.
1.

Pengobatan pielonefritis
Penggunaan antibiotik pada pielonefritis akut harus mempunyai penetrasi

yang baik ke jaringan, karena pielonefritis akut merupakan nefritis intersisialis.


Umumnya antibiotik diberikan selama 7-10 hari.

2.

Pengobatan ISK pada neonatus


Kemampuan neonatus untuk mengatasi infeksi yang belum berkembang

dengan baik menyebabkan mudahnya terjadi sepsis, meningitis, terutama neonatus


dengan kelainan saluran kemih. Kombinasi aminoglikosida dan ampisilin pada
umumnya cukup memadai. Antibiotik harus diberikan secara intravena. Lama
pemberian 10-14 hari.12

2.11

Pencegahan Infeksi Berulang ISK


Infeksi berulang terutama pielonefritis akut merupakan faktor yang

berperan dalam terjadinya parut ginjal. Diperkirakan 40 50% kasus ISK


simtomatik akan mengalami infeksi berulang dalam dua tahun pengamatan dan
umumnya berupa reinfeksi, bukan relaps. Deteksi ISK berulang dilakukan dengan
biakan urin berkala, misalnya setiap bulan, kemudian dilanjutkan dengan setiap 3

34

bulan. Jika terdapat ISK berulang, berikan antibiotik yang sesuai dengan hasil
biakan urin.1
Beberapa faktor berperan dalam terjadinya ISK berulang, terutama pada
anak perempuan, antara lain infestasi parasit seperti cacing benang, pemakaian
bubble bath, pakaian dalam terlalu sempit, pemakaian deodorant yang bersifat
iritatif terhadap mukosa perineum dan vulva, pemakaian toilet paper yang salah,
konstipasi, ketidak mampuan pengosongan kandung kemih secara sempurna, baik
akibat gangguan neurologik (neurogenic bladder) maupun faktor lain (non
neurogenic bladder), RVU, preputium yang belum disirkumsisi.1
ISK berulang dapat dicegah dengan meningkatkan keadaan umum pasien
termasuk memperbaiki status gizi, edukasi tentang pola hidup sehat, dan
menghilangkan atau mengatasi faktor risiko. Asupan cairan yang tinggi dan miksi
yang teratur bermanfaat mencegah ISK berulang. Pada kasus refluks dianjurkan
miksi berganda (double micturation maupun tripple micturation). Koreksi bedah
terhadap kelainan struktural seperti obstruksi, refluks derajat tinggi, urolitiasis,
katup uretra posterior, ureterokel dan ureter dupleks yang disertai obstruksi sangat
bermanfaat untuk mengatasi infeksi berulang. Indikasi tindakan bedah harus
dilihat kasus per kasus. Risiko terjadinya ISK pada bayi laki-laki yang tidak
disirkumsisi meningkat 3-15 kali dibandingkan dengan bayi laki-laki yang sudah
disirkumsisi. Tindakan sirkumsisi pada anak laki telah terbukti efektif
menurunkan insidens ISK.1

35

Pemberian antibiotik profilaksis merupakan upaya pencegahan ISK


berulang yang sudah sejak lama dilaksanakan, namun belakangan ini pemberian
antibiotik profilaksis menjadi kontroversial dan sering diperdebatkan.1

Pemberian profilaksis
Antimikroba profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama
telah digunakan secara tradisional terhadap pasien yang rentan terhadap
berulangnya pielonefritis akut atau ISK bawah. Terapi profilaksis tersebut sering
diberikan pada anak risiko tinggi seperti RVU, uropati obstruktif, dan berbagai
kondisi risiko tinggi lainnya. Namun demikian, efektivitas antibiotik profilaksis
ini sering dipertanyakan dan masih kontroversial.1
Antibiotik profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi berulang dan
mencegah terjadinya parut ginjal. Berbagai penelitian telah membuktikan
efektivitas antibiotik profilaksis menurunkan risiko terjadinya ISK berulang pada
anak, dan kurang dari 50% yang mengalami infeksi berulang selama pengamatan
5 tahun. Antibiotik profilaksis dimaksudkan untuk mencapai konsentrasi
antibiotik yang tinggi dalam urin tetapi dengan efek yang minimal terhadap flora
normal dalam tubuh. Beberapa antibiotik dapat digunakan sebagai profilaksis.
Pemberian profilaksis menjadi masalah karena beberapa hal antara lain kepatuhan
yang kurang, resistensi kuman yang meningkat, timbulnya reaksi simpang
(gangguan saluran cerna, skin rashes, hepatotoksik, kelainan hematologi, sindrom
Stevens-Johnson), dan tidak nyaman untuk pasien.1

36

Beberapa penelitian akhir-akhir ini menyebutkan bahwa pada RVU derajat


rendah, tidak terdapat perbedaan bermakna dalam risiko terjadinya ISK pada
kelompok yang mendapat antibiotik profilaksis dengan yang tidak diobati.Dengan
demikian, antibiotik profilaksis tidak perlu diberikan pada RVU derajat rendah.1
The International RVU Study of Children melakukan penelitian untuk
membandingkan efektivitas pemberian antibiotik profilaksis jangka lama dengan
tindakan operasi pada anak dengan RVU derajat tinggi untuk mencegah
penurunan fungsi ginjal. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
pada kedua kelompok tersebut dalam hal terjadinya parut ginjal dan
komplikasinya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis pada
RVU derajat tinggi ternyata efektif.1
Montini dan Hewitt (2009) melakukan review terhadap berbagai penelitan
tentang pemberian antibiotik profilaksis dan membuat beberapa kesimpulan,
meskipun masih banyak hal-hal yang belum dapat disimpulkan. 1. Antibiotik
profilaksis tidak terindikasi pada ISK demam yang pertama kali (first febrile UTI)
yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan terhadap
kesimpulan ini yaitu: a. Penelitian meta analisis menunjukkan tidak ada
keuntungan pemberian antibiotik profilaksis. b. Terdapat risiko meningkatnya
resistensi terhadap bakteri. c. Frekuensi terjadinya reinfeksi rendah. 2. Untuk
refluks derajat tinggi, tidak dapat diambil kesimpulan yang jelas, dengan alasan: a.
Persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU derajat III dibandingkan dengan
derajat 0, I, dan II. b. Penelitian meta analisis membuktikan bahwa dengan
antibiotik profilaksis tidak terdapat keuntungan yang bermakna pada kelompok

37

ini, namun jumlah pasien yang diikutkan dalam penelitian tersebut tidak
mencukupi.1
NICE (2007) merekomendasikan bahwa antibotik profilaksis tidak rutin
diberikan pada bayi dan anak yang mengalami ISK untuk pertama kali. Antibiotik
profilaksis dipertimbangkan pada bayi dan anak dengan ISK berulang. Selain itu
direkomendasikan juga bahwa jika bayi dan anak yang mendapat antiboitik
profilaksis mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan antibiotik yang
berbeda dan tidak dengan menaikkan dosis antibiotik profilaksis tersebut.1
Belum diketahui berapa lama jangka waktu optimum pemberian antibiotik
profilaksis. Ada yang mengusulkan antibiotik profilaksis diberikan selama RVU
masih ada dan yang lain mengusulkan pemberian yang lebih singkat. Pada ISK
kompleks pemberian profilaksis dapat berlangsung 3 - 4 bulan. Bila ternyata kasus
yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks (adanya refluks atau obstruksi)
maka pemberian profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama.1
Antibiotik yang digunakan untuk profilaksis:
Trimetoprim :1-2 mg/kgbb/hari
Kotrimoksazol
- Trimetoprim : 1-2 mg/kgbb/hari
- Sulfametoksazol : 5-10 mg/kgbb/hari
Sulfisoksazol : 5-10 mg/kgbb/hari
Sefaleksin : 10-15 mg/kgbb/hari
Nitrofurantoin : 1 mg/kgbb/hari
Asam nalidiksat : 15-20 mg/kgbb/hari

38

Sefaklor : 15-17 mg/kgbb/hari


Sefiksim : 1-2 mg/kgbb/hari
Sefadroksil : 3-5 mg/kgbb/hari
Siprofloksasin : 1 mg/kgbb/hari.
Selain antibiotik, dilaporkan penggunaan probiotik sebagai profilaksis
yaitu Lactobacillus rhamnosus dan Laktobasilus reuteri (L. fermentum); serta
cranberry juice.1

Pengobataan Suportif
Untuk mencegah terjadinya ISK berulang pada anak maka perlu dilakukan
edukasi kepada orang tua dan anak. Edukasi yang dapat dilakukan diantaranya
menyuruh anak untuk banyak minum, tidak menahan kencing, dan menghabiskan
kencing sebelum tidur. Pada anak yang sudah besar dapat disuruh untuk
mengosongkan kandung kencing setiap selesai miksi. Selain itu, perlu ditekankan
pentingnya menjaga higiene perineum terutama pada anak perempuan.1,6

2.12

Komplikasi ISK
Komplikasi jangka panjang dari pielonefritis adalah hipertensi, gangguan

fungsi ginjal, dan penyakit ginjal stadium akhir. Dehidrasi adalah komplikasi akut
paling sering terjadi dari infeksi saluran kemih pada anak-anak. Penggantian
cairan intravena sangat dibutuhkan pada kasus-kasus yang berat.21
Pada negara berkembang, kerusakan ginjal sebagai komplikasi jangka
panjang infeksi saluran kemih sudah berkurang dibandingkan pada awal abad ke-

39

20, ketika pielonefritis penyebab tersering hipertensi dan penyakti ginjal stadium
akhir pada wanita muda. Perubahan ini mungkin terjadi karena peningkatan
pelayanan kesehatan dan follow up pada pasien anak setelah mengalami
pielonefritis.21
1.

Jaringan parut ginjal2


Pielonefritis akut berpotensi menyebabkan kerusakan tubulointerstitial dan

membentuk jaringan parut ginjal. Respon tubuh, kerusakan tubular, dan iskemik
yang terjadi selama proses pyelonephritis akut menyebabkan pembentukan
jaringan parut di parenkim ginjal. Melalui penggunaan scan ginjal, abnormalitas
parenkim ginjal dapat ditemukan 50-85% pada anak dengan pyelonephritis akut
episode pertama. Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
pembentukan jaringan parut ginjal adalah kelainan traktus urinarius seperti refluks
vesicoureteral,

obstruksi

saluran

kemih,

duplicated

collecting

system,

keterlambatan pengobatan pada pyelonephritis akut lebih dari 48 jam,


pyelonephritis akut berulang.2
2.

Hipertensi2
Hipertensi dapat terjadi akibat pembentukan jaringan parut ginjal pada

pasien dengan pielonefritis akut yang sering dihubungkan dengan anomali seperti
RVUatau kelainan traktus urinari lainnya. Insiden hipertensi pada pasien dengan
RVUdan jaringan parut ginjal telah dilaporkan mencapai 6-23%. Hipertensi juga
dapat ditemukan pada pasien anak-anak dengan riwayat penyakit infeksi saluran
kemih tanpa adanya bukti jaringan parut ginjal. Bagaimana pun jaringan parut
ginjal pada RVUmeningkatkan risiko terjadinya hipertensi 2,9 kali dibandingkan

40

dengan pasien tanpa jaringan parut ginjal. Kelainan tekanan darah yang terlihat
pada mesin pencatat tekanan darah pada orang dewasa dengan riwayat infeksi
saluran kemih yang terjadi sewaktu masa kecil telah dilaporkan sebanyak 9% dari
pasien dengan jaringan parut ginjal dan 6% pada pasien tanpa jaringan parut.2
3.

Gagal ginjal kronik2


Walaupun gangguan fungsi ginjal dan penyakit ginja kronik sering

dilaporkan pada pasien dengan RVUdan penyebab lain jaringan parut ginjal,
prevalensi yang bermakna tidak jelas. The United Network of Organ Sharing
(UNOS) mendata penyakit tubulointerstitial sebagai etiologi penyakit ginjal
stadium akhir sekitar 4,3-8,7% pada anak dan remaja yang dalam transplantasi
ginjal.2

2.13

Prognosis ISK
Mortalitas infeksi saluran kemih di negara berkembang sangat jarang

terjadi. Sistitis mungkin menimbulkan keluhan dan membutuhkan terapi antibiotik


dalam jangka pendek serta tidak menimbulkan kerusakan ginjal. Keluhan yang
timbul bersifat sementara dan hilang dalam 24-48 jam setelah pengobatan.21
Morbiditas pielonefritis ditemukan sebagai keluhan sistemik seperti
demam, nyeri perut, muntah, dan dehidrasi. Bakteremia dan sepsis mungkin
muncul. Anak-anak dengan pielonefritis mungkin berkembang menjadi infeksi
ginjal fokal (pielonefritis fokal) atau abses ginjal. Berbagai inflamasi parenkim
ginjal mungkin akan membentuk jairngan parut ginjal. Sekitar 10-30% dari anak
dengan infeksi saluran kemih berkembang menjadi jaringan parut ginjal.21

41

BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah terdapatnya mikroorganisme dalam

saluran kemih dengan jumlah > 105 cfu (colony forming unit) atau lebih . Infeksi
saluran kemih merupakan penyebab utama infeksi bakterial pada anak. Pada
kebanyakan anak, ISK sering terjadi rekuren, menyebabkan morbiditas,
hospitalisasi, dan dampak kesehatan jangka panjang. Kejadian ISK lebih sering
dialami anak perempuan dibanding anak laki-laki.
Penyebab terbanyak ISK adalah bakteri E.coli terutama golongan
Uropatogenic E. Coli (UPEC). Selain bakteri virus golongan Haemofilus

42

influenza dan parainfluenza juga dapat menyebabkan terjadinya ISK meskipun


jarang. Faktor host dan virulensi dari bakteri memiliki peran yang signifikan
dalam terjadinya ISK.
Manifestasi klinis ISK bervariasi dan tergantung pada umur, mulai dengan
asimtomatik hingga gejala yang berat, sehingga ISK sering tidak terdeteksi baik
oleh tenaga medis maupun oleh orangtua. Diagnosis yang akurat dan pengobatan
yang tepat waktu sangat penting dalam membatasi komplikasi jangka panjang.
Diagnosis

ISK

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin.


Pengobatan ISK yang utama adalah antibiotik. Pemberian antibiotik yang
tepat sangat penting untuk mengeradikasi kuman sehingga dapat mencegah
terjadinya komplikasi yang lebih berat.

3.2

Saran

1. Tenaga kesehatan harus mencurigai ISK pada anak dengan gejala klinis tidak
khas, seperti demam yang tidak diketahui penyebab khususnya pada bayi
kurang dari 3 bulan.
2. Perlu dilakukan pemantauan dan tindak lanjut pada ISK atipikal, ISK
berulang, pielonefritis akut, dan ISK pada neonatus untuk mencegah
komplikasi.

43

DAFTAR PUSTAKA
1. Pardede SO, et all. Konsensus Infeksi Saluran Kemih pada Anak. Badan
Penerbit IDAI: Jakarta; 2011.
2. Tarin, Tatum, Rajesh Shinghal, and Linda M. Dairiki Shortliffe. Pediatric
Urinary Tract Infections dalam Pediatric Urology, Second Edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.
3. Izzah AZ, Aumas P, Rizanda M, Lillah. Uji Diagnostik Tiga Metode
Pemeriksaan Urinalisis Untuk Identifikasi Cepat Infeksi Saluran Kemih Pada
Anak. Diunduh dari: pasca.unand.ac.id/wp-content/uploads/2011/09/resumepenelitian.pdf. Diunduh pada 19 November 2014.
4. Jantausch, Barbara and Kanwal Kher. Urinary Tract Infection. Dalam Clinical
Pediatric Nephrology Second Edition, Kanwal K Kher, H William Schnaper,
Sudesh Paul Makker. London: Informa Healthcare; 2007.
5. Purnomo BB. Dasar-Dasar Urologi. Edisi ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto;
2007. h. 1-15.
6. Alatas H. Anatomi dan Fisiologi Ginjal. Dalam: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Sardevi SO. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: IDAI;
2002. Hal: 1-3.

44

7. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. Dalam: Alatas H, Tambunan T,


Trihono PP, Sardevi SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi 2.
Jakarta: IDAI; 2002. h. 142-57.
8. Kanellopoulos TA, et all. First Urinary Tract Infection in Neonate, Infants,
and Young Children: a Comparative Study. Pediatr Nephrol 2006:21;11311137.
9. Bien Justyna, Olga Sokolova, Przemyslaw Bozko. Role of Uropathogenic coli
Virulence Factors in Development of Urinary Tract Infection and Kidney
Damage. 2011. pp 1-15.
10. Kaper, James B, James P Nataro, Harry I T Mobley. Pathogenesis Escherichia
coli. 2004. Pg 123-140.
11. Quigley, R. Diagnosis of Urinary Tract Infections in Children. Current
Opinion in Pediatrics 2009;21: 194-98.
12. American Academy of Pediatry. Urinary Tract Infection: Clinical Pracatice
Guideline for the Diagnosis and Management of the Initial UTI in Febrile
Infants and Children 2 to 24 months. Pediatrics. 2011: 595-610.
13. Zorc JJ, Kiddoo DA, Shaw KN. Diagnosis and management of pediatric
urinary tract. Clinical Microbiology Reviews. 2005;18(2): 417-22.
14. Raszka WV, Khan O. Pielonefritis. Pediatrics in Review. 2003; 26: 364-.
15. American Academy of Pediatrics. Practice parameter. The Diagnosis
Treatment and Evaluation of the Initial Urinary Tract Infection in febrile
infants and Young Children. Pediatrics 1999; 103: 1-12
16. Jones VK, Asscher. Urinary Tract Infection and Vesicoureteral reflux. Dalam:
Edelman, Jr CM. Pediatric Kidney Disease. Edisi ke-2. Boston: Little brown
Co.1992; 1943-91.
17. Elder JS. Urinary Tract Infections. Dalam: Behrman RM, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-17.
Philadelphia:WB Saunders, 2004;1785-94.
18. Ahmed SM, Swedlund SK. Evaluation and Treatment of Urinary Tract
Infections in Children. American Academy of Family Physicians. 1995.
19. Grabe. M et all. Guidelines on Urological Infections. European Association of
Urology 2013.
20. Pudjadi AH, et all. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Balai Penerbit IDAI. 2009, hal 148-152.

45

21. Fisher JD, Howes DS, Thornton SL. Pediatric urinary tract infection.
Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/. Diakses tanggal 19
November 2014.

46

You might also like