You are on page 1of 1

Skripsi saya semester lalu mengambil tema tentang Akuntansi Syariah, yang mana

membahas mengenai Metode Perhitungan Zakat Perusahaan, saya tidak mau membahas itu
karena tulisan tentang itu sudah ada di postingan sebelumnya hehe. Yang saya mau cerita nih
fenomena-fenomena selama dan setelah skripsi tersebut saya kerjakan. Dalam perjalanan
menyelesaikan skripsi yang menarik justru respon dari orang-orang sekitar saya tentang saya dan
skripsi. Sering saya mendapat kritik Skripsimu syariah tapi kelakuanmu begitu, atau
Skripsimu syariah tapi sunnah kamu lalai dan banyak lagi yang Kamu dan skripsimu yang
syariah itu gak sinkron. Sungguhpun demikian saya sangat senang dan bersyukur karena ada
banyak yang mengingatkan, ada yang banyak mengarahkan agar istiqomah. Namun, bersama
dengan itu saya merasa ada sedikit kejanggalan. Karena hal yang sama tidak pernah terjadi pada
teman-teman yang lain yang mengambil tema non-syariah. Misal tentang tentang Keuangan dan
Pasar Modal, tidak pernah saya mendengar teman-teman saya atau orang lain yang berkomentar
Skripsimu tentang Keuangan tapi sikapmu gak sistematis dan blab la bla pun juga dengan
tema-tema yang lain. Hanya di tema tentang Syariah ini lah ada sebuah sentiment negatif, ada
sikap-sikap satir yang responsif dengan kejatuhan, komentar tersebut saya rasakan bukan
tertuju pada saya saja lebih jauh lagi sebenarnya adalah kepada ide tentang Nilai, ide tentang
akuntansi dan Agama, dan bahkan Agama itu sendiri. Orang-orang yang concern dengan
persoalan Agama ini-dalam kajian ilmu manapun yang mencoba mensakralkan yang profan-seolah-olah diberikan kewajiban lebih untuk lebih konsisten, lebih jauh lagi saya merasa ada
lebih banyak orang yang sebenarnya resisten dengan usaha-usaha idealistik yang demikian.
Modernitas saat ini telah membuat sebagian besar orang memilih sekularisme, praktik-praktik
dikotomis yang mengkotak-kotakkan antara Nilai-praktik, subjektif-objektif, feminin-maskulin,
Agama-dunia. Bagi modernisme saat ini realitas yang haq adalah bangun structural dengan
pondasi objektifitas materialistik, Nilai-Nilai yang transenden seperti Agama hanyalah sebuah
utopis (angan/ khayalan), perjalanan menuju amnesis kepada kebaikan yang kekal berbenturan
keras dengan pragmatisme yang mendahulukan dunia (materi) di atas segala kebenaran , lebihlebih saat ini di mana ada banyak sekali kasus di televisi yang menunjukkan bahwa golongangolongan yang mengatasnamankan Agama toh perilakunya jauh dari apa yang didakwahkannya,
sikap-sikap apologetik terhadap perilaku-perilaku yang berbenturan dengan Nilai, dan Agama
yang mulai diderivasi sebagai kemasan bisnis semata. Semua realita yang muncul ini kemudian
menciptakan sebuah eksistensi lain yaitu masyarakat yang resisten, masyarakat yang apatis
terhadap upaya-upaya idealis yang mencoba mengembalikan khittah manusia sebagai hamba
Tuhan melalui dekonstruksi Nilai-Nilai material dengan Nilai-Nilai tansenden. Penolakan
terhadap Nilai di rasa lebih benar ketika Nilai tersebut dianggap tidak mampu mengakomodasi
ego dan materialisme dan ketika Nilai tersebut nyatanya gagal diwujudkan ke dalam rumusan
yang pragtis. Bukan hanya saya mungkin di luar sana ada juga banyak orang yang mengalami hal
yang sama. Yah semoga kita semua tetap bisa istiqomah. Amin.

You might also like