You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan. Data WHO
menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, nilai yang sama dengan kanker payudara
pada perempuan dan kanker prostat pada pria.1 Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh
dunia tanpa batasan ras dan sosial ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di
negara berkembang yang mencapai 114 (70-190) per 100.000 penduduk pertahun. 2 Angka yang
tinggi dibandingkan dengan negara yang sudah berkembang di mana angka kejadian epilepsi
berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk pertahun. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar
220 juta, maka diperkirakan jumlah penyandang epilepsi baru 250.000 pertahun.
Angka prevalensi penyandang epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000 penyandang
epilepsi.3 Dari banyak studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%.Rata-rata
prevalensi epilepsi 8,2 per 1.000 penduduk.Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi
menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun
pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.4,5
Umumnya penyakit ini dapat diobati; data penelitian menemukan 55-68% kasus berhasil
menunjukkan remisi dalam jangka waktu yang cukup panjang. 3 Di kalangan masyarakat awam,
terutama di negaa berkembang masih terdapat pandangan yang keliru (stigma) terhadap epilepsi,
antara lain dianggap sebagai penyakit akibat kutukan, guna-guna, kerasukan, gangguan
jiwa/mental, dan dianggap penyakit yang dapat ditularkan melalui air liur.3 Hal ini berpengaruh
negatif terhadap upaya pelayanan penyandang epilepsi. Selain hal tersebut di atas, pelayanan
penyandang epilepsi masih menghadapi banyak kendala. Beberapa kendala yang telah
teridentifikasi antara lain keterbatasan dalam hal tenaga medik, sarana pelayanan, dana dan
kemampuan

masyarakat.

Berbagai

keterbatasan

tadi

dapat

menurunkan

optimalisasi

penanggulangan epilepsi.
Epilepsi berpotensi untuk menimbulkan masalah sosio-ekonomi dan medikolegal yang
secara keseluruhan dapat menurunkan atau mengganggu kualitas hidup penyandang
epilepsi.Masalah tersebut meliputi kesempatan untuk memperoleh hak pekerjaan/karier,
pendidikan dan perkawinan, memperoleh tanggungan asuransi, dan memperoleh Surai Ijin
Mengemudi (SIM).Aspek medikolegal epilepsi juga harus diperhatikan oleh dokter karena

kelalaian dalam membuat rekam medis dan rekam medis yang kurang lengkap akan dapat
menyeret dokter ke meja hijau.
Disamping hal-hal tersebut di atas, epilepsi menawarkan masalah bagi para dokter, baik
dokter spesialis saraf, dokter umum, maupun dokter spesialis di luar disiplin neurologi. Apabila
tawaran tadi tidak ditanggapi sebagaimana mestinya oleh para praktisi medik maka epilepsi
akan berlalu begitu saja, dengan arti bahwa epilepsi merupakan gangguan neurologik yang tidak
menarik perhatian dan dengan demikian penatalaksanaannya tidak memerlukan landasan yang
kokoh dalam bentuk pedoman penatalaksanaan. Sebaiknya, apabila para praktisi medik
terutama para dokter spesialis saraf tertarik dengan tawaran tadi maka epilepsi akan
dipandang sebagai suatu gangguan neurologik yang serius dan memerlukan pendekatan
tatalaksana yang sistematik dan komprehensif. Salah satu upaya pendekatan tadi adalah
membangun kesepakatan dalam hal penatalaksanaan epilepsi secara mendasar yang secara
operasional disebut sebagai pedoman tatalaksana epilepsi.Upaya lainnya dapat berbentuk
penelitian dan continuing professional development (CPD) sebagai proses belajar sepanjang
hayat (life-long learing).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol
yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.4
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai
oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi
ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. 5
Menurut Pedoman Tatalaksana Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI) tahun 2012, epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.Sedangkan
bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas
listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manifestasi klinik ini terjadi
secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan
gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom, ataupun psikis.6
Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinik yang unik untuk suatu
epilepsi; hal ini mencakup lebih dari sekedar tipe bangkitan tetapi juga mencakup etiologi,
anatomi, usia awitan, berat dan kronisitas bahkan kadang-kadang prognosis.6
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa
disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan kejang.5

2.2 . EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima
puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara

berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara
berkembang mencapai 100/100,000.7
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan
apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan denganperempuan.
Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut
di atas 65 tahun (81/100.000 kasus). 9 Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada
anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000. 10

2.3. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :11
Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui,

meliputi 50% dari penderita

epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3
tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat alat diagnostik yang
canggih kelompok ini makin kecil.
Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya :
post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi otak
kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.
Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik

2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy
(ILAE) 1981:12
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1.

Dengan gejala motorik

2.

Dengan gejala somato sensorik

3.

Dengan gejala otonomik

4.

Dengan gejala psikik

B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)


1.

Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran


a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme

2.

Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang


a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme

C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau
klonik)
1.

Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum

2.

Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum

3.

Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan


berkembang menjadi kejang umum

II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)


A.

lena/ absens

B.

mioklonik

C.

tonik

D.

atonik

E.

klonik

F.

tonik-klonik

III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan


Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :
I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik

Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes

Childhood epilepsy with occipital paroxysm

B. Simptomatik
o Lobus temporalis
o Lobus frontalis
o Lobus parietalis
o Lobus oksipitalis
II. Epilepsi Umum
A. Idiopatik

Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions

Benign myoclonic epilepsy in infancy

Childhood absence epilepsy

Juvenile absence epilepsy

Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)

Epilepsy with grand mal seizures upon awakening

Other generalized idiopathic epilepsies

B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik

Wests syndrome (infantile spasms)

Lennox gastaut syndrome

Epilepsy with myoclonic astatic seizures

Epilepsy with myoclonic absences

C. Simptomatik

Etiologi non spesifik

Early myoclonic encephalopathy

Specific disease states presenting with seizures

2.5. PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran
aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih
stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi
dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter
inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh
kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan
istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu
fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas
serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi.
Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terusmenerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu
serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting
untuk fungsi otak.13

2.6 GEJALA

Kejang parsial simplek

Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:

deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan
Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih

tertentu.
Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
Halusinasi

Kejang parsial (psikomotor) kompleks


Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama.
Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu
serangan. Gejalanya meliputi:

Gerakan seperti mencucur atau mengunyah


Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam

keadaan seperti sedang bingung


Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).

Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku
diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami
tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan
perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunangkunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran,
kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang
jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot
yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat

dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun
ingin tidur setelah serangan semacam ini.14

2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. 15
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
menanyakan tentang riwayat

trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,

ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu.


Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekueensi serangan
- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang


- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau
difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan
umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan
adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh
dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi
epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung
oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural
di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal
gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami
serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video
EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan

untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat
untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk
kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat
diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur
otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan
secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus
kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.

2.8 TERAPI

Status

epileptikus

merupakan

kondisi

kegawatdaruratan

yang

memerlukan

pengobatanyang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun kematian .


Definisi dari status epileptikus yaitu serangan

lebih dari 30 menit, akan tetapi untuk

penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10 menit


Algoritme manajemen status epileptikus

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien. Prinsip terapi
farmakologi epilepsi yakni:

OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali
bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan
kemungkinan efek sampingnya.

Terapi dimulai dengan monoterapi

Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif.

Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.

Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan
kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat
epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan
pertama merupakan status epileptikus. 16
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :

Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)

Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Clatau aktivitas neurotransmiter.

Penghentian pemberian OAE


Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun
bebas serangan .
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:

Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah


minimal 2 tahun bebas bangkitan

Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan

Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE
yang bukan utama

Obat ezogabine merupakan obat baru dan memiliki mekanisme kerja sebagai pembuka
saluran kalium, mengaktivasi gerbang saluran kalium di otak. Akan tetapi mekanisme unik ini
memiliki beberapa efek toksik yang biasanya tidak terdapat pada obat kejang lainnya seperti
retensi urin.Hal inilah yang menyebabkan US Food and Drug Administration's (FDA's) masih
mempertimbangkan obat ini.17
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE, interaksi antarobat
epilepsi. 2
Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan2
Jenis Bangkitan

OAE Lini
Pertama

Bangkitan
Sodium
umum
tonik Valproate
klonik
Lamotrigine

OAE Lini
Kedua

OAE Lain yang


dapat
dipertimbangka
n

Clobazam

Clonazepam

Levetiracetam

Phenobarbital

Oxcarbazepine

Phenytoin

Topiramate

OAE yang
sebaiknya
dihindari

Acetazolamide

Carbamazepin
e
Bangkitan lena

Sodium
Valproate

Clobazam

Carbamazepine

Topiramate

Gabapentin

Lamotrigine
Bangkitan
mioklonik

Sodium
Valproate
Topiramate

Oxcarbazepine
Clobazam

Carbamazepine

Topiramate

Gabapentin

Levetiracetam

Oxcarbazepine

Lamotrigine

Piracetam
Bangkitan tonik

Sodium
Valproate
Lamotrigine

Bangkitan
atonik

Clobazam

Phenobarbital

Carbamazepine

Levetiracetam

Phenytoin

Oxcarbazepine

Clobazam

Phenobarbital

Carbamazepine

Levetiracetam

Acetazolamide

Oxcarbazepine

Topiramate

Sodium
Valproate
Lamotrigine

Topiramate

Bangkitan fokal Carbamazepin


dengan/tanpa
e
umum sekunder
Oxcarbazepine

Phenytoin

Clobazam

Clonazepam

Gabapentin

Phenobarbital

Levetiracetam

Acetazolamide

Sodium
Valproate

Phenytoin

Topiramate

Tiagabine

Lamotrigine

Dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa2


Obat

Dosis Awal
(mg/hari)

Dosis
Rumatan
(mg/hari)

Jumlah
Dosis Per
Hari

Waktu
Paruh
Plasma
(Jam)

Waktu
Tercapainy
Steady
State (Hari)

Carbamazepin
e

400-600

400-1600

2-3x

15-35

2-7

Phenytoin

200-300

200-400

1-2x

10-80

3-15

Asam valproat

500-1000

500-2500

2-3x

12-18

2-4

Phenobarbital

50-100

50-200

50-170

Clonazepam

1 atau 2

20-60

2-10

Clobazam

10

10-30

2-3x

10-30

2-6

Oxcarbazepine 600-900

600-3000

2-3x

8-15

Levatiracetam

1000-2000

1000-3000

2x

6-8

Topiramate

100

100-400

2x

20-30

2-5

Gabapentin

900-1800

900-3600

2-3x

5-7

Lamotrigine

50-100

20-200

1-2x

15-35

2-6

Mekanisme kerja OAE

Efek samping obat anti epilepsi klasik: 2


Obat

Efek Samping
Terkait Dosis

Idiosinkrasi

Carbamazepine

Diplopia, dizziness, nyeri kepala, Ruam


morbiliform,
mual, mengantuk, netropenia, agranulositosis, anemia aplastik,
hiponatremia
hepatotoksik, SSJ, teratogenik

Phenytoin

Nistagmus,
ataksia,
mual,
muntah, hipertropi gusi, depresi,
mengantuk, paradoxical increase
in seizure, anemia megaloblastik

Asam valproat

Tremor, berat badan naik, Pankreatitis akut, hepatotoksik,


dyspepsia,
mual,
muntah, trombositopenia, ensefalopati,
kebotakan, teratogenik
udem perifer

Phenobarbital

Kelelahan, restlegless, depresi,


insomnia (anak), distracatibility
(anak),
hiperkinesia
(anak),
irritability (anak)

Clonazepam

Kelelahan, sedasi, mengantuk, Ruam, trombositopenia


dizziness,
agresi
(anak),
hiperkinesia (anak)

Jerawat, coarse facies, hirsutism,


lupus like syndrome, ruam, SSJ,
Dupuytrens
contracture,
hepatotoksik, teratogenik

Ruam makulopapular, eksfoliasi,


NET, hepatotoksik, arthritic
changes,
Dupuytrens
contracture, teratogenik

Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah lama mengkonsumsi OAE ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi.2

STATUS EPILEPTIKUS
Defenisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus
didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya
pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau
seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai
status epileptikus.
Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang
efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus
dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan area tertentu dari korteks (Partial onset) atau
dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada
pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.Satu versi
mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik,
mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks).
Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status
epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan
pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anakanak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).
Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian
kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya.3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala
yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien
yang

didiagnosa

epilepsi,

biasanya

karena

ketidakteraturan

dalam

memakan

obat

antikonvulsan.Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi
mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10
persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada
neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat
dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara
miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang
paling tinggi.
Etiologi dan Patofisiologi
Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal (tabel 1). Secara klinis dan
berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme
kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase
jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum
dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini.
Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana
tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap
ini.Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu
meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika
peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.Keadaan ini diikuti oleh
penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan
kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada
lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat
efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Komplikasi terjadinya status epileptikus dapat dilihat dari tabel 2.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan

pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan
Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
Etiologi status epileptikus

Alkohol

Anoksia

Antikonvulsan-withdrawal

Penyakit cerebrovaskular

Epilepsi kronik

Infeksi SSP

Toksisitas obat-obatan

Metabolik

Trauma

tumor

Gambaran klinik
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan
bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44
sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial
dalam mengakibatkan kerusakan.Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang
parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum.Pada status tonik-klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran
diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otototot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis selama
fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan peningkatan tekanan
darah, hyperpireksiamungkin berkembang.Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum

terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase
tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa
diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran
dari Lenox-Gestaut Syndrome.
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah menyeluruh
tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari status epileptikus
tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi
pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
E. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa.
Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi
(dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupaislow motion movie dan mungkin
bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang
absens pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3
Hz spike) pada semua tempat.Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena
didapati.
F. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena
gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor
atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional, cepat marah,
halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa
kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak
seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
G. Status Epileptikus Parsial Sederhana

a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada
satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang
menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara
unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu
menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang
berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang
pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia
yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
H. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk
mencegah pemulihan diantara episode.Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan
keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa yang
akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus
dirawat pada ruang intensif (ICU).Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini
diambil berdasarkan konsensusEpilepsy Foundation of America (EFA).Lini pertama dalam
penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.Benzodiazepin yang paling sering
digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed).Ketiga obat
ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada
Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami
status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana

Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak
65 persen.

Nama obat

Dosis (mg/kg)

Persentase

1. Lorazepam
2. Phenobarbitone
3. Diazepam + Fenitoin
4. Fenitoin

0,1
15
0.15 + 18
18

65 %
59 %
56 %
44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan
terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam
plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi
pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian

antikonvulsan

masa

kerja

lama

seharusnya

dengan

menggunakan

Benzodiazepin.Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari
50 mg dengan infus atau bolus.Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang.Efek samping
termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol,
Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar
diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove
syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
Status Epileptikus Refrakter
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.Walaupun dengan
obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti,
dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten. Kesalahan
diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang
epileptik.Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang
berespon terhadap terapi lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat
atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan

kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor
oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan
diulang dengan dosis awal.
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
(EFA, 1993)
Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung
darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa
Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau
IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan
kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap
terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per
menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan
Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat
diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per
menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga
kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan
infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan
tekanan darah stabil.
-atauBerikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per
menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atauBerikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam.Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.

DAFTAR PUSTAKA

1. Engel J, Pedle TA. Introduction: What is epilepsy. In Engel J, Pedley TA. Epilepsy A
Comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol one. Lippincott Williams & Wilkins. USA; 2008;
1-7.
2. Benerjee PN, Hauser WA. Incidence and Prevalence. In Engel J, Pedley TA. Epilepsy A
Comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol one. Lippincott Williams & Wilkins. USA; 2008;
45-56.
3. Beghi E, Sander JW. The Natural History and Prognosis of Epilepsy. In Engel J, Pedley
TA. Epilepsy A Comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol one. Lippincott Williams &
Wilkins. USA; 2008; 65-75.
4. WHO. Epilepsy: Aetiology, Epidemiology and Prognosis. Facsheet No 165, Revised
February 2001.
5. Brodie MJ, Schalhter SC, Kwan P, Facts F. Epilepsy. 3rd ed. Health press limited.
6.
7.
8.
9.

Oxford. 2005; 9-12.


Pedoman Tatalaksana Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Tahun 2012.
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-epilepsi-pada-

anak-2
10. http://www.epilepsysociety.org.uk/AboutEpilepsy/Whatisepilepsy/Causesofepilepsy
11. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in
Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005
12. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6.
Jakarta: EGC
13. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
14. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005
15. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
16. http://www.medscape.com/viewarticle/726809
17. Kliegman.Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia: Saundres
Elsevier. 2008. 593(6)

You might also like