You are on page 1of 9

RASIONALISASI LEMBAGA PENDIDIKAN

Seorang siswa berinisal R berkeluh kesah tentang beratnya tugas-tugas yang diberikan seorang
guru. Ia stres menghadapi hari demi hari menempuh pendidikan di sekolah dengan setumpuk
tugas tanpa henti. Orang tua R lantas mengadu kepada kepala sekolah, lalu beberapa minggu
kemudian R diketahui pindah sekolah. Siswa lain, berinisial B ingin berkonsultasi dengan guru
BK dengan masalah sama seperti yang dihadapi R, ia juga bermaksud pindah sekolah. Pindah
kemana? Belum tahu juga begitu jawabnya. Pokok e pindah. Lain cerita dengan siswi
berinisial N, ia suatu hari ketahuan guru menyimpan video porno di HP pribadinya. Lalu
kejadian ini ditinjaklanjuti guru BK dengan memanggil wali siswa, dan sejak ia N tidak muncul
ke sekolah, pasti disebabkan rasa malu yang tak kuasa ditanggungnya.
Bagaimana asal muasal contoh kasuistik kependidikan seperti yang saya sebutkan di atas? Atas
nama perbaikan mutu pendidikan, pemerintah merancang perubahan kurikulum dari KTSP ke
kurikulum 2013. Sebagai acuan kegiatan belajar, Kemendikbud menyusun silabus dengan
sederet gagasan besar sebagai upaya mencerdaskan kehidupan generasi muda. Agar guru
memahami konsep pemikiran yang dibawa oleh kurikulum 2013, diadakanlah pelatihan selama
beberapa hari bagi para guru. Karena pertimbangan keterbatasan biaya, waktu, SDM, dan
berbagai alasan teknis lainnya, keikutsertaan guru dalam ajang pelatihan dilakukan secara acak
dan berkelanjutan.
Visi dan semangat yang dikembangkan dalam Kurikulum 2013 adalah menciptakan siswa yang
memiliki kompetensi, terdiri atas kompetensi sikap spiritual (KI 1), kompetensi sikap sosial (KI
2), kompetensi pengetahuan (KI 3) dan kompetensi keterampilan (KI 4). Apapun pelajaran yang
diajarkan harus mengarah pada pembentukan 4 kompetensi tersebut. KI 1 dan KI 2 tidak
diajarkan, tidak untuk diujikan atau dihafalkan, melainkan sebagai pegangan para pendidik untuk
memasukkan pesan spiritual dan sosial dalam teknis mengajarkan pengetahuan dan
keterampilan. Berpedoman pada kompetensi inti, lalu dijabarkan melalui kompetensi dasar. Agar
pembelajaran menjadi terencana dan berjalan sistematis, guru diharuskan secara mandiri
membuat rencana pelaksanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi di
tempat kerja.
Tidaklah sulit membaca konsep dan teori dasar pemikiran kurikulum 2013, yang tidak mudah
adalah aplikasi bentuk konkretnya dalam tataran teknis operasional. Sebagus apapun kurikulum,
efektif atau tidak hasilnya berpulang pada kemampuan guru dan kondisi sekolah dalam
mengimplementasikan kurikulum yang diberlakukan. Sebagai guru saya berpandangan bahwa
substansi utama masalah pendidikan anak bukan soal konsep kurikulum, namun lebih pada sisi
kompetensi guru, manajerial dan daya dukung fasilitas sekolah. Bicara teori yang menyangkut
metodologi pembelajaran mudah saja dipelajari, kita tinggal pergi ke toko buku dan membeli
buku seputar pendekatan, model, strategi, metode, teknik maupun taktik pembelajaran. Itupun
kalau tempat tinggal kita dekat ibukota propinsi dan ada uang lebih untuk membelinya.
Persoalannya, ada kesenjangan kompetensi guru, manajerial sekolah, dan fasilitas sekolah yang
amat membatasi guru dalam berimprovisasi saat mengajar di kelas.
Terlebih paska pemberlakukan dana BOS yang sejatinya dimaksud agar semua anak dengan
kondisi ekonomi paling lemah sekalipun dapat bersekolah. Sayangnya, besar kecilnya alokasi

dana BOS itu berbasis pada banyak sedikitnya siswa tanpa ada standarisasi nilai wajar dana
operasional sekolah disetiap semesternya. Sekolah dengan jumlah siswa banyak, bisa saja benarbenar menggratiskan biaya, namun bagi sekolah dengan jumlah siswa di bawah 100 orang
laksana pepatah hidup segan, matipun tak mau. Terjebak pada siklus hutang untuk menutupi
biaya operasional sekolah. Kemudian, pemerintah terjebak pada upaya meraih pencitraan dengan
menggembar-gemborkan sekolah gratis. Bagi masyarakat awam, mereka akan memahaminya
sekolah itu berarti tidak mengeluarkan uang sepeser pun sampai putera-puteri mereka lulus
sekolah.
Padahal kegiatan sekolah selalui diwarnai dengan penugasan oleh masing-masing guru dan
seringkali membuat siswa harus mengeluarkan uang untuk memenuhi tugas tersebut. Tidak lazim
juga penugasan guru yang bisa berupa akses internet, foto copy, ke rental komputer, dimasukkan
ke dalam anggaran pembiayaan sekolah. Belum lagi jika sekolah mengadakan study tour, karya
wisata, atau apapun namanya. Pastilah tidak mungkin diambilkan dari dana BOS, dan artinya
akan membebankan biaya pada wali siswa. Sehingga, slogan sekolah gratis itu memang kurang
realistis, rentan menimbulkan kesalahpahaman orang tua siswa, dan akan lebih fleksibel
sekiranya cukup dilabeli misalnya: sekolah bersubsidi.
Selaku guru yang menjadi pelaksana tugas pengajar di sekolah, saya tentu manut-manut saja
setiapkali kurikulum berganti. Namun kegairahan menyambut perubahan kebijakan nuansanya
akan lain jika memang angin segar yang dikirimkan itu menyentuh akar persoalan. Apa itu yang
utama? Saya sudah pernah menulis pemikiran ini dalam catatan terdahulu, tapi tak ada kelirunya
jika saya mereview kembali. Yaitu, melakukan rasionalisasi lembaga pendidikan. Pemerintah
punya mekanisme akreditasi sebagai standardisasi mutu lembaga pendidikan. Namun, dalam
pelaksanaannya seringkali sangat normatif. Ibaratnya, Kemendikbud hanya memeriksa rukun
lembaga pendidikan, namun lupa untuk mengecek apakah syarat lembaga pendidikannya
terpenuhi. Mereka bisa saja berdalih, Ya semua sekolah sudah pasti memenuhi syaratlah, kan
semua punya izin menyelenggarakan pendirian. Syarat-syarat perizinan inilah yang perlu kita
kaji ulang.
Keberadaan sekolah yang bernaung diluar Kemendikbud sesungguhnya mengacaukan usaha
menata kualitas pendidikan nasional. Meskipun kesepahaman antar instansi yang menaungi
sekolah, namun tidak mengatasi problem klasik ditingkat lapangan. Pertama, perbedaan label
sekolah (misalnya ada SMA Negeri, SMA Muhamadiyah, SMA NU, SMA Umum, SMK, dan
MAN). Kedua, perlakuan berbeda, dan ketiga fenomena rebutan siswa. Okelah kita biarkan saja
dulu sekolah negeri yang biasanya bertahan dengan baik dan benar. Namun lihatlah sekolahsekolah swasta. Ada sekolah yang sama-sama tingkatan SMP yang amat dekat lokasinya dengan
SMP lain, sementara potensi kuota siswanya sebenarnya hanya ideal untuk satu SMP saja.
Melihat potensi kuota ngga sulit-sulit amat karena kita bisa melihat data lulusan terakhir SD/MI
yang lokasinya paling berdekatan. Akibatnya, terjadi rebutan siswa dengan berbagai cara dan
modus. Ada yang menggratiskan seragam, buku, sepatu, bahkan bersedia membelikan sepeda
bagi siswa kurang mampu. Persaingan semacam ini tidak sehat, karenanya Kemendikbud perlu
meninjau ulang rasionalisasi lembaga pendidikan bukan saja dari segi tempat, namun juga
jaminan kesanggupan Yayasan dalam membiayai operasional pendidikan, khususnya mengenai
gaji guru pengajar. Banyak sekali Yayasan atau sekelompok masyarakat yang sekedar asal
mendirikan sekolah, lalu membiarkannya asal hidup.

Akibatnya, gaji guru swasta kerapkali sangat rendah jauh di bawah UMR Propinsi. Padahal
kesempatan menjadi guru PNS kian terbatas, dan ke depan untuk mendapatkan tunjangan
sertifikasi makin dipersulit persyaratannya. Bagaimana kita berharap banyak pada kualitas dan
profesionalitas guru dengan keadaan serba terbatas seperti ini. Boro-boro untuk melengkapi
fasilitas sekolah sesuai yang dituntut kurikulum 2013.
Wujud rasionalisasi yang saya maksud adalah melihat nilai utilitas dan vitalitas suatu lembaga
pendidikan di sebuah lokasi. Berapa banyak potensi siswa, dan benarkah calon siswa memang
overload yang memerlukan keberadaan lebih dari satu sekolah. Jadi, lihat dulu aspek
aksesibilitas antara siswa dengan lokasi sekolah. Bila terlanjur sekolah itu cukup banyak dan
tidak lagi sesuai dengan jumlah calon siswa, maka solusinya ya di merger. Kebijakan merger
sekolah akan sangat menghemat anggaran pendidikan nasional. Selain sekolah, Kemendikbud
seyogyanya juga merasionalisasi perguruan tinggi yang membuka jurusan pendidikan. Berapa
banyak guru bidang studi tertentu yang diperlukan setiap tahunnya, dan berapa banyak pula
mahasiswa yang diluluskan. Jika terlalu banyak, maka program studi tertentu yang biasanya
merupakan jurusan favorit sebaiknya dimoratorium untuk menghindari begitu banyak sarjana
pengangguran, padahal orang tuanya bersusah payah membiayai.
Contoh: Perguruan tinggi Islam yang membuka jurusan guru PAI itu banyak, bahkan ada di
sejumlah kabupaten. Padahal, sekarang ini hampir setiap sekolah tidak lagi membutuhkan guru
PAI karena memang sudah memadai. Akibatnya, bagaimana kita menempatkan sarjana PAI yang
setiap tahun lulus ribuan orang itu? Kemudian, beberapa tahun terakhir ada jurusan yang disebut
PGSD atau PGMI. Saya tidak mengerti mengapa jurusan ini mesti ada, padahal siapapun anak
butuh bukan hanya mata pelajaran yang berganti-ganti, namun juga guru pengajar yang bergantiganti. Pertimbangannya bukan sekedar soal supaya guru fokus pada kelas tertentu, tapi
akomodasilah aspek motivasi atau kemungkinan siswa jenuh bahkan tidak suka dengan
kepribadian guru kelasnya.
Selain lembaga pendidikan, Kemendikbud menurut hemat saya perlu juga merasionalisasi guru
berdasarkan ciri khas kompetensi yang dimilikinya. Ada sarjana yang merasa enjoy ketika
mengajar anak SD, dan ada juga sarjana yang lebih nyaman mengajar anak yang lebih dewasa.
Bukan soal tinggi-rendah kompetensi guru, namun soal kecenderungan dan tingkat keuletan.
Rasionalisasi semacam ini mungkin sulit terealisasi dalam waktu dekat, karena rumit
menyeleksinya. Namun, ada yang lebih mungkin dilakukan yaitu mengembalikan kewenangan
hak kepemilikan guru kepada Kemendikbud dari tangan Pemda. Ini sedikit agak sensitif, namun
maksud saya kualitas guru bukan saja ditentukan berdasarkan kualifikasi akademik, namun juga
dipengaruhi masa kerja, intensitas kerja, dan pengalaman di tempat kerja yang lebih baik.
Contoh: Secara pribadi saya tentu tidak membayangkan akan mengajar di sebuah sekolah seumur
hidup atau sampai pensiun misalnya. Pada saatnya saya ingin dimutasi (klo bisa sih ngga sampai
mengajukan mutasi), bukan ke kampung halaman saya di Belitang, cuma karena supaya lebih
dekat dengan orang tua, keluarga, kawan lama, dan segala macam alasan emosional. Saya ingin
suatu saat akan berkesempatan mengajar di sekolah yang pamornya dianggap lebih baik di
tingkat propinsi, entah dimana itu mungkin aja di Bandar Lampung. Setelah disana beberapa
lama, saya ingin dimutasi ke sekolah yang mutunya dianggap salah satu yang terbaik secara

nasional, misalnya di Jakarta. Begitu seterusnya. So, pengalaman mengajar di sekolah yang
berganti-ganti akan membawa manfaat dua hal, pertama kita membagikan pengalaman di
sekolah yang lama, dan kedua kita berkesempatan menyerap banyak hal positif di tempat kerja
yang baru, dan seluruhnya berguna untuk meningkatkan mutu profesi kita sendiri.
Sistem pengangkatan guru oleh Pemda, sejujurnya saya akui akan membatasi peluang-peluang
seperti ini meskipun tentu dalam prakteknya bisa saja terjadi.

Seberapa pentingkah teori-teori keilmuan itu diajarkan di sekolah? Siapapun pasti akan
menjawab: penting! Seberapa banyak? Para penulis buku pelajaran (entah mereka guru atau
bukan) mungkin akan menjawab: Lebih banyak, lebih baik... Saya hingga kini masih terheranheran dengan wujud buku yang isinya harus dijejalkan ke kepala siswa setiap tahunnya. Dalam
hati saya, Ini buku pelajaran, atau buku perpustakaan, lha kok tebal sekali. Alangkah kejam
sekali para penulis buku itu yang mendorong guru memaksa otak siswa merekam begitu banyak
materi yang termuat dalam buku pelajaran. Seakan seluruh siswa itu terlahir cerdas, seolah-olah
semua materi itu memang berguna bagi masa depan siswa.
Ini lebih soal pemahaman terhadap perbedaan daya tampung otak manusia. Memang ada
sejumlah kecil siswa yang daya daya serap otaknya berkapasitas ekstra besar sehingga mampu
menampung seberapa pun informasi dan teori yang diberikan. Namun, bagi rata-rata siswa buku
pelajaran yang dibagikan di sekolah sebenarnya mubazir adanya, lewat begitu saja.
Semakin banyak teori dan praktek yang mesti dikuasai siswa, maka efek samping yang mesti
dirasakan siswa maupun orang tuanya adalah meningkatnya uang saku. Dulu di zaman saya
sekolah, paling banter penugasan itu hanya seputar membuat PR. Maklum, saya sekolah di
sekolah swasta yang Bapak-Ibu gurunya sama sekali ngga neko-neko. Kini, seiring
berkembangnya pendekatan, model, strategi, metode, teknik, dan taktik pembelajaran, semakin
beraneka ragam bentuk penugasan yang mesti dilakukan siswa. Akibatnya, siswa jaman sekarang
mau tak mau harus menjadi pelanggan tetap rental komputer, warnet, dan foto copy. Itu belum
termasuk tugas hafalan, membuat resume, menyiapkan bahan diskusi, dan kegiatan yang bersifat
simulasi atau demonstrasi (untunglah saya udah lama lulus sekolah). Bicara tentang banyaknya
tugas, maka artinya kita harus memahami apa yang disebut daya tahan siswa. Ada siswa yang
tetap tabah, dan ada juga siswa yang akhirnya menyerah seperti yang saya gambarkan dalam
awal catatan ini.
Di awal pemerintahan Pak Jokowi nanti, saya berharap menteri Pendidikan dan Kebudayaan
berasal dari kalangan guru yang memang berkualitas dan berpengalaman. Bukan saja
berpengalaman menurut hitungan waktu mengabdi, tapi juga pengalaman terjun sebagai guru di
berbagai sekolah berbeda, berlokasi di pelosok desa maupun pusat kota. Tidak harus bertitel
profesor doktor, tapi yang memahami detail seluk-beluk lembaga pendidikan setingkat sekolah.
Harapan saya, ia tahu persoalan teknis keguruan, memahami masalah pokok yang dihadapi
peserta didik, serta mengerti problem manajerial sekolah.

Apa saja persoalan teknis keguruan? Pertama, pelatihan dan pengembangan diri. Pemerintah
jangan pelit mengalokasikan dana besar agar para guru semakin terampil mengajar. Tak ada
salahnya membagikan laptop plus pelatihan komputer bagi semua guru tanpa perlu banyak syarat
dan aturan. Kedua, profesionalitas. Banyak guru tidak total dalam menyerahkan segenap pikiran
dan waktunya murni untuk dunia pendidikan. Umumnya disebabkan faktor kurangnya gaji dan
pendapatan bulanan. Artinya, faktor kesejahteraan turut menjadi penghambat terciptanya guru
yang profesional. Ketiga, sistem kerja. Apakah jika guru telah digaji lebih dari 5 juta terus
otomatis dia akan komitmen menjadi guru profesional? Belum tentu. Gaji besar takkan berarti
apa-apa jika tidak dibarengi sistem kerja yang efektif. Sistem kerja yang efektif akan
menghabiskan mayoritas waktu dan energi guru hanya untuk memikirkan dunia pendidikan an
sich.
Tradisi kurang elok sejumlah guru yaitu selama ini terlalu percaya diri dengan pengetahuan yang
dimiliki serta memahami profesi guru sebatas kegiatan belajar mengajar di kelas saja atau dilain
waktu mengoreksi hasil tes atau lembar kerja siswa. Banyak guru yang alpa untuk memahami
bahwa mereka juga bertindak sebagai administrator pendidikan, sehingga secara administratif
perkembangan setiap siswa yang diajarnya mudah untuk dibaca dan diketahui pihak lain, bukan
saja oleh instansi terkait namun juga para wali siswa. Tidak hanya sebatas memberi nilai raport.
Ada waktunya memanggil siswa tertentu untuk wawancara/bimbingan khusus, menyebarkan
angket/kuisioner, membuat laporan tertulis mingguan kepada pimpinan, dan seterusnya yang
hanya akan tercipta jika diterapkan sistem kerja yang baik.
Kemudian apa masalah pokok peserta didik? Kita harus ingat bahwa pendidikan itu adalah seni
membentuk orang. Kurikulum 2013 mengarahkan para pendidik agar membentuk siswanya
menjadi individu yang taat beragama, cakap menjalin interaksi sosial, berpengetahuan luas, dan
terampil mempraktekkan ilmu yang dipelajari. Intinya kita ingin melihat generasi muda bangsa
menjadi pribadi yang baik dan berkualitas. Konkretnya seperti apa? Pemerintah terkesan lepas
tangan, menyerahkan pada kemauan dan kemampuan masing-masing sekolah.
Selama ini basic kebijakan pendidikan nasional masih condong top-down. Sekolah diminta
mematuhi konsep pendidikan yang telah disusun pemerintah (entah dasarnya di dapat dari
mana), sementara pemerintah tidak mau tahu apa yang diinginkan sekolah. Ketika terjadi kasuskasus tertentu para guru kerapkali dikambinghitamkan dan dianggap gagal, seperti baru-baru ini
terjadi penganiayaan sejumlah siswa SD kepada salah seorang temannya. Guru dianggap lalai
mengawasi siswa pada jam istirahat, padahal guru juga manusia yang butuh istirahat. Berasa
aneh kan kalau guru tetap duduk-duduk di kelas pada jam istirahat hanya untuk mengawasi siswa
bermain dengan teman-temannya. Padahal, aksi pengeroyokan dan penganiayaan pasti tidak
diajarkan di sekolah, namun diadopsi siswa dari lingkungan masyarakat (notabene masuk
wilayah tanggungjawab pemerintah desa), atau melalui media televisi (yang notabene menjadi
tanggungjawab instansi pemerintah di bidang penyiaran publik).

KEPERAWANAN (266)
Catatan ini ditulis minggu sore (12/10) sehabis melakukan perjalanan seorang diri lumayan jauh
dai Belitang ke Mesuji Lampung. Disambut oleh keheningan siang bolong, tanpa sanak saudara
dan keluarga, listrik yang sedang mati, dan bersiap menghadapi hari-hari yang menuntut saya
kembali mandiri: masak-masak sendiri, makan-makan sendiri, nyuci baju sendiri, dan tidur pun
sendiri.
Sembari menunggu kebaikan hati pegawai PLN,
Saya ingin mengomentari satu tulisan di kompasiana yang sebetulnya ngga layak baca, namun
menggelitik karena ternyata memancing respon lumayan banyak. Judul tulisan tersebut: 70 %
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Sudah Tidak Perawan. Kebetulan, saya sempat menimba ilmu di
kampus yang terletak di Jl. Marsma Adisucipto Jogjakarta. Sejatinya, saya tak begitu mengenal
baik perguruan tinggi tersebut (sekalipun sekitar 10 tahun nama saya pernah tertera di sana),
diawali dengan langkah tanpa gairah menempuh studi di jurusan PMH Fak. Syariah, lalu
menyeberang lalu terhenti ditengah jalan di Jurusan SPI Fak. Adab dan terakhir terdampar
dengan tujuan tak pasti di Jurusan PBA Fak. Tarbiyah dan Keguruan. Jadi, di atas kertas dengan
bekal pengalaman sebagai mahasiswa abadi rasanya saya cukup layak ikut-ikutan mengomentari
fenomena yang tengah dipermasalahkan di UIN Suka, menyoal keperawanan gadis-gadis yang
ada di sana.
Memang, tema keperawanan akan selalu menjadi isu kontroversial jika menyentuh dunia
pendidikan. Dulu, pernah Dinas Kesehatan di Aceh mendapat cercaan ketika mengirimkan
kuisioner untuk ditujukan pada siswa di sekolah-sekolah yang didalamnya memuat pertanyaan
tentang ukuran alat vital. Tentu banyak pihak menjadi gerah, dengan dalih apapun pertanyaan
seperti ini sangat tidak esensial, tidak etis, melanggar privacy, dan sebenarnya hanya urgen
diketahui jika memang ada siswa tertentu yang mengalami problem alat reproduksi, itupun
mestinya tidak melalui kuisioner/angket namun lewat interview secara pribadi oleh dokter yang
berkompeten.
Kini, ada seorang penulis kompasiana (yang notabene termasuk ruang publik) mengklaim ada 70
% mahasiswi UIN Suka sudah tak perawan. Katanya, ia memang tak menelitinya menggunakan
kaidah-kaidah ilmiah, namun berdasarkan penelusuran pribadi, hasil wawancara beberapa orang,
lalu ketemulah ancer-ancer angka 70 %. Sungguh fakta bombastis jika demikian kenyataannya.
Masalahnya, secara logika ilmiah bagi siapapun yang pernah belajar metodologi penelitian, tidak
akan dengan mudah bisa serampangan menyebut angka 70 % (atau jangan-jangan penulisnya
ngga paham cara menghitung rumus persentase?).

Dalam kaidah Ushul Fiqh, ada adagium dhall wa madhall (sesat dan menyesatkan). Ketika
informasi dangkal yang sebetulnya masih dalam proses penelusuran lalu diringkas menjadi
kesimpulan akhir, maka rentan menimbulkan informasi sesat, dan ketika ditarik ke ruang publik
akhirnya berpotensi menyesatkan banyak orang. Apa jadinya, jika pengalaman pribadi tertentu
lalu digembar-gemborkan dan dibaca oleh para orang tua mahasiswi UIN Suka ataupun orang tua
yang mendambakan puterinya kuliah di UIN? Besar kemungkinan muncul efek apriori.
Memang, era reformasi yang diwarnai perkembangan teknologi informasi melahirkan perubahan
paradigma moralitas dikalangan remaja kita. Dulu, aspek keperawanan dan keperjakaan
demikian dijunjung tinggi, memiliki nilai sakralitas yang benar-benar harus dijaga kesuciannya.
Kini, menjaga keperawanan bagi sebagian remaja dipandang sebagai tradisi kuno, bukan
masalah besar sepanjang tidak sampai terlanjur hamil. Memang, kenyataannya boleh jadi
sungguh memprihatinkan, tapi untuk mengkaji dan mengelaborasinya secara mendalam tak
cukup hanya menanyai narasumber 10-20 orang saja.
Menunjukkan fenomena yang bersifat kasuistik itu bagus-bagus saja sebagai kesadaran moral
bahwa ada problem serius yang harus segera di atasi. Bila beberapa cerita yang disampaikan
penulis di kompasiana mengandung kebenaran patut diapresiasi (sepanjang motifnya baik, dan
penulis bukanlah orang yang terlibat langsung sebagai pelaku moral hazard). Namun, kehatihatian itu perlu untuk menghindari dampak yang bersifat kontraproduktif, misalnya merusak
nama baik lembaga pendidikan.
Apakah masalah seks bebas generasi muda di kota Yogyakarta memang sudah sangat parah?
Menurut saya, tidak tepat jika menyebut secara spesifik kota Yogyakarta, karena fenomena ini
sudah menggejala dimana-mana, baik di kawasan perkotaan maupun di daerah pedesaan.
Dimanapun tempat tatkala masyarakat cenderung permisif dengan pola pergaulan remaja,
ketersediaan hotel bebas akses, sarana hiburan dan tempat wisata tanpa kontrol sosial, maka
disitulah rentan terjadi segala bentuk penyimpangan. Terlebih bagi siswa-mahasiswa yang hidup
indekos dan jauh dari pengawasan orang tua. Namun, seperti apapun kondisinya bukan berarti
boleh menggeneralisir. Semasa studi di Jogja, saya punya sejumlah kawan yang sepenuhnya saya
percaya mampu mempertahankan keperjakaan atau keperawanannya hingga memasuki gerbang
pernikahan. Jumlahnya pun tidak sedikit. Cuma, saya ngga mau ikut-ikutan asal bikin prosentase
begitu aja.
Apakah keperawanan di abad modern saat ini masih relevan untuk diketahui dan dipersoalkan?
Bagi saya pribadi dalam konteks pernikahan, keperawanan itu bukan termasuk syarat prinsipil.
Sejatinya tak ada perbedaan mendasar secara biologis yang membedakan rasa kenikmatan
perawan atau bukan, namun secara psikologis tentu akan menimbulkan sensasi kepuasan
tersendiri. Faktor pengalaman aktivitas seksual itu turut mempengaruhi keharmonisan rumah
tangga. Dalam sudut pandang agama, kata kuncinya bukan keperawanan, tapi menghindari
perzinahan (yang dimulai dari menahan diri dari zina tangan, zina mata, dan sejenisnya). Orang
yang pernah berzina pra nikah, lalu menikah dengan orang berbeda akan mudah terpancing untuk
membuat perbandingan, kemudian tergoda untuk mencoba memuaskan birahi dengan orang
ketiga, orang keempat, dan seterusnya.

Seperti kata pepatah, Lain lubuk, lain pula ikannya, dan Rumput tetangga itu selalu tampak
lebih hijau. Mengapa rumput tetangga tampak lebih indah dipandang mata? Karena rumput itu
tidak bisa leluasa kita kunjungi, sementara rumput sendiri sepanjang waktu sudah kita jelajahi.
Memang menjadi watak dasar umumnya manusia merasa tak puas, tak cukup, dan terkadang
cepat bosan dengan apa yang telah dimilikinya. Ia selalu ingin memiliki hal-hal terbaik yang
dimiliki orang lain. Demikian pula dalam hal pasangan hidup. Ketika ia belum resmi menjadi
hak milik kita, dia selalu tampak serba indah dan membahagiakan. Kemudian setelah ia kita
miliki, menjadi bagian keseharian hidup kita, ia menjadi tampak biasa saja. Nilai
kebahagiaannya bila sudut pandangnya secara fisik akan berkurang. Contoh lainnya, benda apa
yang saat ini anda idam-idamkan? Sebagai contoh anda mendambakan punya mobil Fortuner.
Setiapkali mobil itu melintas, anda merasa kagum lalu berkhayal Alangkah bahagianya punya
mobil Fortuner, terlihat gagah dan bergengsi. Seandainya suatu waktu boleh mobil itu akhirnya
terbeli, mungkin hanya setahun anda merasakan sensasi kebahagiaannya. Lebih dari setahun,
mobil itu mungkin akan tampak biasa saja, lalu anda mulai berkhayal tentang mobil idaman
lainnya.
Begitulah yang disebut dengan nafsu. Bagaimana cara efektif mengendalikan nafsu atau
keinginan mendapatkan sesuatu secara menggebu-gebu? Pertama, dapatkan sesuatu yang relatif
tidak mendatangkan masalah bagi anda. Contohnya kepemilikan HP atau Smartphone, belilah
dalam kondisi baru dan bergaransi yang harganya terjangkau kantong. Pilihlah HP yang fiturnya
relatif lengkap dan kualitasnya lumayan bagus. Intinya, anda pengen mengabadikan sesuatu
dengan kamera, tak ada masalah. Pengen internetan ngga ada masalah, begitu pula fungsi dasar
telepon dan sms. Ketika kita merasa tidak pula kendala dalam memanfaatkan HP sesuai
kebutuhan, maka sewajarnya anda tidak akan begitu tertarik membeli HP-HP seri terbaru. Kedua,
jangan berusaha membangkitkan obsesi. Sepanjang kita ngga berlangganan tabloid Pulsa, tidak
coba-coba cari info HP di berniaga, berusaha tidak memperhatikan HP milik kawan-kawan kita,
maka obsesi itu lebih mudah kita tiadakan.
Demikian pula dari segi pasangan hidup. Kalau kita menikah dengan orang yang dapat kita
tolerir kelemahannya, maka biasanya lebih mudah bagi kita untuk bersikap setia. Misalnya,
lumayan cakep, lumayan pinter masak, lumayan rajin bersih-bersih rumah, lumayan ngga
cemburuan,

You might also like