You are on page 1of 46

CASE REPORT

MYASTHENIA GRAVIS

Oleh :
AULIA VINIA ARDELIA
1102011052

Dokter Pembimbing:
Dr Sofie Minawati, Sp.S

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF NEUROLOGI RSUD GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
JANUARI 2016

DAFTAR HALAMAN

DAFTAR HALAMAN..............................................................................................................1
STATUS PASIEN.......................................................................................................................2
1.1.

Pemeriksaan Fisik............................................................................................................3

A.

Keadaan Umum..............................................................................................................3

B.

Pemeriksaan Neurologi...................................................................................................4

1.2.

Pemeriksaan Penunjang / Usulan Pemeriksaaan............................................................10

1.3.

Ringkasan.......................................................................................................................10

1.4.

Diagnosa.........................................................................................................................12

1.5.

Rencana Awal.................................................................................................................12

1.6.

Prognosis........................................................................................................................13

1.7.

Follow Up......................................................................................................................13

TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................18
2.1.

Anatomi, Fisiologi dan Biokimia Neuromuacular Junction..........................................18

2.2.

Definisi...........................................................................................................................23

2.3.

Epidemiologi..................................................................................................................23

2.4.

Etiologi...........................................................................................................................24

2.5.

Patofisiologi...................................................................................................................24

2.6.

Manifestasi Klinis.........................................................................................................27

2.7.

Klasifikasi.

2.8.

Diagnosis........................................................................................................................30

2.9.

Terapi..............................................................................................................................35

2.10. Komplikasi Myasthenia Gravis..


PEMBAHASAN......................................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................43

CASE REPORT
1

STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Status
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
Tanggal Masuk

: Ny. Ani
: 33 tahun
: Perempuan
: Menikah
: SMA
: Ibu Rumah Tangga
: Bayongong Bulan
: 01 Januari 2016

B. Anamnesis
1. Autoanamnesis.
Keluhan Utama

: Sulit menelan sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RSUD dr Slamet Garut dengan keluhaan sulit menelan
yang dirasakan semakin memberat sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien
merasa seperti ada yang mmengganjal di tenggorokan yang terkadang disertai dengan
nyeri dan tersedak saat menelan sehingga pasien makan sedikit-sedikit dan berat
badan turun 10kg. Keluhan disertai dengan pasien sulit berbicara yang dirasakan sejak
1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Ketika berbicara suara pasien terkadang hilang
timbul. Pasien mengeluh mulut terasa lemas dan tekadang sulit untuk ditutup.
Keluhan lain yang disarakan pasien adalah sesak nafas. Sesak dirasakan
semakin memberat jika pasien duduk. Sesak nafas juga dirasakan jika pasien terlalu
lama berbicara. Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah tangan kanan dan kedua
kaki terasa lemas sehingga pasien memerlukan bantuan jika ingin berjalan. Keluhan
mual dan muntah disangkal pasien. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat pernah mengalami penyakit serupa dirasakan sejak 1 tahun yang lalu.
Riwayat batuk lama dan keringat malam disangkal. Riwayat memiliki penyakit tekanan
darah tinggi disangkal pasien. Riwayat memiliki penyakit jantung, dan diabetes melitus
disangkal. Riwayat penyakit kuning disangkal. Riwayat trauma disangkal. Riwayat
penyakit keganasan disangkal.
2

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal pasien. Riwayat sakit
kuning pada keluarga disangkal. Riwayat trauma disangkal. Riwayat penyakit
keganasan disangkal. Riwayat penyakit jantung dan paru pada keluarga disangkal
pasien.
Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
Riwayat Sosial dan Ekonomi :
Pasien sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga, tinggal dengan 1 orang
anak, suami, dan adik pasien.
1.1.

Pemeriksaan Fisik

A. Keadaan Umum
Keadaan umum

: Sakit Sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

GCS

: E4 M6 V5

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Nadi

: 90 x/menit regular

Heart rate

: 93 x/menit regular

Respirasi

: 20 x/menit

Suhu

: 35,6 C

Kepala

: Normocephal, kaku kuduk (-)

Leher

: KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat

Thoraks

Jantung
a. Inspeksi

: Iktus tidak cordis terlihat

b. Palpasi : Iktus cordis teraba pada sela iga ke 5 sebelah medial garis
midclavicula sinistra, thrill (-)
c. Perkusi

:
3

a) Batas jantung kanan pada linea sternalis dextra sela iga ke 4


b) Batas jantung kiri pada linea midclavicula sinistra sela iga ke 5
c) Batas pinggang jantung pada linea parasternalis sinistra sela iga ke 3
d. Auskultasi

: Bunyi jantung S1 = S2 murni reguler, S3/S4 (- / -) Murmur (-)

Gallop (-)
Paru - Paru
a. Inspeksi

: Gerakan statis dan dinamis hemitoraks kanan dan kiri, Tidak

tampak retraksi sela iga, sikatrik, hematoma, udem, massa, dan deformitas
pada kedua hemitoraks.
b. Palpasi

: Fremitus Taktil dan vokal simetris pada kedua hemitoraks.

c. Perkusi

: Sonor di kedua lapang hemitoraks.

d. Auskultasi

: Vesicular Breathing Sound sama di

kedua hemitoraks,

Ronkhi(-/-), Wheezing(-/-)
Extremitas

: Akral hangat, edema -/-, turgor baik

B. Pemeriksaan Neurologi
1. Inspeksi:
Kepala
Bentuk

: Normocephal

Nyeri tekan

: (-)

Simetris

: (+)

Pulpasi

: (-)

Leher
Sikap

: Dalam batas normal

Pergerakan

: Dalam batas normal

Kuduk kaku

: (-)

Kaku kuduk

: (-)

2. Saraf otak
N. cranialis
N. I (Olfaktorius)
Subyektif
Dengan Bahan
N. II (Optikus)
Tajam Penglihatan
Lapang penglihatan

Kanan

Kiri

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

6/60
normal

6/60
normal
4

Melihat warna
Fundus okuli
N. III (Okulomotorius)
Sela mata
Pergerakan Bulbus
Strabismus
Nistagmus
Exoftalmus
Pupil (Besar, bentuk)
Refleks cahaya
Refleks Konsesual
Refleks konvergensi
Melihat kembar
N. IV (Troklearis)
Pergerakan mata
Sikap bulbus
Melihat kembar
N. VI (Abdusens)
Pergerakan mata
Sikap bulbus
Melihat kembar
N. V (Trigeminus)
Membuka mulut
Menguyah
Mengigit
Reflek kornea
Sensibilitas muka
N. VII (Facialis)
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Memperlihatkan gigi
Bersiul
Rasa kecap 2/3 depan lidah
N. VIII
(Vestibulokoklearis)
Detik arloji
Suara berbisik
Tes Swabach
Tes Rinne
Tes Weber
N. IX (Glosofaringeus)
Refleks kecap 1/3 belakang
Sensibilitas faring

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Simetris
Normal
horizontal
Bulat, isokor
+
+
sdn
sdn

simetris
Normal
horizontal
Bulat, isokor
+
+
sdn
sdn

Normal
Normal
-

Normal
Normal
-

Normal
Normal
-

Normal
Normal
-

Normal
Normal
Normal
Tidak dilakukan
Normal

Normal
Normal
Normal
Tidak dilakukan
Normal

+
Tidak sempurna
+
tidak dilakukan

+
Tidak sempurna
+
tidak dilakukan

Terdengar
Terdengar
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Terdengar
Terdengar
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
5

N. X (Vagus)
Arkus faring
Uvula
Berbicara
Menelan
N. XI ( Assesorius )
Menenggok kanan kiri
Mengangkat Bahu
N. XII ( Hipoglossus )
Pergerakan Lidah
Lidah deviasi
Artikulasi

Normal
Normal
Sulit
Sulit/Tersedak
Pergerakan normal
Pergerakan normal
Normal
(+) Sinistra
Tidak terlalu jelas

3. Badan dan anggota gerak


Badan
Respirasi

: Torako abdominal

Bentuk kolumna vetebralis

: Dalam batas normal

Pergerakan kolumna vetebralis

: Dalam batas normal

Refleks kulit perut atas

: Tidak dilakukan

Refleks kulit perut tengah

: Tidak dilakukan

Refleks kulit perut bawah

: Tidak dilakukan

Anggota gerak atas


Motorik

: Normal

Pergerakan

: Aktif

Kekuatan

: 4

Tonus

: Baik

Atropi

: (-)

Refleks
Biceps

: +/+

Trisep

: +/+

Brakio Radialis

: +/+

Radius

: +/+

Ulna

: +/+

Hoffman/trommer

: Tidak dilakukan

Sensibilitas
6

Taktil

: Tidak dilakukan

Nyeri

: +/+ (sama)

Suhu

: Tidak dilakukam

Diskriminasi 2 titik

: n/n (sama)

Lokalis

: Tidak dilakukan

Getar

: Tidak dilakukan

Anggota gerak bawah


Motorik

: sedikit terbatas

Pergerakan

: sedikit terbatas

Kekuatan

:4 5

Tonus

: Baik

Atropi

: (-)

Sensibilitas
Taktil

: Tidak dilakukan

Nyeri

: +/+ (sama)

Suhu

: Tidak dilakukan

Diskriminasi 2 titik

: n/n (sama)

Lokalis

: Tidak dilakukan

Getar

: Tidak dilakukan

Refleks fisiologis
Refleks
Biseps
Triseps
Brachioradialis
Patella
Achiles

Dextra / Sinistra
+/+
+/+
+/+
+/+
+/+

Refleks patologis
7

Refleks
Babinski
Chaddock
Openheim
Gordon
Schaeffer
Mendel Bechtrew
Rosolimo
Klonus paha
Klonus kaki
Chvostexs sign
Trousseaus sign
Test Laseque
Test brudzinsky

Ekstremitas Dextra
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-

Ekstremitas Sinistra
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-

I/II/III/IV
Test kernig
Patrick

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Kontra patrick

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

4. Koordinasi, Gait dan keseimbangan


Cara berjalan

: Lambat berhati-hati

Tes Romberg

: Tidak Dilakukan

Tes Heel to toe walking

: Tidak Dilakukan

Dix- Halipke Test

: Tidak Dilakukan

Unterberger's stepping test : Tidak Dilakukan


Ataksia

: Tidak Dilakukan

Diskiadokhokinesis

: Tidak Dilakukan

Rebound fenomen

: Tidak Dilakukan

Dismetri:
Tes telunjuk hidung

: Tidak Dilakukan

Tes hidung-telunjuk-hidung : Tidak Dilakukan


Tes telunjuk-telunjuk

: Tidak Dilakukan
8

5. Gerakan gerakan abnormal


Tremor

: (-)

Athetosis

: (-)

Mioklonik

: (-)

Khorea

: (-)

6. Fungsi Vegetatif
BAK

: Normal

BAB

: Normal

7. Fungsi luhur
Hubungan psikis

: Stabil

Afasia

: motorik

:-

sensorik

:-

Ingatan

1.2.

: jangka pendek

: dbn

jangka panjang

: dbn

Pemeriksaan Penunjang / Usulan Pemeriksaaan


Pada pasien ini dilakukan:
Jenis pemeriksaan
Hb
Hct
Lekosit
Trombosit
Eritrosit
AST
ALT
Ureum
Kreatinin
Gula Darah Sewaktu

1.3.

Hasil
9,9 g/dL
32%
6.650/mm3
269.000/mm3
4,00 juta/mm3
16 U/L
10 U/L
20 mg/dL
0,7 mg/dL
76 mg/dL

Ringkasan
Subyektif
9

Pasien datang ke IGD RSUD dr Slamet Garut dengan keluhaan sulit menelan
yang dirasakan semakin memberat sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien
merasa seperti ada yang mmengganjal di tenggorokan yang terkadang disertai dengan
nyeri dan tersedak saat menelan sehingga pasien makan sedikit-sedikit dan berat
badan turun 10kg. Keluhan disertai dengan pasien sulit berbicara yang dirasakan sejak
1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Ketika berbicara suara pasien terkadang hilang
timbul. Pasien mengeluh mulut terasa lemas dan tekadang sulit untuk ditutup.
Keluhan lain yang disarakan pasien adalah sesak nafas. Sesak dirasakan
semakin memberat jika pasien duduk. Sesak nafas juga dirasakan jika pasien terlalu
lama berbicara. Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah tangan kanan dan kedua
kaki terasa lemas sehingga pasien memerlukan bantuan jika ingin berjalan.
Obyektif
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum

: Sakit Sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

GCS

: E4 M6 V5

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Nadi

: 90 x/menit regular

Heart rate

: 93 x/menit regular

Respirasi

: 20 x/menit

Suhu

: 35,6 C

Kepala

: Normocephal, kaku kuduk (-)

Leher

: KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat

Anggota gerak bawah


Motorik

: sedikit terbatas

Pergerakan

: sedikit terbatas

Kekuatan

:5 5
4

Refleks Fisioligis
Biseps

:+/+

Triceps

:+/+

Brachioradialis

:+/+
10

Patella

:+/+

Achilles

:+/+

Refleks Patologis
Babinski

1.4.

:-/-

Test Laseque
Test brudzinsky

I/II/III/IV
Test kernig

Diagnosa

1.5.

Myasthenia Gravis

Rencana Awal
Rencana diagnosis
EKG
Laboratorium
CT Scan
Rencana terapi
Medikamentosa

O2 1-2 liter/menit

Drip prostigmin 10 ampul + 5 ampul SA dalam 100cc NaCl 0,9% 4 gtt/menit


Habis dalam 24jam
Dexamethasone 4 x 1 ampul IV
Ranitidine 2 x 1 ampul IV
Cefotaxime 2 x 1gr IV
Omeprazole 1 x 40mg IV

Non Medikamentosa
Tirah baring
Rencana Edukasi
-

Minum obat secara teratur

Perbanyak istirahat dan mengurangi stress emosional

Tidak melakukan aktivitas berat

Rutin kontrol ke dokter

Menghindari paparan langsung suhu ekstrim

Menghindari demam dan penyakit lain seperti infeksi pernafasan, pneumonia,


abses gigi
11

1.6.

Makan makanan yang lunak dan hindari makanan lengket yang memerlukan
banyak mengunyah.

Prognosis
Quo ad Vitam
Quo ad Fungsional
Quo ad Sanationam

1.7.

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

Follow Up

Tanggal
4/1/16

Catatan

Instruksi

S/ Nyeri menelan
O/
KU
KS
TD
N
R
S

: SS
: CM
: 130/90mmHg
: 80x / menit
: 20x / menit
: 36o C

A/ obs. Disfagia ec suspek laryngitis TB

PD /
Konsul obgyn
Konsul neuro
PT /

Inf. D5 + RL 1:2 +
neurisanbe drip
Inj. Ranitidin 2 x 1
amp (IV)
Inj. Cefotaxime 2 x 1g
(IV)

Kepada Yth
Dr Nasir SpS
Moon konsul untuk penilaian di bidang TS atas
pasien dengan dk/ obs dysfaagia ec suspek
gangguan neuromuscular + suspek mioma uteri.
Atas kepercayaannya BTK
Dr. Elnanda SpTHT-KL
Kepada Yth
Dr spesialis obgyn
Moon konsul untuk penilaian di bidang TS atas
pasien dengan dk/ suspek mioma uteriobs
dysfaagia ec?
Atas kepercayaannya BTK
Dr. Elnanda SpTHT-KL
Yth TS THT
d/ kista ovarium dengan jadwal operasi Februari
2016. Saat ini tidak ada tindakan di bagian kami.
Dr Dadan SpOG
Yth dr Hadiyana SpB
Kesan : Myasthenia gravis
Terapi :
O2 1-2 liter/menit

12

Drip prostigmin 10 ampul + 5 ampul SA dalam


100cc NaCl 0,9% 4 gtt/menit Habis dalam 24jam
Dexamethasone 4 x 1 ampul IV
Ranitidine 2 x 1 ampul IV
Cefotaxime 2 x 1gr IV
NGT
ACC alih rawat ke cempaka
Dr Nasir SpS

Tanggal
5/1/16
(H 1)

Catatan
S/ susah menelan dan susah berbicara sejak 1
tahun yang lalu. Paien merasa sesak jika duduk,
tangan kanan terasa lemas. Mata kanan lebih
jatuh dari mata kiri. Riwayat demam (-) riwayat
batuk lama (-) berobat TB (-)
O/
KU : SS
KS
: CM
TD : 110/70mmHg
N
: 56x /menit
R
: 24x / menit
S
: 35,5o C

Instruksi
PD /
PT /
O2 1-2 liter/menit
Drip prostigmin 10 ampul
+ 5 ampul SA dalam 100cc
NaCl 0,9% 4 gtt/menit
Habis dalam 24jam
Dexamethasone 4 x 1
ampul IV
Ranitidine 2 x 1 ampul IV
Cefotaxime 2 x 1gr IV

SI :
- PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/- COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
SN :
- RM : KK (-)
6/1/201 - Mata : Pupil bulat isokor, RCL (+/+), RCTL (+/
6
+), ptosis dextra (+)
H2
- GBM : nistagmus (+)
- NVII dan N XII :parese sinistra central

5I5
4I4

- Motorik

- Sensorik

: n/n

- RF
- RP
- FL
- FV

+ I +

: +I+

: -/: Baik
: BAK dbn
BAB dbn

O2 1-2 liter/menit
Drip prostigmin 8 ampul +
4 ampul SA dalam 100cc
NaCl 0,9% 4 gtt/menit
Habis dalam 24jam
Dexamethasone 4 x 1
ampul IV
Ranitidine 2 x 1 ampul IV
Cefotaxime 2 x 1gr IV
Omeprazole 1x40mg IV

A/Myasthenia Gravis
7/1/201
6
H3

S/sudah bisa menelan, makan habis, nyeri ulu


hati.

13

O/
KU
KS
TD
N
R
S

: SS
: CM
: 80/50mmHg
: 56x /menit
: 24x / menit
: 35,5o C

SI :
- PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/- COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
SN :
- RM : KK (-)
- Mata : Pupil bulat isokor, RCL (+/+), RCTL (+/
+), ptosis dextra perbaikan.
- GBM : nistagmus (+)
- NVII dan N XII :parese sinistra central

4I5
4I5

- Motorik

- Sensorik

: n/n

- RF
- RP
- FL
- FV

O2 1-2 liter/menit
Drip prostigmin 8 ampul +
4 ampul SA dalam 100cc
NaCl 0,9% 4 gtt/menit
Habis dalam 24jam
Dexamethasone 4 x 1
ampul IV
Ranitidine 2 x 1 ampul IV
Cefotaxime 2 x 1gr IV
Omeprazole 1x40mg IV

+ I +

: +I+

: -/: Baik
: BAK dbn
BAB dbn

A/Myasthenia Gravis

S/ os sudah bisa menelan, suara masih suka


hilang, nyeri perut berkurang, badan terasa
lemas, makan sudah tidak tersedak.
O/
KU : SS
KS
: CM
TD : 80/50mmHg
N
: 56x /menit
R
: 24x / menit
S
: 35,6o C
SI :
- PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/- COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
SN :
- RM : KK (-)
- Mata : Pupil bulat isokor, RCL (+/+), RCTL (+/
+), ptosis dextra perbaikan
- GBM : nistagmus (+)
- NVII dan N XII :parese sinistra central

14

4I5
4I5

- Motorik

- Sensorik

: n/n

- RF
- RP
- FL
- FV

+ I +

: +I+

: -/: Baik
: BAK dbn
BAB dbn

A/Myasthenia Gravis

Tanggal

Catatan

Instruksi

15

8/1/16
(H 4)

S/ pasen sudah mulai bisa menelan walaupun


agak susah. Kedua kaki terasa lemah.
O/
KU : SS
KS
: CM
TD : 80/?mmHg
N
: 56x /menit
R
: 24x / menit
S
: 35,5o C
SI :
- PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/- COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

PD /
Co jantung
PT /
O2 1-2 liter/menit
Drip prostigmin 6 ampul +
3 ampul SA dalam 100cc
NaCl 0,9% 4 gtt/menit
Habis dalam 24jam
Dexamethasone 4 x 1
ampul IV
Ranitidine 2 x 1 ampul IV
Cefotaxime 2 x 1gr IV
Omeprazole 1x40mg IV

SN :
- RM : KK (-)
- Mata : Pupil bulat isokor, RCL (+/+), RCTL (+/
+), ptosis dextra perbaikan
11/1/16 - GBM : nistagmus (+)
H7
- NVII dan N XII :parese sinistra central

4I5
4I5

- Motorik

- Sensorik

: n/n

- RF
- RP
- FL
- FV

+ I +

: +I+

: -/: Baik
: BAK dbn
BAB dbn

A/Myasthenia Gravis

12/1/16
H8

S/ Pasien datang ke IGD RSUD dr Slamet Garut


dengan keluhaan sulit menelan yang dirasakan
semakin memberat sejak 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Pasien merasa seperti ada yang
mmengganjal di tenggorokan yang terkadang
disertai dengan nyeri dan tersedak saat menelan
sehingga pasien makan sedikit-sedikit dan berat
badan turun 10kg. Keluhan disertai dengan pasien
sulit berbicara yang dirasakan sejak 1 tahun
sebelum masuk rumah sakit. Ketika berbicara
suara pasien terkadang hilang timbul. Pasien
mengeluh mulut terasa lemas dan tekadang sulit
untuk ditutup.
Keluhan lain yang disarakan pasien adalah sesak
nafas. Sesak dirasakan semakin memberat jika
pasien duduk. Sesak nafas juga dirasakan jika
pasien terlalu lama berbicara. Keluhan lain yang
dirasakan pasien adalah tangan kanan dan kedua
kaki terasa lemas sehingga pasien memerlukan
bantuan jika ingin berjalan. Keluhan mual dan
muntah disangkal pasien. BAB dan BAK tidak
ada keluhan.

PT/
O2 1-2 liter/menit
Drip prostigmin 6 ampul +
3 ampul SA dalam 100cc
NaCl 0,9% 4 gtt/menit
Habis dalam 24jam
Dexamethasone 3 x 1
ampul IV
Ranitidine 2 x 1 ampul IV
Cefotaxime 2 x 1gr IV
Omeprazole 1x40mg IV

16

O/
KU
KS
TD
N
R
S

13/1/16
H9

: SS
: CM
: 90/60mmHg
: 90x /menit
: 20x / menit
: 35,5o C

SI :
- PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/- COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
SN :
- RM : KK (-)
- Mata : Pupil bulat isokor, RCL (+/+), RCTL (+/
+), ptosis dextra perbaikan
- GBM : nistagmus (+)
- NVII dan N XII :parese sinistra central

5I5
4I4

- Motorik

- Sensorik

: n/n

- RF
- RP
- FL
- FV

+ I +

: +I+

: -/: Baik
: BAK dbn
BAB dbn

A/Myasthenia Gravis
14/1/16
H10

15/1/16 H11
-

PT/ O2 1-2 liter/menit


Drip prostigmin 6 ampul +
3 ampul SA dalam 100cc
NaCl 0,9% 4 gtt/menit
Habis dalam 24jam
Dexamethasone 3 x 1
ampul IV
Ranitidine 2 x 1 ampul IV
Cefotaxime 2 x 1gr IV
Omeprazole 1x40mg IV

S/ pasen mengeluh masih sulit menelan dan


tersedak jika makan. Nyeri menelan (+) batuk
berdahak (+) suara masih serak. Kedua kaki
terasa lemas tapi os masih bisa berjalan. Sakit
kepala (+)
O/
KU : SS
KS
: CM
TD : 90/60mmHg
N
: 88x /menit
R
: 24x / menit
S
: 35,6o C
SI :
PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
SN :
RM : KK (-)
Mata : Pupil bulat isokor, RCL (+/+), RCTL (+/
+), ptosis dextra perbaikan
GBM : nistagmus (+)
NVII dan N XII :parese sinistra central

17

5I5
4I4

- Motorik

- Sensorik

: n/n

- RF
- RP
- FL
- FV

+ I +

: +I+

: -/: Baik
: BAK dbn
BAB dbn

A/Myasthenia Gravis

16/1/16
H12

Yth TS Sofie,SpS
D/ Miocarditis tahap dini
Th/
Dexamethason 3x1ampul IV
Observasi TD <80/60 rencana beri Dobutamin
drip
Wass
Dr Ridwan SpJP

S/ nyeri menelan dirasakan sudah berkurang. Os


sudah mulai bisa berbicara walaupun masih
kurang jelas. Tersedak saat menelan (+) os
pengeluh tenggorokan terasa perih. Mual (-)
muntah (-) batuk sudah berkurang.
O/
KU : SS
KS
: CM
TD : 90/60mmHg
N
: 60x /menit
R
: 20x / menit
S
: 35,3o C
SI :
PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
SN :
RM : KK (-)
Mata : Pupil bulat isokor, RCL (+/+), RCTL (+/
+), ptosis dextra perbaikan
GBM : nistagmus (+)
NVII dan N XII :parese sinistra central
:

- Sensorik

: n/n

- RP
- FL
- FV

Th/ tyant3x200mg prn

5I5
4I4

- Motorik

- RF

PT/ O2 1-2 liter/menit


Drip prostigmin 6 ampul +
3 ampul SA dalam 100cc
NaCl 0,9% 4 gtt/menit
Habis dalam 24jam
Dexamethasone 3 x 1
ampul IV
Ranitidine 2 x 1 ampul IV
Cefotaxime 2 x 1gr IV
Omeprazole 1x40mg IV
Dobutamin 2 ampul dalam
450cc
NS
microdrip
24gtt/m (3way)

+ I +

: +I+

: -/: Baik
: BAK dbn
BAB dbn

PT/ O2 1-2 liter/menit


Drip prostigmin 6 ampul +
3 ampul SA dalam 100cc
NaCl 0,9% 4 gtt/menit
Habis dalam 24jam
Dexamethasone 3 x 1

18

A/Myasthenia Gravis
Myocarditis tahap dini
18:15
Pasien mengeluh dada terasa berdebar-debar

S/ pasen mengeluh dada terasa berdebar-debar,


berkeringat saat setelah diberi dobutamin. Nyeri
menelan (-) yeri tenggorokan sudah berkurang.
Sulit berbicra dirasakan hilang timbul. Mual (-)
muntah (-)
O/
KU : SS
KS
: CM
TD : 90/50mmHg
N
: 62x /menit
R
: 20x / menit
S
: 35,9o C
SI :
PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
SN :
RM : KK (-)
Mata : Pupil bulat isokor, RCL (+/+), RCTL (+/
+),
GBM : nistagmus (+)
NVII dan N XII :parese sinistra central
:

- Sensorik

: n/n

RP
Tes tatap
FL
FV

PT/ O2 1-2 liter/menit


Drip prostigmin 4 ampul +
2 ampul SA dalam 100cc
NaCl 0,9% 4 gtt/menit
Habis dalam 24jam
Dexamethasone 2 x 1
ampul IV
Ranitidine 2 x 1 ampul IV
Cefotaxime 2 x 1gr IV
Omeprazole 1x40mg IV
Miozidine 2x1tab po

5I5
4I4

- Motorik

- RF

ampul IV
Ranitidine 2 x 1 ampul IV
Cefotaxime 2 x 1gr IV
Omeprazole 1x40mg IV
Dobutamin 2 ampul dalam
450cc
NS
microdrip
24gtt/m (3way)-stop
Miozidine 2x1 tab po

+ I +

: +I+

: -/: 24 detik
: Baik
: BAK dbn
BAB dbn

A/Myasthenia Gravis
Myocarditis tahap dini

19

S/ pasen mengeluh terasa seperti ada lendir di


tenggorokan, kadang bisa dikeluarkan. Batuk (+)
os merasa sulit tidur. Kadang-kadang masih sulit
berbicara, merasa sesak jika berbicara teralu
lama. Nyeri tenggorokan (-) sakit kepala (-)
O/
KU : SS
KS
: CM
TD : 90/50mmHg
N
: 63x /menit
R
: 20x / menit
S
: 35,5o C
SI :
PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
SN :
RM : KK (-)
Mata : Pupil bulat isokor, RCL (+/+), RCTL (+/
+),
GBM : baik
NVII dan N XII :parese sinistra central

5I5
4I4

- Motorik

- Sensorik

: n/n

- RF
-

RP
Tes tatap
Tes suara
FL
FV

PT/ O2 1-2 liter/menit


Drip prostigmin 2 ampul +
1 ampul SA dalam 100cc
NaCl 0,9% 4 gtt/menit
Habis dalam 24jam
Dexamethasone 2 x 1
ampul IV
Ranitidine 2 x 1 ampul IV
Cefotaxime 2 x 1gr IV
Omeprazole 1x40mg IV
Miozidine 2x1tab po
Mestinon 2x1 tab po

+ I +

: +I+

: -/: 28 detik
: 13 detik
: Baik
: BAK dbn
BAB dbn

A/Myasthenia Gravis
Myocarditis tahap dini

S/ os mengeluh mulut terasa lemas dan sulit


ditutup. Sulit menelan (+)
O/
KU : SS
KS
: CM
TD : 100/60mmHg
N
: 61x /menit
R
: 20x / menit
S
: 35,3o C
SI :
PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
SN :
RM : KK (-)
Mata : Pupil bulat isokor, RCL (+/+), RCTL (+/
+),

20

- GBM : baik
- NVII dan N XII :parese sinistra central

5I5
4I4

- Motorik

- Sensorik

: n/n

- RF
-

RP
Tes tatap
FL
FV

+ I +

: +I+

: -/: 24 detik
: Baik
: BAK dbn
BAB dbn

A/Myasthenia Gravis
Myocarditis tahap dini

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.
Anatomi, Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction dan Thymus
1. Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf
secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat
otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular
junction atau sambungan neuromuskular4,5.

21

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat
saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot),
dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction4


2. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang
merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan
ekstraselular secara difusi5.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh).
Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke
dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian
terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)4,5.
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam
terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel
asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan
asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps
dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik4,5.

22

Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap


berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:6
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin
asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut
vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya.
Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran
presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter
yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan
sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf
mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk
Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial
dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam
rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam
reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari
motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang
tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada
sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka
saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya
ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end
plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya
dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul
kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
23

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga
sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana
protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan
segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit,
yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya
asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran
tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa
ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang
disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan
gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran
otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot4,5.
Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah sebagai berikut:6

Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)

Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275 kDa.

Mengandung lima subunit, terdiri dari ?2???

Hanya subunit ? yang mengikat asetilkolin dengan afinitas tinggi.

Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang
memungkinkan aliran baik Na+ maupun K+.

Bisa ular ?-bungarotoksin berikatan dengan erat pada subunit ? dan dapat digunakan
untuk melabel reseptor atau sebagai suatu ligand berafinitas untuk memurnikannya.

Autoantibody terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia grafis.

24

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction5


3. Kelenjar Thymus

Gambar 3. Kelenjar thymus

Kelenjar timus merupakan kelenjar yang bertanggungjawab dalam pertumbuhan


manusia. Pada bayi baru lahir, bentuknya sangat kecil. Dan beratnya kira-kira 10 gram.
Ukurannnya bertambah setelah masa remaja antara 30-40 gram dan setelah dewasa akan
mengerut. Perkembangan tymus bervariasi sesuai dengan umur seseorang, perkembangannya
mencapai maksimum pada masa pubertas kemudian berangsur menyusut.
Tymus memiliki 2 lobus yang saling berhubungan secara erat dan bersatu dalam
jaringan ikat. Sebuah lobus terdiri dari ribuan lobulus yang masing-masing ada korteks dan
medula. Kelenjar timus merupakan sumber suatu faktor yang dibawa darah untuk
menginduksi diferensiasi sel induk limfosit yang mampu berpartisipasi dalam reaksi
kekebalan.

25

Diantara bukti tentang adanya aktivasi endokrin pada timus adalah kenyataan bahwa
timus peka terhadap hormon tiroid. Ukuran timus akan mengecilnya sementara kedewasaan
kelamin bertambah. Hal ini disebabkan hambatan yang diberikan oleh steroid gonad. Steroid
adrenal juga menghambat timus, pengaruh ini dipakai sebagai parameter untuk
kortikosteroid.
Kelenjar timus terletak didalam mediastinum dibelakang os sternum, dan didalam
torak kira-kira setinggi bifurkasi trakea. Warnanya kemerah-merahan dan terdiri dari 2 lobus.
Kelenjar timus hanya dijumpai pada anak dibawah 18 tahun.
ANATOMI KELENJAR TIMUS
a. Terletak di sepanjang rongga trachea di rongga dada bagian atas.
b. Di dalam mediastinum di belakang os sternum, dan di dalam torak kira-kira setinggi
bifurkasi trakea. Warnanya kemerah-merahan dan terdiri dari 2 lobus.

c. Kelenjar timus hanya dijumpai pada anak dibawah 18 tahun.


d. Kelenjar ini merupakan kelenjar penimbunan hormon somatotrof atau hormon
pertumbuhan dan setelah dewasa tidak berfungsi lagi.
e. Kelenjar timus berperan dalam sistem pertahanan tubuh dengan menghasilkan
hormone Thymosin, Thymic humoral factor, Thymic factor dan Thymopoietin.
f. Dalam timus tidak terdapat pembuluh aferen dan sinus limfe. Pembuluh eferen
terutama berjalan ke jaringan ikat interlobular.
26

g. Jumlah cabang nervus vagus dan nervus simpatis servikalis mencapai timus sedikit.
Saraf terutama tersebar pada dinding pembuluh darah.
h. Arteri yang memperdarahi berasal dari arteri torasika interna dan arteri tiroidea
inferior. Cabang-cabangnya berjalan sepanjang trabekula yang diselubungi oleh sel
retikulat epitel yang memasuki lobus perbatasan korteks dan medula. Arteriole
bercabang banyak dan kapiler-kapilernya memasok darah ke korteks dan sedikit yang
memasok ke medula. Darah yang melalui venula pasca kapiler berploriferasi di
korteks memasuki sistem pembuluh darah. Darah venula kembali ke tuberkula
interlobularis dan selanjutnya ke vena brakiosepalika dan vena tiroidea.
2.2.

Definisi
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi

neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa Latin
untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk salah
satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri
adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan- jaringannya sendiri.
Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang
adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan
ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang
membantu pernafasan juga dapat terserang.
Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia Gravis
sebagai penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot skelet. Otot-otot
skelet adalah serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi (striasi otot)
yang berhubungan dengan tulang. Myasthenia Gravis menyebabkan kelelahan yang cepat
(fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas, dan membaik setelah istirahat.
2.3.

Epidemiologi
Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang ditemukan.

Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria tua. Penyakit ini bukan suatu penyakit
turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular. Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta
populasi per tahun, yang mengakibatkan kelaziman di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus.
MG betul-betul dipertimbangkan sebagai penyakit yang jarang, artinya MG kelihatannya
menyerang dengan sembarangan dan tanpa disengaja dan tidak dalam hubungan keluarga.
27

Tidak ada kelaziman rasial, tapi orang-orang yang terkena MG pada usia < 40 tahun, 70 %
nya adalah wanita. Yang > 40 tahun, 60 % nya adalah pria. Pola ini sering disimpulkan
dengan menyebutkan bahwa MG adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien yang
mengalami MG sebagai akibat karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis
kelamin.
Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di Amerika
Serikat diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus. Tetapi Myasthenia
Gravis dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi. Sebelum dipelajari, terlihat
bahwa wanita lebih sering terserang disbanding pria. Usia yang paling umum terserang
adalah pada usia 20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan 80-an pada pria. Berdasarkan populasi
umur, rata-rata usia yang terserang meningkat, dan sekarang pria lebih sering terserang
dibanding wanita, dan permulaan munculnya tanda-tanda biasanya setelah usia 50.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi) dari ibu
yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia bayi adalah
sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah
kelahiran. Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular. Adakalanya,
penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga yang sama.
2.4.

Etiologi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan dengan penyakit-

penyakit lain seperti : tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid dan lupus eritematosus
sistemik. Dulu di katakan bahwa IgG autoimun antibody merangsang pelepasan thymin,
suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai kemampuan mengurangi jumlah
asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miasteniagravis disebabkan oeh kerusakan reseptor
asetilkolin neuromuscular junction akibat penyakit autoimun.
Pada penyakit miastenia gravis yaitu kelemahan otot yang berbahaya telah ditemukan
adanya antibodi yang menduduki reseptor acetylcholine dari motor end plate sehingga ia
tidak dapat menggalakkan serabut-serabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai
antiacetylcholine reseptor antibodi ayng terbukti dibuat oleh kelenjar timus yang dihasilkan
oleh proses imunologik. Ketepatan konsep itu telah dikonfirmasi oleh tindakan operatif
menyingkirkan timus (timektomi) untuk melenyapkan penyakit miastenia gravis. Membran
postsinaptik dari sinaps itu menjadi atrofik akibat reaksi imunologik,karena itu penyerapan
acetylcholine sangat menurun. Lagipula jarak antar membran ujung terminal akson
28

motoneuron dan membran motor end platemenjadi lebih panjang sehingga cholinesterase
mendapat kesempatan yang lebih besar untuk menghancurkan lebih banyak acetylcholine
sehingga potensial aksi postsinaptik yang dicetuskan menjadi lebih kecil. Dalam pada itu
kontraksi ototskeletal pertama-tama berlalu secara normal, tetapi kontraksi-kontraksi
berikutnyamenjadi semakin lemah dan berakhir pada kelumpuhan total. Setelah
istirahat,kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan lumpuh lagi. Kelemahan
yang bergelombang seperti itu dikenal sebagai kelemahan miastenik.
Otot-otot yang paling sering dilanda kelemahan mistenik adalah otot-otot okuler dan
otot-otot penelan. Otot-otot anggota gerak dan pernafasan dapat terkena juga pada tahap
lanjut miastenia gravis. Pada miastena gravis ciri-ciri imunologik lebih lengkap dari pada
penyakit otot lainn ya. Gejala tunggal utama adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan
tenaga yang sembuh kembali setelah istirahat. Walaupun kelumpuhan khas itudapat timbul
pada setiap otot terutama otot-otot okuler dan saraf kranial motorik yang sering terkena juga
adalah otot wajah dan otot penelan. Pembuktian etiologiauto-imunologiknya diberikan oleh
kenyataan bahwa glandula timus mempunyaihubungan yang erat. Pada 80% dari penderita
mistenia gravis didapati glandula timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka
memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita lainnya terdapat infiltrat limfosit pada
pusatgerminativa di glandula timus seperti juga ditemukan pada penderita Lupus eritematosus
sistemik, tirotoksikosis, miksedema, penyakit Addison dan anemiahemolitik eksperimental
pada tikus. Gambaran histologik otot yang terkena terdiridari reaksi CMI. Antibodi dan faktor
rheumatoid kedua-duanya ditemukan padamaworitas penderita miastenia gravis. Kombinasi
dengan arthritis rheumatid,lupus, anemia pernisiosa, sarkoidosis, Hodgkin dan tiroidits sering
dijumpai pada beberapa penderita miastenia gravis.
2.5.

Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi

miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan
autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun
tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain4.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang
memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak
diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab
29

utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin
reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired
myasthenia gravis generalisata2.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin
pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat
dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel
B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai
semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel
T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih
awal pada pasien dengan gejala miastenik4.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas
yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada
subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi
reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap
antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post
sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptorreseptor asetilkolin yang baru disintesis4.
2.6.

Manifestasi Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada

otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan
merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila
penderita beristirahat4. Gejala klinis miastenia gravis antara lain :

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis


Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi
keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator
palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi
pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia
gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan

30

kepala4.

ekstensi

Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular (ptosis).
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan

tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot
ekstremitas4.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita
sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum
molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum
molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu
dapat keluar dari hidungnya.
2.7.

Klasifikasi

Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB)
of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :
Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih normal.
Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat kelemahannya.
Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal.
Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi
ekstrimitas.
Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan pada otot
okuler.
Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal.

31

Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi


ekstrimitas.
Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot okuler.
Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal.
Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal, Juga
mempengruhi otot-otot ekstrimitas.
Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative).
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada
waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak
lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun3.
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini3 :
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah,
menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan
tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar.
Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

2.8.

Diagnosis

1. Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis


Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu
miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda,
biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak
kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal4.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah.
Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan
adanya ptosis dan senyum yang horizontal4.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara
penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan
terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi
32

aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan
otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya,
sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami
kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher4.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan
otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering
mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi
ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami
kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas
bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan
dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki4.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana
hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.
Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida
sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi
pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan4.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering
kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang
diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk
mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis
akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai
dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata
yang melakukan abduksi4.
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut3 :
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan
terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi
anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan
akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka
penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan
ptosis juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain3 :
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka
disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon
33

disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata
yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis,
maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan
dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila
perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain
tidak lama kemudian akan lenyap.
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi
(masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji
ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah
berat.
2. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti
1. Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,
dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis
generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes
anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis
sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody4.
Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan
oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut4:
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis

Osserman Class

Mean antibody Titer

Percent Positive

0.79

24

2.17

55
34

IIA

49.8

80

IIB

57.9

100

III

78.5

100

IV

205.3

89

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate


generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis
dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk
memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan
hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40
tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat
menunjukkan hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif
(miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

Antistriational antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang
berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi
ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini
selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda.
Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya
thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.
2. Imaging
35

Chest x-ray (foto roentgen thorak)

Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma
dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.

Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

CT scan of chest showing an anterior mediastinal mass (thymoma) in a patient with


myasthenia gravis.

3. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular
melalui 2 teknik4 :

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga
pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

36

A typical recording of compound muscle action potentials with repetitive nerve


stimulation at low frequency in a patient with myasthenia gravis. Note the
gradual decline in the amplitude of the compound muscle action potential with
slight improvement after the fifth or sixth potential.

Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial
diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density
(jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan
jitter dan fiber density yang normal.
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain:

Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
o

Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

Paralisis pasca difteri

Pseudoptosis pada trachoma

Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu
sklerosis multipleks.

Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota
tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan
bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi
volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu
karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada transmisi
neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada
frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran
postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana

37

pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang ak
hirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.
2.9.

Terapi

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi miastenia
gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama
pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang
ringan. Sedangkan pada psien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin4.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan pemberian
antibiotik dan penunjang ventilasi, mapu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan
morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi
yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terpai yang memiliki onset lebih
lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan2.
1. Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
a. Plasma Exchange (PE)2
Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu
yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari
terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki
atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan
menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative.
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang
mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap
hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan
natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama
dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran
berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan
terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan
darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu
keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian freshfrozen plasma tidak diperlukan.
38

b. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)2


Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates
yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum
diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun.
Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian
besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG
dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi
ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi
berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi
PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG
sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa
penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak
dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat,
serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.
Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise
dapat terjadi pada 24 jam pertama.

c. Intravenous Methylprednisolone (IVMp)2


IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka
pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka
pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon
terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada
terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal
atau tidak dapat digunakan.

2. Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang

39

a. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak
dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat
berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan.
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang
pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan
memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta
antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang
menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada
miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu,
yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan
kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada
penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa
osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.

b. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat
dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap
penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien
diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine
merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara
umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat
imunosupresif lainnya.
Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36
bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya
juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.

c. Cyclosporine

40

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper.
Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis
awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis.
Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat
menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

d. Cyclophosphamide (CPM)
CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak
langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek
langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.
3. Thymectomy (Surgical Care)
Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak
tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal
tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus
dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai
penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian
terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan
berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis.
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya
adalah kesembuhan yang permanen dari pasien8.
Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki
peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun keuntungannya bervariasi,
sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun
setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada
lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah
pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan.
Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur
ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan8.

41

Gambar 4. Kelenjar Thymus


2.10. Komplikasi Myasthenia Gravis
Myasthenia gravis dapat menyebabkan komplikasi tertentu yang umumnya bisa dikontrol.
Tetapi ada juga yang berbahaya dan dapat berakibat fatal. Komplikasi-komplikasi tersebut
meliputi:
1. Krisis myasthenia. Kondisi ini terjadi ketika otot-otot sistem pernapasan
menjadi terlalu lemah untuk berfungsi. Penderita harus segera dibawa ke
rumah sakit terdekat untuk mendapatkan alat bantu pernapasan mekanik.
Komplikasi ini juga sering terjadi ketika pengidap myasthenia gravis
mengalami infeksi yang parah.
2. Gangguan dan kondisi autoimun lain. Pengidap penyakit ini juga memiliki
kecenderungan untuk mengidap kondisi-kondisi lain yang meliputi gangguan
kelenjar tiroid (misalnya hipertiroid atau hipotiroid) atau kondisi autoimun
(seperti lupus atau rheumatoid arthritis).
Penyakit ini memang tidak bisa dicegah sepenuhnya karena sifatnya yang autoimun. Tetapi
terdapat beberapa langkah sederhana bagi penderita myasthenia gravis agar terhindar dari
kambuhnya gejala. Misalnya berhenti beraktivitas sebelum kelelahan, menjaga kebersihan
guna mencegah infeksi, menangani infeksi yang dialami secara seksama, menghindari suhu
tubuh yang terlalu dingin atau panas, serta menangani stres dengan efektif.
Komplikasi lainnya juga bisa terjadi akibat obat yang dikonsumsi. Misalnya
penggunaan steroid jangka panjang. Komplikasi yang ditimbulkan seperti katarak, hipertensi,
dan hiperglikemia (kadar gula darah naik).
Krisis Pada Miastenia Gravis
Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis
krisis, yaitu:
1. Krisis miastenik
42

Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih


banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan
dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Pemberian antikolinesterase
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obatobat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat
memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis
kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan
seringkali dosis dapat diturunkan.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik

yaitu

keadaan

yang

diakibatkan

kelebihan

obat-obat

antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat
berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan.
Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu
sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan
seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine
1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi
secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau
mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian
antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah.
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg
intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak
akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.
PEMBAHASAN
1. Mengapa pasien ini di diagnosis dengan Myasthenia Gravis?
Karena pada anamnesis didapatkan pasien sulit menelan dan sulit berbicara disertai
kelopak mata kanan lebih jatuh dari mata kiri. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan
otot-otot palatum, yang menyebabkan suara pasien seperti berada di hidung (nasal twang to
the voice). Selain itu, pasien mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan,
sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan pasien batuk dan tersedak saat
43

minum.
2. Apa penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien ?
Pada kasus ini pengobatan yang diberikan sudah sesuai. Pengobatan myasthenia gravis
disesuaikan dengan etiologi yang mendasari penyakitnya. Pada pasien ini diberikan
prostigmin merhylsulfat secara intravena dan gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus
atau kelemahan lain dapat berkurang.
3. Bagaimana prognosis dari pasien ini ?

DAFTAR PUSTAKA

1. Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16:
Page: 519-534. 1984.
2. Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms
and Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.
3. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.
Page: 301-305. 1991.
4. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm.
Accessed : March 22, 2008.
5. Newton, E. Myasthenia Gravis. Available at :
http://en.wikipedia.org/wiki/Myasthenia_gravis. accessed : March 22, 2008.
6. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa
Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC. Jakarta. Page: 816-835. 1999.
7. Anonim, Myasthenia Gravis. Available at:
http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd. Accessed: March 22,
2008.
44

8. Anonim, Thymectomy, Available at :


http://www.myasthenia.org/amg_treatments.cfm. Accessed : March 22, 2008.

45

You might also like