You are on page 1of 24

Portofolio

Kasus
Gagal Ginjal Kronis Eksaserbasi Akut

Disusun oleh:
dr. Elizabeth Purnamasari

Pendamping:
dr. Lince Holsen
dr. Clara Yosephine

Rumah Sakit Umum Daerah TC Hillers


Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur
Program Dokter Internship Periode Maret 2014-Februari 2015
Portofolio Anak
Nama Peserta: dr. Elizabeth Purnamasari
Nama Wahana: RSUD TC Hillers Maumere
Topik:

Gagal

Ginjal

Kronis

Eksaserbasi Akut

Nama Pasien: Tn. YB


Tanggal Presentasi:

Tempat Presentasi: RSUD TC Hillers

Tanggal (kasus): 25 Mei 2015

No. RM: 160772


Nama Pendamping:
Dr. Lince Holsen
Dr. Clara Yosephine

Obyektif Presentasi:
Keilmuan

Keterampilan

Penyegaran

Tinjauan

Pustaka
Diagnostik

Manajemen

Istimewa

Neonat

Bayi

Rema

Anak

us

Masalah

ja

Dewas

Bu

Lansia

mil

Deskripsi: Tn. YB, laki-laki, 57 tahun, mual dan muntah


Tujuan:

mengenali

tanda

dan

gejala

serta

melakukan

penatalaksanaan
penyakit gagal ginjal kronis
Bahan
bahasan:
Cara
membahas:
Data pasien:

Tinjauan

Riset

Pustaka
Diskusi

Presentasi dan
diskusi

Nama: Tn. YB

Kasus
Email

Audit

Pos

Nomor Registrasi:

Nama klinik: RSUD TC Hillers


Terdaftar sejak: 25 Mei 2015
Telp:
Data utama untuk bahan diskusi:
1.

Diagnosis/Gambaran Klinis:

Pasien datang dengan keluhan mual dan muntah sejak 2 hari SMRS.
Keluhan demam, sakit kepala, nyeri perut, nyeri sendi ataupun otot
disangkal. Tanda-tanda perdarahan juga disangkal. Keluhan batuk,
pilek, maupun nyeri menelan disangkal. Pasien mengatakan nafsu
makan menurun dan badan terasa lemas. Pasien mengatakan BAK
normal tidak ada darah maupun nyeri, BAB juga normal, tidak ada
darah ataupun nyeri.

Riwayat kesehatan/Penyakit

2.

Pasien Tn. YB sebelumnya pernah dirawat di RSUD TC Hillers 2 minggu


lalu dengan keluhan serupa dan dinyatakan memiliki penyakit ginjal.
Pasien dirawat selama 10 hari dan kemudian datang kontrol ke
poliklinik, kemudian malam harinya pasien merasa mual dan kemudian
muntah serta badan terasa lemas.
Pasien juga mengaku memiliki riwayat penyakit hipertensi sejak 18
tahun lalu, tidak terkontrol karena tidak minum obat dengan teratur.
Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal.
Pasien juga menyangkal adanya riwayat penyakit jantung dan asma.
Riwayat alergi obat disangkal.
Pasien memiliki riwayat merokok dan mengkonsumsi alkohol berupa
moke. BAB dan BAK lancar tanpa distensi.
3.

Riwayat keluarga:

Riwayat keluhan serupa pada anggota keluarga disangkal.


Orang tua pasien memiliki penyakit hipertensi, penyakit lainnya seperti
penyakit diabetes, jantung, asma, tuberkulosis, dan keganasan
disangkal.
4. Riwayat sosial:
Pembiayaan kesehatan pasien dengan BPJS.

Pemeriksaan Fisik:
Unit Gawat Darurat: (25 Mei 2015)
Kesadaran
: kompos mentis.
Keadaan umum : tampak sakit sedang.
Tekanan Darah
: 170/90 mmHg.
Nadi
: 76 x /menit, teratur, isi cukup.
Laju nafas
: 20 x /menit.
Suhu
: 36,6 C.
Mata
: CA +/+, SI -/-, pupil bulat isokor.
Paru
: vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
Jantung
: bunyi jantung I dan II reguler, murmur
dan gallop -.
Abdomen
: supel, bising usus +.
Ekstremitas
: akral hangat, CRT <2s, edema -/5.

Ruang Rawat:
Kesadaran
: kompos mentis.
Keadaan umum : tampak sakit sedang.
Tekanan Darah
: 160/90 mmHg.
Nadi
: 80 x /menit, teratur, isi cukup.
Laju nafas
: 20 x /menit.
Suhu
: 36,8 C.
Berat Badan
: 60 kg
Tinggi Badan
: 170 cm
Mata
: CA +/+, SI -/-, pupil bulat isokor.
Paru
: vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
Jantung
: bunyi jantung I dan II reguler, murmur
dan gallop -.
Abdomen
: supel, nyeri tekan -, CVA -/-, bising usus +.
Ekstremitas
: akral hangat, CRT <2s, edema -/Kulit
: terdapat furunkel pada fossa cubiti sinistra
dan kruris sinistra.
6. Pemeriksaan Penunjang:
MTT -/ Hb 6,9/ Ht 19,0/ MCV 81,5/ MCH 29,6/ Leu 5,38
OT 32/ PT 37/ GDS 127/ AU 6,2
BUN 510/ SC 12,14/ Golongan Darah : A+
Elektrolit : Natrium 118,66/ Kalium 4,26/ Chlorida 95,16
USG :
chronic diffuse parenchymal renal disease bilateral dengan kista di
kedua ren (1 buah di ren dextra dan 2 buah di ren sinistra)
7.

Diagnosis:
Acute on CKD
Hipertensi grade 2
Anemia ec CKD
Hiponatremia ec CKD
Multiple Furunkulosis

8.

Tatalaksana:
IVFD RL lifeline
Transfusi PRC 1 bag/hari sampai target Hb >9
(premed : furosemide 1 ampul IV bila TD > 100)
Ondansetron 2 x 1 ampul iv
CaCO 3 3 x 1 tab
Asam folat 2x 2 tab
Captopril 2 x 50 mg
SF 2x1 tab
Gentamicin zalf ue 2x/ hari

Daftar Pustaka:
1. Sanjeev,Gulati. Chronic Kidney Disease. Department of Nephrology
and Transplant Medicine, Fortis Hospitals, India. 2010.
2. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification .National Kidney Foundation (NKF)
NKDOQI.2002.
3. Kasper,L. Braunwald,E. Harrison the principal of internal
medicine.17th edition.chapter 274:Chronic Kidney Disease.2008.
The McGraw-Hill Companies, Inc.USA
4. KDIGO Clinical Practice Guideline for the Diagnosis, Evaluation,
Prevention, and Treatment of Chronic Kidney Disease-Mineral and
Bone
Disorder
(CKD-MBD).
ISN.
http://www.kidneyinternational.org.
5. KDIGO Clinical Practive Guideline for the Management of Blood
Pressure in Chronic Kidney Disease. ISN. http://www.kidneyinternational.org.
6. KDIGO Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease .
ISN. http://www.kidney-international.org.
7. KDIGO Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney
Disease. ISN. http://www.kidney-international.org.
8. Prim Care. Chronic Kidney Disease and Its Complications.
National Institute of Health. June, 2008.
9. Tonelli, Marcello et al. Chronic Kidney Disease and Mortality
Risk. http://www.jasn.org/

Hasil Pembelajaran:
1. Subyektif: Laki-laki, usia 57 tahun, dengan keluhan mual dan
muntah sejak 2 hari SMRS, badan terasa lemas. Riwayat penyakit
gagal ginjal yang diketahui kurang lebih 2minggu lalu sejak
dirawat di RSUD TC Hillers selama 10 hari. Pasien membaik dan
diizinkan pulang tetapi beberapa hari kemudian memburuk
sehingga dibawa ke UGD RSUD TC Hillers.
5

2. Obyektif:
Tekanan darah saat di UGD 170/90, ruang perawatan 160/90 ,
konjungtiva pucat, kulit kering, tampak lemah.
Gambaran : chronic diffuse parenchymal renal disease bilateral
dengan kista di kedua ren pada USG
3. Assessment:
Definisi
Penyakit ginjal kronis (PGK) didefinisikan sebagai kerusakan
ginjal (proteinuria) dan atau laju filtrasi glomerulus (GFR) < 60
mL/mnt/1.73 m2 dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan.
Keberadaan penyakit ginjal kronis (PGK) harus ditetapkan
berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan tingkat fungsi ginjal (laju
filtrasi glomerulus (GFR)).

(NKF KDOQI GUIDELINES of CKD, 2002)

Di antara pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK), Stage


atau derajat harus ditentukan berdasarkan pada tingkat fungsi
ginjal, sesuai kutipan tabel menurut klasifikasi CKD KDOQI dibawah
ini:

(NKF KDOQI GUIDELINES of CKD, 2002)

Semua individu dengan GFR <60 mL/mnt/1.73 m 2 selama lebih


dari 3 bulan diklasifikasikan sebagai Penyakit Ginjal Kronik (PGK),
terlepas dari adanya maupun tidak adanya kerusakan ginjal
(contoh: ditemukannya proteinuria persisten, sedimen urin yang
abnormal, kimia darah dan urin yang abnormal, dan pencitraan
yang abnormal).
6

Semua individu dengan kerusakan ginjal dapat diklasifikasikan


sebagai PGK, terlepas dari penurunan tingkat GFR. Dasar pemikiran
untuk mengikutsertakan individu dengan GFR
60 mL/min/1.73
m2 adalah bahwa GFR masih dapat dipertahankan pada tingkat
normal ataupun meningkat meskipun terjadi kerusakan ginjal yang
substansial, dan pada pasien dengan kerusakan ginjal mengalami
peningkatan risiko dari dua komplikasi utama dari PGK :
hilangnya fungsi ginjal dan perkembangan penyakit kardiovaskular.
Etiologi
Penyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu :
1. Kelainan parenkim ginjal
- Penyakit ginjal primer
- Glomerulonefritis
- Pielonefritis
- Ginjal polikistik
- TBC ginjal
- Penyakit ginjal sekunder
- Nefritis lupus
- Nefropati analgesic
- Amiloidosis ginjal
2. Penyakit ginjal obstruktif
- Pembesaran prostat batu
- Batu saluran kencing, dll.
Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung
pada
penyakit
awal
yang
mendasarinya,
tetapi
dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan
fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai
oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Hal ini
mengakibatkan
terjadinya
hiperfiltrasi,
yang
diikuti
oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis
dan progresifitas penyakit tersebut.
Aktivasi jangka panjang Aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh Growth Factor, seperti Transforming
Growth Factor (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap
berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dyslipidemia. Terdapat
variabilitas inter individual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling dini
penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal,
pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi
7

keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar


urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai
terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada
LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda
uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual,
muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi
saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran
cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo
atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain
Na+ dan K+. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
sampai pada stadium gagal ginjal.

Azotemia adalah retensi dari produk sisa nitrogen sebagai


perkembangan insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih
berat dari progresivitas insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem
organ telah terganggu. Meskipun uremia bukan penyebab utama,
urea dapat menimbulkan gejala klinis seperti anoreksia, malaise,
muntah dan sakit kepala. Produk nitrogen lainnya seperti
komponen guanido, urat dan hipurat, hasil akhir metabolisme asam
nukleat, poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat
tertahan dalam tubuh pada penyakit ginjal kronik dalam hal ini
dipercaya dapat meningkatkan angka kematian pada uremia.
Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan ekskresi renal saja
tetapi dapat juga menyebabkan gangguan pada fungsi metabolik
dan endokrin yang dapat menyebabkan anemia malnutrisi,
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gangguan
penggunaan energi, dan penyakit tulang metabolik. Lebih jauh lagi
kadar plasma berbagai hormon polipeptida seperti paratiroid
hormon (PTH), insulin, glukagon, luteinizing hormon, dan prolaktin
8

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal


jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume packed
red cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia bukanlah suatu
diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang
mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama,
pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. Anemia merupakan
satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit
ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40
ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih
parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal.
Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi ginjal.
Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin memiliki hubungan yang
kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin klirens
menurun sampai kurang dari 30 35 ml/menit. Anemia pada gagal
ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada
faktor lain yang memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi
pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat hiporegeneratif. Jumlah
retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak
adekuat.
Manifestasi GGK dan Uremia:
1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa
a. Homeostasis Natrium dan Air.
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang
stabil kandungan Natrium dan H2O pada seluruh tubuh
meningkat
secara
perlahan
penyebabnya
adalah
terganggunya
keseimbangan
glomerulotubular
yang
menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses
pencernaan menyebabkan penambahan natrium yang
menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES)
dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang
menyebabkan kerusakkan ginjal lebih jauh. Pasien dengan
penyakit ginjal kronik yang belum di dialisis tetapi terbukti
terjadi ekspansi CES, pemberian loop diuretik bersama
dengan pengurangan intake garam dapat digunakan sebagai
terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki
gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan
H2O. Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan cairan
terjadi seperti muntah, diare, berkeringat, demam, pasien
akan mengalami kekurangan CES.
b. Homeostasis Kalium.
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu
disertai dengan penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun
demikian hiperkalemia dapat terjadi dengan gejala klinis
berupa konstipasi, katabolisme protein, hemolisis, metabolik
asidosis dan beberapa obat dapat menghambat kalium
masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di
distal nefron. Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit
ginjal kronik. Biasanya merupakan tanda kurangnya intake
kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan
9

kebanyakan pasien dengan insufisiensi ginjal yang stabil,


pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau
natrium sitrat memperbaiki asidosis. Namun dalam respons
terhadap tantangan asam yang mendadak (apakah dari
sumber endogen atau eksogen), pasien gagal ginjal kronik,
rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali
yang besar utuk koreksi. Pemberian natrium harus
dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap
status volume.
2. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat.
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik
dapat diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan
tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah
atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat
sekunder hiperparatiroidism berhubungan dengan metabolisme
mineral yang abnormal yaitu :
(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik
fosfat (PO43- ) dan menimbulkan retensi PO43-.
(2). Tertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis
PTH dan massa sel kelenjar para tiroid.
(3) Tertahannya PO43- juga menyebabkan terjadinya produksi
yang berlebihan dan sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2+ dan
dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 dihidroksi oleh
kalsiferol).
(4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari
penurunan sintesis akibat pengurangan masa ginjal dan akibat
hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah, pada akhirnya,
menimbulkan hiperparatiroidism melalui mekanisme langsung
dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi
langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan
kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan
kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan
gannguan absorbsi Ca2+ dari traktus gasrto interstinal, yang
kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya
meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol,
semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari
paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Low
turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori,
yaitu osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya
memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah osteoklas dan
osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada
osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak
termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid, yang dapat
menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan deposit
aluminium,
atau
asidosis
metabolik.
Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian
pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di
saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal
10

3. Kelainan kardiovaskuler.
a. Penyakit Jantung Iskemik.
Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan
akibat dari faktor resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi,
hipervolemia, dislipidemi, overaktivitas simpatis, dan
hiperhomosisteinemia. Dan faktor resiko non-tradisional,
yaitu anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan
derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap
derajat
penyakit
ginjal
kronik.
Derajat
inflamasi
meningkatkan reaktan fase akut, seperti interleukin 6 dan Creaktif protein, yang menyebabkan proses penyumbatan
koroner dan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler.
Nitride oksida merupakan mediator yang penting dalam
pada dilatasi vaskular. Keberadaan nitrit oksida, pada
penyakit ginjal kronik menurun sebab terjadi prningkatan
konsentrasi asimetris dimetil-1-arginin.
b. Gagal jantung kongestif.
Kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease
dan atau left ventricular hypertrophy, bersamaan dengan
retensi air dan garam pada uremia, kadang menyebabkan
gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.
c. Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.
Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang
paling
sering.
Hipertensi
yang
berkepanjangan
menyebabkan terjaadinya hipertrofi ventrikel.
4. Kelainan Hematologi
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80 90 % pasien penyakit ginjal kronik
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain
yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran
cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan
sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
maupun kronik, hirparatiroidisme yang berat, keracunan
aluminium,
dan
keadaan
umum
lain
seperti
hemoglobinopaties. Anemia yang tidak diterapi akan
berhubungan dengan beberapa kelainan fisiologis, seperti
penurunan pengantaran dan penggunaan oksigen ke
jaringan, meningkatkan cardiac output, pembesaran
jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal jantung kongestif,
penurunan fungsi mental dan kognitif, gangguan siklus
menstruasi, gangguan host untuk melawan infeksi. Selain itu
anemia dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada
anak dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi terhadap
anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g % atau
hematokrit 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi
(kadar besi serum/serum iron,kapasitas ikat besi total/total
11

b. Gangguan pembekuan
Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time,
penurunan aktivitas faktor pembekuan III, kelainan platelet
agregation, dan gangguan konsumsi protrombin. Gejala
kliniknya berupa perdarahan yang abnormal, perdarahan
dari luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastro
intestinal, dan lain-lain.
5. Kelainan neuromuscular
Neuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan
komposisi dan fungsi otot, merupakan komplikasi yang sering
pada penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada sistem saraf
pusat,
seperti
gangguan
ingatan
sedang,
gangguan
konsentrasi, dan gangguan tidur; iritabilitas neuromuskular,
seperti hiccups, keram, fasikulasi atau twiching otot. Pada
uremia terminal, didapatkan astherixis, mioklonus, chorea,
bahkan sampai terjadi kejang dan koma. Neuropati perifer
biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf motorik,
ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian distal
lebih dari bagian proximal.
6. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor
,sensasi pengecapan seperti metal, gastritis, peptic disease,
ulserasi mukosa pada saluran pencernaan yang dapat
menyababkan nyeri perut, mual, muntah, dan kehilangan
darah,peningkatan insiden terjadinyadivertikulosis, pada pasien
dengan penyakit ginjal polikistik, meningkatkan terjadinya
pankreatitis.
7. Gangguan metabolik endokrin
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metbolisme
glukosa dan pada wanita terjadi penurunan hormon estrogen,
sehingga terjadi amenorea, dan kemungkinan untuk menjadi
hamil menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang telah menjalani
dialisis dalam waktu yang lama akan terjadi impotensi,
oligospermia, displasia sel germinal, yang menurunkan kadar
testosteron plasma.
8. Kelainan dermatologi.
Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit akibat
anemia,
ekimosis
dan
hematoma
akibat
gannguan
pembejkuab, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi calcium-fosfat
dan hiperparatiroid sekunder, diskolorasi berwarna kuning
akibat deposisi pigmen metabolik dan urokrom, serta uremic
frost akibat kadar urea itu sendiri.
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas
12

Kedua, persamaan dari Kockcroft-Gault sebagai berikut :

Klasifikasi menurut NICE 2008


1. Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari
GGK
2. Proteinuria:
a) Urin ACR (albumin clearance ratio) 30mg/mmol atau lebih.
b) Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih.
(dengan perkiraan urinary protein excreation 0,5 g/24jam atau
lebih)
3. Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori:
a) LFG 45 59 ml/min/1,73 m2 (stadium 3A)
b) LFG 30 44 ml/min/1,73 m2 (stadium 3B)

4. Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi oleh usia.


Pada orang dengan usia > 70 tahun dengan LFG 45 59
ml/min/1,73 m2, apabila keadaan tersebut stabil seiring dengan
waktu tanda ada kemungkinan dari gagal ginjal, biasanya hal
tersebut tidak berhubungan dengan komplikasi dari GGK.

13

Manifestasi klinis
1. Kardiovaskuler:
a. Hipertensi
b. Pembesaran vena leher
c. Pitting edema
d. Edema periorbital
e. Friction rub pericardial
2. Pulmoner:
a. Nafas dangkal
b. Krekels
c. Kusmaul
d. Sputum kental dan liat
3. Gastrointestinal:
a. Konstipasi / diare
b. Anoreksia, mual dan muntah
c. Nafas berbau ammonia
d. Perdarahan saluran GI
e. Ulserasi dan perdarahan pada mul
4. Muskuloskeletal:
a. Kehilangan kekuatan otot
b. Kram otot
c. Fraktur tulang
5. Integumen:
a. Kulit kering, bersisik
b. Warna kulit abu-abu mengkilat
c. Kuku tipis dan rapuh
d. Rambut tipis dan kasar
e. Pruritus
f. Ekimosis
6. Reproduksi:
a. Atrofi testis
b. Amenore
7. Sindrom uremia:
a. Lemah letargi
b. Anoreksia
c. Mual dan muntah
d. Nokturia
e. Kelebihan volume cairan (volume overload).
f. Neuropati perifer
g. Uremic frost
h. Perikarditis
i. Kejang
j. Koma.

14

Pemeriksaan Penunjang
A. Gambaran laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
Sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes melitus,
hipertensi, dll).
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung
menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar kreatinin serum
saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal.
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,
hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, asidosis metabolik.
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria,
cast, isosisteinuria.
B. Gambaran radiologi
Pemeriksaan radiologi penyakit ginjal kronik meliputi:
Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque.
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering
tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping
kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan.
Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi.
Indikasi USG (NICE 2008):
- Progresif GGK (LFG turun > 5 ml.min.1,73m2 dalam 5
tahun).
- Adanya hematuria
- Ada gejala obstruksi saluran kencing
- Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia
lebih dari 20 tahun.
- GGK stadium 4 dan 5.
- Memerlukan biopsi ginjal.
Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan bila
ada indikasi.
Diagnosis
Diagnosis GGK ditegakan apabila LFG < 60 ml/min/1,73m2
selama lebih dari 3 bulan, atau adanya bukti gagal ginjal
(gambaran patologi yang abnormal atau adanya tanda kerusakan,
termasuk abnormalitas dari pemeriksaan darah dan urin atau
gambaran radiologi). Bila dari hasil pemeriksaan yang sudah
dilakukan belum dapat menegakkan diagnosis, maka dapat
dilakukan biopsy ginjal terutama pada pasien dengan ukuran ginjal
15

Penatalaksanaan
Farmakoterapi (menurut NICE guidelines 15september2008)
A. Kontrol tekanan darah
Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik
< 140 mmHg (dengan kisaran target 120 139 mm Hg) dan
tekanan diastolic < 90 mmHg.
Pada orang dengan GGK dan Diabetes dan juga orang dengan
ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR
100 mg/mmol atau lebih, atau proteinuria 1 gr/24jam atau
lebih), diharuskan untuk menjaga tekanan sistolik < 130
mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan
diastolik < 80 mmHg.
B. Pemilihan agen antihipertensi
1st line: ACEInhibitor/ARBs (apabila
mentolerir).

ACEInhibitor

tidak

dapat

ACE Inhibitor/ARBs diberikan pada:


Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol
(pria) atau lebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya
hipertensi atau stadium GGK.
Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan di sini untuk
memulai pengobatan ACE Inhibitor pada orang dengan CKD
dan proteinuria. Potensi manfaat ACE inhibitor dalam konteks
ini sangat meningkat jika seseorang juga memiliki diabetes
dan hipertensi dan dalam keadaan ini, sebuah batas yang
lebih rendah diterapkan.
GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR 30
mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 50
mg/mmol atau lebih, proteinuria 0,5 gr/24jam atau lebih).
GGK pada non-diabetik dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kirakira ekuivalen dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih,
proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), tanpa adanya hipertensi
atau penyakit kardivaskular.
GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR < 30
mg/mmol (kira-kira ekuivalen dengan PCR < 50 mg/mmol,
atau proteinuria < 0,5 gr/24jam.
Saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs, upayakan agar
mencapai dosis terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi
sebelum menambahkan terapi 2nd line (spironolakton).
Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE
Inhibitor/ARBs:
o Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum
potassium dan perkiraan LFG sebelum memulai terapi ACE
Inhibitor/ARBs. Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2
minggu
setelah
penggunaan
obat,
dan
setelah
peningkatan dosis.
o Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila
16

o Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE


Inhibitor/ARBs
yang
dapat
juga
mencetuskan
hiperkalemia, bukan kontraindikasi penggunaan terapi
tersebut, tapi harus menjaga konsentrasi serum
potassium.
o Stop terapi tersebut, bila konsentrasi serum potassium
meningkat > 6,0 mmol/L atau lebih dan obat lain yang
diketahui dapat meningkatkan hiperkalemia sudah tidak
digunakan.
o Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat
sebelum terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma
meningkat dari batas awal kurang dari 30%.
o Apabila perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan
kreatinin plasma 30% atau lebih:
Investigasi
adanya
deplesi
volume
ataupun
penggunaan NSAIDs.
Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi
atau dosis harus diturunkan dan alterlatif antihipertensi
lain bisa digunakan.
C. Pemilihan statins dan antiplatelet
Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit
kardiovaskular. Pada orang dengan GGK, penggunaannyapun tidak berbeda.
Penggunaan statin pada orang dengan GGK merupakan
pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular, terlepas
dari batas nilai lipid-nya.
Penggunaan antiplatelet pada orang dengan GGK merupakan
pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular. GGK
bukan merupakan kontraindikasi dari penggunaan aspirin
dosis rendah, tetapi dokter harus memperhatikan adanya
kemungkinan perdarahan minor pada orang dengan GGK
yang diberikan antiplatelet multipel.
D. Komplikasi lainnya
Metabolisme tulang dan osteoporosis
- Melakukan pengukurang rutin untuk kalsium, fosfat,
paratiroid hormone (PTH) dan level vitamin D pada orang
dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B, tidak tirekomendasikan.
- Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH
pada orang dengan GGK stadium 4 dan 5 (LFG < 30
ml/min/1,73m2).
- Memberikan bisphosphonate, apabila ada indikasi untuk
mencegah dan mengobati osteoporosis pada orang
dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B.
- Pemberian suplemen vitamin D:
GGK stadium 1, 2, 3A/3B diberikan cholecalciferol atau
ergocalciferol.
17

E. Anemia
Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11
g/dl (atau 10 g/dl pada usia < 2 tahun).
Menentukan apakah anemia disebabkan oleh GGK atau
bukan. Dengan memperhatikan LFG < 60 ml/min/1.73m2.
Anemia defisiensi zat besi, biasanya pada:
o Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin < 100
mikrogram/L.
o Orang dengan GGK stadium 3 dan 4, dengan level ferritin
< 100 mikrogram/L.
Penanganan anemia
1. Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia
menggunakan recombinant human eritropoetin yang telah
diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di
demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya
eritropoetin, human recombinant eritropoetin diberikan
intravena kepada pasien hemodialisa, telah dibuktikan
menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini
memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal
setelah transfusi darah berakhir pada pasien bilateral
nefrektomi yang membutuhkan transfusi reguler. Pada
gambar.3, saat sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x
seminggu setelah setiap dialisa, pasien reguler hemodialisis
merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu
dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa
AB yang melawan materi rekombinan dan menghambat
terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek
samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah
dan memerlukan dosis Heparin yang tinggi untuk
mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial
selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada
pembuluh darah dapat terlihat.
Peningkatan
tekanan
darah
bukan
hanya
akibat
peningkatan viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus
vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan
dengan
tingginya
viskositas
darah
bagaimanapun
sedikitnya satu kelompok investigator terlihat peningkatan
trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi
human recombinant eritropoetin pada diferensiasi murine
megakariosit. Lalu trombositosis mungkin mempengaruhi
hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum
kreatinin yang meningkat dan hiperkalemia dapat
mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer karena
tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena
peningkatan keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang
dipengaruhi oleh eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi
besi khususnya pada pasien dengan peningkatan blood
loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa
18

Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO:


1) Indikasi: Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali
pemeriksaan
dan
penyebab
lain
anemia
sudah
disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
a. Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L,
saturasi transferin > 20%.
b. Tidak ada infeksi yang berat.
2) Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap EPO.
3) Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hatihati pada keadaan:
a. Hipertensi tidak terkontrol.
b. Hiperkoagulasi.
c. Beban cairan berlebihan / fluid overload.
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi
yang cukup, terdapat beberapa kriteria pengkajian status
besi pada GGK:
i. Anemia dengan status besi cukup.
ii. Anemia defisiensi besi:
a. Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100
mcg/L
b. Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100
mcg/L
Saturasi Transferin < 20 %
Terapi Eritropoietin Fase koreksi:
Tujuan: Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht
tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 23x seminggu selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan:
Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 %
dalam 2-4 minggu.
c. Pantau Hb dan Ht tiap 4 minggu.
d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO
sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL).
e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%.
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4
minggu, turunkan dosis 25%.
g. Pemantauan status besi:
Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan
suplemen sesuai dengan panduan terapi besi.
Terapi Eritropoietin Fase Pemeliharaan:
a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL). Dosis
19

b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL


(dan status besi cukup) maka dosis EPO diturunkan 25%
Pemberian eritropoetin ternyata dapat menimbulkan efek
samping diantaranya:
- Hipertensi:
i. tekanan darah harus dipantau ketat terutama
selama terapi eritropoetin fase koreksi.
ii.
pasien
mungkin
membutuhkan
terapi
antihipertensi atau peningkatan dosis obat
antihipertensi.
iii.
peningkatan tekanan darah pada pasien dengan
terapi eritropoietin tidak berhubungan dengan
kadar Hb.
Kejang:
i. Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase
koreksi.
ii. Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat
dan tekanan darah yang tidak terkontrol.
Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon
yang tidak adekwat. Respon EPO tidak adekuat
bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang
dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8
minggu.
2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal
dialisis.
Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan
peritoneal
dialisis
pada
dasarnya
dapat
juga
mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal,
sejak prosedur ini dapat membuang toksin yang
menyebabkan hemolisis dan menghambat eritropoesis.
Selain itu, pengalaman klinis membuktikan bahwa
perkembangannya lebih cepat daripada menggunakan
terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi pengganti
ginjal merupakan akibat keterbatasan pengetahuan
tentang toksin dan cara terbaik untuk menghilangkannya.
Pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi
dtoksifikasi pada uremia dengan meningkatkan batas atas
ukuran molekular yang dibuang dengan difusi dan atau
transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil yang
memuaskan. Misalnya, tidak ada data yang membuktikan
bahwa
hemofiltrasi
yang
mencakup
pembuangan
jangkauan molekuler yang lebih besar dibanding
hemodialisis dengan membaran selulosa yang kecil,
merupakan dua terapi utama dalam mengkoreksi anemia
pada gagal ginjal. Selain itu continious ambulatory
peritoneal dialysis (CAPD) , juga merupakan terapi dengan
pembuangan jangkauan molekuler yang besar, ini lebih
baik dibandingkan dengan hemodialisis standar dengan
20

pasien reguler hemodialisis. Diagnosis ditegakkan denan


peningkatan nilai aluminium serum, riwayat terpapar
aluminium baik oral maupun dialisat, gejala intoksikasi
aluminium seperti ensekalopati penyakit tulang aluminium,
dan keberhasilan percobaan terapi. Terapi utama adalah
pemberian chelator deferoxamin (DFO) IV selama satu
sampai dua jam terakhir saat hemodialisa atau hemofiltrasi
atau CAPD. Range dosis 0,5 2,0 gr, 3 kali seminggu. DFO
memobilisasi aluminium sebagai larutan yang kompleks,
dimana kemudian dibuang dengan terapi dialisis atau
prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipotensi,
toksisitas okular, komplikasi neurologi seperti kejang dan
mudah terkena infeksi jamur. Efek samping ini berespons
terhadap
pemberhentian
terapi
sementara
waktu,
pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek DFO
pada
anemia
dapat
berakibat
drastis,
yang
menggambarkan perubahan nilai hemoglobine, feritin
serum, dan konsentrasi aluminium, MCV, MCH pada pasien
dengan ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium.
Pada permulaan terapi pasien mengalami anemia mikrositik
peningkatan nilai aluminium serum dan feritin. Setelah
beberapa bulan terapi dengan DFO, MCV dan MCH pada
nilai diatas normal, hemoglobin meningkat secara signifikan
dan feritin serum dan aluminium menurun.
4. Mengkoreksi hiperparatiroidism.
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal,
paratiroidektomi bukan merupakan indikasi untuk terapi
anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar paratiroid
dengan 1,25-dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan
dengan peningkatan anemia.
5. Terapi androgen
Efek yang positif pada terapi ini yaitu meningkatkan
produksi eritropoetin, meningkatkan sensitivitas polifrasi
eritropoetin yang sensitif terhadap populasi stem cell.
Testosteron ester (testosteron propionat, enanthane,
cypionate), derivat 17-metil androstanes (fluoxymesterone,
oxymetholone, methyl testosterone), dan komponen 19
norterstosteron
(nandrolone
dekanoat,
nandrolone
phenpropionate) telah sukses digunakan pada terapi anemia
dengan gagal ginjal. Respon nya lambat dan efek dari obat
ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi. Nandrolone
dekanoat cukup diberikan dengan dosis 100-200 mg, 1 x
seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harus
dibatasi karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19nortestosteron memiliki ratio anabolik : androgenik yang
paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabkan
hirsutisme serta paling aman untuk pasien wanita.
21

Terapi dengan androgen dapat menimbulakan gejala


prostatism atau pertumbuhan yang cepat dari Ca prostat.
Rash kulit, perubahan suara seperti laki-laki, dan perubahan
fisik adalah efek samping lainnya pada terapi ini.
6. Suplementasi besi.
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi dengan
absorpsi besi pada usus. Monitoring penyimpanan besi
tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau dua kali
pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak
dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi oral lebih dipilih
ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk
memperbaiki defisiensi besi, penggantian besi secara
parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron
dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman
dibanding injeksi intra muskular. Syok anafilaktik dapat
terjadi pada 1% pasien yang menerima terapi besi
parenteral. Untuk emngurangi kejadian komplikasi yang
berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit pertama
dengan dosis kecil dari total dosis. Jumlah yang diperlukan
untuk replinish penyimpanan besi dapat diberikan dengan
dosis terbagi yaitu 500mg dalam 5-10 menit setiap harinya
atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan
5% iron dextran dan diinfuskan perlahan dalam beberapa
jam.
Terapi besi fase pemeliharaan:
a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk
eritropoiesis selama terapi EPO.
b. Target terapi: Feritin serum > 100 mcg/L < 500 mcg/L
Saturasi transferin > 20 % < 40 %
c. Dosis
i. IV : iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu iron
dextran : IV : 50 mg/minggu iron gluconate : IV : 31,25125 mg/minggu
ii. IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu
iii. Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari
iv. Status besi diperiksa setiap 3 bulan
v. Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki
lanjutkan terapi besi dosis pemeliharaan.
vi. Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin >
40%, suplementasi besi distop selama 3 bulan.
vii. Bila pemeriksaan ulang setelah 3 bulan feritin serum <
500 mcg/L dan saturasi transferun < 40%, suplementasi besi
22

7. Transfusi darah.
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus.
Indikasi transfusi darah adalah:
a.
Perdarahan
akut
dengan
gejala
gangguan
hemodinamik
b. Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7
g /dL
c. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
d. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram
terapi EPO ataupun yang telah mendapat EPO tetapi
respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM
belum tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan
hati-hati
e. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah
adalah : 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada
terapi EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk
menghindari
bahaya
overhidrasi,
hiperkatabolik
(asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan
bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 1012 g/dL berhubungan dengan peningkatan mortalitas
dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien
dengan penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang
direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian
transfusi darah sedapat mungkin dihindari.
F. Nutrisi
Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan energi dan nutrient sekaligus mengurangi gejalagejala uremia dan menunda percepatan penurunan fungsi ginjal
atau memperlambatnya. Status nutrisi memiliki kaitan erat
dengan angka mortalitas pada pasien dengan GGK. Dianjurkan
kecukupan energy > 35 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia >
60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60
tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari. Asupan kalori harus cukup
untuk mencegah terjadinya proses katabolik. Bila asupan peroral
tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan nutrisis sehari-hari
sesuai dengan status gizi seseorang, dapat ditambahkan nutrisi
parenteral. Perbandingan kalori yang bersumber dari lemak dan
karbohidrat sebesar 25%: 75%. Selain itu diberikan kombinasi
dari asam amino esensial dan non esensial. Jumlah maksimal
pemberian karbohidrat adalah 5 g/kgBB. Sedangkan lipid
diberikan maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk fat emulsion 10-20%
sebanyak 500 mL.
Diet rendah garam, dalam bentuk protein sekitar 0,60,75%
g/kgBB/hari,dengan protein yang memiliki nilai biologic tinggi,
sebesar 0,35 g/kgBB/hari tergantung dari beratnya gangguan
fungsi ginjal. Pasien dengan gagal ginjal krooni harus mengurangi
asupan proeinnya karena protein berlebih akan menyebabkan
terjadinya penumpukan nitrogen dan ion inorganic yang akan
23

Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnya buruk, kecuali jika dilakukan transplantasi ginjal.
Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk
mencegah progesivitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK
sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan
menimbulkan gejala, sehingga penanganannya seringkali terlambat.
Pendamping,

dr. Lince Holsen

Pendamping,

dr. Clara Yosephine

24

You might also like