Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dasar panggul merupakan suatu komplek jaringan yang terletak diantara
peritonium viseralis bagian bawah sampai dengan kulit vulva, yang memiliki peranan
untuk menyokong berbagai organ viseralis pada panggul agar tetap berada dalam
posisi dan fungsinya yang normal. Secara umum, dasar panggul dapat dibagi menjadi
empat tingkat atau level menurut DeLancey, antara lain: Level I dibentuk oleh fasia
endopelvik, Level II dibentuk oleh otot diafragma panggul, Level III dibentuk oleh
otot diafragma urogenital dan level IV dibentuk oleh sfingter ani eksterna dan badan
perineal.
Kerusakan dasar panggul merupakan suatu masalah yang bersifat kronis dan
memiliki morbiditas yang sangat serius, dimana dapat mangakibatkan terjadinya
penurunaan kualitas hidup penderitanya apabila tidak dikelola dengan baik. Adapun
kerusakan dasar panggul yang dapat terjadi meliputi inkontinensia urine,
inkontinensia fekalis, ruptur perineum, fistula, prolaps organ panggul dan lain
1,2
sebagainya.
1,3
Penelitian yang
dilakukan oleh Segedi dkk. (2011) memperoleh hasil bahwa terjadi penurunan secara
bermakna pada kualitas hidup wanita dengan masalah kerusakan dasar panggul.
Penurunan kualitas hidup tersebut meliputi perasaan malu yang meningkat, gairah
4
seksual yang menurun dan merasa tidak puas akan penampilannya. Penelitian oleh
Chiverton dkk. (1996) menemukan adanya hubungan yang kuat antara penurunan
kepercayaan diri dan peningkatan depresi pada wanita dengan kerusakan dasar pangul
3
seperti inkontinensia urine. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Petra dkk. (2007)
terhadap wanita yang mengalami kerusakan dasar panggul dibandingkan dengan yang
tidak juga diperoleh adanya penurunan secara bermakna terhadap fungsi seksual.
1
Selain itu, adanya kerusakan pada dasar panggul dapat mengakibatkan perubahan
pada aktifitas sosial, dimana terjadi pembatasan kegiatan rumah maupun sosial
kemasyarakatan, seperti pada penderita inkontinensia urine yang cenderung untuk
membatasi kegiatan luar rumah mereka apabila tidak yakin akan keberadaan kamar
mandi yang tersedia untuk setiap saat.
1,4,5
Sampai saat ini penyebab terjadinya kerusakan pada dasar panggul masih
diperdebatkan, namun beberapa faktor risiko dianggap dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan dasar panggul, antara lain: faktor risiko demografik, meliputi:
umur, ras, kelainan genetik, paritas, indek masa tubuh, kebiasaan merokok, kebiasaan
minum-minuman beralkohol dan faktor risiko obstetrik, meliputi: umur ibu saat
pertama kali melahirkan, cara persalinan, lamanya proses persalinan, berat badan
janin, derajat robekan perineum, dan tindakan episiotomi, serta faktor risiko
ginekologi, meliputi: riwayat histerektomi dan menopause yang terkait dengan
hormonal.
1,3
Angka kejadian kerusakan dasar panggul dan tindakan operatif yang terkait
dengan kerusakannya tersebut sangat bervariasi pada berbagai penelitian. Penelitian
yang dilakukan di Menchester tahun 2010 memperoleh hasil bahwa angka kejadian
kerusakan dasar panggul sebesar 10%, dimana dari angka kejadian tersebut sebesar
31% disebabkan oleh karena adanya trauma obstetri dengan odds rasio sebesar 1,37
6
(95% CI: 0.72-2.62; P = 0.3398). Penelitian lainnya dilakukan di Inggris pada tahun
2009 terhadap 34.631 wanita, penelitian tersebut memperoleh hasil bahwa risiko pada
seorang wanita yang berusia 80 tahun untuk menjalani berbagai bentuk operasi dasar
panggul adalah sebesar 12,2%. Sebanyak 2130 (6,2%) wanita paling tidak menjalani
satu operasi dasar panggul, diantaranya sebanyak 407 (19%) menjalani operasi
berulang. Interval waktu median operasi ulangan prolaps organ panggul,
inkontinensia urine masing-masing adalah 2,8 (0,94-8,07) dan 3 (1,00-8,25) tahun.
Risiko seorang wanita menjalani operasi dasar panggul menurun pada wanita yang
melahirkan secara seksio sesarean (p<0,001) dan persalinan pertama berumur kurang
dari 20 tahun (p=0,021). Sedangkan wanita yang sebelumnya mengalami laserasi
perineum atau tanpa adanya robekan perineum selama proses persalinan, mendapat
sedikitnya satu tindakan bedah pervaginam dengan forsep memiliki risiko yang lebih
7
tinggi (p= 0,001 dan p= 0,015). Penelitian yang dilakukan oleh Anders dkk. (1999)
terkait dengan dampak kehamilan dan persalinan memperoleh hasil bahwa terjadi
peningkatan kejadian inkontinensia urine selama kehamilan dan segera setelah proses
persalinan, serta pada wanita yang melahirkan anak ke dua pada usia yang lebih dari
30 tahun. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa inkontinensia urine sebagai salah
satu dampak dari kerusakan dasar panggul, terjadi bukan hanya akibat proses
persalinan tersebut, namun kehamilan itu sendiri sudah merupakan risiko terjadinya
inkontinensia urine.
menghubungkan antara kerusakan dasar panggul dengan paritas dan cara persalinan
menyimpulkan bahwa risiko untuk terjadnya kerusakan dasar panggul sangat
berhubugan dengan adanya persalinan pervaginam, namun tidak selalu terkait dengan
jumlah paritas, dan tindakan seksio sesarea memiliki dampak protektif apabila
dibandingkan dengan persalinan pervaginam terhadap angka terjadinya kerusakan
dasar panggul.
BAB II
KEHAMILAN DAN PERSALINAN NORMAL
2.1 Kehamilan Normal
Kehamilan merupakan serangkaian proses yang dimulai dari konsepsi, nidasi,
adaptasi ibu terhadap nidasi, pemeliharaan kehamilan, perubahan endokrin dalam
9
Perubahan
pada sistem perkemihan meliputi adanya rasa ingin buang air kecil akibat adanya
desakan janin yang semakin besar di dalam uterus. Pada sistem muskuloskeletal
misalnya, dengan adanya perubahan pada postur tubuh ibu selama kehamilan
mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan dan rasa tidak nyaman untuk
melakukan suatu gerakan tertentu.
Kehamilan merupakan suatu proses fisiologis dimana ditandai dengan
munculnya berbagai adaptasi fisiologis terhadap kehamilan itu sendiri. Adaptasi yang
terjadi dapat berupa adaptasi secara anatomis, fisiologis dan biokimiawi. Berbagai
perubahan tersebut dapat segera terjadi setelah pembuahan dan berlanjut sepanjang
kehamilan. Adanya adaptasi tersebut merupakan suatu respon terhadap rangsangan
9
fisiologis yang ditimbulkan oleh janin. Dengan adanya adaptasi fisiologis tersebut
dalam beberapa kasus dianggap sebagai suatu masalah dalam kehamilan apabila
terjadi pada kondisi tidak saat hamil, salah satunya adalah adaptasi kehamilan pada
sistem muskuloskletal.
9,10,11
11
11
10
kembali normal, namun pemisahan otot yang terjadi cenderung akan menetap.
lebih melengkung. Hal tersebut yang menyebabkan adanya keluhan nyeri tulang
punggung pada wanita selama kehamilan. Payudara yang semakin membesar dan
posisi bahu yang agak membungkuk pada saat berdiri akan mengakibatkan kurva
punggung dan lumbal semakin menonjol.
11
sutura sagitalis pada diameter transversal pelvis. Perubahan posisi pada presentasi ini
merupakan suatu mekanisme persalinan. Mekanisme persalinan yang normal terdiri
dari tujuh gerakan kardinal, antara lain adalah sebagai berikut:
2. Penurunan atau desensus adalah gerakan turunnya kepala janin di dalam jalan
lahir. Penurunan terjadi oleh karena adanya tekanan cairan ketuban, tekanan
langsung fundus uteri pada bokong janin, kontraksi otot-otot abdomen serta
ekstensi atau pelurusan badan janin (gambar 2.5).
3. Fleksi adalah gerakan kepala janin dimana dagu janin mendekati dada janin.
Fleksi maksimal disebabkan oleh karena adanya penurunan kepala
menemukan tahanan baik oleh servik, dinding panggul dan dasar panggul.
Dengan fleksi maksimal maka kepala janin berada di jalan lahir dengan
diameter terkecilnya yaitu diameter suboksipito-bregmatika dengan ukuran
yang mencapai 9,5 cm (gambar 2.6).
4. Putar paksi dalam atau rotasi internal adalah gerakan putar pada kepala yang
secara perlahan menggerakkan oksiput dari posisi asalnya ke anterior menuju
simfisis pubis sehingga diameter terpanjang kepala janin akan bersesuaian
dengan diameter terpanjang rongga panggul. Putar paksi dalam secara lengkap
biasanya terjadi pada saat kepala mencapai dasar panggul (gambar 2.7).
5. Ekstensi adalah gerakan kepala janin yang berlawanan dengan gerakan fleksi
sehingga dasar oksiput langsung menempel pada margo inferior simfisis
pubis. Kepala yang fleksi penuh mencapai vulva melalui penekanan pada
lorong panggul. Sehingga gaya resultante akan mengarah ke muara vulva
yang mengakibatkan terjadinya ekstensi dan membawa dasar oksiput
menempel pada margo inferior simpisis (gambar 2.8).
6. Putar paksi luar atau rotasi eksternal adalah gerakan kepala janin berputar
kembali ke posisi dimana kepala janin menyesuaikan dengan posisi bahu
janin. Sehingga satu bahu akan anterior di belakang simpisis dan bahu lainnya
di posterior (gambar 2.9 dan 2.10).
7. Ekspulsi adalah lahirnya bagian janin yang lain setelah kepala janin lahir.
Segera setelah putar paksi luar, bahu depan terlihat di bawah simfisis pubis
dan bahu belakang di perineum. Lahirnya kedua bahu diikuti oleh lahirnya
seluruh badan janin.
12
membagi dasar panggul menjadi empat tingkatan atau level, antara lain:
1. Level I
2. Level II
3. Level III
4. Level IV
1,2
12
13
ke dalam panggul kemudian akan membentuk sling seperti huruf U. Sehingga otot
levator ani akan membentuk hiatus levator ani dimana uretra, vagina dan rektum
terkumpul di dalamnya. Otot iliokoksigius adalah otot levator ani yang berasal dari
arkus tendenius levator ani dan bergabung dengan arkus tendeneus fasia pelvik di
daerah spina iskhiadika. Otot ini berjalan ke belakang rektum dan bersatu dengan otot
pubokoksigeus dan puborektalis yang membentuk gambaran seperti lempengan pita
levator ani atau dikenal dengan levator plate, kemudian berakhir pada tulang
koksigius. Selama proses persalinan otot-otot ini seringkali akan mengalami
kerusakan, sehingga berdampak pada terganggunya aktivitas fisiologis beberapa
organ, meliputi: gangguan berkemih, mengejan dan bahkan dapat mengakibatkan
terjadinya prolaps organ pelvis setelah melahirkan.
1,2,13
1,13
otot
iskiokavernosus,
bulbokavernosus,
perinei
transversa
superfisialis, diantara kedua lapisan tersebut terdapat otot perinei profunda dan otot
sfingter urethra pada pinggir belakang (Gambar 3.2). Diafragma urogenital ini
terletak di bawah otot levator ani, berperan terutama dalam membantu otot levator ani
1,13
1,13
1,12
Suplai pembuluh darah dan saraf ke perineum termasuk ke ruang superfisial dan
profunda, berasal dari nervus dan pembuluh darah pudendus. Kelemahan pada badan
perineum menjadi faktor predisposisi terjadinya kerusakan dasar panggul seperti
rektokel dan enterokel.
1,13
1,13
Pada level II terletak di sebelah bawah atau dalam dari komplek ligamentum
kardinal dan sakrouterina, kurang lebih terletak setinggi spina iskhiadika. Vagina
anterior ditahan ke arah lateral ke Arkus Tendineus Fasia Pelvik (ATFP) merupakan
garis putih yang dibentuk oleh suatu kondensasi atau penebalan dari fasia yang
berada di atas iliokoksigeus. ATFP berasal dari spina iskhiadika dan menuju ke
1
ramus inferior dari simfisis pubis. Level II anterior menahan bagian tengah dari
dinding anterior vagina membuat sulkus vagina anterior dan lateral. Lepasnya
perlekatan penyokong lateral ini dapat mengakibatkan timbulnya kerusakan
paravagina dan prolaps pada dinding vagina anterior. Sebagai tambahan penyokong
paravaginal anterior, terdapat penyokong lateral posterior yang berperan juga sebagai
13,14
samping panggul dalam suatu pengaturan yang sedikit lebih komplek daripada
dinding vagina anterior. Setengah distal dinding vagina posterior bergabung dengan
aponeurosis otot levator ani mulai dari badan perineum sepanjang suatu garis yang
dinamakan arkus tendineus rektovaginal. Bagian tersebut akan bergabung dengan
ATFP kurang lebih pada daerah tengah antara simfisis pubis dan spina iskiadika.
Sepanjang setengah proksimal vagina, dinding vagina anterior dan posterior
keduanya ditunjang ke arah lateral oleh ATFP.
1,2,13
Level III dan IV dibentuk oleh diafragma urogenital, otot-otot perineal dalam
dan badan perineum. Struktur ini menyokong dan mempertahankan posisi anatomi
uretra dan sepertiga distal vagina, sehingga vagina bergabung dengan uretra di daerah
anterior dan badan perineum di daerah posterior. Kerusakan yang terjadi pada
jaringan penunjang level III dan IV bagian anterior dapat mengakibatkan terjadinya
hipermobilitas uretra dan inkontinensia urin tipe stress. Sedangkan kerusakan pada
bagian posterior dapat mengakibatkan terjadinya rektokel distal dan atau turunnya
1,2,12
perineum.
17
BAB IV
DAMPAK KEHAMILAN DAN PERSALINAN
TERHADAP DASAR PANGGUL
Kehamilan dan persalinan, merupakan suatu proses fisiologis yang penting
sebagai pencetus terjadinya berbagai kerusakan terhadap dasar panggul. Kerusakan
pada dasar panggul dapat terjadi bahkan pada persalinan yang tampaknya
berlangsung sangat lancar. Pada saat persalinan kala dua, tekanan yang timbul antara
kepala janin dengan dinding vagina rata-rata sebesar 100 mmHg dan bahkan dapat
mencapai 230 mmHg. Apabila hal tersebut terjadi dalam waktu yang lebih lama
tentunya akan mengakibatkan perubahan fisik dan fungsional yang bersifat permanen
13
(Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Gambar penekanan janin selama kehamilan terhadap organ sekitar
13
17
18
panggul akibat peningkatan ukuran dari kepala bayi baru lahir yang melalui jalan
13,14
lahir.
Pada panggul wanita yang normal, dasar panggul terdiri dari pasangan otot
levator ani, yang posisinya dipertahankan oleh jaringan ikat endopelvis dan tonusnya
dipersarafi oleh saraf yang keluar dari lumbosakral. Komponen otot, jaringan ikat
penunjang dan serabut saraf akan mengalami regangan secara mekanik akut selama
persalinan dan kronis yang dihasilkan oleh kekuatan intraperitoneal selama
13,15
kehamilan.
Selama kehamilan dan persalinan, ibu dan janin akan mengalami proses
adaptasi untuk mengurangi dampak regangan mekanik terhadap anatomi dasar
panggul ibu. Janin akan mengalami suatu moulase sehingga mengakibatkan
pengurangan lingkar kepala janin. Sedangkan ibu, akan mengalami hipertrofi otot
polos, relaksasi jaringan ikat dan peningkatan lubrikasi sehingga mengakibatkan
perubahan pada panjang vagina, peregangan jaringan lunak, peningkatan mobilitas
sendi simfisis, dan sakroiliaka. Berbagai perubahan anatomi dasar panggul tersebut
13,16
kompresi jaringan dalam waktu dua puluh jam atau lebih. Demikian pula pada kala
dua persalinan, meskipun terjadi dalam waktu yang lebih pendek, tekanan yang
terjadi antara kepala janin dengan dinding vagina rata-rata 100 mmHg dan bahkan
dapat mencapai 230 mmHg. Sebagai perbandingan terhadap daya kerusakan jaringan,
kekuatan kompresi hanya sebesar 20 mmHg saja dapat mengakibatkan terhentinya
perfusi darah ke perifer dan terjadinya sindroma kompartemen pada daerah perifer,
17
4,13
janin turun melewati spina ischiadika pada midpelvis atau pintu tengah panggul
(Gambar 4.3). Sebagai akibat dari perubahan neuropatik tersebut antara lain, terjadi
kegagalan kontraksi dari komplek levator, seperti otot pubokoksigeus dan kegagalan
untuk meningkatkan tekanan sfingter selama batuk atau bersin dan terjadi penurunan
atau bahkan kehilangan tonus saat istirahat dari komplek levator dan badan
13,17
perineum.
makrosomia. Kehilangan inervasi saraf pudendus pada otot pubokoksigeus dan otot
sfingter ani menyertai hampir 42 sampai 80% dari persalinan pervaginam, walaupun
beberapa reinnervasi oleh saraf sekitarnya dapat terjadi, namun kehilangan fungsi otot
secara permanen seringkali terjadi. Persalinan dengan seksio sesarea tampaknya dapat
mencegah kerusakan saraf pudendus secara efektif apabila dilakukan secara elektif,
namun hal tesebut tidak dapat memberikan perlindungan penuh apabila dilakukan
setelah proses persalinan berlangsung.
16,17
13
Penelitian pada kadaver oleh Barber dkk, menunjukkan bahwa otot levator ani
mendapatkan inervasi secara mandiri dari komponen saraf pudendus yang berasal
dari radik saraf lumbosakral. Perubahan inervasi saraf otot pubokoksigeus dan
sfingter ani telah diamat pada 42 sampai 80% persalinan pervaginam.
13
Kejadian
cedera saraf pudendus meningkat seiring dengan paritas, dan ditunjukkan dalam lima
sampai enam tahun setelah persalinan. Persalinan dengan seksio sesarea cukup efektif
mencegah terjadinya cedera saraf pudendus jika dilakukan secara elektif, tapi tidak
memberikan perlindungan penuh jika dilakukan setelah persalinan berlangsung.
17
prolaps dasar panggul, termasuk sistokel sentral, rektokel, dan prolaps uteri hasil dari
ligamentum uterosakral.
13
17
Walaupun masih belum diketahui dengan jelas jenis tulang panggul mana
yang memiliki risiko lebih tinggi dalam mengakibatkan terjadinya kerusakan dasar
panggul, bentuk tertentu secara teoritis, memiliki potensi yang lebih tinggi dalam
mengakibatkan kerusakan tersebut. Adanya arkus pubis yang sempit yang ditemukan
pada jenis panggul android dan anthropoid, mengakibatkan ruang anterior yang relatif
13,15
ginekoid dan platipeloid atau tulang kokigeus yang menonjol mengakibatkan kepala
janin terdorong dari arah posterior ke anterior, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya kompresi pada kandung kemih dan urethra. Pada pintu tengah panggul
yang sempit akibat spina ischiadika yang menonjol atau dinding samping panggul
yang konvergen, seperti pada jenis panggul anthropoid, saraf pudendus menjadi lebih
mudah untuk terpapar atau tereksposur, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
kompresi dan kerusakan pada saraf pudendus.
13,17
13
tulang punggung menyimpulkan bahwa wanita dengan prolaps organ panggul yang
lanjut memiliki bentuk kurvatura lordosis lumbar yang kurang dan pintu atas panggul
dengan orientasi yang kurang vertikal dibandingkan dengan wanita tanpa prolaps
17
organ panggul.
16
16,17
Gambar 4.6 Zone dan struktur kerusakan jaringan ikat saat persalinan
16
Gambar 4.6 merupakan daerah atau zone dan struktur dari kerusakan jaringan ikat
yang dapat terjadi selama persalinan, dimana zone pertama adalah Pubourethral
Ligament (PUL), apabila terjadi suatu kerusakan pada daerah ini akan dapat
mengakibatkan terjadinya inkontinensia tipe stress, zone ke dua adalah Arcus
Tendineus Fascia Pelvis (ATFP) dan pubocervical fascia, dimana apabila terjadi
kerusakan dapat mengakibatkan terjadinya sistokokel, zone ke tiga adalah
Uterosacral Ligament (USL), apabila terjadi kerusakan mengakibatkan terjadinya
prolaps uteri, dan zone 4 adalah Perineal body atau rectovaginal fascia yang dapat
mengakibatkan terjadinya rektokokel apabila mengalami kerusakan.
16
16
Pada saat bayi lahir melewati pintu bawah panggul akan terjadi pergeseran ke arah
16
16
Pelebaran otot levator ani selama persalinan dapat terlihat melalui Ultrasonografi.
Pada gambar 4.8 memperlihatkan bahwa telah terjadi pelebaran dari levator ani pada
2
pasien selama mengedan atau valsalva dari 9 cm saat istirahat meningkat mencapai
2
Gambar 4.9 Pergeseran Lateral dari Berbagai Jaringan Dasar Panggul Selama
Persalinan
16
Pergesaran lateral yang dipaksakan dari Uterosacral Ligament (USL), Perineal Body
(PB) dan Rectovaginal Fascia (RVF) oleh kepala janin, pada gambar ditunjukkan
oleh lingkaran berwarna kuning, akan mengakibatkan regangan pada jaringan ikat,
16
Otot levator ani merupakan komponen yang penting sebagai penyangga dasar
panggul. Levator ani adalah komplek otot yang berperan dalam melawan dorongan
konstan ke bawah dari berbagai organ abdomen dan panggul. Salah satu otot
penyusun levator ani adalah otot iliokoksigeus yang membentuk pembatas berbentuk
13,17,18
puborektalis yang berjalan melingkari anus dan sfingter uretra dalam bentuk ambin
yang berperan dalam mempertahankan tonus otot polos interinsik dan mengatur
17,19,20
Kerusakan otot levator ani baik akibat kerusakan otot selama persalinan
secara langsung maupun tidak langsung oleh karena terjadi kerusakan saraf akhirnya
mengarah pada prolaps panggul dan atau inkontinensia urin. kerusakan otot levator
ani yang bersifat langsung dapat berupa memar otot, pemisahan masing-masing
komponen otot dari titik insersi sepanjang dinding samping panggul dan atau
21,22
keduanya.
terjadinya
kerusakan
saraf
pudendus
atau
neuropati
pudendus
sehingga
mengakibatkan penurunan tonus dan atrofi otot levator ani. Akhirnya, adanya
penurunan tonus otot levator mengakibatkan terjadinya pelebaran hiatus urogenital
dan penurunan bidang levator ani dari posisi horizontal semula, sehingga
mengarahkan beban otot levator ani ke penyokong dasar panggul lainnya seperti
jaringan ikat dan ligamentum sebagai jaringan penyokong sekunder. Akibat
terjadinya
penekanan
intraabdominal
yang
terus
menerus
secara
konstan,
13,17,23
Penurunan fungsi dari otot levator ani setelah persalinan sering terjadi, namun
tingkat keparahannya sangat bervariasi. Berkurangnya kekuatan otot levator
berhubungan dengan onset dari inkontinensia urin tipe stress. Penelitian yang
dilakukan oleh Peschers bertujuan untuk menilai fungsi otot dasar panggul sebelum
dan sesudah melahirkan dengan menggunakan perineometri intravaginal.
13,24
17,25
setelah melahirkan.
13
13,20
Laserasi
perineum yang melibatkan sfingter ani dilaporkan sebanyak 10% pada partus
pervaginam pertama dan 0.3% pada persalinan berikutnya. Selain itu, penurunan
bidang perineum secara relatif dari tuberositas ischium yang terjadi dengan partus
pervaginam dan muncul sehubungan dengan disfungsi sfingter anal, tetapi
mempunyai potensi untuk sembuh ke posisi semula.
17,24
primipara dengan menggunakan manometer anal pada masa sebelum persalinan dan 4
sampai 6 minggu setelah persalinan, diperoleh kesimpulan bahwa persalinan
pervaginam secara signifikan mengurangi tekanan meremas dari sfingter ani.
13,17
pervaginam
dengan
menggunakan
forsep
secara
nyata
meningkatkan risiko terjadinya kerusakan perineum derajat lanjut dan neuropati dasar
13
panggul. Bahkan hampir 80% wanita yang menjalani persalinan bedah pervaginam
dengan menggunakan forsep akan mengalami kerusakan sfingter ani. Selain itu,
persalinan dengan forsep juga dapat meningkatan risiko terjadinya inkontinensia urin.
Penelitian menunjukkan bahwa kejadian inkontinensia urine tipe stress dalam kurun
waktu tujuh tahun setelah melahirkan meningkat mencapai 10 kali lebih tinggi pada
wanita yang telah menjalani persalinan pervaginam dengan menggunakan forsep
daripada persalinan normal.
17,22
13,17,26
26
13,17,27
permulaan persalinan maka dapat mencegah terjadinya kerusakan saraf pudendus dan
berbagai komponen penyangga dasar panggul lainnya. Sehingga seksio sesarea yang
dilakukan sebelum munculnya permulaan persalinan merupakan tindakan yang paling
13,27
Inkontinensia urin tipe stres jarang terjadi pada persalinan dengan seksio
sesarea dibandingkan dengan partus pervaginam. Penelitian terhadap wanita
premenopausal yang telah melahirkan, memperoleh kesimpulan bahwa persalinan
pervaginam meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urin stress dua kali lebih
besar dibandingkan dengan persalinan dengan seksio sesarea.
17,27
33
BAB V
PENCEGAHAN DAMPAK KEHAMILAN DAN PERSALINAN
TERHADAP KERUSAKAN DASAR PANGGUL
Berbagai kerusakan dasar panggul akibat kehamilan dan persalinan
merupakan suatu proses yang muncul terkait dengan adanya berbagai faktor risiko
yang mempermudah kejadian tersebut. Selama kehamilan dan peralinan terdapat
berbagai strategi pencegahan dalam rangka menurunkan risiko terjadinya kerusakan
dasar panggul tersebut. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut.
5.1 Pencegahan Dampak Kehamilan terhadap Kerusakan Dasar Panggul
Latihan harian dasar panggul dengan rata-rata latihan mencapai 20 hingga 30
gerakan setiap hari selama kehamilan dapat meningkatan kekuatan otot sebelum
persalinan (Gambar 5.1). Hal tersebut telah terbukti dapat mengurangi risiko
terjadinya kerusakan dasar panggul selama kehamilan dan persalinan, serta
membantu mempercepat penyembuhan setelah melahirkan. Penelitian terhadap
dampak latihan dasar panggul antenatal telah menunjukkan terjadi penurunan
kejadian inkontinensia urine tipe stress pada saat masa nifas, namun tidak memiliki
perbedaan dalam hal kekuatan otot panggul melalui pemeriksaan perineometri.
33
13
13
34
13
dikerjakan menjelang akhir dari kehamilan, bahkan dapat mulai dilakukan pada umur
kehamilan 34 minggu. Pemijatan perineum dilakukan dengan suatu peregangan
lembut pada perineum dengan bahan terlubrikasi atau pelicin dalam rangka persiapan
menghadapi persalinan, teknik pemijatan diperlihatkan pada gambar 5.2. Adapun
efek pencegahan dari pijat perineum sampai saat ini masih diperdebatkan, dimana
beberapa pendapat menyatakan bahwa tidak ada keuntungan dilakukannya pijat
17
13
Penelitian yang dilakukan untuk menilai dampak pencegahan dari pijat perineum
terhadap risiko laserasi perineum yang dilakukan selama trimester ke tiga,
memperoleh hasil bahwa dengan dilakukannya pijat perineum selama trimester ke
tiga dapat menurunkan risiko laserasi perineum selama persalinan. Penelitian lainnya
terhadap lebih dari 1500 primigravida yang dilakukan pemijatan perineum secara
rutin selama tiga minggu terbukti dapat meningkatkan kemungkinan perineum tetap
utuh selama persalinan. Penelitian yang bertujuan untuk menilai peranan pijat
perineum terhadap kejadian nyeri pada perineum setelah persalinan, memperoleh
hasil bahwa pada wanita dengan kelahiran spontan pervaginam sebelumnya,
pemijatan perineum terbukti mengurangi tingkat nyeri perineum dalam tiga bulan
setelah persalinan dari 94 menjadi 86%.
13,17
indek massa tubuh yang lebih dari 30 kg/m , telah diidentifikasi sebagai faktor risiko
terjadinya inkontinensia urin tipe stress dan urgensi setelah persalinan. Peningkatan
berat badan yang diharapkan selama kehamilan berkisar antara 12 sampai 15 kg,
dengan rata-rata 12,5 kg. Pada trimester pertama rata-rata peningkatan berat badan
13,17
Olahraga
selama kehamilan merupakan salah satu usaha untuk mempertahankan berat badan
optimal selama kehamilan, namun sebaiknya harus disesuaikan oleh karena selama
kehamilan terjadi perubahan postur tubuh, keseimbangan dan koordinasi,
pola
13,20
20
duduk.
13
Posisi duduk dikaitkan dengan proses persalinan yang lebih cepat, namun
beberapa penelitian memperoleh terjadi pembengkakan pada perineum, laserasi labia
dan peningkatan kehilangan darah akibat robekan jalan lahir. Posisi lateral atau
miring ke salah satu sisi dapat digunakan pada wanita multipara dimana memiliki
jalan lahir yang telah regang. Dengan posisi lateral tersebut dapat meningkatkan
kontrol terhadap kecepatan ekspulsi janin pada saat akhir kala dua, sehingga
membantu menghindari kerusakan perineum yang disebabkan akibat partus
presipitatus.
17
persalinan dan mengurangi kebutuhan akan bantuan forsep dan atau vakum.
Penelitian terhadap posisi persalinan tegak memperoleh hasil bahwa angka robekan
perineum dan nyeri setelah persalinan dan kebutuhan tindakan episiotomi yang lebih
rendah diperoleh pada posisi tegak dibandingkan dengan litotomi. Posisi persalinan
tegak dan lateral diduga memiliki peranan yang sama dibandingkan dengan posisi
terlentang. Namun posisi tegak, duduk dan berjongkok sebaiknya harus dihindari
apabila selama persalinan ditemukan adanya pembengkakan perineum yang
signifikan (Gambar 5.4).
13
kemungkinan terjadinya kerusakan otot dan saraf yang lebih besar pada ibu.
untuk mengedan.
mengedan ditemukan angka kebutuhan akan tindakan bedah pervaginam baik vakum
maupun forsep yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang langsung
17
mengedan.
saat pembukaan lengkap ternyata tidak ditemukan adanya peningkatan kejadiankejadian yang tidak diinginkan selama persalinan, seperti rendahnya laserasi
perineum atau laserasi perineum tingkat lanjut yang rendah. Walaupun terdapat kala
dua memanjang bahkan mencapai 4 jam.
13,16,17
Angka kejadian laserasi perineum tingkat lanjut yang lebih kecil dan kejadian
perineum utuh lebih sering ditemukan pada pasien yang mengedan spontan
dibandingkan dengan mengedan yang diarahkan segera setelah pembukaan lengkap.
Sebaliknya, penelitian yang berbeda terhadap 350 wanita selama persalinan
memperoleh bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna kejadian kerusakan perineum
dan lamanya persalinan antara kelompok yang mengedan spontan atau menunda
dengan mengedan yang diarahkan sejak awal.
13,17
2,17
setelah persalinan. Ibu yang baru saja menjalani episiotomi setelah terlebih dahulu
diberi anestesi epidural, mungkin akan merasakan nyeri perineum tiba-tiba yang amat
sakit, setelah persalinan yang tidak terasa nyeri. Setelah persalinan ibu dapat
mengalami kesulitan untuk melakukan latihan dasar panggul, oleh karena adanya
mekanisme peregangan yang ditimbulkan pada saat persalinan atau akibat perineum
yang mengalami penjahitan atau memar. Senam kegel pada ibu setelah persalinan
dapat dilakukan dengan teknik sebagai berikut:
11,14,20
2.
3.
Menahan dengan kuat selama mungkin sampai sepuluh detik dengan tetap
bernapas secara normal.
4.
5.
untuk melanjutkan senam dasar panggul secara teratur sepanjang hidup, agar
terhindar dari gangguan berkemih di kemudian hari. Kekuatan dari otot-otot dasar
panggul tersebut dapat dinilai setelah 8 hingga 12 minggu setelah persalinan dengan
cara melompat pada kondisi kandung kemih yang penuh kemudian batuk sekuat
tenaga dua hingga tiga kali pada saat melakukan tindakan tersebut.
13,17
17,20
41
BAB VI
RINGKASAN
Berdasarkan telaah kepustakaan di atas maka dapat disampaikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Kehamilan dan persalinan mengakibatkan terjadinya berbagai kerusakan pada
dasar panggul melalui mekanisme regangan secara mekanik, kerusakan saraf
pudendus, kerusakan berbagai jaringan ikat, ligamentum, dan tulang panggul.
2. Persalinan yang melibatkan janin makrosomia dan tindakan pembedahan
pervaginam, terutama forsep dapat meningkatkan risiko terjadnya kerusakan
dasar panggul. Sedangkan hal tersebut dapat diminimalisasi melalui
persalinan seksio sesarea khususnya yang dilakukan pada saat sebelum
dimulainya persalinan.
3. Pencegahan kerusakan dasar panggul selama kehamilan dapat dilakukan
dengan latihan dasar panggul, melakukan pijat perineum, menjaga kesehatan
secara umum, seperti optimalisasi berat badan, olah raga dan pencegahan
sembelit. Pencegahan kerusakan dasar panggul selama persalinan dilakukan
dengan mengatur posisi dan strategi mengedan yang benar saat persalinan.
Pencegahan kerusakan dasar panggul setelah kehamilan dan persalinan
dilakukan dengan latihan senam kegel dan pencegahan terjadinya konstipasi.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Junizaf, Erwinanto, Sasotya, S., Rizkar, M., Budinurdjaja, P., Armawan,E.,
Hasan, Ermawati, Santoso, B.I., Hakim,S., Pranoto, I., Lotisna, D., Megadhana,
W., Tala, R., fauzi, A., Rahajeng, Irianta, T., Djuanna,A.,Chan, N., Suskhan,
2011. Buku Ajar Uroginekologi Indonesia. Jakarta: Himpunan Uroginekologi
Indonesia Bagian Obsetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. hal: 5-22.
2. Petros, P. 2007. The Female Pelvic Floor. Germany: Springer Midizin Verlag
Heidelberg.p.7-51.
3. Borolini, M.A.T., Drutz, H.P., Lovatsis, D., Alarab, M. 2010. Vaginal Delivery
and Pelvic Floor Dysfunction: Current Evidence and Implication for Future
Research. (serial online), [cited 2011 Jan 11]. Available from: URL:
http://www.springerlink.com/content/mm16155587787075/
4. Segedi, L.M., Llic, K.P., Curcic, A., Visnjevac, N., 2011. Quality of Live in
Women with Pelvic Floor Dysfunction. (serial online), [cited 2011 Jul 11].
Available from: URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22191311
5. Vaart, C.H., Leeuw, J.R.J., Roovers, J.P.W.R., Heintz, A.P.M. 2000. The Effect
of Coping Strategies on Health Related Quality of Live in Women With
Symptoms of Pelvic Floor Dysfunction. (serial online), [cited 2011 Mar 17].
Available
from:
URL:
http://igiturarchive.library.uu.nl/dissertations/1954490/c7.pdf
6. Herbert, J. 2009. Pregnancy and Childbirth: the effects on Pelvic Floor Muscles.
(serial online), [cited 2011 Peb 14] Available from: URL:
http://www.nursingtimes.net/nursing-practice-clinical-research/pregnancy-andchildbirth-the-effects-on-pelvic-floor-muscles/1999381.pdf
7. Handa, V.L. 2010. Pregnancy, Delivery, and pelvic Floor Disorders. (serial
online),
[cited
2011
Jan
18].
Available
from:
URL:
http://www.uptodate.com/contents/pelvic-floor-disorders-associated-withpregnancy-and-childbirth/abstract/1-4
8. Eason, E., Labrecque, M., Marcouc, S., Mondor, M., Effects of Carrying a
Pregnancy and of Method of Delivery on Urinary Incontinence: a Prospective
Cohort Study. (serial online), [cited 2011 Jan 11]. Available from: URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC375532/
9. Cunninghan, F.G., Leveno, K.J.,Bloom, S.L., Hauth, J.C., Rouse, D.J., Spong,
rd
C.Y. 2010. Wiliams Obstetrics 23 Edition. United States of America: The
McGraw-Hill Companies.p. 407-442.
10. Silversides, C.K., Colman J.M. 2000. Physiological Changes in Pregnancy. (serial
online),
[cited
2011
Jan
9].
Available
from:
URL:
http://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/Sample
_chapter/9781405134880/9781405134880.pdf
11. McCrory, J.L., Chambersa, A.J., daftary, A., Redfern, M.S. 2011.
Neuromechanical Adaptations to Pregnancy. (serial online), [cited 2011 Jan 17].
Available
from:
URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Neuromechanical_adaptations_to_pregnancy
12. Sultan, A.H., Thakar, R., Fenner, D.E. 2007. Perineal and Anal Sphincter Trauma
Diagnosis and Clinical Management. London: Springer Verlag London. p.123132.
13. Culligan P.J., Goldberg, R.P. 2007. Urogynecology in Primary Care. London:
Springer Verlag London. p. 21-33.
14. Aronson, M.P. 2009. Vaginal Birth and Pelvic Floor Dysfunction. (serial online),
[cited 2011 Jan 16]. Available from: URL: http://neogs.org/Syllabus/Fall
%20Program%202009/Aaronson%2009.11%20S%2
0Vaginal%20Birth%20and%20Pelvic%20Floor%20Dysfunction,%20NEOGS.pdf
15. Davila, G.W., Ghoniem, G.M., Wexner, S.D. 2006. Pelvic Floor Dysfunction A
Multidisciplinary Approach. London: Springer Verlag London. p.6-17.
16. Theobald, P.V., Zimmerman, C.W., Davila, G.W. 2011. New Techniques in
Genital Prolapse Surgery. London: Springer Verlag London. p.3-10.
17. Vasavada, S.P., Appell, R.A., Sand, P.K., Raz, S. 2005 Female Urology,
Urogynecology and Voiding Dysfunction. New York: Marcel Dekker. p. 95-118.
18. Koelbl, H., Nitti, V. 2007. Pathophysiology of Urinanry Incontinence, Faecal
Incontinence and Pelvic Organ Prolapse. (serial online), [cited 2011 Jan 12].
Available
from:
URL:
http://www.icsoffice.org/Publications/ICI_4/files- book/Comite-4.pdf.
19. Miller, J.M, Brandon, C., Jacobson, J.A., Low, L.K., eilinski, R., DeLancey,
J.O.L. 2009. MRI Findings in Patients Considered High Risk for Pelvic
Floor.p.264-268.
20. Baessler, K., Schuessler, B. 2003. Chilbirth Induced Trauma to The Urethral
Continence Mechanism: Review and Recommendations. (serial online), [cited
2011
Jan
11].
Available
from:
URL:
http://www.springerlink.com/content/mm16155587787075/pdf
21. Bertozzi, S., Londero A.P., Frucalzo,A., Driul, L., Delneri, C., Calcagno, P.,
Marchesoni, D. 2011. Impact of Episiotomy on Pelvic Floor Disorders and Their
Influence on Womens Wellness after The Sixth Month Postpartum: a
Retrospective Study. (serial online), [cited 2011 Jan 15]. Available from: URL:
http://www.biomedcentral.com/1472-6874/11/12
22. Itrich, J. 2006. Pregnancy and Mode of Delivery May Contribute to Pelvic Floor
Disorders. (serial online), [cited 2011 Jan 15]. Available from: URL:
http://ucsdnews.ucsd.edu/newsrel/health/pelvic06.asp
23. Mostwin J. 2006. Pathophysiology of Urinanry Incontinence, Faecal Incontinence
and Pelvic Organ Prolapse. (serial online), [cited 2011 Jan 11]. Available from:
URL: http://www.icsoffice.org/Publications/ICI_3/v1.pdf/chap8.pdf
24. Lukacs, E., Lawrence, J.M., Contretas, R., Nager C.W., Luber, K.M. 2005. Parity,
Mode of Delivery, and Pelvic Floor Disorders. (serial online), [cited 2011 Jan 18].
Available
from:
URL:
http://birthtraumacanada.org/resources/Delivery+and+the+pelvic+floor+PDF.pdf
25. Parente, M.P.L., Jorge, R.M.N., Mascarenhas, T., Fernandes, A.A>, Martins,
J.A.C. 2007. Deformation of The Pelvic Floor Muscles during a Vaginal
Delivery. (serial online), [cited 2011 Jan 11]. Available from: URL:
http://www.springerlink.com/content/g687103h70165n22/
26. Chin, H.Y., Chen, M.C., Liu, Y.H., Wang, K.H., Post Partum Urinary
Incontinence: a Comparison of Vaginal Delivery, Elective, and Emergent
Cesarean Section. (serial online), [cited 2011 Jan 16]. Available from: URL:
http://www.laboratoriosilesia.com/upfiles/sibi/GI030742.pdf
27. Lubis, D.L. 2009. Kekuatan Otot Dasar Panggul pada Wanita Pasca Persalinan
Normal dan Pasca Seksio Sesarea dengan Perineometer (tesis). Medan:
Universitas Sumatra Utara.
41