You are on page 1of 35

Case Report Session

RINOSINUSITIS

Oleh:
Indah Paradifa Sari
Rezi Amalia Putri

1010312108
1110312003

PRESEPTOR:

dr. Nirza Warto, Sp.THT-KL

BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL PADANG
2016

PENDAHULUAN

Rinosinusitis merupakan proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung


dan sinus paranasal yang menjadi masalah kesehatan yang meningkat secara
nyata. Dari data DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Sinus yang paling sering
terkena adalah sinus etmoid dan maksila. Rinosinusitis memiliki gejala minor dan

gejala mayor, pasien dicurigai kuat menderita rinosinusitis jika memenuhi dua
kriteria gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua gejala minor atau jika ada
sekret purulen pada pemeriksaan endoskopi nasal. Faktor predisposisi yang paling
umum adalah infeksi saluran pernafasan atas oleh virus maupun alergi. Akibat
terdapatnya infeksi saluran nafas atas akan menimbulkan tekanan negatif di dalam
rongga sinus sehingga terjadi transudasi, mula-mula serousa. Bila kondisi
menetap akan menjadi media yang baik untuk berkembangnya bakteri di dalam
sinus. Untuk terapi pilihan untuk penderita rinosinusitis adalah antibiotik dan
dekongestan. Antibiotik yang diberikan adalah antibiotik lini pertama, kecuali
pada bakteri yang menghasilkan betalaktam dapat diberikan antibiotik lini 2 atau
sefalosporin generasi ke-2. Terapi pembedahan diindikasikan pada rinosinusitis
kronis yang tidak membaik setelah diterapi adekuat. Komplikasi yang dapat
timbul dapat berupa komplikasi pada intraorbita, intrakranial, osteomielitis dan
abses subperiosteal, dan kista.

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal
Hidung terdiri dari hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagianbagiannya dari atas ke bawah :1
1. Pangkal hidung (bridge).
2. Batang hidung (dorsum nasi).
3. Puncak hidung (hip).

4. Ala nasi.
5. Kolumela.
6. Lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :1
1. Tulang hidung (os nasal)
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontal.
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu :1
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior.
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor.
3. Tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan
lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum
nasi dengan nasofaring.1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise). 1

Gambar 1. Anatomi hidung tampak lateral dan medial

Gambar 2. Anatomi Hidung Luar

Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior, dan superior. Dinding medial adalah septum nasi yang dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian
tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi
oleh mukosa hidung.1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema ini biasanya rudimenter.1
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung. Terdapat meatus yaitu
meatus inferior, medius, dan superior. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.1
Fisiologi Hidung:1
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional,
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasalis adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal,
2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius.
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang,

4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas, dan
5. Refleks nasal, dimana mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan yang dapat
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti, rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
Sinus Paranasal merupakan rongga-rongga di sekitar hidung dengan
bentuk bervariasi dan terdiri dari empat pasang sinus, yaitu sinus maksilaris, sinus
frontalis, sinus etmoidalis, dan sinus sfenoidalis.2
a. Sinus maksila
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
ini bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila
berbentuk piramid. Ostium sinus maksila berasa di superoir dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundiulum
etmoid.2
b. Sinus frontal
Sinus frontal terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun
dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Ukuran sinus
frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal,
yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.2
c. Sinus etmoid
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya
di bagi posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4
cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian superior.
6

Sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di


meatus medius dan sinus etmoid posterior bermuara di meatus superior.2
d. Sinus sfenoid
Sinus ini terletak di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus ini dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukuran
sinus sfenoid, tinggi 2 cm, dalamya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volume
bervariasi dari 5 7,5 ml.2

Gambar 3. Anatomi Sinus Paranasal


Kompleks ostio-meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan komplek ostio-meatal (KOM), terdiri
dari infundibulum etmoid, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid
anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.2

Gambar 4. Anatomi Kompleks Ostio-meatal


7

Fisiologi Sinus Paranasal


Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:2
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)
Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan
dan mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat
sanggahan, sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif
antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000
volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam
untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus

paranasal

berfungsi

sebagai

penahan

(buffer)

panas,

melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubahubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak
diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang,
hanya akan memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat, posisi

sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai


resonator yang efektif, lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara
dan besarnya sinus pada hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya
kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif
untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

1.2 Definisi
Rinosinusitis adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai
dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung
tersumbat/osbtruksi/kongesti/ pilek disertai nyeri pada wajah/rasa tertekan pada
wajah.3
Rinosinusitis Kronik adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal yang
berlangsung lebih dari 12 minggu dimana terdapatnya dua gejala mayor atau satu
gejala mayor dan dua gejala minor.4
1.3 Epidemiologi
Prevalensi rinosinusitis kronis di Indonesia juga cukup tinggi, terbukti data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada
urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita

rawat jalan di rumah sakit.5,6 . Di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/


RSUP H. Adam Malik tahun 2008 didapatkan 296 penderita rinosinusitis kronis
dari 783 pasien yang datang ke Divisi Rinologi RSUP H. Adam Malik Medan. 5
Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005
menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435
pasien, 69%nya adalah sinusitis. Data dari RSUD Raden Mattaher Jambi tahun
2011, tercatat sebanyak 301 pasien dan tahun 2012 sebanyak 374 pasien yang
menderita rhinosinusitis.6
Kebanyakan kasus rinosinusitis mengenai salah satu atau lebih sinus
paranasal, terutama sinus maksila dan sinus etmoid. Secara jelas proses terjadinya
peradangan di sinus paranasal diawali oleh inflamasi atau kelainan di daerah
komplek osteomeatal (KOM).7
1.4 Etiologi dan Faktor Resiko
Pada rinosinusitis etiologinya dibedakan atas patogen akut, subakut dan
patogen kronis. Patogen akut dan subakut diantaranya streptococcus pneumonia,
hemophilus influenza dan streptococcus pyogens, sedangkan patogen kronis tidak
dapat ditentukan secara pasti dan biasanya disebabkan oleh infeksi berbagai
mikroba.8
Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang
sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Obstruksi ostium dapat
disebabkan oleh bebagai faktor lokal maupun sistemik, diantaranya infeksi saluran
napas atas, alegi, paparan bahan iritan, kelainan anatomi dan defisiensi imun.
Etiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial. Berdasarkan EP3OS 2007,
faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa polip nasi

10

yaitu ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor


genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis,
faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal.4,7
1.5 Manifestasi Klinis9
Manifestasi klinis dari rinosinusitis dibagi dalam gejala mayor dan minor.
Pasien dicurigai kuat menderita rinosinusitis jika memenuhi dua kriteria gejala
mayor atau satu gejala mayor dan dua gejala minor atau jika ada sekret purulen
pada pemeriksaan endoskopi nasal.
Gejala Mayor:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Nyeri atau rasa tebal pada wajah


Hidung tersumbat
Ingus kental
Post nasal drip purulen
Gangguan penghidu
Demam
Adanya sekret purulen pada pemeriksaan endoskopi nasal

Gejala minor:
1.
2.
3.
4.
5.

Sakit kepala
Napas berbau
Batuk
Nyeri telinga
Rasa penuh ditelinga

1.6 Patofisiologi
Keadaan sinus dipengaruhi oleh ostium-ostium sinus dan

lancarnya

klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Organ-organ yang


membentuk KOM letaknya berdekatan sehingga apabila terjadi suatu inflamasi
pada organ tersebut akan terjadi udem sehingga silia tidak dapat bergerak dan
ostium tersumbat. Sehingga pada rongga sinus terjadi tekanan negatif yang

11

menyebabkan terjadinya transudasi. Awalnya transudat serous yang merupakan


rinosinusitis non-bakterial dan dapat sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan. Bila kondisi menetap, rongga sinus yang terisi oleh transudat
merupakan media yang baik untuk tempat tumbuh dan multiplikasi bakteri. Pada
keadaan ini sekret sudah menjadi purulen.
Patofisiologi rinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tertutup. Secara
sistemik patofisiologi rinosinusitis adalah sebagai berikut inflamasi pada mukosa
hidung akan mengakibatkan pembengkakan (udem) dan eksudasi pada hidung
sehingga terjadi obstruksi atau blockade ostium sinus. Obstruksi pada ostium yang
nantinya akan menyebabkan gangguan ventilasi dan dan drainase, resopsi oksigen
yang ada di rongga sinus dan terjadi hipoksia. Permeabilitas kapiler dan sekresi
kelenjar meningkat yang akan memproduksi eksudat yang banyak dan
mengganggu fungsi silia. Silia pada hidung dan sinus merupakan sistem yang
berfungsi untuk proteksi dan melembabkan udara inspirasi dan disebut sebagai
sistem mukosilier.silia akan selalu bergerak dengan teratur sehingga mengalirkan
lender untuk dibuang dari hidung kearah posterior dan dari sinus-sinus menuju
ostium dengan jalur yang sudah ditentukan. Dengan terjadinya gangguan fungsi
silia akan terjadi retensi sekresi di sinus yang merupakan suatu media yang baik
untuk berkembangnya kuman-kuman penyebab rinosinusitis.4,11,12
Pada pasien dengan

rhinitis alergi, allergen menyebabkan respon

inflamasi dengan memicu rangkaian peristiwa yang berefek pada pelepasan


mediator kimia dan mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-helper 2 (Th-2)
menjadi aktif dan melepaskan sejumlah sitokin yang berefek aktivasi sel mast, sel
B dan eusinofil. Berbagai sel ini kemudian melanjutkan respon inflamasi dengan
12

melepaskan lebih banyak mediator kimia yang menyebabkan udem mukosa dan
obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi bakteri sekunder seperti halnya infeksi
virus. Inflamasi yang berlangsung lama (kronik) sering berakibat penebalan
mukosa disertai keusakan silia sehingga ostium sinus menjadi buntu. Mukosa
yang tidak dapat kembali normal setelah inflamasi akut dapat

menyebabkan

gejala persisten dan mengarah pada rinosinusitis kronik.4

1.7 Klasifikasi Rinosinusitis


Secara umum dalam klinis, rinosinusitis dibagi atas rinosinusitis akut dan
rinosinusitis kronik.
1.7.1 Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis akut merupakan serangan tiba-tiba dengan satu atau lebih
gejala, salah satu di antaranya adanya halangan pada hidung/ sumbatan/
kemampatan atau sekret pada hidung (anterior/posterior nasal drip) yang diikuti
oleh nyeri pada wajah/ nyeri tekan dan berkurang atau hilangnya penciuman.
Rinosinusitis akut berlangsung kurang dari 12 minggu dengan interval bebas
gejala jika keluhan berulang. Jumlah episode serangan akut pada dewasa adalah
<4 kali/tahun dan anak <6 kali/tahun, minimal serangan berlangsung selama 10
hari. Pada penderita rinosinusitis akut dapat ditanyakan gejala alergi seperti
bersin-bersin, rinore, hidung gatal, dan mata gatal dan berair. Rinosinusitis akut
dapat terjadi sekali atau lebih dalam kurun waktu tertentu. Hal ini menunjukkan
episode dalam setahun tetapi harus bebas gejala antar episode yang disebut
sebagai recurrent acute rhinosinusitis.4,10
1.7.2 Rhinosinusitis kronis

13

Rinosinusitis kronis menunjukkan dua atau lebih gejala diantaranya


adanya halangan pada hidung/ sumbatan/ kemampatan atau sekret pada hidung
(anterior/posterior nasal drip) yang diikuti oleh nyeri pada wajah/ nyeri tekan dan
berkurang atau hilangnya penciuman. Rinosinusitis kronik dapat berlangsung
lebih dari 12 minggu. Jumlah episode serangan pada dewasa adalah >4 kali/tahun
dan anak >6 kali/tahun, minimal serangan berlangsung selama 10 hari . Pada
rinosinusitis kronik dapat juga ditanyakan gejala alergi pada penderita. 4,10
1.8 Diagnosis
1.8.1 Rhinosinusitis Akut
Pada rhinosinusitis akut terdapat gejala dengan onset yang tiba-tiba. Gejala
yang ditimbulkan dapat berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek
(sekret hidung anterior/ posterior) yang disertai nyeri wajah/ rasa tertekan di
wajah atau penurunan/ hilangnya penghidu, dengan interval bebas gejala bila
terjadi rekurensi. Gejala berlangsung <12 minggu. Pemeriksaan fisik dengan
menggunakan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat
dianjurkan. Tanda khas yang ditemukan pada pemeriksaan fisik yaitu adanya pus
di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sphenoid). Mukosa udem dan
hiperemis, pada anak sering terdapat pembengkakan dan kemerahan di daerah
kantus medius.3,11
1.8.2 Rhinosinusitis Kronik
Pada rhinosinusitis kronis terdapat gejala dua atau lebih gejala hidung
tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior) yang

14

disertai nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah atau penurunan/ hilangnya penghidu.
Gejala berlangsung lebih dari 12 minggu. 3 Berdasarkan pemeriksaan fisik
didapatkan udem atau eritem pada meatus media dan jaringan cavum nasi atau
nasal endoskopi, terdapatnya secret nasal atau polip atau pembengkakan polipoid
pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan terdapat sumbatan.3,4

1.8.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan

penunjang diagnostik

untuk

sinusitis

akut

meliputi

transluminasi, ultrasonografi, foto polos sinus paranasal, CT scan dan MRI.


a. Foto polos sinus paraasal
Foto polos sinus paraasal merupakan pemeriksaan standar utama untuk
sinusitis. Kekurangan dari foto polos adalah sering ditemukan hasil positif
dan negatif palsu. Tiga jenis proyeksi yang digunakan, ialah
-

Waters position

: untuk evaluasi sinus maksila dan frontal

Caldwell position : untuk evaluasi sinus etmoidalis

Proyeksi lateral

: untuk evaluasi ukuran adenoid, massa di

nasofaring, dan kelainan sphenoid.


b. Computerized tomography scanning (CT-Scan)
CT Scan merupakan pemeriksaan penunjang terbaik untuk mendiagnosis
sinusitis. CT scan dapat memperlihatkan gambaran sel-sel etmoid anterior
dan posterior serta keadaan kompleks osteo meatal. Pemeriksaan dengan
CT scan dapat dilakukan pada potongan melintang (tanpa kontras) saja.
Potongan aksial dapat dilakukan untuk melihat kelainan di sinus sphenoid
dan kompliksi ke orbita. CT scan dapat membantu melihat perluasan

15

penyakit, variasi atau kelainan anatomi serta sumbatan sinus-sinus atau


kompleks osteo meatal (KOM).5

Gambar 5. Gambaran CT Scan pada rhinosinusitis kronik


dengan polip pada potongan coronal
c. Magnetic resonance imaging (MRI)
Penggunaannya sangat baik untuk mengetahui kelainan soft tissue
dari sinus paranasal. Namun terbatas dalam pencitraan kelainan tulang,
sehingga MRI tidak dapat mengevaluasi sinusitis pada anak dan kronis.
1.9 Terapi
1.9.1 Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis

bertujuan untuk mempercepat

penyembuhan,

mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip


pengobatan adalah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi
sinus-sinus pulih secara alami. Ada beberapa obat yang digunakan untuk terapi
rinosinusitis, yaitu
a. Antibiotik

Antibiotik merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial.


Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin.
Amoksisilin diberikan dengan dosis 500 mg tiga kali perhari atau
Cotrimoksazol 480 mg dua kali perhari. Pemantauan dilakukan 2x24 jam
16

untuk menilai efek dari antibiotik yang diberikan. Apabila terdapat


resistensi atau kuman memproduksi beta-laktamase, maka obat pilihan
yang digunakan adalah amoksisilin-klavunalat atau sefalosporin generasi
ke-2, yaitu cefuroxime 250 mg dua kali perhari, cefaclor 250 mg tiga kali
perhari, cefixime 400mg dua kali perhari, dan cefradine, cefprozil, dan
cefotiam. Amoksisilin klavunalat merupakan antibiotik lini kedua dengan
dosis 500 mg atau 125 mg tiga kali perhari atau ampisilin betalaktam.
Pemberian antibiotik pada sinusitis selama 10-14 hari meskipun gejala
klinis sudah hilang. Pemberian antibiotik dapat langsung diberikan
antibiotik lini kedua pada serangan akut berulang atau berdasarkan
pengalaman setempat amoksisilin terbukti tidak efektif.3,5
b. Dekongestan
Dekongestan yang digunakan

dapat oral atau topikal, yaitu

golongan agonis -adrenergik. Pemberian dekongestan dibatasi sampai 3-5


hari untuk mencegah ketergantungan dan rebound nasal decongestan.
Pemberian

dekongestan

sistemik,

seperti

penil-propanolamin,

pseudoefedrin dapat menormalkan ventilasi sinus dan mengembalikan


fungsi pembersihan mukosilia. Dekongestan sistemik dapat diberikan 1014 hari. 4,13
c. Anihistamin
Pemberian

antihistami

pada

penderita

sinusitis

merupakan

kontraindikasi karena dapat mengentalkan sekret sehingga menimbulkan

17

penumpukan sekret di sinus dan memperberat sinusitis. Antihistamin


diberikan pada penderita yang jelas terdapat alergi.13
d. Kortikosteroid
Steroid topikal dinajurkan pada sinusitis kronis. Steroid akan mengurangi
edem dan inflamasi pada hidung sehingga dapat memperbaiki drainase
sinus. Kortikosteroid sistemik juga sangat bermanfaat untuk rhinosinusitis
kronik dengan polip nasi dan rhinosinusitis fungal alergi. Tetapi pemberian
steroid

sistemik

dalam

jangka

pendek

mengingat

efek

yang

ditimbulkannya. 4,13

1.9.2 Terapi Operatif


Sinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan yang adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi dilakukannya
tindakan operatif. Terdapat beberapa macam tindakan operatif seperti antrostomi
meatus inferior, Caldwel-Luc, etmoidektomi intra dan ekstranasal, trans sinus
frontal dan bedah sinus endoskopi fungsional. Bedah sinus endoskopi fungsional
(BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik. Tindakan ini
menjadi pilihan karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan
lebih ringan dan tidak radikal.14,12 Indikasi untuk dilakukannya FESS adalah
Sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversible
Polip ekstensif
Adanya komplikasi sinusitis

18

Sinusitis jamur

Gambar 6. Skema penatalaksanaan rhinosinusitis akut pada dewasa di layanan


primer

Gambar 7. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada anak

19

Gambar 8. Skema penatalaksanaan rhinosinusitis kronis dengan atau tanpa polip


pada dewasa di layanan primer dan dokter spesialis

20

Gambar 9. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronis pada anak


1.10 Komplikasi
Komplikasi sinusitis suda jarang terjadi akibat adanya pengobatan
antibiotik, komplikasi biasanya terjadi pada kasus sinusitis akut atau sinusitis
kronis eksaserbasi akut. Penderita dengan tingkat sosio-ekonomi rendah yang
kurang gizi dan tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan juga sering terjadi
komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi dapat seperti

21

a. Komplikasi intraorbita
Infeksi

pada

sinus

dapat

meluas

melalui

tromboflebitis,

atau

perikontinuinatum. Komplikasi disebabkan oleh sinus yang berdekatan


dengan orbita seperti sinus etmoid. Komplikasi dapat berupa selulitis
periorbita, selulitis orbita, abses subperiosteal, atau abses orbita. Gejala
yang ditimbulkan berupa pembengkakan kelopak mata atau edema merata
di seluruh orbita atau gangguan gerak mata dan gangguan visus hinga
abses yang mengeluarkan pus.11,12
b. Komplikasi intrakranial

Komplikasi intrakranial juga dapat melalui sistem vena, infeksi gigi yang
meluas hingga sinus maksila dan erosi pada tulang yang memisahkan sinus
frontal, etmoid dan sphenoid.. Kelainan yang terjadi dapat berupa
meningitis, abses epidural, abses ekstradural atau subdural, abses otak,
thrombosis sinus kavernosus atau thrombosis sinus sagitalis superior.
Gejala yang ditimbulkan adalah terjadinya penurunan kesadaran atau
kejang-kejang.14,12
c. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Paling sering timbul pada os frontal akibat sinusitis frontal yang
memperlihatkan gejala pembengkakan dahi dan kelopak mata yang
disertai rasa nyeri. Osteomielitis sinus maksila dapat menyebabkan fistula
oroantral atau pembengkakan pada pipi dan kelopak mata bawah.
Osteomielitis sering terjadi pada anak-anak.11,12

d. Mukosil (Kista)

22

Sering terjadi pada sinus frontal dan dapat juga terjadi pada sinus maksila,
etmoid, dan sphenoid. Kista dapat terjadi akibat tersumbatnya saluran
keluar sinus sehingga terjadi pengumpulan lender yang steril yang
kemudian menjadi kental. Kista dapat mebesar dan mendesak organ
sekitarnya seperti orbita. Gejala yang dapat timbul adalah sakit kepala dan
pembengkakan diatas sinus yang terkena. 11

BAB II

23

LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN

Nama

: Tn. R

Umur

: 28 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Suku Bangsa : Minang

Alamat

: Lintau Buo

ANAMNESIS
Keluhan Utama: hidung yang makin tersumbat sejak 2 hari yang lalu
Riwayat penyakit sekarang:
- Hidung yang makin tersumbat sejak 2 hari yang lalu. Awalnya
hidung tersumbat dirasakan hilang timbul kiri dan kanan sejak 3
tahun yang lalu. Hidung dirasakan tersumbat terutama pada saat
-

cuaca dingin
Sering bersin-bersin pada pagi hari atau terkena debu sejak kecil
Hidung berair, jernih dan tidak berbau sejak 8 tahun yang lalu,

kadang disertai darah apabila pasien mengorek hidung.


Nyeri di sekitar tulang pipi apabila sujud (+)
Terasa dahak yang mengalir ke tenggorok (+)
Nyeri kepala (+)
Suara sengau (+)
Riwayat alergi ikan dan obat metamhampyron (+)
Riwayat trauma pada hidung (-)
Riwayat telinga berdenging (-)
Riwayat nyeri menelan (-)

Riwayat penyakit dahulu


-

Pernah menderita penyakit yang sama dan


operasi tonsil pada tahun 2008

Riwayat penyakit keluarga


24

pernah melakukan

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:

Pasien seorang pekerja swasta

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum
Kesadaran
Nadi
Nafas
Suhu

: Sakit ringan
: CMC
: 82 kali/menit
: 20 kali/menit
: afebris

Pemeriksaan sistemik
Kepala

: tidak ditemukan kelainan

Wajah

: tidak ditemukan kelainan

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Toraks

: Dalam batas normal

Jantung

: Dalam batas normal

Abdomen

: Hepar dan lien tidak teraba

Extremitas

: teraba hangat, refilling kapiler baik

STATUS LOKALIS THT


Telinga
Pemeriksaan
Daun Telinga

Kelainan

Dekstra

Sinistra

Kel. Kongenital

Tidak ada

Tidak ada

Trauma

Tidak ada

Tidak ada

25

Liang & Dinding


Telinga

Sekret /
Serumen

Radang

Tidak ada

Tidak ada

Kel. Metabolik

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri tarik

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri tekan

Tidak ada

Tidak ada

Cukup lapang (N)

Sempit

Hiperemis

Tidak ada

Tidak ada

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Bau

Tidak ada

Tidak ada

Warna

Coklat kehitaman

Coklat kehitaman

Jumlah

Banyak

Sedikit

Jenis

Kering

Kering

Warna

Tidak terlihat

Putih keabuan

Refleks cahaya

Tidak terlihat

Ada, arah jam 5

Bulging

Tidak terlihat

Tidak ada

Retraksi

Tidak terlihat

Tidak ada

Atrofi

Tidak terlihat

Tidak ada

Jumlah perforasi

Tidak terlihat

Tidak ada

Jenis

Tidak terlihat

Tidak ada

Kuadran

Tidak terlihat

Tidak ada

Pinggir

Tidak terlihat

Tidak ada

Membran Timpani

Utuh

Perforasi

Gambar Membran Timpani

26

Mastoid

Tanda radang

Tidak ada

Tidak ada

Fistel

Tidak ada

Tidak ada

Sikatrik

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri tekan

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri ketok

Tidak ada

Tidak ada

Sama dengan

Sama dengan

pemeriksa

pemeriksa

Rinne
Schwabach
Tes Garpu tala

Weber

Tidak ada lateralisasi

Kesimpulan

Normal

Audiometri

Tidak dilakukan pemeriksaan

Timpanometri

Tidak dilakukan pemeriksaan

Hidung
Pemeriksaan

Hidungluar

Kelainan
Deformitas

Dextra
Tidak ada

Sinistra
Tidak ada

Kelainan kongenital

Tidak ada

Tidak ada

Trauma

Tidak ada

Tidak ada

Radang

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Sinus Paranasal
Pemeriksaan
Nyeri tekan

Dextra
Tidak ada

Sinistra
Tidak ada

Rinoskopi Anterior
Vestibulum

Vibrise
Radang

Kavumnasi

Cukup lapang (N)


Sempit
Lapang
Lokasi

Ada
Tidak ada
_
+
Kavum nasi
27

Ada
Tidak ada
+
Kavum nasi

Sekret
Konka inferior

Konka media

Septum

Massa

Jenis
Jumlah
Bau
Ukuran

Serosa
Sedikit
Tidak Ada
Eutrofi

Serosa
Sedikit
Tidak Ada
Eutrofi

Warna

Livide

Livide

Permukaan

Licin

Licin

Edema
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Cukup lurus/deviasi
Permukaan
Warna
Spina

+
+
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Tidak ada deviasi
Licin
Licin
Merah muda
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada

Krista

Tidak ada

Tidak ada

Abses

Tidak ada

Tidak ada

Perforasi

Tidak ada

Tidak ada

Lokasi

Tidak ada

Tidak ada

Bentuk

Tidak ada

Tidak ada

Ukuran

Tidak ada

Tidak ada

Permukaan

Tidak ada

Tidak ada

Warna

Tidak ada

Tidak ada

Konsistensi

Tidak ada

Tidak ada

Mudah digoyang

Tidak ada

Tidak ada

Pengaruh

Tidak ada

Tidak ada

vasokonstriktor
Rinoskopi Posterior (sulit dinilai)
Pemeriksaan
Koana
Mukosa

Kelainan
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Warna

Dekstra

28

Sinistra

Edema
Jaringan granulasi
Ukuran
Warna
Konka superior

Permukaan
Edema

Adenoid
Muara tuba
eustachius

Ada/tidak
Tertutup secret
Edema mukosa
Lokasi
Ukuran

Massa

Bentuk
Permukaan
Ada/tidak

Post Nasal Drip

Jenis

Orofaring dan Mulut


Pemeriksaan
Trismus
Uvula
Palatum mole +
Arkus faring

Dinding Faring
Tonsil

Kelainan

Dekstra

Sinistra

Simetris/tidak
Warna
Edema

Tidak Ada
Di tengah
Simetris
Merah muda
Tidak ada

Bercak/eksudat

Tidak ada

Warna
Permukaan
Ukuran

Sama dengan sekitar


Licin
T0
T0

Warna
Permukaan
Muara kripti
Detritus
Eksudat
29

Peritonsil

Warna
Edema
Abses

Tumor

Lokasi

Tidak ada

Tidak ada

Bentuk

Tidak ada

Tidak ada

Ukuran

Tidak ada

Tidak ada

Permukaan

Tidak ada

Tidak ada

Konsistensi

Tidak ada

Tidak ada

Karies/radiks

Gigi
Lidah

Kesan
Warna
Bentuk
Deviasi

Higiene oral kurang


Merah muda
Merah muda
Normal
Normal
Tidak ada
Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Dekstra

Sinistra

Laringoskopi Indirek (sulit dinilai)


Pemeriksaan

Kelainan

Epiglotis

Aritenoid

Ventrikular Band

PlikaVokalis

30

Sinus piriformis
Valekulae
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher
-

Pada inspeksi tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening leher.


Pada palpasi tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher.

RESUME
(DASAR DIAGNOSIS)
Anamnesis

Hidung tersumbat hilang timbul kiri dan kanan sejak 3 tahun yang

lalu. Hidung dirasakan tersumbat terutama pada saat cuaca dingin


Sering bersin-bersin pada pagi hari atau terkena debu sejak kecil
Hidung berair, jernih dan tidak berbau sejak 8 tahun yang lalu,

kadang disertai darah apabila pasien mengorek hidung.


Nyeri di sekitar tulang pipi apabila sujud (+)
Terasa dahak yang mengalir ke tenggorok (+)
Nyeri kepala (+)
Suara sengau (+)
Riwayat alergi ikan dan antalgin (+)

PemeriksaanFisik

Hidung :
o Hidung luar : tidakterdapatkelainan

31

o Hidung KND : KN sempit, sekret (+)serose, KI udem livide dan


KM sulit dinilai
o Hidung KNS : KN sempit, sekret (+) serousa, KI udem ,livide dan
KM sulit dinilai
Orofaring dan mulut
o Arkus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T0 T0, dinding
faring berwarna samadengan sekitar dan licin.
Diagnosis Kerja

: Rinosinusitis Kronis

Diagnosis Tambahan

: Rhinitis Alergi

Diagnosis Banding

:-

Pemeriksaan Anjuran

Foto Polos Waters Position/ AP lateral


Nasoendoskopi
CT Scan Sinus Paranasal
Skin Prick Test
Terapi
-

:
Cotrimoksazol 480 mg 2x sehari
Pseudoephedrine hydrochloride spray selama 3-5 hari

Prognosis

Quo ad Vitam

: Bonam

Quo ad Sanam

: Dubia ad Bonam

32

BAB III
DISKUSI

Pasien datang ke Poliklinik RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi dengan keluhan


utama hidung yang makin tersumbat sejak 2 hari yang lalu. Awalnya hidung
tersumbat dirasakan hilang timbul kiri dan kanan sejak 3 tahun yang lalu. Hidung
dirasakan tersumbat terutama pada saat cuaca dingin. Pasien sering bersin-bersin
pada pagi hari atau terkena debu sejak kecil. Hidung berair, jernih dan tidak
berbau sejak 8 tahun yang lalu. Kadang disertai darah apabila pasien mengorek
hidung. Nyeri disekitar tulang pipi apabila pasien sujud. Terasa dahak yang
menglir ke belakang teggorok. Pasien mengelukan sakit kepala dan suara sengau.
Pasien memiliki riwayat alergi ikan dan alergi obat Metamphyron. Pasien tidak
memiliki riwayat trauma pada hidung, telinga berdenging, dan nyeri menelan.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan cavum nasi sempit kiri
dan kanan, terdapat sekret serousa

dengan jumlah sedikit dan tidak berbau.


33

Konka inferior didapatkan eutrofi, permukaan licin, dan tidak terdapat udem.
Konka media sulit dinilai karena terdapat udem pada konka inferior.
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah Cotrimoksazol 480 mg 2 kali
perhari dan Pseudoephedrine hydrochloride spray selama 3-5 hari. Hal ini sesuai
dengan literatur yang menyebutkan bahwa terapi yang diberikan adalah antibiotik
lini pertama atau dekongestan.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam Buku Ajar Ilmu

2.

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. 6th ed. FKUI. Jakarta:2011. 118-122.


Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam Buku Ajar Ilmu

3.

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. 6th ed. FKUI. Jakarta: 2011. 145-149.
Fokkens W, et al. EPOS: European Position Paper on Rhinosinusitis and

4.

Nasal Polyps 2012. Rhynologi Supplement: 2012.


Selvianti, Kristyono I. Patofisiologi, Diagnosis dan Penatalaksanaan
Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Nasi Pada Orang Dewasa. Dep/smf Ilmu
Kesehatan

5.

Hidung Tenggorong-Bedah

Kepala

Dan Leher. Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.


Multazar, et al. Laporan Penelitian: Ekspresi cyclooxygenase-2 (COX-2) pada
penderita rinosinusitis kronis. Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara/ Rumah Sakit H. Adam Malik Medan. ORLI, Vol. 42(2): 2012.

34

6.

Septiwati M, Taher A, Rahayu U. Hubungan Infeksi gigi rahang atas dengan


kejadian Rhinosinusitis Maksilaris di Rumah Sakit Umum Daerah Raden

7.

Mattaher Jambi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Jambi.


Kentjono WA. Rinosinusitis: Etiologi dan Patofisiologi. Surabaya.

8.

Universitas Airlangga: 2004.


Daulay RM, Dalimunthe W, dan kaswandani N. Rinosinusitis dalam: buku

9.

ajar respirologi anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI Hal 303-315: 2010.
Pranitasari OR. Larutan Pencuci Hidung Salin Isotonis Tidak Terbukti
Mempercepat Waktu Transpor Mukosilia pada Rinosinusitis Akut. Tesis.
Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca sarjana.

Universitas Udayana. Denpasar: 2015


10. HTA Indonesia.2006. Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia.
11. Nizar NW, Patofisiologi, Gejala, Diagnosis dan Komplikasi Sinusitis. Dalam
buku Kursus, Pelatihan dan Demo Bedah Sinus Endoskopi Fungsional.
Jakarta. 2000
12. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok. 6th ed. FKUI. Jakarta: 2011. 127-130
13. Rinaldi, Lubis MH, Daulay RM, Panggabean G. Sinusitis pada Anak. Sari
Pediatri Vol.7 No.4. 2006. 244-248
14. Sutjipto Damayanti. Penatalaksanaan Baku Sinusitis. Dalam buku Kursus,
Pelatihan dan Demo Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Jakarta. 2000

35

You might also like