You are on page 1of 45

REFERAT

KISTA GINJAL

Oleh:
Dwityo Rahmat Setiawan
H1A 006 011
Supervisor:
dr. Akhada Maulana, SpU

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB
MATARAM
2013

BAB I
PENDAHULUAN

Kista merupakan suatu rongga yang dilapisi oleh epitel dan berisi cairan. Kista ginjal
adalah struktur berisi cairan di dalam atau di tepi ginjal. Ginjal merupakan salah satu lokasi
tersering terjadinya kista pada tubuh. Kista ginjal dapat berkembang pada setiap lokasi di
sepanjang tubulus ginjal, dari kapsul Bowman ke duktus kolektivus melalui proses yang
diwariskan, melalui perkembangan atau didapat.
Meskipun lesi kista memiliki kondisi histologis yang serupa (mikroskopik atau
makroskopik, kantung dilapisi epitel), namun jumlah, lokasi, dan gambaran klinis kista
berbeda. Beberapa kista ginjal sebenarnya merupakan ektasi tubulus atau duktus kolektivus
pada nefron. Gardner (1988) mengemukakan bahwa duktus yang melebar hingga empat kali
diameter normal dapat disebut kista. Beberapa kista merupakan struktur sakular atau fusiform
yang menyerupai divertikula dan terletak pada berbagai lokasi di sepanjang nefron. Kista
dapat berhubungan dengan glomerulus, tubulus, duktus kolektivus, atau kaliks. Kista
mungkin terletak difus seluruh ginjal atau pada satu segmen saja serta dapat unilateral atau
bilateral. Kista juga dapat mewakili suatu bentuk displasia serta dapat pula timbul bersamasama dengan displasia.
Kista ginjal dapat disebabkan oleh anomali kongenital ataupun kelainan yang didapat.
Kista ginjal dapat merupakan bagian dari kelainan bawaan dan dapat muncul pada saat lahir
atau berkembang beberapa waktu setelahnya atau bahkan dapat timbul pada saat dewasa.
Beberapa jenis kista yang berbeda memiliki gambaran serupa, misalnya pada penyakit ginjal
dominan autosomal (ADPKD), tuberus sklerosis, penyakit VHL, dan penyakit ginjal kistik
didapat (ARCD), tampak kista memiliki lapisan hiperplastik, kadang-kadang terdapat nodul
hiperplasia atau polip yang mengarah ke dalam lumen kista. Namun, kondisi hiperplastik tiap
jenis kista ini sangat berbeda satu sama lain. Contoh lain dari kesamaan tersebut adalah ektasi
pada duktus kolektivus yang tampak pada penyakit ginjal polikistik resesif autosomal
(ARPKD) dan medullary sponge kidney.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 STRUKTUR ANATOMI DAN FUNGSI GINJAL
2.1.1 Struktur Anatomi Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal
bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial.
Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-struktur pembuluh darah, sistem
limfatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Ginjal terletak pada
dinding abdomen posterior setinggi vertebra Thorakal 12 (T12)sampai dengan Lumbal 3 (L3).

Struktur ginjal terdiri atas korteks renalis dan medula renalis, yang masing-masing
berbeda dalam warna dan bentuk. Korteks renalis berwarna pucat, mempunyai permukaan
yang kasar. Medula renalis terdiri atas pyramidales renale (pyramis renalis Malpighii ),
berjumlah antara 1220 dan berwarna agak gelap. Basis dari bangunan piramid ini,
disebut basis pyramidis berada pada korteks, dan apexnya yang dinamakan papilla
renalis, terletak menghadap ke arah medial, bermuara pada kaliks minor. Pada setiap papilla
renalis bermuara 1040 buah duktus yang mengalirkan urin ke kaliks minor. Daerah tersebut
berlubang-lubang dan dinamakan area cribrosa. Hilum renale meluas membentuk sinus
renalis, dan di dalam sinus renalis terdapat pelvis renalis, yang merupakan pembesaran dari
ureter ke arah cranialis. Pelvis renalis terbagi menjadi 23 kaliks renal mayor, dan setiap
kaliks mayor terbagi menjadi 714 buah kaliks renal minor.

Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang disebut kapsula
fibrosa (true capsule) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal. Kelenjar
adrenal bersama-sama ginjal dan jaringan lemak perirenal dibungkus oleh fasia Gerota. Fasia
ini berfungsi sebagai barier yang menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal
serta mencegah ekstravasasi urin pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu, fasia Gerota
dapat pula berfungsi sebagai barier dalam menghambat penyebaran infeksi atau menghambat
metastasis tumor ginjal ke organ sekitarnya. Di luar fasia Gerota terdapat jaringan lemak
retroperitoneal atau disebut jaringan lemak pararenal. Di sebelah posterior, ginjal dilindungi
oleh otot-otot punggung yang tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII sedangkan di sebelah
anterior dilindungi oleh organ-organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar,
kolon dan duodenum; sedangkan ginjal kiri
dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas,
jejunum dan kolon. Secara anatomis ginjal
terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan
medula ginjal. Di dalam korteks terdapat
berjuta-juta nefron sedangkan di dalam
medula terdapat banyak duktuli ginjal. Nefron
adalah unti fungsional terkecil dari ginjal
yang terdiri atas tubulus kontortus proksimalis, tubulus kontortus distalis dan duktus
kolegentes.

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung
dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang bermuara
ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak
mempunyai anastomosis dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat
kerusakan pada salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada
daerah yang dilayaninya.

2.1.2 Fungsi Ginjal


Selain membuang sisa-sisa metabolisme tubuh melalui urin, ginjal berfungsi juga dalam:
a. Mengontrol sekkresi hormon aldosteron dan ADH (antidiuretic hormone) dalam mengatur
jumlah cairan tubuh
b. Mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D
c. Menghasilkan beberapa hormon, antara lain:
5

- Eritropoetin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah


- Renin yang berperan dalam mengatur tekanan darah
- Prostaglandin

2.2. KISTA GINJAL


2.2.1 Definisi
Kista berasal dari kata Cystic yang berarti rongga tertutup abnormal, dilapisi epitel
yang mengandung cairan atau bahan semisolid. Kista ginjal adalah kista yang terdapat pada
ginjal. Kista ginjal adalah struktur berisi cairan di dalam atau di tepi ginjal. Ginjal merupakan
salah satu lokasi tersering terjadinya kista pada tubuh. Meskipun lesi kista memiliki kondisi
histologis yang serupa ( mikroskopik atau makroskopik, kantung dilapisi epitel), namun
jumlah, lokasi, dan gambaran klinisnya kista berbeda.
2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi

yang

digunakan

berdasarkan

kesepakatan

Komite

Klasifikasi,

Nomenklatur dan Terminologi Bagian AAP pada Urologi pada tahun 1987, di mana
perbedaan utama antara penyakit genetik dan nongenetik dan kelainan lain diklasifikasikan
lebih lanjut berdasarkan gambaran klinis, radiologis, dan patologisnya (Tabel 114-2). Dua
entitas glomerulokistik diskrit telah ditambahkan ke dalam klasifikasi AAP, seperti yang
terdapat dalam Tabel 114-2.
Tabel 114-2 Penyakit Kista Ginjal
Genetik
Penyakit ginjal polikistik resesif autosomal (ARPKD)
Penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD)
Penyakit juvenil nephronophthisis/penyakit kista medulary kompleks
o Penyakit juvenil nephronophthisis
o Penyakit kista medulary kompleks
4. Nefrosis kongenital (sindrom nefrotik familial) (resesif autosomal)
5. Penyakit glomerulokistik hipoplastik familial (dominan autosomal)
6. Sindrom malformasi multipel dengan kista renalis (contoh : tuberus sklerosis,
A.
1.
2.
3.

penyakit von Hippel-Lindau)


B.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Non Genetik
Ginjal multikista/ginjal multikista displastik
Kista jinak multilokular (kista nefroma)
Kista sederhana
Medullary sponge kidney
Penyakit glomerulokistik ginjal sporadis
Penyakit kista ginjal didapat
Divertikulum kaliks (kista pyelogenik)

A. Genetik
1. Penyakit ginjal polikistik resesif autosomal (ARPKD)
Epidemiologi
Penyakit ginjal polikistik resesif autosomal (ARPKD) merupakan penyakit langka
yang terjadi pada 1 dari 40.000 kelahiran hidup (Zerres et al, 1987). Angka kejadian
penyakit ini tidak terlalu jarang di Finlandia yakni sebesar 1 dari 10.000 kelahiran hidup
(Kaariairen, 1987) bahkan dapat terjadi pada 1 dari 5.000 sampai 10.000 kelahiran hidup
(Bernstein dan Slovis, 1992). Penyakit ini mengakibatkan sebanyak 50% bayi baru lahir
meninggal pada beberapa jam sampai beberapa hari kehidupannya, sehingga membuat
penurunan insidensi yang signifikan pada bayi yang berusia 1 tahun. Sebanyak 50% bayi
yang bertahan pada periode neonatus dapat bertahan hingga usia 10 tahun (Kaplan at al,
1990).

Genetik

Setelah diagnosis ARPKD dicurigai, maka dibutuhkan rujukan untuk evaluasi genetik
dan konseling. Kemudian dilakukan anamnesis silsisah keluarga setidaknya hingga tiga
generasi. Karena penyakit ini bersifat autosomal resesif, maka saudara kandung memiliki
kemungkinan terkena penyakit ini sebesar kali lipat, sedangkan orang tua tidak harus
menunjukkan bukti penyakit ini untuk bisa menurunkannya.
Meskipun variabilitas klinis ARPKD, tampak bahwa hanya mutasi gen tunggal
bernama PKHD1, terletak pada kromosom 6, bertanggung jawab untuk penyakit ini. Gen
ini menghasilkan protein yang disebut fibrocystin (juga dikenal sebagai polyductin)
(Onuchic et al, 2002; Ward et al, 2002). Fibrocystin tidak terdapat pada bayi dengan
ARPKD.

Gambaran Klinis

Semakin dini usia dimana penyakit ini didentifikasi, semakin parah kelainannya.
Semua pasien ARPKD mengalami fibrosis hepatik kongenital, ektasia bilier dalam
berbagai derajat serta fibrosis periportal (CHF). Pasien dengan ARPKD berat mengalami
CHF ringan dan juga sebaliknya. Penyakit ini berupa massa besar berbentuk seperti ginjal
yang keras serta non-transluminasi pada pinggang bayi. Pada beberapa kasus, ginjal
menjadi cukup besar sehingga dapat menghambat persalinan. Oligohidramnion umum
terjadi karena janin memproduksi banyak urin. Bayi terkadang memperlihatkan fasies
Potters dan deformitas pada anggota badan serta juga dapat mengalami distress
pernapasan yang merupakan komplikasi dari hipoplasia pulmonal. Oligouria kadang
8

terjadi. Konsentrasi serum kreatinin dan BUN pada saat lahir akan meningkat segera
setelah lahir.
Pada masa lalu, neonatus yang didiagnosis mengalami penyakit ini memiliki
prognosis yang sangat buruk. Namun seiring dengan penggunaan ultrasound-in utero
secara rutin, spektrum ARPKD lebih sering ditemukan sehingga prognosisnya sekarang
menjadi lebih baik. Bayi dengan penyakit yang paling berat biasanya meninggal karena
kegagalan pernapasan. Pasien yang bertahan pada bulan pertama kehidupan dengan
penyakit yang lebih ringan cenderung dapat bertahan lebih dari 1 tahun. Pada beberapa
kasus, bayi dapat bertahan hidup hingga usia 3 atau 4 tahun sebelum mengalami gagal
ginjal.
Pada janin yang didiagnosa mengalami ARPKD saat lahir dapat meninggal pada usia
2 bulan karena uremia atau gagal napas. Bayi yang bertahan hidup pada 31 hari pertama
kehidupan memiliki peluang hidup setidaknya 1 tahun apabila mendapatkan terapi
suportif yang tepat. Cole dkk (1987) melakukan pemantauan terhadap 17 anak dengan
ARPKD selama rata-rata 6,1 tahun dan menemukan bahwa 8 anak dapat bertahan dengan
tingkat filtrasi glomerulus lebih besar dari 40 mL/min/1.73 m2, meskipun sebagian besar
dari mereka mengalami hipertensi. Selain itu, tiga dari lima pasien memerlukan
hemodialisis sebelum usia 7 tahun. Pada pasien ini, terjadi atrofi dan penyusutan ginjal.
Anak yang manifestasi penyakitnya muncul lambat, mengalami kegagalan ginjal dan
hipertensi yang lebih lambat dibandingkan dengan anak yang didiagnosis ARPKD sejak
lahir. Secara umum, masalah kesehatan mereka lebih merupakan akibat dari penyakit hati
daripada masalah ginjal, dimana terjadi fibrosis hati yang mengarah ke hipertensi portal,
varises esofagus, dan hepatosplenomegali.

Histopatologi

Ginjal mempertahankan lobulasi janinnya, dimana terdapat kista subkapsular kecil


yang menunjukkan dilatasi fusiformis tubulus kolektivus yang terlihat saat kapsul
diangkat. Pada potongan melintang ginjal, tubulus yang mengalami dilatasi dapat terlihat
dalam susunan radial dari kaliks menuju kapsul. Korteks dipenuhi oleh kista minuta.
Pedikel ginjal, ureter, dan pelvis renalis dalam batas normal. Pada anak lebih tua yang
telah didiagnosa mengalami penyakit ini sejak lahir, kista tampak besar dan bulat mirip
dengan kista pada penyakit dominan autosomal. Konfigurasi nefron dalam batas normal,
hanya tampak dilatasi kecil. Potter (1972) menyebut kelainan yang tampak pada akhir
kehamilan berupa dilatasi duktus kolektivus dan nefron diakibatkan karena hiperplasia.

Guay-Woodford dkk (1998) membuat observasi serupa dan meyakini bahwa dilatasi
duktus medullar terjadi lebih dulu daripada dilatasi tubulus kolektivus kortika. Pada
pasien yang bertahan hidup sampai masa kanak-kanak, kista kortikal mungkin menjadi
temuan utama penyakit ini (Guay-Woodford et al, 1998).
Semua anak dengan ARPKD memiliki lesi di daerah periportal hati (Habib, 1974;
Kissane dan Smith, 1975). Proliferasi, dilatasi, dan percabangan saluran empedu serta
duktuli menyertai derajat fibrosis periportal. Beberapa kista mungkin tidak terlihat.
Darmis dkk (1970) menemukan 100% kejadian ARPKD pada anak dengan fibrosis hati
kongenital, namun ada laporan dari anak-anak dengan hati tetapi bukan penyakit ginjal.
Kerr dkk (1962) menemukan bukti ARPKD pada 60% anak-anak dengan fibrosis hati
kongenital menggunakan urografi ekskretoris.

Evaluasi

Diagnosis penyakit ini harus dicurigai apabila dari pemerikasaan ultrasound uterus
didapatkan oligohidramnion serta temuan sekunder berupa urin output yang rendah. Pada
janin dan bayi baru lahir, sonografi memperlihatkan pembesaran serta gambaran ginjal
hiperechogenik homogen apabila dibandingkan dengan echogenisitas hati. Peningkatan
echogenisitas merupakan akibat dari dilatasi dan pemadatan kompak duktus kolektivus.
Pada bayi normal, ginjal memiliki echogenisitas yang sama atau sedikit meningkat
dibandingkan dengan hati. Pada ginjal bayi normal, daerah hipoechogenic terlihat
sirkumferensial dan gambaran kaliks ginjal baru lahir sangat khas. Sebagai perbandingan,
kaliks pada ARPKD tampak hiperechogenik karena mengisi seluruh ginjal sehingga
memperlihatkan gambaran akhir yang homogen. Pada pasien ADPKD, kistanya difus dan
besar. Hal ini berbeda dengan hidronefrosis bilateral yang berat dimana ginjal membesar
disertai kaliks yang hiphechogenik atau ginjal multi kistik; kista hipoechogenik terletak
pada massa nonreniform dengan sedikit parenkim. Trombosis vena ginjal bilateral
menghasilkan pembesaran ginjal, tapi daerah meduler hipoechogenik. Jika diagnosis
masih diragukan, computed tomography (CT-scan) sangat membantu karena lebih sensitif
terhadap massa perut yang tidak homogen.
Kadang-kadang bayi baru lahir dengan ADPKD berat dapat mengalami pembesaran
ginjal yang hiperechogenik homogen. Biasanya bila ADPKD bermanifestasi saat lahir,
kista tampak jels pada pemeriksaan sonografi. Makrokista jarang terjadi pada bayi baru
lahir dengan ARPKD namun kejadiannya meningkat seiring dengan usia anak, yang
terkadang memberikan gambaran yang mirip dengan penyakit dominan. Kista dengan

10

ukuran kurang dari 1 cm lebih sering terlihat daripada kista yang berukuran lebih besar.
Seiring dengan waktu dan perkembangan kerusakan ginjalnya, fokus hiperechoic difus
(titik) terlihat. Janin dengan penyakit ginjal glomerulokistik sporadis juga memperlihatkan
pembesaran dan gambaran hiperechogenik ginjal.
Urografi intravena dapat memperlihatkan fungsi ginjal dengan karakteristik corakan
radial atau medular (pola sunburst) yang disebabkan oleh dilatasi duktus kolektivus
yang terisi kontras. Kaliks, pelvies renalis, dan ureter biasanya tidak terlihat.
Riwayat keluarga rinci mencakup setidaknya 3 generasi diperlukan saat ARPKD
dicurigai. Sekali diagnosis dikonfirmasi, diperlukan rujukan untuk konseling. Karena
kondisi ini diwariskan secara resesif autosomal, saudara kandung memiliki kali
kemungkinan terkena penyakit ini.

Tatalaksana

Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan ARPKD. Pengelolaan respirasi dapat
meringankan serta memperpanjang usia anak. Pasien yang bertahan hidup mungkin
memerlukan tatalaksana untuk hipertensi, CHF, gagal ginjal serta kegagalan hati.
Hipertensi portal dapat ditangani dengan prosedur dekompresif seperti shunt
spleenorenal. Varises esofagus dapat ditangani dengan gaster section dan reanastomosis.
Sclerotherapy endoskopi secara luas dapat digunakan untuk perdarahan varises pada anak
dan dewasa. Hemodialisis dan transplantasi ginjal dapat dipertimbangkan pada banyak
pasien.
2. Penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD)
Epidemiologi
Penyakit ginjal polikistik dominan autosomal merupakan penyebab penting gagal
ginjal, dimana ADPKD menyumbang sebanyak 7% sampai 15% dari seluruh pasien yang
menjalani hemodialisis (Hildenbrandt, 1995; Wilson, 2004). Insidensinya adalah sekitar
1 dari 500 sampai 1.000 kelahiran hidup, dan sekitar 500.000 orang Amerika telah
didiagnosis dengan penyakit ini (Gabow, 1993). APDKD ditransmisikan dalam mode
dominan autosomal sehingga 50% keturunan seorang individu yang terkena ADPKD
akan juga akan terkena penyakit ini. Menurut Gabow (1991), 96% orang yang terkena
ADPKD akan menunjukkan manifestasi klinis pada usia 90 tahun. Deskripsi penyakit
polikistik "dewasa" tidak akurat. Meskipun sebagian besar kasus diidentifikasi ketika
pasien berumur antara 30 dan 50 tahun, kondisi telah diakui ini telah dialami sejak bayi
baru lahir. Agaknya, usia khas pada diagnosis akan menurun karena lebih banyak
11

anggota keluarga beresiko sifat tersebut disaring dengan pengujian genetik dan dengan
pemeriksaan USG. Semua individu yang terkena penyakit ini akan mengalami
manifestasi klinis jika mereka hidup cukup lama. Gagal ginjal jarang terlihat sebelum
usia 40 tahun, kecuali penyakit telah bermanifestasi sejak masih bayi, dimana dalam hal
ini penyakit jauh lebih agresif.

Genetik

Dua gen telah diidentifikasi sebagai penyebab untuk ADPKD: (1) penyakit ginjal
polikistik (PKD1), gen terlokalisasi pada lengan pendek kromosom 16 (Reeders et al,
1985; Breuning et al, 1987; Ryynanen et al, 1987; Pieke et al, 1989), yang menyumbang
85% sampai 90% kasus, dan (2) gen PKD2, dilokalisasi dalam kromosom 4 (Peters et al,
1993), yang menyumbang 5% sampai 10% kasus. Kehadiran lokus ketiga (PKD3) kini
diterima sebagai penyebab penyakit ini dalam persentase yang sangat kecil, serta tidak
memiliki defek gen baik pada PKD1 atau PKD2 (Dauost et al, 1993).
Secara umum, meskipun keluarga dengan defek gen PKD1 dan PKD2 memiliki
manifestasi klinis yang sama, pasien dengan defek PKD2 biasanya memiliki onset gejala
klinis dan perkembangan penyakit yang lebih lambat (Dauost et al, 1993). Usia rata-rata
kematian atau terjadinya gagal ginjal lebih rendah pada PKD1 (53,0 tahun) dibandingkan
PKD2 (69,1 tahun). Selain itu, kejadian infeksi saluran kemih dan hipertensi lebih tinggi
untuk PKD1 dibandingkan dengan cacat PKD2 (Hataboer et al, 1999). Bear dk (1992)
mengemukakan bahwa penyakit ini pada umumnya lebih parah dan bermanifestasi klinis
lebih awal apabila diwariskan dari ibu (bukan dari ayah). Fenomena ini disebut sebagai
pencetakan genetik.

Gambaran Klinis

Ganggan napas yang berat dan kelahiran mati dapat terjadi apabila ADPKD telah
terdiagnosis sejak dalam rahim. Apabila ADPKD terdiagnosis pada anak setelah usia 1
tahun, akan timbul gejala hipertensi dan pembesaran serta gangguan ginjal (misalnya,
proteinuria, hematuria). Biasanya, gejala atau tanda-tanda pertama terjadi antara usia 30
dan 50 tahun (Glassberg et al, 1981) berupa hematuria mikroskopis dan gross hematuria,
nyeri pinggang, gejala gastrointestinal (mungkin sekunder untuk renomegali atau
berhubungan divertikula kolon), dan kolik ginjal sekunder baik untuk pembekuan atau
batu dan hipertensi. Hematuria mikroskopis atau gross hematuria terlihat pada 50%
pasien. (Milutinovic, 1984; Delaney et al, 1985; Zeier et al, 1988; Gabow et al, 1992).
Dalam penelitian Gabow dkk (1992), menemukan bahwa peningkatan episode gross
12

hematuria dikaitkan dengan kadar kreatinin serum yang lebih tinggi. Pasien dengan
ADPKD memiliki peningkatan massa ginjal sehingga tingkat erythropoietin juga
meningkat. Hal ini juga dapat menyebabkan anemia (Gabow, 1993). Dua puluh sampai 30
persen pasien dengan ADPKD mempunyai batu ginjal. Batu ginjal pada pasien ini
diterapi dengan cara konservatif (alkalinisasi urin dan ESWL). Pada pasien ADPKD,
hipertensi merupakan manifestasi klinis yang lebih sering daripada hematuria. Hipertensi
dimediasi oleh renin dan sekunder sebagai akibat peregangan pembuluh intra renal sekitar
kista dapat menyebabkan iskemia distal. Kondisi polikistik di ADPKD tidak terbatas pada
ginjal. Kista hati, biasanya diidentifikasi secara kebetulan oleh sonografi, membantu
dalam membuat diagnosis ADPKD dan biasanya muncul lebih lambat dari kista ginjal.
Kista ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak dan
lebih sering ditemukan pada wanita (Fick dan Gabow, 1994). Kista hati dapat
berkembang, namun jarang menghasilkan manifestasi klinis yang penting. Dalam kasus
yang jarang terjadi, pembesaran kista hati menyebabkan hipertensi portal dan perdarahan
varises esofagus (Campbell et al, 1958). Ketika hipertensi porta sekunder muncul, maka
susah untuk membedakan ADPKD dari ARPKD. Pada ARPKD, hipertensi portal terlihat
lebih sering dan selalu sekunder untuk fibrosis hati kongenital. Fibrosis hati kongenital
yang sangat langka mungkin timbul bersama ADPKD, terutama ketika diagnosis dibuat
saat masih dalam kandungan. Ketika fibrosis hati kongenital timbul bersamaan dengan
ADPKD, perjalanan klinis cukup bervariasi, seperti pada ARPKD. Pada tiga generasi
keluarga dengan ADPKD, di mana setidaknya satu anggota keluarga memiliki fibrosis
hati kongenital, cacat genetik diterjemahkan ke PKD1 pada kromosom 16. Hal ini jelas
mendukung diagnosis ADPKD daripada ARPKD (Cobben et al, 1990). Sepuluh sampai
40 persen pasien memiliki aneurisma dan sekitar 9% dari pasien meninggal karena
perdarahan. Meskipun aneurisma kecil (1 cm) memiliki risiko lebih rendah untuk pecah,
pasien dengan aneurisma kecil yang memiliki riwayat keluarga dengan aneurisma otak
serta riwayat ADPKD memiliki risiko lebih besar pecah. Tidak semua perdarahn
intrakranial pada pasien dengan ADPKD merupakan perdarahan sub arachnoid sekunder
dari aneurisma. Pasien dengan ADPKD yang telah menunjukkan manifestasi klinis
biasanya memiliki kista bilateral. Kista pada ADPKD dapat bermanifestasi asimetris,
dimana kista terdapat pada satu sisi atau massa ginjal unilateral. Salah satu variasi bentuk
ADPKD tampak dimana kista berlokasi pada ruang Bowmann. Studi sitogenetika Reeders
dkk (1985) memberikan bukti bahwa kondisi ini adalah suatu bentuk ADPKD. Mereka
menemukan bahwa janin dengan penyakit kistik pada glomerulus memiliki defek genetik
13

yang sama pada kromosom 16 seperti pada ibunya yang terkena ADPKD. Bernstein dan
Landing (1989) mengemukakan bahwa ginjal glomerulokistik pada anggota keluarga
dengan ADPKD adalah variasi dari ADPKD, dimana kista glomerulus mungkin
merupakan tahap awal dari ekspresi gen ADPKD.
Etiologi
Ketika Na +-K + ATPase terletak di sisi apikal (yaitu, sisi luminal) di samping sisi
basolateral, seperti yang terjadi pada ADPKD dan ARPKD, saat natrium dipompa keluar
dari sel, air mengisi lumen tubulus. Pada ADPKD, hilangnya polaritas dapat terjadi pada
sel epitel di mana saja di sepanjang nefron atau duktus kolektivus, sedangkan di ARPKD
hilangnya polaritas terbatas hanya pada sel-sel yang melapisi duktus kolektivus. Pada
ADPKD dan ARPKD, selain EGFRs yang terletak pada membran apikal, terdapat
peningkatan tingkat faktor pertumbuhan epitel (EGF) dalam cairan tubulus. Akibatnya,
sel berproliferasi dan dinding tubular melipat ke dalam atau menonjol keluar,
menyebabkan dilatasi tubular dan membentuk kantong sehingga

terbentuk kista .

Pelipatan dinding tubular kedalam dapat menyebabkan obstruksi tubulus, yang


menyebabkan dilatasi lebih jauh ke arah proksimal. Produk dari PKD1 dan PKD2, yakni
polycystin-1 dan polycystin-2, PKHD1, serta fibrocystin merupakan protein yang
terletak pada membran sel dan berperan dalam polaritas sel. Ketika salah satu dari gen
ini bermutasi, protein terkait akan berkurang atau abnormal sehingga polaritas normal sel
akan berubah. Pada epitel ginjal normal, polycystin-1 terletak di membran sel tetapi pada
ADPKD protein ini terletak di intraseluler. Fibrocystin jumlahnya berlimpah pada duktus
kolektivus normal janin, tetapi pada beberapa pasien dengan ARPKD, fibrocystin tidak
ada. Sejumlah peneliti percaya bahwa cacat dari membran basal dan matriks ekstraselular
juga terjadi pada ADPKD dan tidak hanya menyebabkan manifestasi klinis untuk
penyakit kistik ginjal dan hati, tetapi juga untuk beberapa anomali terkait seperti prolaps
katup mitral dan divertikula.
Histopatologi
Kelainan patologis pertama pada janin adalah dilatasi tubulus fokus, yang dapat
terjadi di mana saja di sepanjang nefron. Hiperplasia epitel atau bahkan pembentukan
adenoma pada dinding kista umum terjadi serta terjadi penebalan dinding membran basal.
Arteriosklerosis tampak pada lebih dari 70% pasien dengan gagal ginjal preterminal atau
terminal, dan fibrosis interstitial, dengan atau tanpa infiltrat. Fibrosis ini mungkin terjadi
sekunder akibat infeksi atau reaksi inflamasi yang diakibatkan karena kista pecah spontan.
Apoptosis mungkin memainkan peran dalam perkembangan gagal ginjal. Hal ini muncul
14

pada lapisan epitel dari kista dan tingkat yang lebih rendah dalam lapisan sel-sel nefron
yang tak berdilatasi. Gregoire dkk (1987) menemukan 91% kejadian polip hiperplastik
pada ginjal pasien ADPKD yang diotopsi atau sebelum transplantasi.

Evaluasi

Untuk membuat diagnosis, adalah penting untuk mengetahui riwayat keluarga pasien
mencakup setidaknya tiga generasi. Harus diketahui tentang riwayat penyakit ginjal,
hipertensi, dan stroke. Sonografi abdomen dapat memperlihatkan kista ginjal serta kista
pada organ lain. Bila tidak ada riwayat keluarga untuk mendukung diagnosis ADPKD,
diagnosis kerja dapat dibuat jika terdapat kista ginjal serta terdapat dua atau lebih gejala
berikut, yakni pembesaran ginjal bilateral, tiga atau lebih kista hati; aneurisma arteri
serebral, serta kista soliter dari arachnoid, kelenjar pineal, pankreas, atau limpa.
Ketika diagnosis ADPKD diidentifikasi saat dalam kandungan atau pada masa bayi,
50% ginjal yang terkena dampak mengalami pembesaran dan makrokista dapat
diidentifikasi. Ginjal mungkin tampak identik seperti yang terlihat pada ARPKD, tidak
tampak makrokista dan hanya tampak pembesaran ginjal dan fitur hiperechoic yang
homogen. Pada situasi ini, kita harus mencari orang tua dengan ADPKD untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Seiring dengan berjalannya waktu, kista seringkali berukuran
lebih besar dari 1 cm akan berkembang pada kebanyakan anak.
Pada urografi intravena, kaliks dapat menjadi teregang karena kista. Namun, gambar
mungkin mensimulasikan ARPKD dengan adanya goresan meduler media kontras. Pada
orang dewasa, urografi intravena biasanya menunjukkan pembesaran ginjal bilateral,
distorsi calyceal, dan gelembung atau gambaran keju Swiss pada nefrogram. CT-scan
atau MRI (atau keduanya) dapat membantu pada beberapa kasus. Sonografi dapat
digunakan untuk mendeteksi kista pada organ selain pada ginjal. CT-scan sangat
membantu dalam membuat diagnosis perdarahan dalam kista. Perdarahan lebih akut
memiliki kepadatan lebih tinggi (50 sampai 90 unit Hounsfield [HU]) daripada perdarahan
lama (Choyke, 1996). MRI juga dapat membantu, terutama pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal, karena tidak memerlukan media kontras.
Menurut Gabow dan rekan (1989), pasien dengan ADPKD memiliki penurunan
osmolalitas urin maksimal (680 14 mOsm) setelah kekurangan air semalam dan
administrasi vasopressin, sebuah temuan yang mungkin membantu dalam mengidentifikasi
anggota keluarga yang lain dengan penyakit ini.

15

Pemeriksaan anggota keluarga dan konseling genetik

ADPKD adalah penyakit dominan autosomal. Sebanyak 50% anak dari orang dewasa
dengan ADPKD juga akan terkena dampaknya. Karena itu, ketika penyakit ini didiagnosis
pada orang dewasa, maka anak pasien juga harus diperiksa dengan USG. Sebelum tahun
1970, ADPKD jarang didiagnosis sebelum usia 25 tahun.

Dengan adanya USG,

kemungkinan membuat diagnosis pada individu yang terkena sebelum usia ini sebsesar
85%. Ketika studi genetik digunakan, akurasi diagnostik mendekati 100%.
Pada skrining pasien yang diketahui memiliki defek PKD1 dengan menggunakan
sonografi ginjal, sebanyak 40 (83%) dari 48 pasien ditemukan memiliki kista sebelum
usia 30 tahun, dan semua pasien memiliki kista setelah usia 30 tahun (Parfrey et al, 1990).
Karena jumlah kista sederhana meningkat sesuai dengan usia, maka kriteria untuk
membuat diagnosis perlu dirubah dengan bertambahnya usia pasien.

Tatalaksana dan prognosis

Pria cenderung memiliki masalah pada ginjal dibandingkan wanita, sehingga


manifestasi hipertensi dan insufisiensi ginjal lebih dulu timbul pada pria daripada wanita.
Namun, wanita tampaknya lebih cenderung memiliki masalah kistik hati yang parah,
yang menimbulkan nyeri dan memerlukan pengobatan lebih sering daripada pria. Lebih
dari 60% pasien dengan ADPKD yang belum mengalami gangguan ginjal, terlebih dahulu
mengalami hipertensi yang dapat memperburuk fungsi ginjal, menyebabkan penyakit
jantung, dan memudahkan pasien untuk mengalami perdarahan intrakranial. Komplikasi
ADPKD dapat dikurangi secara signifikan dengan mengontrol tekanan darah.
Lima puluh sampai 70 persen pasien dengan ADPKD memiliki keluhan nyeri
pinggang atau nyeri punggung. Rasa sakit bisa kolik, akut, atau kronis. Nyeri kolik terjadi
sekunder terhadap pasase batu atau bekuan darah. Nyeri akut mungkin sekunder terhadap
infeksi atau perdarahan pada kista atau perdarahan subcapsular. Nyeri pinggang kronis
yang membutuhkan narkotika mungkin berhubungan dengan distensi kista dan kapsul
ginjal. Rovsing, pada tahun 1911, menggambarkan sebuah operasi yang melibatkan
unroofing kista untuk mengurangi rasa sakit.Ye dan rekan (1986) melaporkan bahwa
insidensi hilangnya rasa sakit setelah operasi Rovsing adalah 90,6% setelah 6 bulan dan
77,1% setelah 5 tahun.
Pada tahun 1993, Elzinga dkk menyarankan laparoskopi unroofing kista sebagai
alternatif prosedur terbuka untuk mengurangi kejadian morbiditas. Baru-baru ini, Dunn

16

dan rekan (2001) melaporkan pada 15 pasien, 6 dengan kista bilateral, yang telah
menjalani laparoskopi unroofing kista untuk pengelolaan nyeri.
Infeksi saluran kemih bagian atas umum terjadi pada pasien dengan ADPKD,
terutama perempuan. Schwab dkk (1987) membagi infeksi ini menjadi infeksi parenkim
dan kista. Dalam penelitian mereka, sebanyak 87% infeksi kista dan 91% infeksi parenkim
terjadi pada wanita. Penyebab infeksi pada wanita ialah bakteri enterik gram negatif.
Antibiotik yang digunakan ialah trimethoprim-sulfamethoxazole, kloramfenikol, dan
fluoroquinolon
Anak yang menunjukkan manifestasi klinis biasanya berada dalam tahap terminal,
tapi kelangsungan hidup mereka dapat diperpanjang dengan perawatan suportif untuk
komplikasi. Terapi yang dilakukan sama seperti pada orang dewasa yang terkena penyakit
ini yakni dengan dialisis dan transplantasi. Pada masa lalu, allografts dari saudara
dikesampingkan karena frekuensi ADPKD pada donor tersebut. Namun dengan adanya
skrining, maka allograft dari saudara dapat dilakukan.
Pengujian untuk PKD1 dan PKD2 sudah dapat tersedia, dan mutasi pada satu
diidentifikasi oleh laboratorium komersial 50% sampai 70% dari waktu. Penelitian
laboratorium hasil melebihi 90%. Amniosentesis dapat digunakan sebagai studi genetik
untuk membedakan penyakit kistik ginjal ADPKD, ARPKD, atau tuberus sklerosis sejak
masih dalam kandungan.
3. Penyakit nefronoptisis juvenil /penyakit kista medulary kompleks
Epidemiologi
Penyakit nefronoptisis juvenil pertama kali dijelaskan oleh Fanconi dan kolega pada
1951. Penyakit kista medulla pertama kali dilaporkan oleh Smith dan Graham pada tahun
1945. Walaupun dua kondisi tersebut memilliki persamaan anatomis dan klinis namun
berbeda dalam hal model penyebaran dan onset klinisnya.
Nefronoptisis juvenil lebih sering terjadi dan menjadi penyebab terjadinya kasus gagal
ginjal pada anak (10%-20% kasus) (Cantani et al 1986). Nefronoptisis juvenil dilaporkan
terjadi 1 dari 50.000 kelahiran dilaporkan oleh Lirenman (1974), sedangkan kistik medulla
dilaporkan 1 dari 100.000 kelahiran (Reeders, 1990).

Genetik

Walaupun kedua penyakit ini dapat terjadi secara sporadik, nefronoptisis juvenil juga
diwariskan sebagai penyakit yang bersifat resesif autosomal. Terdapat tiga tipe yang
berbeda dari nefronoptisis juvenil, yaitu tipe juvenil, remaja dan infertile. Ketiga jenis
17

tersebut masing-masing disebabkan oleh mutasi gen NPH1, NPH2, dan NPH3 (Antignac
et al, 1993; Hildebrandt et al 2000; Omran et al 2001). Gagal ginjal terjadi pada rata-rata
umur 13 tahun dan hamper selalu terjadi pada umur di bawah 25 tahun. (Neuman et al
1997). Kistik medulla biasanya diturunkan secara autosomal dominan disebabkan mutasi
pada gen MCKD1 dan MCKD2. Jika bermanifestasi pada awal masa dewasa, biasanya
lebih ringan. ESRD lebih sering muncul pada decade ketiga dan keempat. Karena bersifat
autosomal dominan, maka 50% keturunan akan terkena penyakit ini. Gejalanya akan
bermanifestasi pada usia 50an tahun (Bernstein dan Gardner 1979). Secara teori pasien
dengan dua kondisi tersebut bisa saja fertile pada usia reproduksi, bisa ditentukan resiko
penurunan penyakit pada keturunan pasien yaitu 1% untuk juvenil nefronoptisis dan 50%
pada kista medulla (Neumann et al 1997).

Gambaran Klinis

Nefronoptisis juvenil dan kista medulla dua-duanya bisa menyebabkan polidipsi dan
poliuria pada lebih dari 80% kasus tanpa melihat kemungkinan pasien mengalami diabetes
insipitus (garner 1984; cantani et al 1986). Poliuria berkaitan dengan defek yang parah
dari renal tubular yang berhubungan dengan ketidakmampuan menyimpan natrium.
Poliuria resisten terhadap vasopressin dan dibutuhkan diet tinggi garam untuk pasien ini.
Hipertensi tidak memiliki hubungan dengan nefronoptisis juvenil karena pada pasien ini
pasien memiliki nefropati kehilangan garam (salt-losing nephropathy). Disisi lain kista
medulla memiliki hubungan dengan hipertensi karena tidak memiliki masalah kehilangan
garam. Bisanya tidak didapatkan gejala hematuria dan proteinuria. Pada anak-anak,
pertumbuhan melambat dan terjadi kelemahan otot dan pucat biasanya akan muncul pada
penyakit lanjut. Gejala pucat disebabkan oleh adanya anemia karena defisiensi produksi
eritropoietin. Gagal ginjal biasanya muncul 5-10 tahun setelah muncul gejala.
Nefronoptisis sering berkaitan dengan kelainan retina (khususnya retinitis
pigmentosa) kelainan tulang, hepatic fibrosis, dan sindrom bardet-biedl yang berkombinasi
dengan obesitas, retardasi mental, polidaktili, retinitis pigmentosa dan hipogenitalisme.
Enam puluh persen pasien nefronoptisis juvenil mengalami retinitis pigmentosa
(Hildebrandt et al 1993). Namun, jika ada satu keluarga dengan nefronoptisis mengalami
retinitis pigmentosa, tidak berarti keluarga yang lain yang mengalami nefroptisisi juvenil
akan mengalami retinitis pigmentosa juga. Sindrom alstrom, suatu nefropati yang disertai
kebutaan, DM, dan tuli neural dapat membentuk nefronoptisis juvenil (Bernstein 1976).

18

Histopatologi

Pada tahap awal perjalanan penyakit, ginjal dapat dijumpai dalam ukuran yang
normal. Pada kasus dengan manifestasi klinis, bisa ditemukan nefritis interstisial dengan
infiltrate sel-sel bundar dan dilatasi tubular dengan atrofi. Atrofi mulai dari korteks
kemudian seluruh bagian organ menjadi sangat kecil dengan permukaan tidak rata
(granular)
Kista muncul pada pasien terutama yang mengalami kista medulla (84%) dan pada
nefronoptisis (40%) (Mongeau dan Worten, 1067). Kista tersebut dimeternya dari 1 mm
hingga 1 cm biasanya ditemukan corticomedullry junction dan jarang ditemukan pada
medulla (cantani et al 1986). Pada biopsy tidak selalu ditemukan kista karena bisa jadi
salah pengambilan sampel yang tidak mengenai area kistik, ataupun karena kista hanya
dijumpai pada gagal ginjal penyakit resesif.

Evaluasi

Pada tahap awal penyakit, pemeriksaan urografi intravena menunjukan ginjal normal
atau sedikit menyusut (habib, 1974). Dapat pula dijumpai pelapisan medulla yang
homogen karena retensi media kontras pada tubulus yang berdilatasi. Bisa juga terlihat
penebalan berbentuk cincin pada dasar papilla yang juga bisa menunjukan tubulus yang
terisi kontras. (olsen et al 1988). Pada tahap akhir penyakit urografi intravena memiliki
nilai yang kurang bermakna.
Pemeriksaan sonografi dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang lebih kecil dari
normal pada nefronoptisis juvenil. Kista dapat terlihat jika berukuran cukup besar untuk
terlihat melalu sonografi (rosenfeld 1977), namun pada fase awal, jarang terlihat kista. .
Mcgregor dan Bailey (1989) mempresentasikan temuan Ct-Scan pada pasien
nefronoptisis juvenil yang berumur 19 tahun. Pada kasus ini diameter kista dapat terlihat
pada daerah medulla walaupun pada pemeriksaan sonografi tidak didapatkan kista.
Mereka kemudian merekomendasikan pemeriksaan Ct-Scan daripada sonografi.
Walaupun temuan kista dapat membantu dalam diagnosis namun gagal ginjal muncul
bukan karena kista melainkan karena perubahan tubulointerstisial. Namun, Wise dkk
(1988) menyatakan ct-scan kadang membutuhkan kontras yang merupakan kontraindikasi
pada gagal ginjal. Pemeriksaan MRI kemudian dianjurkan untuk penyakit ini.

19

Tatalaksana

Penggantian sodium diindikasikan pada awal perjalanan penyakit. Selanjutnya harus


dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal.
4. Nefrosis kongenital (sindrom nefrotik familial) (resesif autosomal)
Epidemiologi
Nefrosis kongenital terbagi menjadi 2 tipe, yakni tipe Finlandia (CNF) terutama
terjadi di Finlandia dimana prevalensinya adalah 1 per 8.200 populasi. Tipe lainnya ialah
Diffuse mesangial sklerosis DMS. Tipe Finlandia bersifat resesif dan berlokasi pada
kromosom 19. Hanya 10 dari 30 kasus DMS yang dilaporkan bersifat familial. Kestila
(1998) telah mengklon gen (NPHSI) yang mengkode protein yang disebut nephrin yang
memainkan peranan penting dalam perkembangan fungsional ginjal. Kedua kondisi ini
berhubungan dengan dilatasi tubulus convuloted proksimal. Penggunaan istilah penyakit
mikrokistik sekarang ini jarang digunakan.

Gambaran Klinis
CNF biasanya ditemukan karena adanya pembesaran dan pembengkakan plasenta

yang menyumbang lebih dari 25% berat lahir bayi. Pada DMS, plasenta biasanya tidak
membesar. Pada bayi dengan CNF, proteinuria tampak pada urinalisis yang pertama
kali dilakukan. Edema berkembang pada hari pertama dan biasanya pada usia 3 bulan.
Bayi menjadi kelaparan karena kehilangan protein melalui urin. Yanpa tatalaksana bayi
akan meninggal karena sepsis sebelum gagal ginjal membunuhnya. Tanpa dialisis,
separuh pasien akan meninggal pada usia 6 bulan dan sisanya akan meninggal sebelum
usia 4 tahun.
Pada DMS, onset gejala bervariasi dan diagnosis biasanya dibuat pada usia 1
tahun. Semua pasien akan mengalami gagal ginjal terminal pada usia 3 tahun. Pada 35
pasien DMS yang didiagnosa oleh Habib dkk (1989), 13 pasien terkena sindrom Drash.
Histopatologi
CNF dan DMS memiliki karakteristik ukuran ginjal yang normal yang disertai
dengan dilatasi tubulus proksimal. DMS memiliki kekhasan dimana pada glomerulus
akan terjadi akumulasi pewarnaan fibril mesangeal asam Schiff positif dan fosfat perak.
Dengan berlanjutnya penyakit, jumbai glomerulus akan mengalami sklerosis dan
berkontraksi. Hipertrofi difus podosit juga dapat ditemukan pada penyakit ini.
CNF ditandai dengan adanya proliferasi sel mesangial glomerulus. Pada CNF dan
DMS terdapat fusi dari podosit glomerulus seperti pada nefrosis. Fibrosis interstitial
terjadi pada kedua penyakit ini namun lebih parah pada DMS.
20

Evaluasi
Diagnosis CNF dapat dibuat pada usia kandungan 6 minggu karena peningkatan

-fetoprotein amnion yang besar sekunder terhadap proteinuria janin. Penggunaan fetoprotein untuk mendiagnosa DMS dalam rahim belum terbukti. Pada stadium akhir
penyakit post natal, ultrasonografi memperlihatkan pembesaran ginjal dengan korteks
yang lebih ekhogenik dibandingkan dengan hati dan limpa. Pyramida kaliks bertambah
besar dan corticomedullary junction menjadi kabur seiring dengan bertambah buruknya
penyakit.
Tatalaksana
Setelah ginjal menjadi rusak, transplantasi menjadi tatalaksana satu-satunya.
Kedua tipe panyakit ini tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid.
5. Penyakit glomerulokistik hipoplastik familial (dominan autosomal)
Diagnosis penyakit glomerulokistik hipoplastik familial

ditegakkan

berdasarkan empat kriteria. Pertama , adanya gagal ginjal kronis progresif atau stabil.
Kedua, ukuran ginjal harus kecil atau normal dengan tepi kaliks yang tidak rata serta
papilla yang tidak normal. Ketiga, kondisi ini harus tampak pada sedikitnya dua
generasi keluarga. Terakhir, bukti histologis kista glomerular harus ditemukan,
dimana kistanya berdinding tebal dan cenderung subkapsular. Pada korteks yang lebih
dalam ditemukan juga atrofi tubulus dengan glomerulus normal.
6. Sindrom malformafi multipel dengan kista renalis
Kista ginjal merupakan gambaran beberapa gejala yang ditandai dengan
malformasi multipel. Sklerosis tuberus dan penyakit VHL merupakan salah satu
kelainan dominan autosomal yang paling sering ditemui oleh urologis. Sindrom
Meckel, distrofi toraks asphyxiating Jeune, dan sindrom cerebrohepatorenal Zellweger
adalah beberapa sindrom resesif autosomal yang lebih umum. beberapa kondisi ini
memperlihatkan gambaran kista glomerulus serta gambaran displasia kistik.
a. Tuberus Sklerosis Kompleks
Epidemiologi
Insidensi tuberus sklerosis kompleks meningkat berkisar antara 1 dalam 6.0000
dan 1 dalam 14.500 populasi. Peningkatan ini bukan merupakan hasil dari
peningkatan insidensi penyakit ini, melainkan peningkatan kewaspadaan terhadap
penyakit dan manifestasinya.
Tuberus sklerosis kompleks digambarkan sebagai bagian dari trias epilepsi (80%
kasus), keterbelakangan mental (60% kasus), dan adenoma sebasea (75% kasus). Lesi
21

adenoma sebasea berupa papul angiofibroma berwarna daging dengan prevalensi


terutama pada area malar. Selain itu dapat diidentifikasi lesi kulit awal berupa papul
putih berbentuk daun abu. Pemeriksaan kulit dengan sinar ultraviolet dapat
mengungkapkan lesi kulit sebelumnya serta harus menjadi bagian dari evaluasi
diagnostik.
Ciri-ciri lesi dari sistem saraf pusat adalah hamartoma kortikal serebelum
superfisial, yang kadang-kadang tampak seperti gyrus yang mengeras serta
memperlihatkan gambaran umbi (akar). Hamartomas sering mengenai organ lain,
terutama ginjal dan mata. Nodul subependymal periventricular juga sering terjadi.
Ginjal dari pasien ini mungkin bebas dari lesi atau mungkin memperlihatkan
gambaran kista, angiomyolipoma, atau keduanya.
Genetik
Meskipun penyakit ini berisifat dominan autosomal pada 25% sampai 40% kasus,
tuberus sklerosis juga dapat terjadi baik secara sporadis atau sebagai contoh dari
kondisi genetik dengan variabel atau penetrasi yang tidak komplit. Lesi ini disebut
tuberus sklerosis kompleks karena merupakan kelainan genetik dengan manifestasi
yang bervariasi. Gen TSC1 pada kromosom 9 dan TSC2 pada kromosom 16 telah
diidentifikasi bertanggung jawab untuk transmisi dominan autosomal dari tuberus
sklerosis. Pada review dari 10 kasus yang dilaporkan sebelumnya (selain 1 pasien
baru penyakit kistik bilateral parah yang didiagnosis pada usia 4 bulan), 6 bayi tidak
memiliki riwayat keluarga dengan tuberus sklerosis, 3 bayi memiliki riwayat keluarga
dengan tuberus sklerosis, dan hanya 1 bayi yang ditemukan familial (Campos et al,
1993). Dalam studi lain (Brook-Carter et al, 1994) seluruh pasien (6 pasien) dengan
tuberus sklerosis dan memiliki riwayat penyakit kistik bilateral difus pada masa bayi
awal ditemukan memiliki delesi situs gen pada kromosom 16 TSC2 serta pada gen
PKD1 yang berdekatan (gen yang bertanggung jawab untuk ADPKD). Tidak adanya
tanda-tanda tuberus sklerosis pada orang tua atau anggota keluarga lain menunjukkan
bahwa pada 6 pasien ini, penyakit tuberus sklerosis mungkin merepresentasikan
terjadinya mutasi baru. Sangat menarik bahwa dari 11 kasus yang dikaji oleh Campos
dan rekan (1993) dan pada 6 studi penyakit kistik bilateral pada awal masa bayi oleh
Brook-Carter dan rekan (1994), ditemukan bahwa hanya 1 anak yang memiliki
penyakit tuberus sklerosis familial.
Singkatnya, ketika penyakit ginjal polikistik parah disertai dengan tuberus
sklerosis terjadi pada pasien (terutama bayi), kondisi ini merupakan sindrom gen

22

bersebelahan (cacat pada TSC2 dan PKD1). Sindrom gen bersebelahan tersebut
merupakan fenomena yang relatif jarang. Pada bayi dengan penyakit ginjal polikistik,
temuan lain yang terkait dengan tuberus sklerosis harus diselidiki untuk
mengecualikan

diagnosis

tuberus

sklerosis

(Gillis

et

al,

1997).

SC1 mengkode protein hamartin, sedangkan TSC2 mengkode protein tuberin. Kedua
protein ini bekerja sama memainkan peran kompleks dalam beberapa kegiatan yang
dikendalikan oleh sel. Oleh karena itu, mutasi kedua gen ini akan menyebabkan
manifestasi klinis yang serupa.

Histopatologi

Kista ginjal ini memiliki keunikan histologis karena memiliki lapisan hipertrofik,
sel-sel eosinofilik hiperplastik. Sel-sel ini memiliki inti besar, hiperkromatik, dan
jarang mengalami mitosis. Sel-sel sering mengalami agregasi menjadi massa atau
tumor. Kemudian pada penyakit ini, dinding kista dapat atrofi menjadi tebal sehingga
batasnya tidak jelas lagi. Pada beberapa pasien terlihat sel-sel glomerulus predominan.
Penyakit kistik ini dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal dengan atau tanpa
adanya angiomyolipoma. Mekanismenya mungkin disebabkan oeh adanya kompresi
parenkim karena kista yang membesar. Penyakit ini juga dapat mengakibatkan
terjadinya hipertensi.
Angiomyolipoma terjadi pada 40% sampai 80% pasien. Angiolipoma jarang
diidentifikasi Angiomyolipoma

tidak menyebabkan gagal ginjal. Walaupun pada

angiolipoma terjadi pleomorfisme dan mitosis sel, tidak ada bukti adanya metastasis.

Evaluasi
Peningkatan insidensi identifikasi tuberus sklerosis merupakan bagian dari

investigasi penuh pasien dengan kelainan kejang, anak dengan makula hipomelanesia
dan pada bayi atau anak kecil yang salah didiagnosa memiliki ADKPD yang
sebenarnya memiliki tuberus sklerosis. Temuan diagnostik primer paling signifikan
adalah nodul subepididymal multipel yang mengalami kalsifikasi yang mempenatrasi
ventrikel pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI.
Terkadang kista ginjal dan angiomyolipoma dapat diidentifikasi dengan
pemeriksaan sonografi berupa temuan tuberus sklerosis dimana lesi yang terbentuk
akan tampak sonolusen dan dakan menampakan gambaran putih yang halus. Jika kista
ginjal muncul tanpa angiomyolipoma, gambaran sonografi ginjal pada tuberus
sklerosis akan tampak seperti gambaran ADPKD. Tidak umum pasien dengan tipikal
23

kista ADPKD diidentifikasi untuk diagnosis ADPKD hanya untuk mengembangkan


tuberus sklerosis beberapa tahun kemudian. Untuk membantu diagnosis, CT-Scan
abdomen dapat dilakukan untuk memperlihatkan angiomyolipoma yang mungkin ada
pada ginjal dan organ lain. MRI dan CT-Scan kepala dapat mendemonstrasikan
kalsifikasi kranial klasik yang berhubungan dengan tubers atau gliosis. Pemeriksaan
dengan sinar ultraviolet pada kulit dapat mengungkapkan lesi kulit sebelum lesi
tersebut bermanifestasi nyata dan harus menjadi bagian dari diagnosis diferensial.

Gambaran klinis
Kista ginjal berkembang pada 20% pasien dan kebanyakan menunjukan

manifestasi sebelum usia 3 tahun, dimana sepertiganya berusia kurang dari 1 tahun.
Pasien dengan kista yang besar atau penyakit ginjal polikistik dapat diidentifikasi
melalui ultrasonografi in-utero atau mungkin terlihat adanya massa abdomen dan
distensi abdomen pada tahun pertama kehidupan. Kebanyakan pasien dengan kista
ginjal tidak menyebabkan kerusakan ginjal yang serius, namun apabila penyakit
menyebar pada ginjal dan tampak adanya kista besar maka gagal ginjal bisa terjadi
dalam bentuk yang lebih ringan daripada penyakit polikistik ginjal. Kegagalan ginjal
berkembang umumnya pada dekade keempat kehidupan. Kista mungkin berasal dari
nefron yang dilapisi oleh sel hiperplastik yang bisa terlihat saat lahir.
Pasien dengan tuberus sklerosis sekarang lebih dapat bertahan dengan lesi
CNS daripada masa lalu, maka urologis sekarang lebih mengutamakan manajemen
masalah pada ginjal. Shepherd dan rekan (1991) menemukan bahwa penyakit ginjal
adalah penyebab utama kematian (11 dari 40 kematian). Dari 355 pasien yang mereka
amati di Mayo Clinic, sebanyak 49 pasien meninggal, 9 pasien dari penyakit yang
tidak berhubungan dengan tuberus sklerosis, 10 pasien dari tumor otak, 4 pasien dari
lymphangiomatosis paru-paru, 13 pasien dari penyebab sekunder dengan status
epileptikus atau bronkopneumonia, dan 11 pasien dari penyakit ginjal. Dari 11 pasien
tersebut, 2 pasien meninggal karena metastasis RCC, 2 pasien meninggal perdarahan
besar yang berhubungan dengan angiomyolipoma ginjal, dan 6 pasien meninggal
karena gagal ginjal sekunder yang disebabkan kista, angiomyolipoma, atau keduanya.
Angiomyolipoma yang besar lebih cepat mengalami perdarahan. Van Baal dkk
(1994)

merekomendasikan

angiomyolipoma

dan

pemantauan

embolisasi

yang

profilaksis

hati-hati
atau

eksisi

terhadap

ukuran

bedah

apabila

angiomyolipoma membesar lebih dari 4 cm.

24

Hubungan dengan Karsinoma sel ginjal (RCC)


Sejumlah laporan mengenai kejadian Karsinoma sel ginjal pada pasien tuberus

sklerosis menjelaskan bahwa hubungan kedua penyakit ini bukan kebetulan dengan
prevalensi sebesar 2%. Walaupun begitu, insidensi RCC lebih rendah pada penyakit
yang melibatkan sel epitel hiperplastik, terutama pada penyakit VHL dan gagal ginjal
kronik ARCD (lebih jarang terjadi pada penyakit sel hiperplastik lainnya, yakni
ADPKD).
Kanker ini terjadi pasien yang lebih muda. Kanker ini bisa tunggal atau
multipel, unilateral atau bilateral. Karyotipe sel dekat tumor mirip dengan sel tumor
itu sendiri, sehingga masuk akal untuk menduga bahwa lapisan kista berkembang
menjadi kanker.
b. Penyakit Von Hippel-Lindau (VHL)
Epidemiologi
Penyakit VHL adalah kondisi autosomal dominan yang ditandai oleh
hemangioblastoma cerebelar dan retina, kista pankreas, ginjal, dan epididimis,
kistadenoma epididimis, pheokromositoma, dan RCC clear cell. Penyakit VHL
memiliki insidensi sekitar 1 dari 35.000 populasi (Neumann dan Wiestler, 1991).
Genetik
Gen yang terkait dengan penularan penyakit VHL terletak pada kromosom 3 (Latif
dkk, 1993). Tujuh puluh persen pasien akan memiliki mutasi satu alel VHL (yaitu,
VHL +/-). Untuk menimbulkan manifestasi, alel kedua harus mengembangkan mutasi
spontan (yaitu, VHL + / +) pada suatu waktu kemudian.
Gen VHL merupakan gen suppressor tumor resesif, dan produk gennya disebut
sebagai VHL. Banyak mutasi yang berbeda dari gen VHL telah diidentifikasi, lima di
antaranya yang paling sering terlihat (Zbar et al, 1996). Penyakit ini dapat dibagi
menjadi tipe 1 dengan risiko rendah untuk pheokromositoma dan tipe 2 dengan risiko
tinggi untuk pheokromositoma. Tipe 2 memiliki risiko tinggi baik untuk
pheokromositoma dan karsinoma sel ginjal, dan jenis 2B memiliki risiko tinggi hanya
untuk pheokromositoma (Kaelin, 2003). Sebuah mutasi yang berbeda dari gen VHL
sering dikaitkan dengan RCC familial dan beberapa kasus RCC sporadis.
Diperlukan skrining genetik terhadap penyakit VHL. Kemajuan genetika
molekuler membuat proses skrining untuk penyakit pada anggota keluarga sekarang
dapat lebih selektif. Sebelumnya, kerabat dengan penyakit VHL yang asimtomatik
memerlukan pemeriksaan ophthalmokopi rutin untuk menyingkirkan angioma retina,
25

serta CT-scan abdomen. Sekarang hanya anggota keluarga kandung yang memerlukan
skrining untuk penyakit ini.
Rekomendasi dari Levine dan rekan (1990) untuk semua kerabat asimtomatik
sekarang hanya berlaku untuk orang-orang dengan bukti genetik penyakit. Misalnya,
hasil pemeriksaan ophthalmoskopi untuk angioma retina, dan CT scan abdomen
seharusnya dilakukan apabila penyakit genetik asimtomatik mengenai kerabat antara
usia 18 dan 20 tahun. Jika tidak ada penyakit yang ditemukan, reevaluasi dianjurkan
dengan interval 4-tahun (Levine et al, 1990). Jika kista atau lesi kecil tidak jelas
diidentifikasi, pemeriksaan CT harus diulang setiap 2 tahun (Levine et al, 1990).
Tujuannya adalah untuk mendiagnosa penyakit awal sehingga keganasan dapat
diidentifikasi sebelum terjadi metastasis. Diagnosis dapat dibuat tanpa riwayat
keluarga jika pasien memiliki dua manifestasi kardinal. Dalam keluarga ini, mutasi
germline mungkin terjadi tanpa manifestasi klinis dan skrining harus dilakukan.
VHL bertindak sebagai tumor suppresor protein melalui setidaknya dua rute:
pertama; destabilisasi penguatan -catenin GSK-3 dan obligasi APC untuk -catenin,
dan mengikat serta menginaktivasi faktor hypoxia-inducible (HIF); protein bila tidak
ditekan dapat merangsang pembentukan hemangioblastomas dan RCC. Ketika ikatan
tersebut lemah karena tidak adanya VHL, terjadi pver produksi -catenini dan terjadi
proliferasi sel seperti RCC. HIF menargetkan gen-gen tertentu yang mengkode faktor
pertumbuhan yang tampaknya memainkan peran dalam pertumbuhan tumor, termasuk
platelet-derived growth factor (PDGF), transforming growth factor- (TGF-), dan
VEGF.

Histopatologi

Pada penyakit VHL, umumnya terdapat kista ginjal dan tumor yang multipel dan
bilateral. Kista berbentuk kista jinak sederhana dengan epitel rata, dimana beberapa
peneliti menganggapnya sebagai lesi prakanker. Saat Poston dkk (1993) mempelajari
kista yang dioperasi bersama dengan spesimen RCC; mereka menemukan bahwa
kista lebih besar dari 2 cm lebih mungkin memiliki komponen RCC dibandingkan
dengan kista kecil. Kanker Frank biasanya muncul antara usia 20 dan 50 tahun
(Jennings dan Gaines, 1988). Loughlin dan Gittes (1986) menemukan bahwa sel-sel
lapisan hiperplastik sering menyerupai jenis RCC clear cell. Ibrahim dkk (1989)
mempelajari kistayang

berdekatan dengan karsinoma dan menemukan bahwa

kariotipe sel itu menyerupai sel tumor seperti pada tuberus sklerosis. Kemiripan ini

26

adalah bukti bahwa sel-sel hiperplastik dari lapisan kista merupakan prekursor dari
karsinoma.

Evaluasi
Sonografi berguna dalam mendiagnosis fitur kistik jinak khas penyakit VHL

yakni tidak adanya

echoes internal, batas berdiferesiensi baik, dan peningkatan

akustik. Pada CT-scan ; dinding tipis dan tajam yang terlihat di sekitar lesi homogen
tanpa enhancement setelah injeksi media kontras. CT scan lebih berguna untuk
mendeteksi kista, tumor, atau keduanya daripada sonografi. CT-scan juga berguna
untuk memeriksa kelenjar adrenal pada pheokromositoma.
Pada lesi yang berukuran kecil, susah untuk membedakan tumor dari kista.
Pada

kasus tersebut, pasien harus melakukan pemeriksaan CT-scan (Levine et al,

1982). Pada lesi besar yang diduga RCC, disarankan untuk melakukan angiografi
ginjal dengan pembesaran atau subtraksi (Kadir dkk, 1981; Loughlin dan Gittes,
1986). Hal ini dilakukan untuk melihat adanya tumor lainnya dan sebagai indikasi
untuk operasi konservatif (Kadir dkk, 1981; Loughlin dan Gittes, 1986).
MRI tidak terlalu berguna untuk tumor kecil pada ginjal kecuali terjadi
perubahan bentuk ginjal.

Lesi pada MRI memiliki intensitas sinyal yang mirip

dengan parenkim ginjal normal. Heterogenitas sifat pada tumor yang lebih besar
membuat tumor yang berukuran besar lebih mudah didiagnosis (Rominger et al,
1992).

Gambaran klinis : Hubungan dengan Karsinoma sel ginjal (RCC)


Usia rata-rata pasien adalah antara 35 sampai 40 tahun (Neumann dan Zbar,

1997). Tidak ada preferensi seks untuk penyakit ini atau untuk perkembangan menjadi
RCC. Kista ginjal, manifestasi yang paling umum dan sering awal, terlihat pada 76%
pasien (Levine et al, 1982). Kista bilateral terlihat pada75% pasien dan kista
multifokal tampak pada 87% pasien (Reichard et al, 1998). Diagnosis RCC biasanya
terjadi pada dekade keempat atau kelima kehidupan, sedangkan pada populasi umum
lebih sering bermanifestasi pada dekade keenam (Reichard et al, 1998). RCC terjadi
pada sekitar 50% dari individu yang terkena penyakit ini. Kista ginjal serta tumor
biasanya tidak menunjukkan gejala, walaupun tumor besar dapat menyebabkan rasa
sakit atau adanya massa. Hematuria dapat terjadi setelah pecahnya tumor ke dalam
sistem pelvicalyceal. Apabila kista merupakan manifestasi yang muncul, biasanya
kista tersebut berukuran besar.
27

Pheokromositoma terjadi pada 10% sampai 17% dari individu yang terkena
dan tampaknya terbatas pada keluarga tertentu (Horton et al, 1976; Levine et al,
1982). Manifestasi klinis pada pasien bisa berupa kejang atau pusing sebagai akibat
sekunder dari hemangioblastoma sistem saraf pusat. Hemangioblastoma cerebellar
biasanya menimbulkan gejala pada usia antara 15 sampai 40 tahun (Jennings dan
Gaines, 1988). Angioma retina (hemangioma) sering tampak pada awal penyakit.
Perdarahan dapat menyebabkan penglihatan kabur, ablasi retina, dan kebutaan.
Diagnosis dini sangat penting karena tumor ini merespon terapi laser atau cryotherapy.
Karena tingginya insiden RCC pada pasien dengan penyakit VHL, disarankan untuk
melakukan pemeriksaan CT scan tahunan atau mungkin dua tahunan.

Tatalaksana
Frydenberg dan rekan (1993) menganjurkan operasi konservatif yaitu eksisi

atau nefrektomi parsial untuk tumor yang berukuran kecil. Operasi yang lebih agresif
disarankan untuk tumor yang berukuran lebih besar dari 5 cm. Tumor bilateral
berukuran kecil dapat diobati dengan
pemantauan

hati-hati seperti tumor unilateral dengan

ketat. Pasien dengan tumor bilateral berukuiran besar memerlukan

tindakan nefrektomi bilateral (Frydenberg et al, 1993). Antara tahun 1977 hingga
tahun 1997, sekitar 20 pasien dengan penyakit VHL menerima transplantasi ginjal.
Namun, tidak diketahui apakah obat imunosupresif yang diperlukan untuk
transplantasi meningkatkan laju pertumbuhan lesi lain yang terkait dengan penyakit
VHL (Neumann dan Zbar, 1997). Hal yang

paling penting untuk meningkatkan

kelangsungan hidup adalah pengawasan hati-hati untuk mengidentifikasi tumor awal


serta

surveilans secara ketat setelah operasi karena karakteristik tumor yang

multisenter. Dahulu tingkat kelangsungan hidup setelah nefrektomi hanya sebesar


50%. Namun, dalam pemantauan terhadap dari tujuh pasien yang telah dioperasi
(Loughlin dan Gittes (1986), enam pasien yang dipantau selama 4 bulan sampai 8
tahun dapat bertahan hidup dan hanya satu kematian akibat penyakit metastasis yang
dilaporkan.

28

B. Non Genetik
1. Ginjal Multikista Displastik
Ginjal multikista merupakan suatu bentuk displasia nongenetik berat, kadangkadang disebut multikista displasia. Pada keadaan ini, ginjal tidak memiliki sistem
drainase kaliks, sehingga memberi gambaran seperti bunch of grapes dengan stroma
yang tipis diantara kista. Jika kistanya kecil dengan stroma yang predominan maka
disebut kista displastik solid. Jika terjadi pembesaran pelvis ginjal maka memberikan
gambaran hidronefrosis ginjal multikista. Ginjal multikista displastik merupakan
proses yang aktif, dimana bentuk kista terjadi akibat keseimbangan atau
ketidakseimbangan antara proses ekspresi gen dan kematian sel (apoptosis).

Etiologi

Studi oleh Felson dan Cussen (1975) menemukan penyebab tersering dari
multikista ginjal bentuk hidronefrotik adalah atresia pelvis ginjal atau ureter.
Faktanya, pada ginjal kiri sering mengalami obstruktif megaureter (glassberg, 1977)
dan ureteropelvic juncton obstruction (Johnston et all, 1977). Teori lainnya, yakni
oleh Hildebrandt (1894) menyatakan bahwa gangguan penyatuan antara ureteric bud
dan metanephric blastema berisiko untuk menyebabkan timbulnya kista, dimana
hipotesis ini didukung oleh adanya insidensi yang tinggi pada kasus atresia ureteral.

Gambaran Klinis
Multikista displasia merupakan bentuk kista ginjal yang paling sering

ditemukan dan salah satu penyebab tersering timbulnya massa abdomen pada janin
(Longino dan Martin 1958 ; Melicow dan Uson, 1959 ; Griscom et al, 1975). Evaluasi
terhadap adanya multikista ginjal pada janin dapat dilakukan pada umur kehamilan 28
minggu, kisarannya antara 21-35 minggu (Avni et al, 1987). Pada orang dewasa, dapat
timbul keluhan nyeri abdomen, hematuri, hipertensi atau kondisi lainnya. Pada semua
usia, kelainan ini sering ditemukan di ginjal kiri, dimana laki-laki sering terjadi
multikista unilateral sedangkan multikista bilateral sering terjadi pada wanita. Pada
janin, adanya obstruksi kontralateral ureteropelvic junction (3-12%) dan refluks
kontralateral vesicoreteral (18-43%) sering menyebabkan multikista displasia ginjal.
Diagnosis multikista ginjal dapat ditentukan selama masa kehamilan melalui
pemeriksaan USG dan biasanya ditemukan bilateral (19-34% kasus). Bayi baru lahir
dengan ginjal multikista bilateral sulit untuk bertahan hidup, meskipun ada laporan

29

yang menyatakan bahwa bayi tersebut dapat bertahan hingga umur 65 hari (Kishikawa
et al, 1981). Involusi di ginjal dapat menyebabkan ginjal multikista, sering didapat
pada aplasia ginjal. Multikista displasia dapat melibatkan satu atau kedua ginjal.
Adanya kista displasia pada testis memiliki risiko terbentuknya ginjal multikista
displasia ipsilateral.

Histopatologi
Pada multikista displasia, jika ukuran kista besar maka stromanya tebal.

Sebaliknya, jika ukuran kista kecil maka stroma kistanya tipis dan lebih solid.
Biasanya ureter mengalami atresia parsial atau total. Pada multikista ginjal tipe
hidronefrotik terlihat hubungan antara kista dan renal pelvis. Pada kasus yang
ditemukan oleh Dewan dan Goh, dimana 7 dari 33 ginjal yang diberi kontras secara
intrasistikal memperlihatkan multkista ginjal tipe hidronefrotik. Pada ginjal multikista
displastik baik yang tipe hidronefrotik maupun yang non hifronefrotik tampak adanya
hubungan antar kista. Secara mikroskopis, dinding kista dilapisi oleh sel epitel kuboid
dimana dipisahkan septum jaringan fibrosa dan elemen displastik primitif dan terdapat
juga glomerulus imatur pada kista.

Evaluasi
Massa ginjal pada janin sering menunjukkan penyakit multikista ginjal atau

hidronefrosis dan penting untuk membedakan keduanya guna pemilihan jenis


tindakan pembedahan. Pada beberapa kasus, sulit untuk membedakan antara penyakit
multikista ginjal dari hidronefrosis berat (Gates, 1980; Hadlock et al, 1981).
Umumnya, ginjal multikista meluas dengan berbagai ukuran tanpa menunjukkan
hubungan antar kista. Pada obstruksi ureteropelvic junction, kista berasal dari perifer
ginjal yang memiliki hubungan antara perifer kista dan medial kista dan tidak terdapat
kista-kista yang kecil diantara kista-kista besar. Pada multikista ginjal tipe
hidronefrotik, uptake ginjal terlihat jarang pada fungsi scan dimercaptosuccinic acid
(DMSA).

Tatalaksana dan Prognosis


Pada ginjal yang dicurigai mengalami keganasan dapat dilakukan pemeriksaan

excretory urography atau studi pengobatan nuklir dan akan terlihat adanya hambatan
fungsi (Walker et al, 1984). Kekeliruan pemahaman tentang multikista ginjal tipe
hidronefrotik masih sering terjadi, meskipun dari studi pengobatan nuklir menyatakan
bahwa tipe ini dipengaruhi oleh obstruksi ureteropelvic junction. Potensi yang besar
30

mengalami keganasan harus menjadi perhatian pada multikista ginjal. Sebagian besar
laporan kasus menunjukkan adanya Wilms tumor dan RCC pada penderita multikista
ginjal. Terdapat 2 literatur yang menyarankan tindakan pembedahan pada multikista
ginjal sebagai tindakan pencegahan terhadap terbentuknya keganasan. Noe dan kolega
(1989) melaporkan bahwa 2000 nefrektomi telah dilakukan untuk mencegah terjadi
Wilms tumor.Beckwith (1997) menyatakan insiden Wilms tumor pada penderita
multikista displastik ginjal terjadi 4x lipat, sehingga dia menyimpulkan bahwa
peningkatan tersebut tidak membutuhkan tindakan nefrektomi sebagai pencegahan.
Sepertiga jumlah kasus ginjal multikista displastik dengan hipertensi membaik
membaik setelah dilakukan nefrektomi (Javadpour et al, 1970; Bugler dan Hauri,
1983; Chen et al, 1985). Ambrose (1976) menyatakan bahwa pada 2 kasus yang
ditemukan dapat terkontrol tekanan darahnya setelah dilakukan nefrektomi. Dapat
disimpulkan bahwa hipertensi pada multikista displastik ginjal tidak sering terjadi dan
tekanan darah kemungkinan dapat kembali normal setelah dilakukan nefrektomi.
2. Kista jinak multilokular (kista nefroma)
Lesi kistik multilokular pada ginjal anak dapat berupa kista multilokular jinak,
kista multilokular dengan sebagian diferensiasi tumor Wilms, kista multilokular
dengan nodul tumor Wilms, atau tumor Wilms kistik. Keempat lesi ini membentuk
spektrum, salah satunya kista multilokular jinak serta tumor Wilms kistik. Sebuah
kista multilokular bukanlah segmen ginjal yang terkena penyakit ginjal multikistik,
karena kondisi ini berbeda secara klinis, histologis, dan radiografi.

Gambaran Klinis
Sebagian besar pasien berusia kurang dari 4 tahun atau lebih dari 30 tahun.

Lima persen pasien berusia antara 4 sampai 30 tahun. Pasien yang berusia kurang dari
4 tahun sebagian besar berjenis kelamin lak-laki sedangkan pasien yang berusia lebih
dari 30 tahun sebagian besar perempuan.
Tanda dan gejala berbeda sesuai dengan usia. Pada anak-anak, massa pinggang
asimtomatik adalah temuan yang paling umum, sedangkan sebagian besar orang
dewasa memiliki gejala massa pada pinggang, nyeri perut serta hematuria. Perdarahan
disebabkan karena herniasi kista melewati epitel transisional ke dalam pelvis ginjal.
Tujuh kasus kista jinak multilokular bilateral ginjal telah dilaporkan, dimana
pada salah satu pasien lesi kambuh setelah eksisi (Geller et al, 1979). Selain itu telah

31

dilaporkan juga bahwa kista multilokular muncul pada ginjal yang sebelumnya
normal (Uson dan Melicow, 1963; chatten dan Bishop, 1977). Temuan ini mendukung
teori neoplastik tentang asal-usul lesi ini.

Histopatologi
Lesi berukuran besar dan dibatasi oleh kapsul tebal. Parenkim ginjal normal

yang berdekatan dengan lesi sering mengalami pendesakan oleh lesi tersebut. Lesi
dapat melewati kapsul ginjal menuju ke ruang perinefrik atau pelvis ginjal. Lokuli
ginjal berisi cairan bening, berwarna kuning atau seperti jerami dan dilapisi oleh sel
epitel kuboid atau kolumnar. Dalam beberapa kasus, sel kuboid eosinofilia masuk ke
dalam lumen kista, menciptakan penampilan hobnail. Joshi dan Beckwith (1989)
mendeskripsikan bahwa septa dari kista multilokular jinak terdiri dari jaringan fibrosa.
Septa pada kista multilokular dapat terbentuk dari 2 tipe jaringan, yakni
jaringan fibrosa atau jaringan embrionik. Kista multilokular pada dewasa secara
umum hanya terdiri dari jaringan fibrosa, sedangkan kista multilokular pada anak
yang berusia kurang dari 3 tahun tersusun atas kedua jaringan tersebut. Tipe
embrionik merupakan bentuk imatur. Kista multilokular harus dibedakan dengan
nefroblastoma kistik. Pada nefroblastoma kistik terdapat sel blastema, sedangkkan
pada kista multilokular tidak terdapat sel blastema. Seringkali jaringan yang
diferensiasi buruk seperti tubulus, glomerulus, mesenkim, otot rangka, dan tulang
rawan bercampur dengan dengan sel blastema. Pada anak-anak, kista multilokular
jinak tidak dapat mengalami tranformasi menjadi bentuk lain seperti tumor Wilms
kistik.
Pada orang dewasa terdapat berbagai spektrum lesi multilokular, yakni RCC
kista multilokular, RCC kistik, onkositoma kistik, serta hamartoma kistik pelvis
renalis. RCC kista multilokular disebut juga tumor Perlmann merupakan suatu
limfangioma kistik. Hamartoma kistik pelvis renalis, merupakan tumor pada ginjal
yang sering mengalami herniasi ke pelvis. Tumor ini terdiri atas mikrokista dan
tubulus. Stromanya tersusun atas sel spinddle,

Evaluasi
Beberapa tes dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis, diantaranya

urografi, sonografi, CT-scan, biopsi kista, sistrografi dobel kontras serta arteriografi.
USG dan CT-scan dapat digunakan untuk membedakan ginjal multikistik dengan kista
multilokular.

Pada USG, septa tampak sangat echogenik dengan lokuli yang


32

sonolusen, dimana debris pada lokuli tampak padat. Pada CT-scan, tampak septa lebih
hipodens daripada parenkim normal. Kalsifikasi jarang tampak pada anak-anak. Pada
biopsi kista, didapatkan cairan bening sampai kekuningan.

Tatalaksana dan Prognosis


Tatalaksana untuk kista multilokular jinak ini ialah nefrektomi. Jika lesi

terlokalisir cukup jauh serta jaringan normal masih bagus kondisinya, eksisi pada
lesi atau nefrektomi parsial lebih dipilih. Anak-anak yang memiliki kista
multilokular dengan nodul kistik tumor Wilms harus diterapi sebagai tumor Wilms.
RCC kistik pada orang dewasa harus diterapi sebagai lesi maligna walaupun
prognosisnya lebih baik. Terapi lesi multilokular jinak pada kebanyakan anak
adalah nefrektomi karena lesi ini mengakibatkan kerusakan yang parah pada
jaringan ginjal.
3. Kista sederhana
Kista sederhana merupakan kista yang dapat terjadi didalam ginjal atau
dipermukannya. Biasanya berbentuk oval hingga bulat, serta memiliki batas luar yang
halus, terdiri dari epitel kuboid yang datar. Biasanya terisi cairan yang seperti
transudat atau cairan berwarna kuning. Kista ini biasanya tidak berhubungan langsung
dengan bagian manapun dari nefron, walaupun berasal dari bagian nefron. Kista
sederhana bisa berupa kista tunggal maupun multipel dan bisa bilateral maupun
unilateral. Kista sederhana bisa bermanifestasi sejak dalam kandungan dan dapat
terdiagnosis pada minggu ke 14 kehamilan. Sebuah penelitian pernah dilakukan
dengan melakukan sonografi terhadap 29.984 fetus dimana berhasil menemukan
0,09% dari 11.000 kehamilan memiliki kista ginjal. (Blazer 1999). Pada 25 fetus
kistanya menghilang sebelum lahir.

Gambaran Klinis
Biasanya kista sederhana tidak dikeluhkan gejala klinisnya. Biasanya kista

ditemukan secara tidak sengaja pada ssaat pemeriksaan sonografi, Ct-Scan ataupun
urografi saat memeriksakan penyakit perut atau saluran kemih. Namun kadang kista
juga bisa memunculkan gejala nyeri perut atau masssa abdomen, hematuria akibat
rupture kista ke dalam system pielokalises. Juga bisa muncul hipertensi karena adanya
anemia segmental (rockson et al 1986). Kista dapat menyebabkan terjadinya obstruksi

33

kaliks maupun renaopelvik. Kista bisa bertambah ukurannya seiring berjalannya


waktu.
Kista dapat mengalami ruptur ke dalam sistem pelvikalises membuat sebuah
saluran penghubung dan menjadi divertikulum pseudokaliks. Keadaan tersebut dapat
hilang. Penutupan divertikel dapat berubah menjadi kista sederhana. Dua bentuk
kelainan tersebut dapat dibedakan dengan peemriksaan histopatologi. Secara teori,
diverkel memiliki lapisan epitel transisional sedangkan kista sederhana dilapisisi oleh
epitel kuboid yang agak gepeng.

Histopatologi
Kista sederhana memiliki variasi ukuran yang cukup besar, mulai dari kurang

dari 1 cm hingga lebih dari 10 cm. Kebanykan kista berukuran kurang dari 2 cm.
Dindingnya terdiri dari jaringan fibrosus dan memiliki ketebalan yang bervariasi dan
tidak memiliki elemen renal. Kulit kista terdiri dari epitel epitel kuboid atau gepeng.
Resiko kejadian kista sederhana semakin menningkat dengan bertambahnya usia.
Oleh sebab itu kista sederhana dianggap sebagai lesi yag didapat. Beart dan steg
(1977) menemukan adanya ektasia yang lebih besar dan dilatasi kistik pada tubulus
distal dan duktus koligentes pada pasien usia lebih 60 tahun dan dianggap sebagai
perkusor kista makroskopis.

Evaluasi
Diagnosis kista sederhana dapat dilakukan dengan metode yang aman

menggunakan sonografi. Diagnosis dengan sonografi dilakukan jika memenuhi


kriteria sebagai berikut: (1) tidak terdapatnya internal echo (2) terdapat gambaran
tajam, tipis, dengan dinding yang terpisah dengan batas halus yang juga terpisah; (3)
transmisi suara yang baik melalui kista dengan peningkatan gambaran akustik
dibelakang kista (4) bentuk sferis atau oval (goldman hartman 1900). Jika semua
kriteria tersebut terpenuhi, maka bisa dikesampingkan kemungkinan adanya
keganasan (livingston 1981). Jika tidak ditemukan kriteria tersebut, kemudian ada
ditemukan septasi, batas iergular, kalsifikasi, maka dianjurkan pemeriksaan lanjut
dengan CT-scan atau FNAB serta MRI. Kista yang berkelompok dapat dicurigai
keganasan. CT-scan lebih baik daripada sonografi untuk mengidentifikasi lesi yang
masih samar. Kista peripelvis membutuhkan ct-scan karena dapat berselang seling
dengan struktur pada system kolektivus dan hillum.

34

Kriteria diagnostik menggunakan CT-scan sama dengan pada sonografi, yakni


(1) tajam, tipis, terpisah dengan dinding dan batas yang halus (2) bentuk sferis atau
oval dan (3) isi yang homogen. Densitasnya -10 hingga +20 hu sama dengan densitas
air dan tidak ada peningkatan yang terjadi setelah injeksi media kontras. Kontras
dapat membantu diagnosis. Bosniak menyebutkan bahwa ia belum pernah
menemukan tumor dengan densitas kurang dari +20 hu. Jika cairan kista mengalam
hiperdens (antara 20-90 hu) masih dinyatakan sebagai kista sederhana sampai terbukti
terjadi peningkatan densitas ketika diberikan media kontras

Tatalaksana dan Prognosis


Sebelum tahun 1970, tatalaksana kista yang paling sederhana pada anak-anak

dilakukan dengan pembedahan. Namun, berdasarkan penelitian yang diterbitkan


tahun 1970 menunjukkan bahwa kista pada anak-anak dapat dikelola seperti pada
orang dewasa karena tipe lesi yang sama. Setelah kemungkinan adanya keganasan
disingkirkan, unroofing atau penghapusan kista asimtomatik tidak diindikasikan
(Gordon et al, 1979; Bartholomew et al, 1980; Ravden et al, 1980; Siegel dan
McAlister, 1980).
Ketika kista jinak sederhana menyebabkan obstruksi pyelocalyceal atau
hipertensi, maka dapat dilakukan pembedahan, unroofing kista, atau perkutan, dengan
aspirasi cairan dan mungkin menyuntikkan sclerosing agen, terutama jika cairan
mengalami reakumulasi setelah aspirasi sebelumnya. Beberapa sclerosing agen telah
digunakan, termasuk glukosa, fenol, iophendylate (Pantopaque), dan etanol absolut.
(Holmberg dan Hietala, 1989).
Holmberg dan Hietala (1989) menggunakan kombinasi antara aspirasi,
sclerosing agen , dan fosfat bismuth untuk manajemen kista dan didapatkan hasil
bahwa kista menghilang pada 44% pasien dan ukuran rata-rata dari kista di sisanya
hanya 21% dari ukuran aslinya setelah 3 sampai 4 tahun. Pendekatan baru untuk kista
yang kambuh ialah dengan reseksi perkutaneus dan marsupialisasi intra renal.
4. Medullary sponge kidney
Karakteristik penyakit Medullary sponge kidney ialah adanya dilatasi pada bagian
distal duktus kolektivus disertai adanya kista dan divertikula. Dilatasi duktus dapat
terlihat pada IVP sebagai gambaran bulu pada sikat. Duktus kolektivus yang
semakin ektasis serta mengalami kalsifikasi memberikan gambaran karangan
bunga.
35

Epidemiologi

Kebanyakan pasien yang mengalami penyakit ini tidak memperlihatkan gejala


serta tidak terdiagnosis. Hal ini mengakibatkan insidensi penyakit ini tidak diketahui.
Sebanyak 1 dari 200 pasien yang menjalani IVP untuk berbagai macam indikasi
mengalami penyakit ini. Insidensi penyakit ini pada populasi umum berkisar antara 1
per 5.000 dan 1 per 20.000 populasi.

Gambaran Klinis
Manifestasi klinis penyakit ini biasanya terjadi setelah umur 20 tahun, namun

tidak jarang manifestasi klinis penyakit ini pertama kali muncul pada usia 3 minggu
sampai usia 71 tahun. Manifestasi klinis tersering ialah kolik renal (50-60%), infeksi
saluran kemih (20-33%) serta gross hematuria (10-18%). Pada kebanyakan kasus,
diagnosis dibuat setelah dievaluasi dengan urografi intravena karena keluhan lain
seperti masa pada ginjal, hiperplasia prostat jinak, atau hipertensi.
Insidensi terjadinya batu ginjal berkisar antara 2,6 sampai 21% pada penyakit
ini, dimana insidensinya lebih tinggi pada wanita daripada pria. Keluhan ISK lebih
umum dialami oleh wanita dengan Medullary sponge kidney.
Sepertiga pasien dengan Medullary sponge kidney mengalami hiperkalsemi
dimana etiologinya tidak sama pada semua kasus. Pada pasien Medullary sponge
kidney, komposisi batu ginjalnya tersusun dari kalsium oksalat atau kombinasi
kalsium oksalat dengan kalsium fosfat.

Histopatologi
Gambaran histopstologi Medullary sponge kidney ialah dilatasi duktus

kolektivus intrapapiler dan kista medular kecil berdiameter 1 sampai 8 mm dan


gambaran spons pada potongan melintang ginjal. Kista dilapisi oleh epitel duktus
kolektivus serta berhubungan dengan tubulus kolektivus. Kista dan duktus kolektivus
yang mengalami dilatasi yang mengalami pemadatan sebagian besar tersusun atas
kalsium fosfat. Kista mengandung cairan berwarna coklat kekuningan, sel desquamasi
atau material kalsifikasi.

Diagnosis
Diagnosis Medullary sponge kidney dapat ditegakkan dengan melakukan

urografi intravena. Urografi intravena juga lebih sensitif dalam mendeteksi


Medullary sponge kidney ringan dibandingkan CT-Scan.
Gambaran urografi intravena penyakit ini ialah :
1. Pembesaran ginjal, terkadang disertai kalsifikasi terutama pada papilla
36

2. Pemanjangan tubulus papilla/cavitas yang terisi oleh kontras


3. Kontras papilla tampak lebih jelas dan opasifikasi medular persisten
Pada beberapa kasus, gambaran papilla menyerupai ranting anggur atau
karangan bunga. Gambaran urografi intravena pada anak yang lebih besar atau dewasa
muda dengan ARPKD terkadang menyerupai penyakit ini. Untuk membedakannya
perlu dilakukan evaluasi pada hati sebelum diagnosis ditegakkan.
Nefrokalsinosis yang ditemukan pada Medullary sponge kidney harus
dibedakan dengan bentuk hiperkalsiurik lain yang terdapat pada hiperparatiroidisme,
sarkoidosis, keracunan vitamin D, multiple myeloma, serta TBC dimana pada
Medullary sponge kidney kalsifikasi terjadi pada duktus yang belebar sedangkan pada
penyakit lain diatas, deposit kalsium terdapat pada duktus kolekitvus normal.
Pemeriksaan dengan USG pada orang dewasa tidak terlalu membantu
menegakkan diagnosis karena ukuran kista yang kecil pada penyakit ini. Namun,
USG dapat digunakan pada anak kecil karena anak kecil memiliki lebih sedikit lemak
pada sinus ginjal dan lapisan otot sehingga resolusi sonografi tampak lebih baik pada
anak kecil serta hiperekoik papilla tampak lebih jelas.

Tatalaksana
Komplikasi dari penyakit ini adalah pembentukan batu ginjal dan infeksi.

Kebanyakan pasien ada penyakit ini mengalami hiperkalsiuria. Thiazide bermanfaat


untuk mengurangi hiperkalsiuria dan membatasi pembentukan batu. Selain thiazide,
fosfat inorganik dapat digunakan untuk kelainan ini. Pada pasien dengan batu ginjal,
thiazide tetap diberikan walaupun tidak ditemukan hiperkalsiuria. Thiazide mencegah
batu kalsium dan menghambat perkembangan batu. Fosfat inorganik dapat digunakan
jika thiazide tidak efektif atau terjadi intoleransi. Fosfat inorganik

tidak boleh

digunakan pada pasien dengan infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh organisme
penghasil urease karena risiko batu struvit.
Kultur dilakukan jika terjadi infeksi atau ditemukan batu ginjal disertai dengan
pemberian antibiotik profilaksis jangka panjang. Jika terjadi batu ginjal, dapat
dilakukan lithotripsi extracorporeal dan nefrolithotomi perkutaneus serta operasi
pembedahan.
5. Penyakit glomerulokistik ginjal sporadis
Penyakit glomerulokistik ginjal merujuk pada adanya kista pada glomerulus.
Kista pada glomerulus atau ruang Bowman bersifat difus dan bilateral. Kista pada
37

glomerulus tampak pada berbagai penyakit kista ginjal serta dapat menjadi patologi
predominan. Adanya kista pada ginjal tidak membuktikan pasien memiliki penyakit
glomerulokistik ginjal.
Penyakit glomerulokistik merupakan penyakit yang tidak diturunkan dan
menyebabkan pembesaran ginjal bilateral dengan kista kecil pada ruang Bowman.
Karakteristik penyakit ini ialah tidak mengenai anggota keluarga lain serta tidak ada
asosiasi anomali yang tampak walaupun terdapat kista hepatik subskapular. Penyakit
glomerulokistik ginjal sporadis berbeda dengan penyakit glomerulokistik hipoplasia
familial, dimana penyakit ini tidak diturunkan serta tidak menyebabkan pembesaran
ginjal.
6. Penyakit kista ginjal didapat (ARDC)
Epidemiologi
Pada tahun 1977, Dunhill mempresentasikan ARCD pada pasien gagal ginjal.
awalnya ARCD dipercaya hanya dialami pasien yang mendapatkan hemodialisa.
ternya penyakit ini hamper dialami oleh semua pasien dengan dialysis peritoneal
(Thompson et al, 1986) dan dapat dialami juga oleh pasien dengan gagal ginjal kronis
dengan penanganan medis tanpa dialysis (Fisher dan Howard 1972). ARCD lebih
kepada kondisi tahap akhir penyakit ginjal dibandingkan karena proses dialisis.
Ishikawa (1985) menyarankan penggunaan istilah uremic acquired cystic disease
untuk keadaan tersebut.
Insiden ARCD berbeda pada beberapa institusi disebabkan perbedaan populasi
dan perbedaan kriteria diagnosis. Untuk menegakan diagnosis harus ditemukan
setidaknya 3-5 kista pada ultrasonografi, CT-Scan, atau MRI. Pada tahun 1948
Gardner mengidentifikasi 160 yaitu spasien dengan ARCD diantara 430 pasien yang
mendapatkan hemodialisis jangka panjang dengan angka insidensi 34%.
ARCD pada laki-laki cenderung lebih parah. Warga amerika ras negro dan
juga kemungkinan orang Jepang lebih banyak daripada ras kulit putih. ARCD dapt
pula terjadi pada anak-anak. Insidensi ARCD lebih tinggi pada pasien dengan ESRD
yang mengalami nefrosklerosis daripada orang dengan gagal ginjal akibat diabetes
(Fallon dan William 1989).

Etiologi
38

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya ARCD sebagai konsekuensi dari


hemodialisa adalah pernyataan yang keliru. Namun, jika toksin uremik adalah factor
resiko yang prinsipil mengapa ada perbedaan insiedensi ARCD pada banyak institusi.
Kemungkinannya adalah durasi yang berbeda dari terapi medis predialisis atau
perbedaan rejimen dialisis adalah faktor yang berpengaruh namun belum ada data
pendukung hal tersbeut.
Beberapa penelitian memunculkan teori peranan toksin. Pertama kista,
adenoma, dan karsinoma yang biasanya multipel dan bilateral. Kedua terdapat regresi
dari kista setelah transplantasi yang sukses. Beberapa toksin yang karsinogenik dan
sitogenik tereliminasi dengan allograft. Ketiga ketika transpalantasi gagal dan dialysis
dilanjutkan maka kista akan muncul kembali.
Teori lain menyatakan
menyebabkan

pembentukan

bahwa hilangnya

agen

renotropik

jaringan fungsional ginjal

yang

menginduksi

hiperplasia

glomerular, pembentukan kista dan pada kasus yang ekstrim menyebabkan tumor
ginjal (Hari et al 1983).

Gambaran klinis
Manifestasi klinis yang paling sering dari ARDC adalah nyeri pinggang,

hematuria, atau keduanya. Perdarahan terjadi pada 50% pasien (Evine 1996) yang
disebabkan karena adanya kista ginjal ataupun RCC. Feiner 1981 menyatakan bahwa
adanya perdarahan kistik disebakan oleh ruptur dari pembuluh darah yang sklerotik
pada dindingnya. Jika kista berhubungan langsung dengan nefron maka akan muncul
hematuria. Pada beberapa pasien, perdarahan terjadi setelah heparinisasi selama
proses dialisis. Peningkatan konsentrasi hemoglobin serum terjadi sekunder karena
peningkatan produksi eritropoietin (Shalhoub et al 1982)

Histopatologi
Kista muncul dominan pada korteks serta pada medulla dan biasanya bilateral.

Ukuran kista biasanya 0,5-1 cm namun bisa juga mencapai ukuran 5 cm (Miller
1989). Kista biasanya terisi dengan cairan yang berwarn jernih, keruh ataupun
hemoragik dan sering mengandung kristal oksalat (miller 1989). Inti dari sel-sel epitel
regular dan berbentuk bulat tanpa nukleus prominen. Namun beberapa kista atipikal
maupun hiperplastik dilapisi oleh epitel dengan nukleus yang besar dengan aktifitas

39

mitosis. Lapisan yang hiperplastik teresbut dipercaya beberapa ahli sebagai perkusor
dari tumor ginjal. Beberapa kista hiperplastik memiliki proyeksi papilar.
Adenoma renal biasanya multipel dan sering bilateral. Miler dkk melakukan
otopsi terhadap 155 pasien dengan ESRD dan menemukan 25 pasien memiliki nodul
renal (adenoma) yang kecil. Nodul tersebut multipel dan diameternya lebih kecil dari
2,5 cm. Nodul tersebut biasanya muncul dari kista atipikal (hiperplastik).
Klasifikasi tumor ginjal apakah merupakan adenoma atau karsinoma masih
belum jelas. Pada artikel klasik oleh Bell (1935), ia menyatakan bahwa tumor ginjal
dengan ukuran lebih dari 3 cm diklasifiikasikan sebagai karsinoma dan yang kurang
dari 3 cm diklasifikasikan sebagai adenoma. Namun ada juga tumor dengan ukuran
kurang dari 1 cm mengalami metastasis ke tempat lain. Beberapa ahli kemudian
menyatakan bahwa nodul ginjal dengan ukuran kurang dari 1 cm dikelompokan
sebagai adenoma dan yang berukuran di atas 3 cm dikelompokan sebagai karsinoma
sedangkan yang berukuran antara 1 sampai 3 cm dinyatakan sebagai daerah abu-abu.

Evaluasi

Pada pasien uremik dengan demam harus dicurigai ARCD dan kemungkinan kista
yang terinfeksi (Bonal 1987). Pada pemeriksaan sonografi biasanya tampak gambaran
ginjal yang kecil, hiperechoic dengan kista dengan berbagai ukuran. Kalsifikasi
dinding kista dapat pula terlihat, namun lebih jelas jika menggunakan CT-scan. Infeksi
dapat dicurigai jika pada pemeriksaan sonografi tampak internal echo atau penebalan
dinding. Punksi kista dapat digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan untuk
identifikasi mikroorganisme penyebab infeksi.
Ultrasound telah umum digunakan sebagai modalitas untuk diagnosis dan
monitoring pasien dengan ARCD. CT-scan dan MRI digunakan untuk identifikasi
kista, dan MRI digunakan untuk melihat gambaran dari lesi yang kecil (Heinz-peer
1998).
Pemeriksaan CT-scan dapat mengidentifikasi

penebalan dinding pada kasus

infeksi. Pada beberapa kasus, CT-scan dapat digunakan untuk mengidentifikasi


metastasis RRC retroperitoneal tapi tidak bisa mengidentifikasi lesi primer pada
ginjal.

40

Tatalaksana

Jika heparinisasi berhubungan dengan hematuria selama hemodialisis, maka


dialisis peritoneal bisa diganti. pilihan lainnya adalah embolisasi dan nefrektomi.
Untuk kista yang terinfeksi, dapat dilakukan drainase perkutaneus, operasi drainase
atau nefrektomi. Neuman (1988) merekomendasikan skrining dengan ultrasonografi
dan CT-scan diikuti dengan monitoring tiap 6 bulan pada pasien dengan atau tanpa
kista serta tumor dengan sonografi untuk pasien yang mendapat hemodialisis lebih
dari 3 tahun. Beberapa peneliti menemukan bahwa kista pada ARCD dapat
menghilang setelah transplantasi ginjal.
7. Divertikulum kaliks (kista pyelogenik)
Divertikulum kaliks merupakan kantong intra renal dengan dinding tipis yang
berhubungan dengan sistem pelvikaliseal melalui sebuah leher sempit. Divertikula
berasal dari forniks kaliks dan lebih sering mengenai pole atas kaliks. Divertikulum
kaliks merujuk pada lesi yang berhubungan dengan kaliks atau infundibulum,
sedangkan kista pyelogenik merujuk pada lesi yang berhubungan dengan pelvis
renalis.

BAB III
41

KESIMPULAN
Kista merupakan suatu rongga yang dilapisi oleh epitel dan berisi cairan. Kista ginjal
adalah struktur berisi cairan di dalam atau di tepi ginjal. Ginjal merupakan salah satu lokasi
tersering terjadinya kista pada tubuh. Kista ginjal dapat berkembang pada setiap lokasi di
sepanjang tubulus ginjal, dari kapsul Bowman ke duktus kolektivus melalui proses yang
diwariskan, melalui perkembangan atau didapat.
Kista ginjal dapat disebabkan oleh anomali kongenital ataupun kelainan yang didapat.
Kista ginjal dapat merupakan bagian dari kelainan bawaan dan dapat muncul pada saat lahir
atau berkembang beberapa waktu setelahnya atau bahkan dapat timbul pada saat dewasa.
Penyakit kista ginjal diklasifikasikan berdasarkan kesepakatan Komite Klasifikasi,
Nomenklatur dan Terminologi Bagian AAP pada Urologi pada tahun 1987, di mana
perbedaan utama antara penyakit genetik dan nongenetik dan kelainan lain diklasifikasikan
lebih lanjut berdasarkan gambaran klinis, radiologis, dan patologisnya. Penyakit kista ginjal
yang bersifat genetik yakni penyakit ginjal polikistik resesif autosomal (ARPKD), penyakit
ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD), penyakit juvenil nephronophthisis/penyakit
kista medulary kompleks, nefrosis kongenital (sindrom nefrotik familial) (resesif autosomal),
penyakit glomerulokistik hipoplastik familial (dominan autosomal), sindrom malformasi
multipel dengan kista renalis. Penyakit kista ginjal yang bersifat non genetik adalah ginjal
multikista/ginjal multikista displastik, kista jinak multilokular (kista nefroma), kista
sederhana, medullary sponge kidney, penyakit glomerulokistik ginjal sporadis, penyakit kista
ginjal didapat, dan divertikulum kaliks (kista pyelogenik).
Beberapa jenis kista yang berbeda

memiliki gambaran serupa, misalnya pada

penyakit ginjal dominan autosomal (ADPKD), tuberus sklerosis, penyakit VHL, dan penyakit
ginjal kistik didapat (ARCD), tampak kista memiliki lapisan hiperplastik, kadang-kadang
terdapat nodul hiperplasia atau polip yang mengarah ke dalam lumen kista. Namun, kondisi
hiperplastik tiap jenis kista ini sangat berbeda satu sama lain. Contoh lain dari kesamaan
tersebut adalah ektasi pada duktus kolektivus yang tampak pada penyakit ginjal polikistik
resesif autosomal (ARPKD) dan medullary sponge kidney.
Diagnosis penyakit kista ginjal dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran
klinis, skrining (genetik), pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan histopatologi, atau
pemeriksan dengan pencitraan (CT-Scan, sonografi atau MRI) tergantung dari jenis penyakit
42

kista ginjal tersebut. Terapi untuk penyakit kista ginjal juga berbeda sesuai dengan jenis
penyakit kista tersebut dimulai dari medikamentosa hingga tindakan operatif. Prognosis
tergantung dari jenis penyakit kista ginjal.

43

DAFTAR PUSTAKA

Ajha,

Sahriani.

Kista

Ginjal

Simpel.

Diunduh

pada

30

April

2013.

(http://www.scribd.com/doc/113888851/Kista-Ginjal-Simple-Soliter).
Datu, Abd Razak. Diktat Urogenitalia Fakultas Kedokteran Universitas Hassanudin.
Diunduh pada 30 April 2013. (http://www.scribd.com/doc/18025323/DIKTATUROGENITALIA).
Dorland, W.A. Newman. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. EGC, Jakarta: 2002.
McAninch, Jack W. Disorder Of The Kidney, from Smiths General Urology 17th edition. Mc
Graw-Hill, USA: 2008.
Purnomo, Basuki B. Dasardasar Urologi. Edisi 2. EGC, Jakarta: 2009.
Price S.A., Wilson L.M. Patofisologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6
Volume 2. EGC, Jakarta: 2005.
Saladin, Kenneth S. Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function. 3rd Edition.
McGraw-Hill, USA: 2007.
Wein, Alan J. Et Al.

Campbell-Walsh Urology. Ninth Edition. Volume 1.

Saunders,

Philadelphia : 2007.

44

You might also like