You are on page 1of 10

PATOFISIOLOGI

HIPERBILIRUBINEMIA DIREK

Disusun oleh :
Fakhrurrozy Nasron
030.10.100
Pembimbing
dr. Mas Wisnu Wardhana, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
PERIODE KEPANITERAAN 28 DESEMBER 2015 05 MARET 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
Peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) merupakan salah satu
fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi
cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh
hiperbilirubinemia. Keadaan ini dapat merupakan kejadian sesaat yang dapat hilang
spontan. Sebaliknya, hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal yang serius, bahkan
mengancam jiwa. Dengan kondisi perawatan yang memulangkan neonatus secara dini,
dapat meningkatkan resiko terjadinya kern ikterus pada bayi cukup bulan apabila
dipulangkan dalam 48 jam setelah lahir. Terdapat hubungan yang signifikan antara
penurunan lama tinggal dan resiko kembali ke rumah sakit, dan penyebab utama
kembalinya ke rumah sakit selama periode awal neonatus adalah hiperbilirubinemia.
Terlepas dari penyebabnya, peningkatan kadar bilirubin serum dapat bersifat toksik
terhadap bayi baru lahir.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah
ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut Excessive Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non PhysiologicalJaundice) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonatus > 95 % menurut Normogram Bhutani.2

Kadar bilirubin terhadap usia neonatus


II.1.1. METABOLISME BILIRUBIN
Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang
sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom,
katalase, dan heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum
tulang. Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan3,4:
1.
2.
3.
4.
5.

Transport bilirubin
Pengambilan bilirubin oleh sel hati
Konjugasi
Sekresi bilirubin terkonjugasi
Sirkulasi enterohepatik
2

Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali
untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan ke dalam
paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik
dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.1
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. 1 gram haemoglobin akan menghasilkan 34 mg
bilirubin dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan
heamoglobin karena eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan
yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme
bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa
sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan
masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa
(120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga
reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat melalui sirkulasi enterohepatik.1
Transportasi bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang berikatan dengan albumin
tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga
mempunyai afinitas tinggi terhadap obat-obatan bersifat asam seperti penisilin dan
sulfonamid. Obat-obatan tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk
bilirubin sehingga bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan
albumin. Obat-obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara
menurunkan afinitas albumin adalah digoksin, gentamisin, furosemid, dll.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:
3

Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk

sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum


Bilirubin bebas
Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida)

yaitu bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.
Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (-bilirubin)
Pada 2 minggu pertama kehidupan, -bilirubin tidak akan tampak.
Peningkatan kadar -bilirubin secara signifikan dapat ditemukan pada bayi
baru lahir normal yang lebih tua dan pada anak. Konsentrasinya meningkat
bermakna pada keadaan hiperbilirubinemia terkonjugasi persisten karena
berbagai kelainan pada hati.

Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit,


albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel
membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan
sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari
sintesis de novo, resirkulasi enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan,
pengambilan bilirubin oleh sel hati dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi
bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal.
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini
terjadi karena adanya defisiensi ligandin, tetapi hal itu tidak begitu penting dibandingkan
dengan defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dari darah ke
empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan.
Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut
dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronyl
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Bilirubin ini kemudian dieksresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu
molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke dalam retikulum endoplasmik untuk
rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke
hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan hemolisis
kronik yang berat pigmen yang tertahan adalah bilirubin monoglukoronida.
4

Ekskresi (Sekresi )Bilirubin dan Sirkulasi Enterohepatik


Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam
kandung empedu kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses.
Proses ekskresinya sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada di
usus halus, bilurubin terkonjugasi tidak langsung diresorbsi, kecuali jika dikonversikan
kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat
dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk
dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim -glukoronidase yang dapat
mengidrolisia monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir,
lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi
sterkobilin.
Bayi baru lahir mempunyasi konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang relatif
tinggi di dalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis
bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan di
dalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk mengurangi
bilirubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool bilirubin usus
dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan hidrolisis
bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas -glukoronidase mukosa
yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi. Pemberian substansi oral yang
tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat mengikat bilirubin akan meningkatkan
kadar bilirubin tinja dan mengurangi kadar bilirubin serum, hal ini menggambarkan peran
kontribusi sirkulasi enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada
bayi baru lahir.

Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan oleh proses fisiologis atau patologis atau
kombinasi keduanya. Resiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI,
bayi kurang bulan, dan bayi mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi
karena peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi
pada bayi immatur.
Bayi yang diberi ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi
dibandingkan bayi yang diberi susu formula. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain; frekuensi menyusui yang tidak adekuat, kehilangan berat
badan/dehidrasi
ETIOLOGI
1.
2.
3.
4.

Produksi yang berlebihan


Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan transportasi
Gangguan dalam eksresi

PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
6

menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh
dan melewati lobulus hati,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini
umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin. Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl.
Ikterus akan muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan
oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya
atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang
dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi
hati

juga

akan

menyebabkan

hiperbilirubinemia.

Pada

semua

keadaan

ini,

bilirubintertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar


2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi
kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.
TATALAKSANA
1) Evaluasi laboratorium
2) Penyebab kuning
- Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus
-

dilakukan analisis dan kultur urin.


Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus dilakukan
pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk

mengidentifikasi adanya kolestasis


Bila kadar bilirubin direk atau konjugasi meningkat, dilakukan evaluasi

tambahan untuk mencari penyebab kolestasis


Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phosphatase dehydrogenase (G6PD)
direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi.
7

3) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan


4) Pengelolaan bayi dengan ikterus
Pengelolaan bayi ikterus dini (early jaundice) yang mendapat ASI
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika feses tidak keluar
dalam 24 jam
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui sering dengan waktu yang singkat lebih
efektif dibandingkan dengan menyusui lama dengan frekuensi jarang.
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dextrosa atau formula pengganti
4. Observasi berat badan, BAK, dan BAB
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum, rangsang pengeluaran produk
ASI dengan cara memompa, dan menggunakan fototerapi

6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI, sehingga penghentian
menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat
>20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurrahman, S. (2014). Hiperbilirubinemia. Dalam A. Y. M. Sholeh Kosim, Buku
Ajar Neonatologi (hal. 147-169). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Etika,

R.,

Harianto,

A.,

Indarso,

F.,

&

Damanik,

S.

M.

(t.thn.).

HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS (HYPERBILIRUBINEMIA IN


NEONATE). Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.
Soetomo - Surabaya , 1-14.
3. (2014). Anemia dan Hiperbilirubinemia. Dalam K. J. Marcdante, R. M. Kliegman, H.
B. Jenson, & R. E. Behrman, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial (Indonesian
Edition) (hal. 274-277). Elsevier.
4. Martiza, I. (2012). Ikterus. Dalam M. Juffrie, S. S. Soenarto, H. Oswari, S. Arief, I.
Rosalina, & N. S. Mulyani, Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi (hal. 263-284).
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

You might also like