Professional Documents
Culture Documents
BAB 6
SOSIOLOGI INTERPRETIF
hasil
dari
kekecewaan
terhadap
positivism
sosiologis,
idealism
mengasumsikan kehidupan yang baru. Intinya, terjadi pergeseran khusus dalam fokus
terhadap perhatian cendekiawan disepanjang garis dimensi subjektif-objektif, yang
0
melibatkan beberapa theorist untuk menjelaskan pondasi intelektual, yang kita terjemahkan
sebagai paradigm interpretif.
Dilthey (1833-1911) dan Weber (1864-1920) berupaya untuk menjembatani
perbedaan antara idealism dan positivism, atau setidaknya meletakkan ilmu sosial di atas
dasar yang kuat sebagai bentuk validitas objektif. Bila ilmu sosial didefinisikan oleh
karakter spiritual/kejiwaan mereka, maka ruh dari interaksi sosial atau jenis pembentukan
adalah kunci kepentingan. Hal ini menyatakan masalah yang dipertimbangkan bagi filosofis
sosial, yang berfokus untuk menyediakan penjelasan terkait masalah sosial dan historis tanpa
kembali ke metode positivism. Proses idealis dari intuisi utuh keseluruhan memberikan arti
untuk mengatur proses historical tak lebih dekat dari memahaminya. Hasilnya, sejarah
dipandang sebagai sebuah sistem terpisah yang unik dan penting.
Solusi
Dilthey
terhadap
masalah
ini
adalah
pemahaman
(versthen).
Ia
menggambarkan bahwa perbedaaan antara ilmu alam dan sosial hanyalah dari substansi, dan
kedua ilmu tersebut ditujukan untuk subjek masalah yang berbeda secara mendasar. Yaitu,
ilmu alam menyelidiki proses eksternal di dunia material, ilmu sosial intinya berfokus pada
proses internal pemikiran manusia. Intinya, manufestasi lahiriah kehidupan manusia butuh
diinterpretasikan dalam bentuk pengalaman lahiriah yang direfleksikan melalui method of
verstehen.
Sementara itu, Weber berusaha membangun ilmu yang objektif dalam sosiologi dalam
arti subjektif dan aksi individual. Ia menyatakan objektivitas dalam ilmu sosial hanya
dimungkinkan melalui penggunaan ideal types yang berfungsi untuk mengatur elemen
realitas. Melalui penggunaan kontstruksi ini, Weber mencoba untuk merekonsiliasi metode
verstehen dengan kebutuhan untuk membangun sebuah ilmu sosial yang objektif.
Adapun Edmund Husserl dikenal sebagai pendiri dan lambang dari pergerakan
phenomenological dalam filosofi. Husserlian phenomenology didasarkan pada pertanyaan
mendasar akal sehat, perilaku mengambil untuk memberikan yang mencirikan kehidupan
sehari-hari dan dasar dari ilmu alam.
Husserl mengambil posisi subjektivitas ekstrem dalam hubungan dengan dimensi
subjektif-objektif. Secara ontologi, dunia memberikan aliran kesadaran; ia bersifat
eksperimental; subjektivitas adalah sumber dari objektivitas. Tugas dari epistemologi adalah
untuk mengeksplor dan mengungkap tipe dan struktur penting dari pengalaman.
Phenemenologi mempelajari inti dan menjelaskan hubungan antara mereka; ia menyelami ke
dalam pengalaman dan menjelaskan dasar dari pengetahuan. Selain itu, prosedur poche
1
STRUKTUR PARADIGMA
a. Hermeneutik
Berpusat pada penginterpretasian dan pemahaman dari produk/buah pemikiran
manusia yang merupakan ciri dunia sosial dan budaya. Secara ontologi, pendukungnya
mengadopsi pandangan idealis objektifdari lingkungan sosial budaya, melihatnya
sebagai fenomena berkonstruksi manusia. Objek dari pandangan ini adalah adat istiadat,
karya seni, sastra, bahasa, agama, dan proses objektifikasi.
Melalui karya-karya Dilthey, hermeneutic mencapai status sebagai sebuah ajaran
pemikiran dalam konteks teori sosial kontemporer. Dalam karya-karyanya, Dilthey
mendeskripsikan hermeneutic sebagai metodologi untuk mempelajari objektifikasi
pikiran. Menurut Dilthey, inti dari hermeneutic adalah metodologi untuk mempelajari
objektifikasi pikiran. Ia mengkhususkan hermeneutic sebagai disiplin kunci dan metode
dalam ilmu sosial. Ia menganjurkan bahwa semua jenis fenomena sosial harus dianalisa
mendetail,
diinterpretasikan
dalam
makna
inti
dan
kepada
masalah
sosiologi.
Existential
phenomenology
adalah
biasa, mencoba untuk mempelajarinya sebagai sebuah fenomena yang ada di sekitar
mereka.
Interaksi Simbolik Phenomenologikal
Ada dua batasan (strain) dalam interaksionalisme simbolik yaitu secara behavioural
(perilaku) dan phenomenologis. Phenomenologis ditandai dengan penekanannya pada
interaksi sifat yang muncul dalam interaksi, melalui mana individual menciptakan dunia
mereka dibanding hanya bertindak pada dunia itu. Makna dikaitkan pada lingkungan,
tidak diturunkan dan dikenakan dari actor individual, reaksi dibangun daripada hanya
menunggu respons.
Perbedaan antara interaksi phenomenological dan perilaku adalah tidak selalu jelas,
karena sebelumnya penelitian dilakukan berdasarkan metode penelitian positif yang
berlawanan dengan orientasi dasar teoritis mereka.
membagi perspektif umum, dalam konsentrasi utamanya untuk memahami subjek dalam
pengalaman individu. Teori mereka dibangun dari titik awal pelaku yang berada di oposisi
pengamat aksi, mereka melihat realitas sosial sebagai sebuah proses yang muncul-sebagai
perluasan kesadaran manusia dan pengalaman subjektif.
Semua teori yang dibangun dengan konsep interpretive paradigm adalah anti
positivisme. Mereka menolak pandangan bahwa hubungan manusia dapat dipelajari dengan
cara seperti mempelajari ilmu pengetahuan alam. Dalam konteks interpretive paradigm, usaha
utama adalah memahami subjek pengalaman manusia didunia. Pemaksaan bentuk dan
struktur eksternal dibatasi, sejak hal ini merefleksikan sudut pandang observer sebagai pihak
yang berseberangan dengan pelaku yang terlibat secara langsung. Dari sudut pandang ini,
metode ideografik lebih disukai daripada metode nomotetik dari studi.
Dari sudut pandang teori ini, karakteristik dari intepretatif paradigm berbeda secara
signifikan dengan paradigma fungsional. Walaupun theorist tertentu kemudian berusaha
untuk menggabungkan ide dan pengertian yang mendalam dari para pembuatnya, khususnya
dalam hal metode, dua tipe teori tetap berbeda secara fundamental. Asusmsi ontological dari
interpretive theory tidak mengijinkan perspektif fungsional; dua tipe teori berdasarkan pada
perbedaan asumsi yang fundamental mengenai status ontologikal dari dunia sosial.
Terdapat kesamaan antara teori interpretif dan fungsional, kesamaan tersebut secara
jelas terbukti ketika teori ini dibandingkan dengan konterpart di dalam paradigma radical
humanist dan dan radical structuralist. Teori interpretif dan fungsional merefleksikan konsen
umum terhadap sosiologi atas peraturan. Umumnya, teori interpretif berkonsentrasi pada
studi tentang cara realitas sosial dibangun dan diminta dari sudut pandang pelaku yang
terlibat. Mereka merepresentasikan perspektif dimana para pelaku indivisual bernegosiasi,
mengatur dan menghidupkan dalam konteks status quo. Faktanya bahwa teori interpretif
berharga dalam bentukan sosiologi dari regulasi merefleksikan kerangka referensi dari
proponennya daripada dasar ontologikal dan asumsi metodologi.
BAB 7
PARADIGMA INTERPRETIF DAN STUDI ORGANISASI
Asumsi yang mendasari paradigma interpretif berkaitan dengan status ontologis dari
dunia sosial menolak utilitas membangun ilmu sosial yang berfokus pada analisis "struktur".
menekankan individu manusia melalui pengembangan dan penggunaan bahasa yang sama
dan interaksi kehidupan sehari-hari, mungkin menciptakan dan mempertahankan sebuah
dunia sosial makna intersubyektif bersama. dunia sosial karenanya bersifat dasarnya tidak
berwujud dan dalam proses yang berkesinambungan dari penegasan kembali atau perubahan.
Pandangan seperti itu tidak memungkinkan untuk adanya "organisasi" dalam arti
keras dan konkrit. Sementara pemikiran tertentu menerima konsep organisasi dan
penggunaannya sebagai "praktik akuntansi" dimana orang berusaha untuk memahami dunia
mereka, mereka tidak mengakui organisasi seperti itu. dari sudut pandang paradigma
interpretatif, organisasi sama sekali tidak ada.
Oleh karena itu, ada gagasan yang menjadi teori organisasi karakteristik paradigma
interpretif agak kontradiktif. Namun, dalam beberapa tahun terakhir sejumlah teori yang
terletak di dalam paradigma ini telah melibatkan diri dalam perdebatan tentang berbagai
aspek kehidupan organisasi. mereka telah melakukannya sebagai sosiolog yang bersangkutan
untuk menunjukkan keabsahan sudut pandang mereka sebagai melawan berlaku karakteristik
ortodoksi dari paradigma fungsionalis. sosiolog interpretatif dengan tegas menentang seperti
"absolutisme struktural" dengan alasan bahwa ilmu sosial harus didasarkan pada asumsiasumsi fundamental berbeda tentang status ontologis dari dunia sosial. untuk menunjukkan
titik ini, mereka telah terlibat dalam penelitian yang dirancang untuk menggambarkan
kesalahan dari sudut pandang fungsionalis. literatur ini, bagaimanapun, bukan tanpa masalah,
karena dalam mencoba untuk melemahkan gagasan menginformasikan fungsionalis lebih
ortodoks pendekatan untuk mempelajari kehidupan organisasi, sosiolog interpretatif sering
ditarik ke pertempuran berjuang pada lawan tanah mereka. dalam mengadopsi sikap reaktif
mereka sering mendukung, dengan implikasi, validitas asumsi latar belakang tertentu yang
menentukan fungsionalis bermasalah. akibatnya, sikap mereka sering agak kontradiktif, dan
ada cenderung menjadi perbedaan antara pernyataan teoritis dan asumsi yang tercermin
dalam penelitian empiris.
6
PENDEKATAN
ETNOMETODOLOGI
UNTUK
MEMPELAJARI
KEGIATAN
ORGANISASI
Salah satu kritik ethnomethodological awal teori organisasi fungsionalis ditemukan
dalam artikel egon Bittner, "konsep organisasi", pertama kali diterbitkan pada tahun 1965.
dalam artikel ini Bittner menyatakan bahwa teori organisasi, yang mendefinisikan organisasi
sebagai "asosiasi stabil orang yang terlibat dalam kegiatan bersama diarahkan untuk
pencapaian tujuan tertentu", cenderung untuk mengambil konsep struktur organisasi sebagai
problematik. ia berpendapat bahwa gagasan ini struktur yang mewakili tidak lebih dari
asumsi yang masuk akal dari para pelaku tertentu dalam situasi tertentu. untuk mengambil ini
asumsi yang masuk akal pada nilai nominal, dan menggunakannya sebagai dasar untuk
analisis organisasi. ia berpendapat, pada dasarnya, bahwa sosiolog yang menggunakan
konsep seperti itu sebagai "sumber daya" untuk menjelaskan kegiatan organisasi adalah
terjadinya tindak kesalahan mendasar, dan bahwa konsep tersebut harus menjadi "topik"
daripada alat analisis. dalam argumen Bittner menggambarkan kasusnya sehubungan dengan
pekerjaan Selznick dan weber, dan menunjukkan bahwa theoristare mereka berdasarkan
seluruh rangkaian pengandaian tak tertulis dan cara pintas teoritis yang membangun
pelindung di sekitar subjek penelitian.
interes
phenomenological
symbolic
interactionism
berbeda
dengan
etnometodologi yang ditujukan untuk cara dimana realitas social dinegoisasikan melalui
interaksi. Sedangka etnometodologi biasanya berfokus pada cara dimana para pelaku individu
menjelaskan dan memahami dunia mereka, phenomenological symbolic interactionism
berfokus pada konteks sosial dimana individu berinteraksi menggunakan berbagai praktik
untu menciptakan dan mempertahankan define praktis dari dunia.
Kenyataannya tidak ada permukaan urusan manusia, menawarkan diri untuk langsung studi
sebagai fungsionalis teori organisasi begitu sering mnegasumsikan. Realitas sosial jauh
dengan hubungannya dengan typifications dengan individu, jika ditekan akan menjadikan
situasi masuk akal dimana mereka menemukan diri mereka.
Teori kontemporer organisasi dapat digunakan sebagai akses dan menaksir lagi dasar
orientasi dengan berkenaan dengan asumsi dimensi tujuan dari analisa skema
PENDEKATAN
FENOMENOLOGIS
UNTUK
MEMPELAJARI
SITUASI