Professional Documents
Culture Documents
Apa pula pendapat kita dengan dialog kedua anak tersebut? Mungkin akan banyak ragam
komentar seperti, Ah itu wajar, namanya juga anak-anak. Paling-paling dia hanya mengikuti
ucapan orang yang didengarnya atau hasil dari tontonan yang ada di sinetron atau yang
semisalnya.
Masya Alloh..! Anak-anak sekarang edan!
Astaghfirulloh! Anak-anak sekarang masih ingusan sudah pintar pacaran!
Apapun komentar kita tentang fenomena ini tidak akan pernah mengubah kenyataan yang terus
akan terjadi. Dengan dibiasakannya anak-anak berkelas campur, hal itu pasti akan berisiko tinggi
terhadap kerusakan akhlak, dan hal ini sama dengan membuka pintu perzinaan.
DAMPAK NEGATIF KELAS CAMPUR
Anak usia 8 tahun, apalagi 15 tahun, rata-rata sudah mulai matang mengkhayalkan lawan
jenisnya. Sambil bermain mereka saling menceritakan lawan jenisnya masing-masing. Mereka
menceritakan kelebihan-kelebihan lawan jenisnya, mulai dari kecantikan, kegantengan, postur
tubuh, prestasinya dan segala hal yang membuat mereka tertarik kepada lawan jenisnya. Hal ini
terjadi baik di pesantren, apalagi di sekolah umum. Lebih-lebih di usia 21 tahun, anak akan lebih
matang dalam mengkhayalkan lawan jenisnya. Usia 8-21 tahun inilah yang dikategorikan
sebagai usia remaja.
Pada usia remaja ini seorang anak sudah mulai secara transparan mengungkapkan isi hatinya
kepada lawan jenisnya, baik dengan menitip salam lewat temannya, SMS, surat, email, facebook,
twitter dan cara-cara lain yang terkadang di luar dugaan orang tuanya, apalagi dengan
kecanggihan teknologi saat ini. Sang anak mulai terpecah konsentrasi belajarnya, bahkan
waktunya habis untuk berkomunikasi dengan lawan jenis yang disukainya. Maka jangan heran
bila sang anak mulai suka terlambat sekolah, setelah di sekolah pun terkadang lemas dan tidak
bergairah lagi mengikuti pelajaran karena dihadang oleh rasa kantuk akibat semalam sedikit tidur
dan berpikir tentang lawan jenis yang disukainya.
Akibat negatif dari keadaan ini ialah, siswa mulai ketinggalan pemahamannya terhadap materi
pelajaran sehingga mulailah ia mengalami kesulitan belajar. Ketika anak merasa kesulitan belajar
inilah awal dari malapetaka anak sehingga ia tidak bergairah lagi mengikuti pendidikan di
sekolah karena beban pelajaran yang semakin menumpuk, ditambah lagi waktunya yang habis
untuk berkomunikasi dengan lawan jenis yang disukainya.
Orang tua pun mulai merasa heran, bahkan tidak terkecuali guru di sekolah mulai bertanya-tanya
tentang anak tersebut, kenapa siswa ini yang tadinya rajin dan bersemangat sekolah, sekarang
jadi bermalas-malasan bahkan prestasinya sangat menurun? Ketika anak yang bersangkutan
ditanya, Kenapa kamu seperti ini? Dia menjawab, Tidak ada apa-apa, Pak. Biasa-biasa
saja! Jawaban yang sungguh menyimpan misteri.
Orang tua dan guru di sekolah seolah kehabisan cara untuk mengungkap itu semua, sementara
anak merasa malu untuk berkata jujur terhadap apa yang dirasakannya. Lebih baik
menyembunyikan perasaannya dan sedikit berdusta, itu lebih dirasakan nyaman bagi dirinya.
INI SOLUSINYA!
Banyak hal yang tidak bisa tertangkap dengan jelas atas kejadian-kejadian yang menimpa anakanak kita dalam masalah ini. Akan tetapi, sesungguhnya bukanlah itu akar permasalahannya.
Akar permasalahannya ialah, kita jarang melakukan tindakan preventif terhadap kejadiankejadian tersebut.
Ada pelanggaran syariat yang terabaikan di sini, yaitu pergaulan campur baur (ikhtilath) antara
laki-laki dan perempuan yang menurut sangkaan orang tua dan masyarakat hal itu merupakan
perkara yang wajar dan biasa, bahkan dilegalkan di sekolah-sekolah.
Marilah kita perhatikan sabda Rosulullah shollallohu alaihi wasallam: Suruhlah anak-anak
kalian sholat pada usia 7 tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada
usia 10 tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka. (HR. Ahmad dan yang lainnya, dalam
Shohiihul Jaami no. 5868)
Sungguh ini adalah adab dan akhlak yang sangat mulia yang disampaikan oleh Nabi shollallohu
alaihi wasallam. Dengan saudara kandung saja harus dipisah tempat tidurnya pada usia 10
tahun, apalagi yang bukan mahromnya. Bagaimana kalau hal ini diterapkan di sekolah? Tentu ini
adalah keputusan yang tepat dan berani dalam menjaga kehormatan anak-anak dan keluarga kita.
Kalau anak-anak sudah mengenal batasan-batasan pergaulan antara lawan jenis yang sudah mulai
tertanam sejak dini di sekolah dengan kelas terpisah antara laki-laki dan perempuan, maka insya
Alloh nilai yang mulia ini akan tertanam kuat dan menjadi karakter dan kepribadian yang baik.
Sebaliknya, kalau anak-anak sudah sejak dini sudah dibiasakan dalam kelas campur baur antara
laki-laki dan perempuan, apalagi hingga perguruan tinggi, maka hal ini akan menjadi kebiasaan,
yang kemudian menjadi karakter yang kuat bagi anak bahwa bergaul tanpa batas adalah sesuatu
yang biasa.
Metronews.com, kamis, 10 Juni 2010 memberitakan bahwa penumpang Busway mulai dipisah
antara penumpang laki-laki dan penumpang perempuan, sehubungan dengan adanya pelecehan
seksual di dalam kendaraan umum yang bernuansa mewah tersebut.
Upaya pemerintah untuk mencegah aksi pelecehan seksual di Bus Transjakarta (Busway) mulai
terlihat di koridor VI Halte Busway Ragunan, misalnya dengan adanya pemisahan antara antrian
penumpang laki-laki dan perempuan. Gianta Pradipta, salah seorang penumpang Bus
Transjakarta yang mengantri di Halte Ragunan, mengaku bahwa adanya pemisahan berdasarkan
jenis kelamin membuatnya lebih nyaman, walaupun selama ini tidak pernah mengalami atau
melihat pelecehan seksual di Halte maupun di dalam Bus Transjakarta.
Hal ini sesungguhnya merupakan pelajaran berharga bagi lembaga pendidikan untuk tidak raguragu lagi mengambil keputusan bahwa yang terbaik bagi fitrah manusia, baik laki-laki maupun
perempuan, adalah memisahkan kelas antara laki-laki dan perempuan. Kalau Busway Jakarta
dapat mengambil keputusan berani yang baik tersebut, mengapa sekolah tidak?
MAKIN DIPISAH MAKIN CERDAS
Para siswa dengan kelas yang terpisah antara laki-laki dan perempuan akan lebih meningkat
kecerdasannya daripada kelas yang campur.
Siswa sekolah sejenis kelamin (laki-laki saja atau perempuan saja) lebih meningkat
kecerdasannya daripada sekolah yang bercampur lokasinya antara laki-laki dan perempuan
walaupun kelasnya terpisah.
Para santri di sebuah pesantren yang lokasi asrama laki-laki terpisah dengan asrama perempuan
dalam radius 1 km lebih meningkat prestasi kecerdasan santrinya daripada pesantren yang
berdekatan lokasinya (hanya dibatasi pagar/tembok walaupun tinggi, atau dalam satu kompleks).
KESIMPULAN
Kalau begitu, pembaca yang budiman, hal apakah yang menjadikan kecerdasan itu meningkat?
Jawabannya adalah semakin kita menjaga batas-batas Alloh dalam adab dan akhlak antara pria
dan wanita, maka akan menjadikan hati bercahaya, pikiran bersinar dan belajar pun menjadi
sungguh-sungguh. Dengan begitu, cahaya ilmu akan mudah tertanam dalam pikiran dan hati kita.
Resistensi tingginya pertemuan antara pelajar wanita dengan pelajar pria akan lebih besar
madhorotnya (dampak negatifnya) daripada manfaatnya bagi kualitas belajar mereka.