Professional Documents
Culture Documents
kemampuan kualitas (daya hidup) sel atau bahkan sel-sel baru relatif sedikit
terbentuk, akhirnya dapat merubah komposisi yang berbeda dari sel awal
(Sonneborn, 1979).
3. Teori Pakai dan Usang (Wear & Tear Theory)
Bahwa proses menua merupakan proses pra program yaitu proses yang
terjadi akibat akumulasi stress dan injuri dari trauma.
Menua dianggap sebagai Proses fisiologis yang ditentukan oleh sejumlah
penggunaan dan keusangan dari organ seseorang yang terpapar dengan
lingkungan.
4. Teori Imunitas (Immunity Theory)
Ketuaan disebabkan oleh adanya penurunan fungsi sistem immun (pada
Limposit T dan Limposit-B).
Berdampak pada semakin meningkatnya resiko terjadinya penyakit yang
berhubungan dengan autoimmun.
5. Teori Ikatan Silang (Cross Linkage Theory)
Akibat adanya struktur molekular dari sel berikatan secara bersama-sama
membentuk
reaksi
kimia,
membentuk
jaringan
baru,
yang
akan
pada pemebelahan
sel multipel,
o Serangan jantung
o Parkinson
o Kompresi saraf spinal karena spondilosis
o Penyakit cerebellum
6. Idiopatik (tak jelas sebabnya)
7. Sinkope: kehilangan kesadaran secara tiba-tiba
Drop attack (serangan roboh)
Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba
Terbakar matahari
3. Jelaskan faktor-faktor resiko terjadinya jatuh!(3)
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas
badan ditentukan atau dibentuk oleh :
A. SISTEM SENSORIK
Yang berperan di dalamnya adalah : visus ( penglihatan ), pendengaran, fungsi
vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada mata akan
menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan menimbulkan
gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia yang
diduga karena adanya perubahan fungsi vertibuler akibat proses menua.
Neuropati perifer dan penyakit degenaritf leher akan mengganggu fungsi
proprioseptif. Gangguan sensorik tersebut menyebabkan hampir sepertiga
penderita lansia mengalami sensasi abnormal pada saat dilakukan uji klinik.
B. SISTEM SARAF PUSAT ( SSP )
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik.
Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson, hidrosefalus tekanan normal sering
diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan gungsi SSP sehingga berespon
tidak baik terhadap input sensorik.
C. KOGNITIF
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatnya resiko
jatuh.
D. MUSCULOSKELETAL
Faktor ini disebutkan oleh beberapa oleh beberapa peneliti merupakan faktor
yang benar benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya
jatuh. Gangguan musculoskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan ( gait )
dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan gait yang
terjadi akibat proses menua tersebut antara lain disebabkan oleh :
Kekakuan jarungan penghubung
Berkurangnya masa otot
Perlambatan massa otot
Perlambatan konduksi saraf
Penurunan visus / lapangan pandang
Kerusakan proprioseptif
Yang kesemuanya menyebabkan :
Penurunan range of motio ( ROM ) sendi
Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremias
bawah
Perpanjangan waktu reaksi
Kerusakan persepsi dalam
Peningkatan postural sway ( goyangan badan )
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah pendek,
penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak
dengan kuat dan lebih cenderung gampang gouah. Perlambatan reaksi
mengakibatkan seorang lansia susah / terlambat mengantisipasi bila terjadi
gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian tiba tiba, sehingga
memudahkan jatuh.
Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia dibagi dalam dua golongan besar, yaitu :
1. Faktor faktor intrinik ( faktor dari dalam )
Kondisi fisik dan neuropsikiatrik
Penurunan visus dan pendengaran
Perubahan neuro muskuler, gaya berjalan, dan refleks postural karena
proses menua
2. Faktor faktor ekstrinsik ( faktor dari luar )
Menurunnya
toleransi
glukosa
pada
usia
lanjut
10
Beta-blocker
Beta blocker memblok betaadrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi
reseptor beta1 dan beta2. Reseptor beta1 terutama terdapat pada jantung sedangkan
reseptor beta2 banyak ditemukan di paruparu, pembuluh darah perifer, dan otot lurik.
Reseptor beta2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta1 juga dapat
dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor
beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang
meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta1 pada nodus
sinoatrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi
reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan
aktivitas system renninangiotensin aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan
cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai
aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan betablocker akan mengantagonis
semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Beta blocker yang
selektif (dikenal juga sebagai cardioselective betablockers), misalnya bisoprolol,
bekerja pada reseptor beta1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta1 saja oleh karena
itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hatihati.
Betablocker yang nonselektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta1 dan
beta 2. Betablocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai
aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulanbeta
pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok
aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal
ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa beta
blocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptoralfa perifer.
Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta2 atau vasodilator. Beta
blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air
atau lipid. Obatobat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa
kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai
waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta
11
blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama
pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi fenomena rebound.
Efek samping
Blokade reseptor beta2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme,
bahkan jika digunakan betabloker kardioselektif. Efek samping lain adalah bradikardia,
gangguan kontraktil miokard, dan tangakaki terasa dingin karena vasokonstriksi akibat
blokade reseptor beta2 pada otot polos pembuluh darah perifer. Kesadaran terhadap
gejala hipoglikemia pada beberapa pasien DM tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena
betablocker memblok sistem saraf simpatis yang bertanggung jawab untuk memberi
peringatan jika terjadi hipoglikemia. Berkurangnya aliran darah simpatetik juga
menyebabkan rasa malas pada pasien. Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada
penggunaan betablocker yang larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat
terjadi. Betablockers nonselektif juga menyebabkan peningkatan kadar trigilserida
serum dan penurunan HDL.
ACE inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif
pembentukan angiotensin II dari precursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat
pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II
merupakan vasokonstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas
simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan
menurunkan tekanan darah. Jika system angiotensinrenin aldosteron teraktivasi
(misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek
antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi
kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi
ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa perbedaan pada
parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai
durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang
pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama ACEii harus diberikan
12
pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini
akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.
Antagonis Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai
respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron.
Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum
begitu jelas. Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin
II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok system reninangitensin melalui jalur
antagonis reseptor AT1 dengan pemberianantagonis reseptor angiotensin II mungkin
bermanfaat. Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak kemiripan
dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal,
ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada
stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu.
Efek samping ACEi dan AIIRA
Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan
kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi
karena kedua golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan AIIRA
dapat menyebabkan hiperkalemia karena menurunkan produksi aldosteron, sehingga
suplementasi kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien
mendapat terapiACEI atau AIIRA. Perbedaan anatar ACEi dan AIIRA adalah batuk
kering yang merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat
terapi ACEi. AIIRA tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin.
Calcium channel blocker
Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel
miokard, selsel dalam sistem konduksi jantung, dan selsel otot polos pembuluh darah.
Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi
impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan
konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung
13
pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan
amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin
mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan
verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan
heart rate dan mencegah angina. Semua CCB dimetabolisme di hati.
Efek samping
Pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering
dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual juga
sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh
karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan gastrointestinal, termasuk konstipasi.
Alpha-blocker
Alphablocker (penghambat adrenoseptor alfa1) memblok adrenoseptor alfa1
perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh
darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.
Efek samping
Alphablocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada
pemberian dosis pertama kali. Alphablocker bermanfaat untuk pasien lakilaki lanjut
usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat.
Golongan lain
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan
tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerja
sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha2
atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh
darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah.
Efek samping
Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati
harus dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati.
Hidralazin
juga
diasosiakan
dengan
sistemiklupus
eritematosus.
Minoksidil
14
wanita. Obatobat kerja sentral tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk
menghindari efek samping sistem saraf pusat seperti sedasi, mulut kering dan
mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa mempunyai mekanisme kerja yang mirip
dengan konidin tetapi dapat memnyebabkan efek samping pada system imun, termasuk
pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik
Terapi farmakologi Diabetes
1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel pankreas dalam merespon glukosa.
Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai,
rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin
mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme, efek
kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel.
Efek samping jika dosis pemberian tidak terkontrol dapat menyebabkan hipoglikemi
2. Obat Antidiabetik Oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien
diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan
menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat
a. Golongan Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas, oleh
sebab itu hanya efektif apabila sel-sel Langerhans pankreas masih dapat berproduksi
Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa
sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat
golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat badan normal
dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya
Sulfonilurea generasi pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati. Masa
kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002). Dalam
darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi
karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal
15
yang
ternyata
lebih
kuat
efek
hipoglikemianya
daripada
16
17
saraf
motorik
pada
kedua
tungkai
yang
18
pada kemampuan fungsional pasien atu setidaknya memberikan perhatian yang sama
dengan diagnosis dan pengobatan penyakit sebab kompleksitas masalah pada usia lanjut
dapat meningkatkan resiko iatrogenik.
Pemeriksaan yang dilakukan:
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau
keluarganya. Anamnesis meliputi:
Seputar jatuh : mencari
penyebab
jatuh
misalnya
terpelesat,
tempat kegiatannya.
b. Pemeriksaan fisik
Mengukur tanda vital : tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu
badannya
Kepala dan leher
bising
Pemeriksaan jantung : kelainan katup, aritmia, stenosis aorta, sinkope
sinus carotis
Neurologi
19
20
diberikan di dalam penelitian tersebut adalah 30 mg/kg berat badan diberikan dalam 15
menit pertama, dan diikuti dengan 5,4 mg/kg/jam.
Pada penderita di mana obat diberikan dalam 3 jam pertama setelah cedera, infus
intravena harus dilanjutkan selama 24 jam . Sementara bila terjadi antara 3-8 jam, maka
harus dilanjutkan sampai 48 jam, kecuali bila ada komplikasi. Penanganan operasi pada
cedera spinal terutama ditujukan untuk stabilisasi yaitu dengan prosedur instrumentasi
dengan memakai berbagai bahan.
Sumber:
Infeksi (Pneumonia )
Penaganan dan rehabilitas. Pengobatan ISPA/ pneumonia dilakukan dengan
pemberian kemoterapi dan pengobatan umum ( terapi oksigen, terapi hidrasi dan
fisioterapi ). Kemoterapi merupakan kunci utama pengobatan pneumoni.
Tujuan pemberian kemoterapi adalah untuk membasmi kuman penyebab
pneumonia. Pemberian kemoterapi harus berdasarkan petuunjuk penemuan kuman
terhadap antibiotika ). Berhubung satu dan lain hal, misalnya : penyakit penderita
sangat serius , dan perlu pengobatan segera , kuman penyebab infeksi belum dapat
diketahui pasti menjelang terapi, sehingga antibiotic pemberiannya dilakukan secara
empirik.
Bila penyakitnya ringan atau sedang , antibiotic diuberikan secara oral ,
sedangkan bila berat diberikan secara parenteral. Pengobatan umumnya diberikan
selama 7-10 hari pada kasus tanpa komplikasi atau antibiotic diteruskan sampai 3 hari
bebas panas.
Hidrasi penderita harus diperhatikan . pada keadaan penyakit yang ringan
rehidrasi dapa dilakukan secara oral, sedangkan pada penyakit yang berat, rehidrasi
dilakukan secara parenteral, menggunakan larutan elektrolit.
Pada pneumonia usia lanjut , fisioterapi harus diberikan.penderita perlu tirah
baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk menghindari timbulnya pneumonia
hipostatik, kelemahan dan dekubitus.
21
Diabetes Melitus
Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan dengan modifikasi gaya hidup dan
pengobatan ( algoritma pengelolaan DM tipe 2 )
Cara pemberian OHO, terdiri dari :
1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan tingkatkan secara bertahap sesuai respons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.
2. Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan.
3. Repaglinid , nateglinid : sesaat sebelum makan
4. Metformin : sebelum/ pada saat/sesudah makan.
5. Penghambat glukosidase ( Acarbose ) : bersama makan suapan pertama
6. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan
7. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama mkan dan atau sebelum makan.
Pemantauan dan tindak lanjut
1. Edukasi dan manajemen nutrisi
Berat badan : diukur setiap kali kunjungan
Penilaian rutin : kandungan , kuantitas, dan pengaturan waktu supan makanan.
Disesuaikan dengan kebutuhan
Targe : penurunan berat badan menuju berat badan ideal dan control gula darah
tercapai.
2. Latihan fisik
Penilaian aktivitas fisik : paling sedikit setiap tiga bulan sekali
Rencana latihan : penggabungan dengan pilihan aktivitas sekarang ini dan level
ativitas : ditingkatkan sampai batas toleransi .
3. Perawatan kaki
22
semua
masalah
mendapat
perhatian
secara
seksama
dan
perlu
Apabila tekanan darah > 160 mmHg, biasanya diperlukan lebih dari 1 macam
anti-hipertensi , dimana obat kombinasi ini sebaiknya termasuk diuretika tiasid
Suspek katarak
Penatalaksanaan dengan pembedahan .untuk menentukan waktu katara dapat
dibedah ditentukan oleh keadaan tajam penglihatan dan bukan hasil pemeriksaan.
Operasi katara terdiri dari pengangkatan sebagian besar lensa dan penggantian lensa
dengan implant plastic . saat ini pembedahan semakin banyak dilakukan dengan anestesi
local daripada anestesi umum. Ananstesi local diinfiltrasikan disekitar bola mata dan
23
kelopak mata atau diberikan secara topical. Operasi dilakukan dengan insisi luas pada
perifer kornea atau sclera anterior, diikuti oleh ekstraksi ( lensa diangkat dari mata )
katarak ekatrakasular. Insisi harus dijahit. Likuifikasi lensa menggunakan probe
ultrasonografi yang dimasukkan melalui insisi yang lebih kecil dari kornea atau sclera
anterior
9. Bagaimana penanganan awal dan pencegahan yang dilakukan untuk skenario!(19)
PENANGANAN
Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang
dan menerapi komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik,
dan mengembalikan kepercayaan diri penderita.
The Panel on fall telah merekomendasikan penanganan jatuh pada masyarakat,
sesduah melakukan asistment secara menyeluruh,mengidentifikasikan anormalitas dari
komponen kontrol postural dan performen fisik secara menyeluruh dari keseimbangan
dan cara berjalan,juga masalah kesehatan, status fungsional, dan cara mendapatkan
bantuan. Penyebab yang potensial berpengaruh dicatat dan direncanakan strategi
penanganan baik intervensi secara farmakologi/pembedahan & rehabilitasi seperti yang
tercantum pada appendik F.
Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau eliminasi faktor resiko,
penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terspadu dan
membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi,
rehabilitasi medik, psikiatrik,dll), sosialworker, arsitek, dan keluarga penderita.
Penatalaksanaan bersifat individualis, artinya berbeda untuk setiap kasus karena
perbedaan faktor-faktor yang bersama-sama mengakibatkan jatuh. Bila penyebab
merupakan penyait akut penanganannya menjadi lebih mudah, sederhana, dan langsung
bisa menghilangkan penyebab jatuh serta efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh
karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat,
rehabilitasi, perbaikan lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lansia itu. Pada kasus lain
intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan
bepergian/aktifitas fisik, penggunaan alat bantu gerak.
24
25
26
Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus
dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah
datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat. Peralatan rumah
tangga sudah tidak aman (lapuk, dapat bergeser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan
rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu
jalan/tempat aktifitas lansia. Kamar mandi dibuat tidak licin, sebaiknya diberi pegangan
pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan
diberi pegangan di dinding.
Banyak obat-obatan yang berperan terhadap jatuh. Mekanisme tersering
termasuk sedasi, hipotensi ortostatic, efek ekstrapiramidal, miopati dan gangguan
adaptasi visual pada penerangan yang redup.
Obat-obatan yang menyebabkan sedasi diantaranya golongan benzodiasepin
(Diazepam, chlordiazepoxide, flurozepam, desmethy-diazepam, oxazepam, lorazepam,
nitrazepam, triazolam, alprazolam), antihistamin bersifat sedatif, narkotik analgesik,
trisiklik antidepresan (Amitryptiline, Imipramine), SSRI (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor) misalnya fluoxetine, setraline, antipsikotik, antikonvulsan dan etanol. Obatobat yang menyebabkan hipotensi orthostatic seperti antihipertensi, antiangina, obat
antiparkinson, trisiklik antidepresan dan anti psikotik. Obat-obat yang menyebabkan
efek ekstrapiramidal misalnya metokloperamide, anyipsikotik, SSRI. Obat-obatan yang
menyebabkan miopati misalnya "kortikosteroid, colchisine, statin dosis tinggi terutama
apabila dikombinasi dengan fibrat, interferon. Obat yang menyebabkan miosis seperti
pilocarpine untuk pengobatan glaukoma. Dosis, waktu pemberian, dan ketaatan minum
obat juga mempengaruhi terjadinya jatuh. Pasien dengan obat yang banyak/polifarmasi
rentan pula mempengaruhi keseimbangan.
Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat, tripoid, kruk atau
walker harus dibuat dari bahan yang kuat tetapi ringan, aman tidak mudah bergeser serta
sesuai dengan ukuran tinggi badan lansia.
Penilaian cara berjalan (GAIT) dan keseimbangan
- Penilaian pola berjalan secara klinis
27
Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola
jalan. Keseimbangan, kekuatan dan flesibilitas diperlukan untuk
mempertahankan postur yang baik. Ketiga elemen itu merupakan
dasar untuk mewujudkan pola jalan yang baik pada setiap
individu. Pola jalan yang normal dibagi 2 fase yaitu:
Fase pijakan (stance phase)
Fase ini adalah fase dimana kaki bersentuhan dengan pijakan.
Fase ini 60 persen dari durasi berjalan yang dibagi menjadi 3
yaitu:
Heel stroke yaitu saat tumit salah satu kaki menyentuh pijakan.
Mid stance yaitu saat kaki menyentuh pijakan.
Push off yaitu saat kaki meninggalkan pijakan.
Fase dimana kaki tidak menyentuh pijakan (swing phase)
Fase ini 40 persen dari durasi berjalan yang dibagi menjadi 3
yaitu:
Acceleration yaitu saar kaki ada di depan tubuh.
Swing through yaitu saat kaki berayun ke depan.
Deselerasi yaitu saat kaki kembali bersentuhan dengan pijakan Dalam pola jalan
lansia ada beberaa perubahan yangmungkin terjadi, diantaranya sebagai berikut:
Sedikit ada rigiditas pada anggota gerak terutama anggota
gerak atas dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang
apabila tubuh bergerak.
Gerakan otomatis menurun, amplitudo dan kecepatan
berkurang seperti hilangnya ayunan tangan saat berjalan.
Hilangnya kemampuan untuk memanfaatkan gravitasi
sehingga kerja otot meningkat.
Hilangnya ketepatan dan kecepatan otot, khususnya otot
penggerak sendi panggul.
Langkah lebih pendek agar merasa lenih aman.
Penurunan perbandingan antara fase mengayun terhadap
28
fase menumpu.
Penurunan rotasi badan terjadi karena efek sekunder
kekakuan sendi.
Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun
Penurunan sudut antara tumit dan lantai
Penurunan irama jalan
Penurunan rotasi gelang bahu dan panggul
Penurunan kecepatan ayunan lengan dan tungkai
- Penilaian keseimbangan
Pemeriksaan keseimbangan seharusnya dilakukan saat berdiri secara statis dan
dinamik, termasuk pemeriksaan kemampuan untuk bertahan terhadap ancaman baik
internal maupun eksternal. Pemeriksaan statis termasuk lebar cara berdiri sendiri dan
cara berdiri sempit dengan kedua kaki yang nyaman tanpa dukungan ekstremitas atas,
diikuti oleh berdiri dengan mata tertutup untuk menghilangkan pengaruh visual untuk
penderita gangguan keseimbangan. Penghilang input visual saat berdiri dengan kaki
menyempit (Tes Romberg) membutuhkan informasi somatosensorik dan vestibuler,
sehingga meningkatnya goyangan menandakan adanya masalah sensori perifer
vestibuler. Bagi lansia yang dapat melakukan tes Romberg dengan baik, tes statis yang
lebih sulit seperti semitandem, tandem dan satu kaki yang terangkat dapat dilakukan.
Kemampuan untuk mempertahankan postur berdiri sebagai respon dari
gangguan internal dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk melakukan tes
pencapaian fungsionaltes dinamik respon tubuh untuk gangguan eksternal dapat
dilakukan jika penderita lansia telah mampu untuk melakukan tes keseimbangan statis
lebar tanpa menggunakan alat bantu atau bantuan ekstremitas atas. Tes refleks yang
benar (The test of righting reflexes), pemeriksa berdiri dibelakang pasien yang diminta
untuk menarik atau mendorong, dan bereaksi untuk mempertahankan tetap berdiri.
Pemeriksa kemudian secara cepat mendorong pelvis pasien pada bagian belakang
sambil menjaga pasien secara dekat. Kekuatan dorongan dengan amplitudo yang cukup
untuk mengubah pusat massa keluar dari dasar landasan pasien. Respon yang kas, satu
kaki akan berpindah ke belakang secara cepat tanpa bantuan ekstremitas atas atau
29
bantuan pemeriksa. Respon yang abnormal disebut reaksi balok kayu/timber reaction
yang mana tidak ada usaha untuk menggerakkan kaki dan diperkirakan adanya defisit
sistem nervous sentral, sering bersama dengan komponen ekstrapiramidal.
Mengatur/ mengatasi faktor situasional
Faktor situasional yang bersifat serangan akut/eksaserbasi akut penyakit yang
diderita lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lansia secara periodik.
Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan
lingkungan seperti tersebut di atas. Faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat
dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan penderita. Perlu diberitahukan pada penderita
aktifitas fisik seberapa jauh yang aman bagi penderita, aktifitas tersebut tidak boleh
melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasi pemeriksaan kondisi fisik,
maka dianjurkan lansia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau
berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh.
10. Tuliskan perspektif islam terkait skenario!
Persfektif Islam
Surah Ar Ruum ayat 54-55: Kekuasaan Allah dalam penciptaan-Nya terhadap manusia
dari sejak lahir hingga matinya kemudian dibangkitkan-Nya.
() ( )
Terjemah Surat Ar Ruum Ayat 54-55
54.Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan
(kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu)
setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia
kehendaki. Dan Dia Yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.
55. Dan pada hari (ketika) terjadinya Kiamat, orang-orang yang berdosa bersumpah,
bahwa mereka berdiam (dalam kubur) hanya sesaat (saja). Begitulah dahulu mereka
dipalingkan (dari kebenaran).
30
Arti
nya : "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu. Jika salah seorang diantara
keduanya atau kedua-duanya berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-sekali
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau
membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik".
Artinya : "Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan
ucapkanlah.'Wahai Tuhanku!' Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku di waktu kecil."
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata.
Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat
31
32
16. Faqih, Daeng M dkk. 2013. Panduan Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer Edisi I. Jakarta: IDI. Hal. 251-252. 475-479.
17. Buku Ajar Boedhi-Darmojo geriatric, Edisi 5. Badan penerbit fakultas kedoteran
universitas Indonesia, Jakarta. hal 548-549
18. Vaughan, Asbury.2013. General Opthalmologi Edisi 17.Jakarta: Penerbit
Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. Hal 157
19. Boedhi, Darmojo, R. 2009. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut )
edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI hal.185-189,191-193
33