You are on page 1of 44

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dasar panggul merupakan suatu komplek jaringan yang terletak diantara
peritonium viseralis bagian bawah sampai dengan kulit vulva, yang memiliki peranan
untuk menyokong berbagai organ viseralis pada panggul agar tetap berada dalam
posisi dan fungsinya yang normal. Secara umum, dasar panggul dapat dibagi menjadi
empat tingkat atau level menurut DeLancey, antara lain: Level I dibentuk oleh fasia
endopelvik, Level II dibentuk oleh otot diafragma panggul, Level III dibentuk oleh
otot diafragma urogenital dan level IV dibentuk oleh sfingter ani eksterna dan badan
perineal.

Kerusakan dasar panggul merupakan suatu masalah yang bersifat kronis dan
memiliki morbiditas yang sangat serius, dimana dapat mangakibatkan terjadinya
penurunaan kualitas hidup penderitanya apabila tidak dikelola dengan baik. Adapun
kerusakan dasar panggul yang dapat terjadi meliputi inkontinensia urine,
inkontinensia fekalis, ruptur perineum, fistula, prolaps organ panggul dan lain
1,2

sebagainya.

Berbagai analisis secara psikologis terhadap penderita dengan masalah

kerusakan dasar panggul memperoleh adanya peningkatan tingkat kecemasan dan


depresi, penurunan rasa percaya diri dan disfungsi seksual.

1,3

Penelitian yang

dilakukan oleh Segedi dkk. (2011) memperoleh hasil bahwa terjadi penurunan secara
bermakna pada kualitas hidup wanita dengan masalah kerusakan dasar panggul.
Penurunan kualitas hidup tersebut meliputi perasaan malu yang meningkat, gairah
4

seksual yang menurun dan merasa tidak puas akan penampilannya. Penelitian oleh
Chiverton dkk. (1996) menemukan adanya hubungan yang kuat antara penurunan
kepercayaan diri dan peningkatan depresi pada wanita dengan kerusakan dasar pangul
3

seperti inkontinensia urine. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Petra dkk. (2007)
terhadap wanita yang mengalami kerusakan dasar panggul dibandingkan dengan yang
tidak juga diperoleh adanya penurunan secara bermakna terhadap fungsi seksual.
1

Selain itu, adanya kerusakan pada dasar panggul dapat mengakibatkan perubahan
pada aktifitas sosial, dimana terjadi pembatasan kegiatan rumah maupun sosial
kemasyarakatan, seperti pada penderita inkontinensia urine yang cenderung untuk
membatasi kegiatan luar rumah mereka apabila tidak yakin akan keberadaan kamar
mandi yang tersedia untuk setiap saat.

1,4,5

Sampai saat ini penyebab terjadinya kerusakan pada dasar panggul masih
diperdebatkan, namun beberapa faktor risiko dianggap dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan dasar panggul, antara lain: faktor risiko demografik, meliputi:
umur, ras, kelainan genetik, paritas, indek masa tubuh, kebiasaan merokok, kebiasaan
minum-minuman beralkohol dan faktor risiko obstetrik, meliputi: umur ibu saat
pertama kali melahirkan, cara persalinan, lamanya proses persalinan, berat badan
janin, derajat robekan perineum, dan tindakan episiotomi, serta faktor risiko
ginekologi, meliputi: riwayat histerektomi dan menopause yang terkait dengan
hormonal.

1,3

Angka kejadian kerusakan dasar panggul dan tindakan operatif yang terkait
dengan kerusakannya tersebut sangat bervariasi pada berbagai penelitian. Penelitian
yang dilakukan di Menchester tahun 2010 memperoleh hasil bahwa angka kejadian
kerusakan dasar panggul sebesar 10%, dimana dari angka kejadian tersebut sebesar
31% disebabkan oleh karena adanya trauma obstetri dengan odds rasio sebesar 1,37
6

(95% CI: 0.72-2.62; P = 0.3398). Penelitian lainnya dilakukan di Inggris pada tahun
2009 terhadap 34.631 wanita, penelitian tersebut memperoleh hasil bahwa risiko pada
seorang wanita yang berusia 80 tahun untuk menjalani berbagai bentuk operasi dasar
panggul adalah sebesar 12,2%. Sebanyak 2130 (6,2%) wanita paling tidak menjalani
satu operasi dasar panggul, diantaranya sebanyak 407 (19%) menjalani operasi
berulang. Interval waktu median operasi ulangan prolaps organ panggul,
inkontinensia urine masing-masing adalah 2,8 (0,94-8,07) dan 3 (1,00-8,25) tahun.
Risiko seorang wanita menjalani operasi dasar panggul menurun pada wanita yang
melahirkan secara seksio sesarean (p<0,001) dan persalinan pertama berumur kurang
dari 20 tahun (p=0,021). Sedangkan wanita yang sebelumnya mengalami laserasi

perineum atau tanpa adanya robekan perineum selama proses persalinan, mendapat
sedikitnya satu tindakan bedah pervaginam dengan forsep memiliki risiko yang lebih
7

tinggi (p= 0,001 dan p= 0,015). Penelitian yang dilakukan oleh Anders dkk. (1999)
terkait dengan dampak kehamilan dan persalinan memperoleh hasil bahwa terjadi
peningkatan kejadian inkontinensia urine selama kehamilan dan segera setelah proses
persalinan, serta pada wanita yang melahirkan anak ke dua pada usia yang lebih dari
30 tahun. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa inkontinensia urine sebagai salah
satu dampak dari kerusakan dasar panggul, terjadi bukan hanya akibat proses
persalinan tersebut, namun kehamilan itu sendiri sudah merupakan risiko terjadinya
inkontinensia urine.

Penelitian yang dilakukan oleh Emily dkk. (2006) yang

menghubungkan antara kerusakan dasar panggul dengan paritas dan cara persalinan
menyimpulkan bahwa risiko untuk terjadnya kerusakan dasar panggul sangat
berhubugan dengan adanya persalinan pervaginam, namun tidak selalu terkait dengan
jumlah paritas, dan tindakan seksio sesarea memiliki dampak protektif apabila
dibandingkan dengan persalinan pervaginam terhadap angka terjadinya kerusakan
dasar panggul.

Berbagai penelitian tersebut di atas menggambarkan bahwa risiko terjadinya


kerusakan dasar panggul memiliki korelasi yang kuat terhadap adanya kehamilan dan
persalinan itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, maka melalui tulisan ini akan
berusaha dipaparkan secara mendalam mengenai dampak dan mekanisme dari
kehamilan dan persalinan dalam mengakibatkan terjadinya kerusakan dasar panggul.
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi masukan atau tambahan pemikiran dalam
rangka mengkaji dampak kehamilan dan persalinan terhadap dasar panggul, hal ini
terkait dengan intervensi yang dapat dilakukan dalam upaya-upaya pencegahan
kerusakan dasar panggul tersebut.

BAB II
KEHAMILAN DAN PERSALINAN NORMAL
2.1 Kehamilan Normal
Kehamilan merupakan serangkaian proses yang dimulai dari konsepsi, nidasi,
adaptasi ibu terhadap nidasi, pemeliharaan kehamilan, perubahan endokrin dalam
9

rangka mempersiapkan kelahiran dan persalinan bayi. Selama proses kehamilan


tersebut, ibu akan mengalami berbagai perubahan anatomi mulai dari trimester awal
sampai dengan trimester akhir dari kehamilan. Berbagai perubahan anatomi tersebut
meliputi perubahan sistem pencernaan atau gastrointestinal, perubahan sistem
perkemihan atau urogenitalia, dan perubahan sistem otot dan tulang atau
muskuloskeletal. Perubahan pada sistem pencernaan meliputi mual, muntah, sembelit,
6,9,10

dan perut kembung akibat makanan yang tertahan di dalam lambung.

Perubahan

pada sistem perkemihan meliputi adanya rasa ingin buang air kecil akibat adanya
desakan janin yang semakin besar di dalam uterus. Pada sistem muskuloskeletal
misalnya, dengan adanya perubahan pada postur tubuh ibu selama kehamilan
mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan dan rasa tidak nyaman untuk
melakukan suatu gerakan tertentu.
Kehamilan merupakan suatu proses fisiologis dimana ditandai dengan
munculnya berbagai adaptasi fisiologis terhadap kehamilan itu sendiri. Adaptasi yang
terjadi dapat berupa adaptasi secara anatomis, fisiologis dan biokimiawi. Berbagai
perubahan tersebut dapat segera terjadi setelah pembuahan dan berlanjut sepanjang
kehamilan. Adanya adaptasi tersebut merupakan suatu respon terhadap rangsangan
9

fisiologis yang ditimbulkan oleh janin. Dengan adanya adaptasi fisiologis tersebut
dalam beberapa kasus dianggap sebagai suatu masalah dalam kehamilan apabila
terjadi pada kondisi tidak saat hamil, salah satunya adalah adaptasi kehamilan pada
sistem muskuloskletal.

Beberapa adaptasi muskuloskletal pada kehamilan, antara lain adalah sebagai


berikut:

9,10,11

1. Peningkatan berat badan yang terjadi selama kehamilan mengakibatkan


tumpuan beban yang meningkat hampir seratus persen pada berbagai sendi
ekstrimitas bawah khususnya pada sendi tulang belakang dan lutut dalam
melakukan berbagai aktifitas fisik baik berjalan, duduk, maupun berlari.
Pertumbuhan ukuran abdomen dalam kehamilan mengakibatkan perubahan
pada titik tumpuan gravitasi tubuh, dimana titik tumpu jatuh lebih ke arah
depan dari pada posisi normal. Perubahan titik tumpu gravitasi ini
mengakibatkan penonjolan kelengkungan tulang belakang dan penambahan
tekanan ke sendi tulang belakang, yang akan memberikan kontribusi untuk
mengencangkan otot-otot tulang belakang (gambar 2.1). Hal tersebut juga
akan memberikan tambahan beban pada sendi yang berdampak pada beban
yang semakin berlebih pada otot punggung, sehingga sering mencul keluhan
nyeri pada daerah punggung belakang, perubahan postur tubuh, gangguan
keseimbangan, dan meningkatkan risiko jatuh pada ibu hamil.

Gambar 2.1 Tulang belakang bagian lumbar dan pelvis

11

2. Peningkatan hormon estrogen dan relaksin selama kehamilan meningkatkan


risiko kelemahan pada artikulasio sendi. Peningkatan kedua hormon tersebut
selama kehamilan, mengakibatkan ligamentum yang menyatukan tulang
panggul secara bertahap menjadi lebih longgar untuk mempersiapkan tulang
panggul dalam menghadapi proses persalinan nantinya. Namun perubahan
tersebut dilain pihak akan mengakibatkan gangguan pada stabilitas tulang
panggul sehingga berdampak pada tingginya kerentanan sendi untuk
mengalami cedera dan dislokasi, baik dalam keadaan duduk untuk jangka
waktu yang lama, berdiri, berjalan, berguling di tempat tidur, keluar dari kursi
rendah, membungkuk, dan mengangkat.
3. Pengaruh hormon, berat badan dan perubahan pada postur tubuh selama
kehamilan memiliki peranan yang cukup besar terhadap kelemahan otot-otot
abdomen dan dasar panggul. Pada beberapa kasus, otot-otot abdomen menjadi
sangat tegang yang berdampak pada pemisahkan diantara otot-otot tersebut
akibat tekanan intrabdomen yang meningkat selama kehamilan atau terjadi
diastesis rekti (gambar 2.2). Salah satu jenis otot abdomen tersebut adalah otot
rektus abdominalis yang membentang dari bawah dada ke tulang pubis serta
memiliki pemisahan yang kecil diantara otot perut. Adanya otot abdominalis
yang lemah, peningkatan berat badan, perubahan postur tubuh dan pengaruh
hormon, mengakibatkan pemisahan ini akan menjadi semakin bermakna.

Gambar 2.2 Diastesis rekti

11

Demikian pula pada otot-otot dasar panggul, dengan adanya kehamilan


mengakibatkan terjadinya penurunan kekuatan otot dan gangguan proses
berkemih seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.3, dimana terjadi
gangguan proses berkemih akibat adanya penekanan pada kandung kemih
selama kehamilan.

Gambar 2.3 Gambaran penekanan kandung kemih akibat kehamilan

10

Pada trimester pertama tidak terdapat banyak perubahan pada sistem


muskuloskeletal. Pada trimester ke dua, peningkatan berat badan pada wanita hamil
mengakibatkan postur tubuh dan cara berjalan wanita berubah secara bermakna. Otot
abdominalis menjadi lebih meregang dan mengalami penurunan tonus otot. Selama
trimester ke tiga, terjadi diastesis rekti dimana otot rektus abdominalis akan memisah
sehingga mengakibatkan isi perut menonjol pada garis tengah dan umbilikus menjadi
sedikit lebih datar atau menonjol. Setelah persalinan, tonus otot secara bertahap akan
10,11

kembali normal, namun pemisahan otot yang terjadi cenderung akan menetap.

Selama kehamilan khususnya pada trimester ke dua, terjadi peningkatan berat


badan pada wanita hamil yang mengakibatkan postur tubuh dan cara berjalan wanita
berubah secara bermakna. Untuk mengkompensasikan penambahan berat badan
tersebut, bahu cenderung akan tertarik ke belakang sehingga tulang belakang menjadi

lebih melengkung. Hal tersebut yang menyebabkan adanya keluhan nyeri tulang
punggung pada wanita selama kehamilan. Payudara yang semakin membesar dan
posisi bahu yang agak membungkuk pada saat berdiri akan mengakibatkan kurva
punggung dan lumbal semakin menonjol.

11

2.2 Persalinan Normal


Janin dengan presentasi oksiput, ditemukan hampir kurang lebih sebesar 95%
dari seluruh kehamilan. Secara umum, vertek akan memasuki pelvis dengan posisi
9

sutura sagitalis pada diameter transversal pelvis. Perubahan posisi pada presentasi ini
merupakan suatu mekanisme persalinan. Mekanisme persalinan yang normal terdiri
dari tujuh gerakan kardinal, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Engagement merupakan suatu gerakan dimana masuknya bagian terbesar


kepala janin dalam hal ini adalah diameter biparietal ke dalam pintu atas
panggul. Kepala janin akan memasuki pintu atas panggul dalam posisi sutura
sagitalis melintang (gambar 2.4).

Gambar 2.4 Engagement

2. Penurunan atau desensus adalah gerakan turunnya kepala janin di dalam jalan
lahir. Penurunan terjadi oleh karena adanya tekanan cairan ketuban, tekanan
langsung fundus uteri pada bokong janin, kontraksi otot-otot abdomen serta
ekstensi atau pelurusan badan janin (gambar 2.5).

Gambar 2.5 Desensus

3. Fleksi adalah gerakan kepala janin dimana dagu janin mendekati dada janin.
Fleksi maksimal disebabkan oleh karena adanya penurunan kepala
menemukan tahanan baik oleh servik, dinding panggul dan dasar panggul.
Dengan fleksi maksimal maka kepala janin berada di jalan lahir dengan
diameter terkecilnya yaitu diameter suboksipito-bregmatika dengan ukuran
yang mencapai 9,5 cm (gambar 2.6).

Gambar 2.6 Fleksi

4. Putar paksi dalam atau rotasi internal adalah gerakan putar pada kepala yang
secara perlahan menggerakkan oksiput dari posisi asalnya ke anterior menuju
simfisis pubis sehingga diameter terpanjang kepala janin akan bersesuaian

dengan diameter terpanjang rongga panggul. Putar paksi dalam secara lengkap
biasanya terjadi pada saat kepala mencapai dasar panggul (gambar 2.7).

Gambar 2.7 Putar paksi dalam

5. Ekstensi adalah gerakan kepala janin yang berlawanan dengan gerakan fleksi
sehingga dasar oksiput langsung menempel pada margo inferior simfisis
pubis. Kepala yang fleksi penuh mencapai vulva melalui penekanan pada
lorong panggul. Sehingga gaya resultante akan mengarah ke muara vulva
yang mengakibatkan terjadinya ekstensi dan membawa dasar oksiput
menempel pada margo inferior simpisis (gambar 2.8).

Gambar 2.8 Ekstensi

6. Putar paksi luar atau rotasi eksternal adalah gerakan kepala janin berputar
kembali ke posisi dimana kepala janin menyesuaikan dengan posisi bahu
janin. Sehingga satu bahu akan anterior di belakang simpisis dan bahu lainnya
di posterior (gambar 2.9 dan 2.10).

Gambar 2.9 Putar paksi luar

Gambar 2.10 Lahir bahu anterior dan posterior

7. Ekspulsi adalah lahirnya bagian janin yang lain setelah kepala janin lahir.
Segera setelah putar paksi luar, bahu depan terlihat di bawah simfisis pubis
dan bahu belakang di perineum. Lahirnya kedua bahu diikuti oleh lahirnya
seluruh badan janin.

12

BAB III DASAR


PANGGUL
Dasar panggul adalah komplek jaringan yang terletak diantara peritonium
viseralis ke bawah sampai dengan vulva dan memiliki peranan untuk menyokong
berbagai organ viseral agar tetap dalam posisi dan fungsi yang normal. DeLancey
1

membagi dasar panggul menjadi empat tingkatan atau level, antara lain:
1. Level I

: dibentuk oleh fasia endopelvik

2. Level II

: dibentuk oleh diafragma panggul

3. Level III

: dibentuk otot diafragma urogenital dan sfingter ani eksterna

4. Level IV

: dibentuk otot genitalia eksterna dan badan perineum

3.1 Fasia Endopelvik


Fasia endopelvik merupakan suatu jaringan ikat longgar yang menutupi
seluruh organ panggul dan menghubungkan berbagai organ tersebut pada otot dan
tulang panggul. Secara histologis fasia endopelvik terdiri dari jaringan ikat kolagen,
elastin, lemak, saraf, pembuluh darah, saluran limfe, dan otot polos. Fasia endopelvik
sebagai suatu struktur jaringan penyambung yang mengakibatkan vagina dan uterus
tetap pada lokasi anatomis yang normal serta memberikan mobilitas terhadap
berbagai organ viseral dalam melakukan fungsi fisiologisnya, seperti: menyimpan
urin dan feses, koitus, melahirkan, dan defekasi.

1,2

3.2 Diafragma Panggul


Diafragma panggul dibentuk oleh otot levator ani dan koksigeus (Gambar
3.1). Otot levator ani merupakan otot dasar panggul yang sangat penting peranannya
dalam menyokong berbagai organ viseralis panggul. Otot levator ani dibentuk oleh
gabungan tiga buah otot, antara lain: otot pubokoksigeus, puborektalis dan
iliokoksigeus. Otot pubokoksigeus dan puborektalis berasal dari bagian dalam ramus
pubis di sisi kanan dan kiri dari tulang simfisis pubis. Serabut-serabut otot ini berjalan

12

13

ke dalam panggul kemudian akan membentuk sling seperti huruf U. Sehingga otot
levator ani akan membentuk hiatus levator ani dimana uretra, vagina dan rektum
terkumpul di dalamnya. Otot iliokoksigius adalah otot levator ani yang berasal dari
arkus tendenius levator ani dan bergabung dengan arkus tendeneus fasia pelvik di
daerah spina iskhiadika. Otot ini berjalan ke belakang rektum dan bersatu dengan otot
pubokoksigeus dan puborektalis yang membentuk gambaran seperti lempengan pita
levator ani atau dikenal dengan levator plate, kemudian berakhir pada tulang
koksigius. Selama proses persalinan otot-otot ini seringkali akan mengalami
kerusakan, sehingga berdampak pada terganggunya aktivitas fisiologis beberapa
organ, meliputi: gangguan berkemih, mengejan dan bahkan dapat mengakibatkan
terjadinya prolaps organ pelvis setelah melahirkan.

1,2,13

Gambar 3.1 Diafragma panggul

1,13

3.3 Diafragma Urogenital


Diafragma urogenital merupakan suatu lapisan fasia tipis yang dibentuk oleh
serabut-serabut

otot

iskiokavernosus,

bulbokavernosus,

perinei

transversa

superfisialis, diantara kedua lapisan tersebut terdapat otot perinei profunda dan otot
sfingter urethra pada pinggir belakang (Gambar 3.2). Diafragma urogenital ini

terletak di bawah otot levator ani, berperan terutama dalam membantu otot levator ani
1,13

dalam menutup hiatus genitalis dari bawah.

Gambar 3.2 Diafragma urogenital

1,13

3.4 Badan Perineum


Badan perineum adalah struktur fibromuskular yang berbentuk piramid di
garis tengah antara anus dan vagina dengan septum rektovagina pada bagian
puncaknya. Badan perineum dibentuk oleh serabut-serabut otot yang berasal dari
pubokavernosus, perinei tranversa superfisial, sfingter ani eksterna dan levator ani.
Perineum dapat dibagi dalam dua bagian oleh garis transversal diantara dua
tuberositas iskhii. Segitiga bagian anterior, mengandung organ urogenital, disebut
sebagai segitiga urogenitalis dan segitiga bagian posterior, yang mengandung ujung
kanalis anal, disebut sebagai segitiga anal (Gambar 3.3). Badan perineum memegang
peranan penting dalam menyokong vagina bagian distal dan fungsi anorektal.

1,12

Suplai pembuluh darah dan saraf ke perineum termasuk ke ruang superfisial dan
profunda, berasal dari nervus dan pembuluh darah pudendus. Kelemahan pada badan
perineum menjadi faktor predisposisi terjadinya kerusakan dasar panggul seperti
rektokel dan enterokel.

1,13

Gambar 3.3 Badan perineum

1,13

Pada level I terdapat suatu jaringan penunjang ligamentum kardinal dan


sakrouterina, dimana merupakan suatu struktur jaringan yang berasal dari serviks dan
bagian atas vagina yang berjalan ke lateral atau dinding pelvik dan sakrum. Komplek
ligamentum kardinal dan sakrouterina berfungsi dalam mempertahankan uterus dan
bagian atas vagina dalam posisi yang normal. Apabila oleh suatu sebab tertentu yang
mengakibatkan hilangnya sanggahan oleh jaringan penunjang level I tersebut akan
1

memungkinan terjadinya prolaps uterus dan puncak vagina.

Pada level II terletak di sebelah bawah atau dalam dari komplek ligamentum
kardinal dan sakrouterina, kurang lebih terletak setinggi spina iskhiadika. Vagina
anterior ditahan ke arah lateral ke Arkus Tendineus Fasia Pelvik (ATFP) merupakan
garis putih yang dibentuk oleh suatu kondensasi atau penebalan dari fasia yang
berada di atas iliokoksigeus. ATFP berasal dari spina iskhiadika dan menuju ke
1

ramus inferior dari simfisis pubis. Level II anterior menahan bagian tengah dari
dinding anterior vagina membuat sulkus vagina anterior dan lateral. Lepasnya
perlekatan penyokong lateral ini dapat mengakibatkan timbulnya kerusakan
paravagina dan prolaps pada dinding vagina anterior. Sebagai tambahan penyokong
paravaginal anterior, terdapat penyokong lateral posterior yang berperan juga sebagai
13,14

penyokong level II.

Dinding vagina posterior melekat ke arah lateral ke dinding

samping panggul dalam suatu pengaturan yang sedikit lebih komplek daripada
dinding vagina anterior. Setengah distal dinding vagina posterior bergabung dengan
aponeurosis otot levator ani mulai dari badan perineum sepanjang suatu garis yang
dinamakan arkus tendineus rektovaginal. Bagian tersebut akan bergabung dengan
ATFP kurang lebih pada daerah tengah antara simfisis pubis dan spina iskiadika.
Sepanjang setengah proksimal vagina, dinding vagina anterior dan posterior
keduanya ditunjang ke arah lateral oleh ATFP.

1,2,13

Level III dan IV dibentuk oleh diafragma urogenital, otot-otot perineal dalam
dan badan perineum. Struktur ini menyokong dan mempertahankan posisi anatomi
uretra dan sepertiga distal vagina, sehingga vagina bergabung dengan uretra di daerah
anterior dan badan perineum di daerah posterior. Kerusakan yang terjadi pada
jaringan penunjang level III dan IV bagian anterior dapat mengakibatkan terjadinya
hipermobilitas uretra dan inkontinensia urin tipe stress. Sedangkan kerusakan pada
bagian posterior dapat mengakibatkan terjadinya rektokel distal dan atau turunnya
1,2,12

perineum.

17

BAB IV
DAMPAK KEHAMILAN DAN PERSALINAN
TERHADAP DASAR PANGGUL
Kehamilan dan persalinan, merupakan suatu proses fisiologis yang penting
sebagai pencetus terjadinya berbagai kerusakan terhadap dasar panggul. Kerusakan
pada dasar panggul dapat terjadi bahkan pada persalinan yang tampaknya
berlangsung sangat lancar. Pada saat persalinan kala dua, tekanan yang timbul antara
kepala janin dengan dinding vagina rata-rata sebesar 100 mmHg dan bahkan dapat
mencapai 230 mmHg. Apabila hal tersebut terjadi dalam waktu yang lebih lama
tentunya akan mengakibatkan perubahan fisik dan fungsional yang bersifat permanen
13

(Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Gambar penekanan janin selama kehamilan terhadap organ sekitar

13

4.1 Regangan Mekanik dan Adaptasi Anatomi


Kehamilan dan persalinan mengakibatkan dasar panggul ibu sangat rentan
untuk mengalami kerusakan. Salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada dasar panggul adalah adanya regangan secara mekanik pada dasar

17

18

panggul akibat peningkatan ukuran dari kepala bayi baru lahir yang melalui jalan
13,14

lahir.

Pada panggul wanita yang normal, dasar panggul terdiri dari pasangan otot
levator ani, yang posisinya dipertahankan oleh jaringan ikat endopelvis dan tonusnya
dipersarafi oleh saraf yang keluar dari lumbosakral. Komponen otot, jaringan ikat
penunjang dan serabut saraf akan mengalami regangan secara mekanik akut selama
persalinan dan kronis yang dihasilkan oleh kekuatan intraperitoneal selama
13,15

kehamilan.

Selama kehamilan dan persalinan, ibu dan janin akan mengalami proses
adaptasi untuk mengurangi dampak regangan mekanik terhadap anatomi dasar
panggul ibu. Janin akan mengalami suatu moulase sehingga mengakibatkan
pengurangan lingkar kepala janin. Sedangkan ibu, akan mengalami hipertrofi otot
polos, relaksasi jaringan ikat dan peningkatan lubrikasi sehingga mengakibatkan
perubahan pada panjang vagina, peregangan jaringan lunak, peningkatan mobilitas
sendi simfisis, dan sakroiliaka. Berbagai perubahan anatomi dasar panggul tersebut
13,16

disebabkan oleh pengaruh hormone relaksin dan estrogen.

Penelitian yang dilakukan terhadap hewan menunjukkan adanya suatu


perubahan jaringan kolagen yang dipengaruhi relaksin dalam simfisis pubis selama
kehamilan. Setelah persalinan, akan terjadi penurunan hormon-hormon kehamilan,
tulang panggul pada hewan tersebut kembali menjadi kaku. Meskipun terdapat proses
adaptasi terhadap kehamilan dan persalinan, potensi untuk mengalami cedera pada
dasar panggul tidak dapat dihindari bahkan pada persalinan yang terlihat sangat
normal. Pada nullipara, selama kala satu persalinan akan mengakibatkan terjadinya
13

kompresi jaringan dalam waktu dua puluh jam atau lebih. Demikian pula pada kala
dua persalinan, meskipun terjadi dalam waktu yang lebih pendek, tekanan yang
terjadi antara kepala janin dengan dinding vagina rata-rata 100 mmHg dan bahkan
dapat mencapai 230 mmHg. Sebagai perbandingan terhadap daya kerusakan jaringan,
kekuatan kompresi hanya sebesar 20 mmHg saja dapat mengakibatkan terhentinya
perfusi darah ke perifer dan terjadinya sindroma kompartemen pada daerah perifer,

sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan secara permanen


apabila terjadi secara terus menerus. Adanya persalinan mengakibatkan tekanan
dengan intensitas yang meningkat bahkan mencapai tiga kali lipat dalam panggul ibu.
Sehingga tidak mengejutkan apabila hal tersebut terjadi dalam beberapa jam saja
seringkali dapat mengakibatkan sekuele secara fisik baik pada jaringan ikat, otot,
saraf, maupun organ di dalam panggul.

17

4.2 Kerusakan Saraf Pudendus


Saraf pudendus berasal dari cabang ventral radik ke dua, ke tiga dan ke empat
medulla spinalis segmen sakralis (S2-S4). Saraf ini berjalan meninggalkan panggul
melalui bagian bawah dari foramen skiatik mayor. Kemudian melewati tulang
belakang iskhium dan kembali masuk ke pelvis melalui foramen skiatika minor
(Gambar 4.2). Saraf pudendus mempersarafi sebagian besar struktur anatomi yang
menyokong panggul, meliputi perineum, vagina, komplek otot levator, sfingter
13

urethra, dan anus.

Gambar 4.2 Perjalanan saraf pudendus

4,13

Adanya kompresi dan peregangan saraf pudendus selama persalinan


tampaknya menjadi faktor risiko yang penting menjadi penyebab penurunan fungsi
otot levator. Peregangan dan kompresi saraf pudendal tersebut sering terjadi saat

janin turun melewati spina ischiadika pada midpelvis atau pintu tengah panggul
(Gambar 4.3). Sebagai akibat dari perubahan neuropatik tersebut antara lain, terjadi
kegagalan kontraksi dari komplek levator, seperti otot pubokoksigeus dan kegagalan
untuk meningkatkan tekanan sfingter selama batuk atau bersin dan terjadi penurunan
atau bahkan kehilangan tonus saat istirahat dari komplek levator dan badan
13,17

perineum.

Snooks dan Swash melaporkan bahwa kerusakan saraf pudendus yang


reversibel sering terjadi pada persalinan pervaginam, efek yang tampaknya dapat
dicegah dengan persalinan secara seksio sesarea. Adanya kerusakan saraf tersebut
semakin meningkat pada berbagai kasus dengan persalinan forsep, multiparitas,
pemanjangan persalinan kala dua, robekan perineum derajat tiga atau empat, dan
13

makrosomia. Kehilangan inervasi saraf pudendus pada otot pubokoksigeus dan otot
sfingter ani menyertai hampir 42 sampai 80% dari persalinan pervaginam, walaupun
beberapa reinnervasi oleh saraf sekitarnya dapat terjadi, namun kehilangan fungsi otot
secara permanen seringkali terjadi. Persalinan dengan seksio sesarea tampaknya dapat
mencegah kerusakan saraf pudendus secara efektif apabila dilakukan secara elektif,
namun hal tesebut tidak dapat memberikan perlindungan penuh apabila dilakukan
setelah proses persalinan berlangsung.

16,17

Kerusakan saraf pudendus mengakibatkan terjadinya gangguan konduksi saraf


pudendal dan inervasinya pada berbagai organ di dalam panggul setelah melahirkan,
sehingga kerusakan saraf tersebut sering dikaitkan dengan kejadian prolaps organ
14

panggul dan inkontinensia urin setelah persalinan. Penelitian Snooks menyimpulkan


bahwa pola kerusakan saraf pudendus pada saat persalinan meningkatkan risiko
terjadinya inkontinensia urin dan fekal yang ditunjukkan dengan menggunakan alat
elektromiografi. Kurang lebih 75 sampai 80% kasus kehilangan inervasi saraf atau
13

neuropati dasar panggul dihubungkan dengan kejadian inkontinensia ani.

Gambar 4.3 Penekanan saraf pudendus selama persalinan

13

Penelitian pada kadaver oleh Barber dkk, menunjukkan bahwa otot levator ani
mendapatkan inervasi secara mandiri dari komponen saraf pudendus yang berasal
dari radik saraf lumbosakral. Perubahan inervasi saraf otot pubokoksigeus dan
sfingter ani telah diamat pada 42 sampai 80% persalinan pervaginam.

13

Kejadian

cedera saraf pudendus meningkat seiring dengan paritas, dan ditunjukkan dalam lima
sampai enam tahun setelah persalinan. Persalinan dengan seksio sesarea cukup efektif
mencegah terjadinya cedera saraf pudendus jika dilakukan secara elektif, tapi tidak
memberikan perlindungan penuh jika dilakukan setelah persalinan berlangsung.

17

4.3 Kerusakan Jaringan Ikat, Ligamentum dan Tulang Panggul


Kerusakan jaringan ikat dasar panggul hampir sulit untuk dicegah selama
proses persalinan. Penelitian terhadap etiologi dan penatalaksanaan prolaps organ
panggul dapat mengidentifikasi lepas dan rusaknya tempat tertentu atau spesifik dari
jaringan ikat endopelvis dari insersinya secara anatomis, sehingga mengakibatkan

prolaps dasar panggul, termasuk sistokel sentral, rektokel, dan prolaps uteri hasil dari
ligamentum uterosakral.

13

Anatomi tulang panggul memiliki peranan yang penting dalam menentukan


kemajuan persalinan, hambatan persalinan, jumlah tekanan, regangan, cedera
potensial pada berbagai struktur dari dasar panggul. Di antara beberapa jenis panggul
yang diketahui, jenis panggul ginekoid merupakan bentuk panggul yang paling baik
untuk persalinan oleh karena memiliki diameter anterior posterior, transversal, dan
arkus pubis yang luas. Panggul jenis android memberikan tantangan yang lebih besar
dalam partus pervaginam, arkus pubis yang relatif sempit, spina ischiadika yang
menonjol, diameter antero-posterior dan tranversal yang membentuk jalan lahir
berbentuk seperti hati. Panggul jenis antropoid berbentuk oval dan sempit, dibatasi di
bagian lateral oleh dinding samping yang konvergen dan spina ischiadika yang
menonjol. Panggul jenis platipeloid berbentuk oval horizontal dan sangat jarang
13,17

terdapat pada populasi wanita (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Jenis tulang panggul

17

Walaupun masih belum diketahui dengan jelas jenis tulang panggul mana
yang memiliki risiko lebih tinggi dalam mengakibatkan terjadinya kerusakan dasar
panggul, bentuk tertentu secara teoritis, memiliki potensi yang lebih tinggi dalam
mengakibatkan kerusakan tersebut. Adanya arkus pubis yang sempit yang ditemukan
pada jenis panggul android dan anthropoid, mengakibatkan ruang anterior yang relatif

sempit untuk defleksi kepala janin sehingga mengakibatkan pendesakan ke arah


posterior jalan lahir dengan akibat terjadinya kerusakan pada bagian posterior dari
perineum dan sfingter ani.

13,15

Arkus pubis yang luas, misalnya pada jenis panggul

ginekoid dan platipeloid atau tulang kokigeus yang menonjol mengakibatkan kepala
janin terdorong dari arah posterior ke anterior, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya kompresi pada kandung kemih dan urethra. Pada pintu tengah panggul
yang sempit akibat spina ischiadika yang menonjol atau dinding samping panggul
yang konvergen, seperti pada jenis panggul anthropoid, saraf pudendus menjadi lebih
mudah untuk terpapar atau tereksposur, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
kompresi dan kerusakan pada saraf pudendus.

13,17

Penelitian kasus kontrol terhadap 92 wanita yang bertujuan untuk menilai


hubungan bentuk tulang belakang terhadap risiko terjadinya prolaps organ panggul.
Penelitian tersebut memperoleh hasil bahwa pada pasien dengan bentuk atau
kurvatura tulang belakang yang abnormal memiliki risiko sebesar 3,2 kali lebih tinggi
dalam mengakibatkan terjadinya prolaps organ panggul. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa kehilangan bentuk lordosis dari segmen lumbal tulang
belakang merupakan faktor risiko paling signifikan dalam mengakibatkan terjadinya
prolaps organ panggul.

13

Penelitian observasional lainnya terhadap anatomi dari

tulang punggung menyimpulkan bahwa wanita dengan prolaps organ panggul yang
lanjut memiliki bentuk kurvatura lordosis lumbar yang kurang dan pintu atas panggul
dengan orientasi yang kurang vertikal dibandingkan dengan wanita tanpa prolaps
17

organ panggul.

Gambar 4.5 Alogaritma diagnosis pictorial

16

Gambar 4.5 merupakan suatu algoritma diagnosis pictorial. Diagnosis pictorial


merupakan suatu petunjuk ringkas untuk menentukan penyebab dan atau daerah
kerusakan pada dasar panggul. Area persegi panjang merupakan petunjuk gejala yang
terjadi pada setiap daerah atau zone.

16,17

Gambar 4.6 Zone dan struktur kerusakan jaringan ikat saat persalinan

16

Gambar 4.6 merupakan daerah atau zone dan struktur dari kerusakan jaringan ikat
yang dapat terjadi selama persalinan, dimana zone pertama adalah Pubourethral
Ligament (PUL), apabila terjadi suatu kerusakan pada daerah ini akan dapat
mengakibatkan terjadinya inkontinensia tipe stress, zone ke dua adalah Arcus
Tendineus Fascia Pelvis (ATFP) dan pubocervical fascia, dimana apabila terjadi
kerusakan dapat mengakibatkan terjadinya sistokokel, zone ke tiga adalah
Uterosacral Ligament (USL), apabila terjadi kerusakan mengakibatkan terjadinya
prolaps uteri, dan zone 4 adalah Perineal body atau rectovaginal fascia yang dapat
mengakibatkan terjadinya rektokokel apabila mengalami kerusakan.

16

Gambar 4.7 Pergeseran lateral pada struktur hiatal dan perineum

16

Pada saat bayi lahir melewati pintu bawah panggul akan terjadi pergeseran ke arah
16

lateral dari dari struktur hiatal dan perineum. (gambar 4.7).

Gambar 4.8 Pelebaran levator ani selama persalinan

16

Pelebaran otot levator ani selama persalinan dapat terlihat melalui Ultrasonografi.
Pada gambar 4.8 memperlihatkan bahwa telah terjadi pelebaran dari levator ani pada
2

pasien selama mengedan atau valsalva dari 9 cm saat istirahat meningkat mencapai
2

64 cm pada saat mengedan. Tanda panah transversal di atas menjelaskan ruangan


16

hiatus diantara otot pubovesikal.

Gambar 4.9 Pergeseran Lateral dari Berbagai Jaringan Dasar Panggul Selama
Persalinan

16

Pergesaran lateral yang dipaksakan dari Uterosacral Ligament (USL), Perineal Body
(PB) dan Rectovaginal Fascia (RVF) oleh kepala janin, pada gambar ditunjukkan
oleh lingkaran berwarna kuning, akan mengakibatkan regangan pada jaringan ikat,
16

terjadinya enterokel dan rectokel (gambar 4.9).


4.4 Kerusakan Levator Ani

Otot levator ani merupakan komponen yang penting sebagai penyangga dasar
panggul. Levator ani adalah komplek otot yang berperan dalam melawan dorongan
konstan ke bawah dari berbagai organ abdomen dan panggul. Salah satu otot
penyusun levator ani adalah otot iliokoksigeus yang membentuk pembatas berbentuk

seperti papan membentang menyeberangi hiatus urogenital. Otot ini berperan


menyokong uterus, vagina, kandung kemih dan organ panggul lainnya serta
memungkinkan organ panggul tertahan pada dasar panggul, sehingga kejadian
prolaps melalui hiatus urogenital akibat adanya peningkatan tekanan intra abdominal
tidak terjadi.

13,17,18

Komponen lain dari levator ani adalah otot pubokoksigeus dan

puborektalis yang berjalan melingkari anus dan sfingter uretra dalam bentuk ambin
yang berperan dalam mempertahankan tonus otot polos interinsik dan mengatur
17,19,20

tekanan tonik baik pada sfingter ani maupun urethra.

Kerusakan otot levator ani baik akibat kerusakan otot selama persalinan
secara langsung maupun tidak langsung oleh karena terjadi kerusakan saraf akhirnya
mengarah pada prolaps panggul dan atau inkontinensia urin. kerusakan otot levator
ani yang bersifat langsung dapat berupa memar otot, pemisahan masing-masing
komponen otot dari titik insersi sepanjang dinding samping panggul dan atau
21,22

keduanya.
terjadinya

Perubahan tidak langsung melibatkan gangguan inervasi saraf akibat

kerusakan

saraf

pudendus

atau

neuropati

pudendus

sehingga

mengakibatkan penurunan tonus dan atrofi otot levator ani. Akhirnya, adanya
penurunan tonus otot levator mengakibatkan terjadinya pelebaran hiatus urogenital
dan penurunan bidang levator ani dari posisi horizontal semula, sehingga
mengarahkan beban otot levator ani ke penyokong dasar panggul lainnya seperti
jaringan ikat dan ligamentum sebagai jaringan penyokong sekunder. Akibat
terjadinya

penekanan

intraabdominal

yang

terus

menerus

secara

konstan,

mengakibatkan melemahnya penyokong jaringan ikat endopelvis, sebagai penyokong


sekunder sehingga dapat mengakibatan prolaps organ panggul bertahun-tahun setelah
terjadinya kerusakan neuromuskuler.

13,17,23

Penurunan fungsi dari otot levator ani setelah persalinan sering terjadi, namun
tingkat keparahannya sangat bervariasi. Berkurangnya kekuatan otot levator
berhubungan dengan onset dari inkontinensia urin tipe stress. Penelitian yang
dilakukan oleh Peschers bertujuan untuk menilai fungsi otot dasar panggul sebelum
dan sesudah melahirkan dengan menggunakan perineometri intravaginal.

13,24

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kekuatan otot dasar panggul secara


signifikan mengalami penurunan dalam waktu tiga sampai delapan hari setelah
persalinan, namun kembali ke kekuatan otot yang hampir mencapai normal rata-rata
dalam dua bulan setelah melahirkan.

17,25

Penelitian yang dilakukan oleh Allen and

Hosker dengan menggunakan perineometri, juga menunjukkan terjadinya penurunan


kekuatan kontraksi otot dasar panggul secara signifikan dan persisten pada wanita
13,17

setelah melahirkan.

4.5 Cedera Perineum dan Sfingter Ani


Kerusakan perineum, baik oleh karena episiotomi atau pun laserasi secara
spontan, dapat mengakibatkan hilangnya tonus vagina dan atau anus. Defek sfingter
ani eksternal dapat diidentifikasi melalui ultrasonografi endoanal pada 20 sampai
53% wanita setelah persalinan pervaginam. Inkontinensia fekal dilaporkan enam kali
lebih sering pada wanita yang mengalami cedera sfingter ani selama persalinan dan
laserasi sfingter ani internal juga dapat diidentifikasi pada 17% primipara yang
mengalami kerusakan perineum yang tidak tampak saat persalinan. Selain terjadinya
kerusakan secara anatomis pada perineum dan sfingter ani persalinan juga dapat
mengakibatkan kerusakan pada sistem persarafan sfingter ani. Hal ini disebabkan
oleh karena perbaikan secara anatomis terhadap kerusakan perineum tidak selalu akan
diikuti dengan perbaikan fungsi perineum yang baik (Gambar 4.10).

Gambar 4.10 Gambaran kerusakan otot pada perineum

13

Pada wanita nullipara otot bulbokavernosus, otot-otot perineal transversal, dan


sebagian anterior otot anal eksternal berkontribusi untuk tonus introitus normal dan
tekanan sfingter ani. Kelemahan, pelebaran dan penurunan perineum setelah
melahirkan yang diakibatkan oleh episiotomi atau cedera spontan mengakibatkan
tejadinya penonjolan atau kelemahan pada daerah dekat vagina dan anus, hilangnya
sensasi vagina selama hubungan seksual, dan atau inkontinensia ani.

13,20

Laserasi

perineum yang melibatkan sfingter ani dilaporkan sebanyak 10% pada partus
pervaginam pertama dan 0.3% pada persalinan berikutnya. Selain itu, penurunan
bidang perineum secara relatif dari tuberositas ischium yang terjadi dengan partus
pervaginam dan muncul sehubungan dengan disfungsi sfingter anal, tetapi
mempunyai potensi untuk sembuh ke posisi semula.

17,24

Penelitian pada wanita

primipara dengan menggunakan manometer anal pada masa sebelum persalinan dan 4
sampai 6 minggu setelah persalinan, diperoleh kesimpulan bahwa persalinan
pervaginam secara signifikan mengurangi tekanan meremas dari sfingter ani.

13,17

Partus pervaginam secara bermakna dihubungkan dengan kejadian inkontinensia ani


dan risiko tersebut meningkat dengan proses persalinan yang memanjang, persalinan
operatif pervaginam, dan tindakan episiotomi. Adanya keterbatasan perbaikan
operatif pada kerusakan perineum berat, pencegahan terhadap trauma obstetri harus
dianggap sebagai pendekatan paling efektif untuk mengurangi kejadian disfungsi
17

perineum dan sfingter ani setelah melahirkan.

4.6 Dampak Makrosomia terhadap Dasar Panggul


Makrosomia dikaitkan dengan berbagai potensi masalah baik pada janin
maupun ibu. Pada ibu, adanya janin makrosomia mengakibatkan peningkatan risiko
terjadinya kerusakan perineum spontan dan tindakan episiotomi, peningkatan risiko
kerusakan perineum yang melibatkan anorektum, cedera saraf pudendus, dan tekanan
sfingter ani yang lebih tinggi secara bermakna. Persalinan pervaginam dengan berat
bayi yang mencapai empat kilogram atau lebih juga dapat meningkatkan risiko
13,17

terjadinya inkontinensia urine tipe stress.

4.7 Dampak Vakum dan Forsep terhadap Dasar Panggul


Persalinan

pervaginam

dengan

menggunakan

forsep

secara

nyata

meningkatkan risiko terjadinya kerusakan perineum derajat lanjut dan neuropati dasar
13

panggul. Bahkan hampir 80% wanita yang menjalani persalinan bedah pervaginam
dengan menggunakan forsep akan mengalami kerusakan sfingter ani. Selain itu,
persalinan dengan forsep juga dapat meningkatan risiko terjadinya inkontinensia urin.
Penelitian menunjukkan bahwa kejadian inkontinensia urine tipe stress dalam kurun
waktu tujuh tahun setelah melahirkan meningkat mencapai 10 kali lebih tinggi pada
wanita yang telah menjalani persalinan pervaginam dengan menggunakan forsep
daripada persalinan normal.

17,22

Hal ini disebabkan oleh karena persalinan bedah

pervaginam dengan menggunakan forsep dapat mengakibatkan penurunan kekuatan


levator ani dan sfingter ani melalui mekanisme tarikan dan regangan langsung pada
jaringan ikat dan otot dasar panggul (Gambar 4.11). Persalinan pervaginam dengan
menggunakan vakum secara umum memiliki risiko kerusakan perineum derajat lanjut
dan sfingter ani yang berat lebih rendah dibandingkan dengan forsep.

Gambar 4.11 Dampak forsep terhadap dasar panggul

13,17,26

26

4.8 Dampak Persalinan Seksio Sesarea terhadap Dasar Panggul


Adanya kehamilan itu sendiri pada beberapa wanita sudah cukup untuk
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada dasar panggul. Sedangkan persalinan itu
sendiri hanya memberikan peranan relatif kecil. Namun persalinan dengan seksio
sesarea cukup berperan dalam mengurangi kemungkinan terjadinya berbagai
kerusakan dasar panggul.

13,17,27

Apabila seksio sesarea dilakukan sebelum terjadinya

permulaan persalinan maka dapat mencegah terjadinya kerusakan saraf pudendus dan
berbagai komponen penyangga dasar panggul lainnya. Sehingga seksio sesarea yang
dilakukan sebelum munculnya permulaan persalinan merupakan tindakan yang paling
13,27

protektif terhadap risiko terjadinya kerusakan dasar panggul.

Inkontinensia urin tipe stres jarang terjadi pada persalinan dengan seksio
sesarea dibandingkan dengan partus pervaginam. Penelitian terhadap wanita
premenopausal yang telah melahirkan, memperoleh kesimpulan bahwa persalinan
pervaginam meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urin stress dua kali lebih
besar dibandingkan dengan persalinan dengan seksio sesarea.

17,27

33

BAB V
PENCEGAHAN DAMPAK KEHAMILAN DAN PERSALINAN
TERHADAP KERUSAKAN DASAR PANGGUL
Berbagai kerusakan dasar panggul akibat kehamilan dan persalinan
merupakan suatu proses yang muncul terkait dengan adanya berbagai faktor risiko
yang mempermudah kejadian tersebut. Selama kehamilan dan peralinan terdapat
berbagai strategi pencegahan dalam rangka menurunkan risiko terjadinya kerusakan
dasar panggul tersebut. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut.
5.1 Pencegahan Dampak Kehamilan terhadap Kerusakan Dasar Panggul
Latihan harian dasar panggul dengan rata-rata latihan mencapai 20 hingga 30
gerakan setiap hari selama kehamilan dapat meningkatan kekuatan otot sebelum
persalinan (Gambar 5.1). Hal tersebut telah terbukti dapat mengurangi risiko
terjadinya kerusakan dasar panggul selama kehamilan dan persalinan, serta
membantu mempercepat penyembuhan setelah melahirkan. Penelitian terhadap
dampak latihan dasar panggul antenatal telah menunjukkan terjadi penurunan
kejadian inkontinensia urine tipe stress pada saat masa nifas, namun tidak memiliki
perbedaan dalam hal kekuatan otot panggul melalui pemeriksaan perineometri.

Gambar 5.1 Jenis gerakan dalam latihan harian dasar panggul

33

13

13

34

Pijat perineum merupakan suatu teknik sederhana yang dapat meningkatkan


elastisitas, aliran darah dan relaksasi otot perineum sehingga dapat mencegah
terjadinya kerusakan dasar panggul selama persalinan. Dengan adanya pijat perineum
dapat membantu melunakkan jaringan perineum sehingga jaringan tersebut akan
membuka tanpa resistensi selama persalinan.

13

Secara umum teknik ini dapat

dikerjakan menjelang akhir dari kehamilan, bahkan dapat mulai dilakukan pada umur
kehamilan 34 minggu. Pemijatan perineum dilakukan dengan suatu peregangan
lembut pada perineum dengan bahan terlubrikasi atau pelicin dalam rangka persiapan
menghadapi persalinan, teknik pemijatan diperlihatkan pada gambar 5.2. Adapun
efek pencegahan dari pijat perineum sampai saat ini masih diperdebatkan, dimana
beberapa pendapat menyatakan bahwa tidak ada keuntungan dilakukannya pijat
17

perineum apabila hanya dilakukan selama persalinan.

Gambar 5.2 Teknik pijat perineum


Penelitian terhadap 52 primigravida yang bertujuan untuk menilai efektifitas
pijat perineum terhadap ruptur perineum memperoleh hasil odds rasio sebesar 6,72.
Hal tersebut berarti pada ibu hamil primigravida yang tidak dilakukan pemijatan
perineum mempunyai risiko sebesar 6,72 kali lebih tinggi terjadinya ruptur perineum

dibandingkan dengan ibu hamil primipara yang dilakukan pemijatan perineum.

13

Penelitian yang dilakukan untuk menilai dampak pencegahan dari pijat perineum
terhadap risiko laserasi perineum yang dilakukan selama trimester ke tiga,
memperoleh hasil bahwa dengan dilakukannya pijat perineum selama trimester ke
tiga dapat menurunkan risiko laserasi perineum selama persalinan. Penelitian lainnya
terhadap lebih dari 1500 primigravida yang dilakukan pemijatan perineum secara
rutin selama tiga minggu terbukti dapat meningkatkan kemungkinan perineum tetap
utuh selama persalinan. Penelitian yang bertujuan untuk menilai peranan pijat
perineum terhadap kejadian nyeri pada perineum setelah persalinan, memperoleh
hasil bahwa pada wanita dengan kelahiran spontan pervaginam sebelumnya,
pemijatan perineum terbukti mengurangi tingkat nyeri perineum dalam tiga bulan
setelah persalinan dari 94 menjadi 86%.

13,17

Berat badan yang optimal selama kehamilan terbukti dapat mengurangi


ketegangan pada dasar panggul selama kehamilan dan persalinan. Penelitian
menunjukkan bahwa meskipun inkontinensia urine transient selama kehamilan dan
setelah persalinan sering ditemukan, namun kejadian inkontinensia urine transien
yang permanen lebih mungkin terjadi pada wanita yang memiliki berat badan
16

berlebih selama kehamilan.

Berat badan yang berlebih, semakin meningkat pada


2

indek massa tubuh yang lebih dari 30 kg/m , telah diidentifikasi sebagai faktor risiko
terjadinya inkontinensia urin tipe stress dan urgensi setelah persalinan. Peningkatan
berat badan yang diharapkan selama kehamilan berkisar antara 12 sampai 15 kg,
dengan rata-rata 12,5 kg. Pada trimester pertama rata-rata peningkatan berat badan
13,17

mencapai 1 sampai 2 kg dan kemudian rata-rata 0,5 kg setiap minggu.

Olahraga

selama kehamilan merupakan salah satu usaha untuk mempertahankan berat badan
optimal selama kehamilan, namun sebaiknya harus disesuaikan oleh karena selama
kehamilan terjadi perubahan postur tubuh, keseimbangan dan koordinasi,

pola

pernafasan, peningkatan mobilitas sendi dan ligamentum termasuk peningkatan risiko


terjadinya kerusakan dasar panggul (Gambar 5.3).

13,20

Gambar 5.3 Gerakan olah raga selama kehamilan

20

Pencegahan terhadap kejadian sembelit juga merupakan salah satu usaha


penting untuk mencegah peregangan dasar panggul berlebih selama kehamilan.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya sembelit, antara
lain: diet tinggi serat disertai dengan hidrasi yang cukup, latihan fisik atau olah raga
17

yang teratur dan bila perlu dengan obat pelunak kotoran.

5.2 Pencegahan Dampak Persalinan terhadap Kerusakan Dasar Panggul


Selama persalinan posisi litotomi adalah posisi melahirkan yang umum
digunakan dengan ekstremitas bawah fleksi dan ditarik setiap kali kontraksi alamiah
atau his muncul saat persalinan. Walaupun beberapa ahli berpendapat bahwa posisi
litotomi tersebut dapat meningkatkan kesulitan dalam proses persalinan, namun
kerugian tertentu khususnya terhadap dasar panggul belum terbukti. Posisi
berjongkok dapat meningkatkan ukuran diameter pintu bawah panggul dan membantu
menaikkan tulang ekor posterior selama persalinan. Posisi tersebut juga telah
dikaitkan dengan menurunnya risiko persalinan dengan bantuan forsep dan
menurunkan kemungkinan laserasi perineum dibandingkan dengan posisi setengah
13

duduk.

13

Gambar 5.4 Berbagai posisi mengedan saat persalinan

Posisi duduk dikaitkan dengan proses persalinan yang lebih cepat, namun
beberapa penelitian memperoleh terjadi pembengkakan pada perineum, laserasi labia
dan peningkatan kehilangan darah akibat robekan jalan lahir. Posisi lateral atau
miring ke salah satu sisi dapat digunakan pada wanita multipara dimana memiliki
jalan lahir yang telah regang. Dengan posisi lateral tersebut dapat meningkatkan
kontrol terhadap kecepatan ekspulsi janin pada saat akhir kala dua, sehingga
membantu menghindari kerusakan perineum yang disebabkan akibat partus
presipitatus.

17

Posisi tegak juga dianjurkan oleh karena dapat mempersingkat waktu

persalinan dan mengurangi kebutuhan akan bantuan forsep dan atau vakum.
Penelitian terhadap posisi persalinan tegak memperoleh hasil bahwa angka robekan
perineum dan nyeri setelah persalinan dan kebutuhan tindakan episiotomi yang lebih
rendah diperoleh pada posisi tegak dibandingkan dengan litotomi. Posisi persalinan
tegak dan lateral diduga memiliki peranan yang sama dibandingkan dengan posisi

terlentang. Namun posisi tegak, duduk dan berjongkok sebaiknya harus dihindari
apabila selama persalinan ditemukan adanya pembengkakan perineum yang
signifikan (Gambar 5.4).

13

Proses mengedan yang lama berhubungan dengan peningkatan kerusakan otot


dan saraf dasar panggul, kelelahan ibu, dan mengedan dalam jangka waktu yang lebih
dari dua jam dikaitkan dengan meningkatnya angka kejadian inkontinensia ani.
Setelah terjadinya pembukaan lengkap dapat dilakukan pimpinan persalinan atau
menunggu sampai terjadinya crowning dimana kepala bayi membuka vulva masih
menjadi perdebatan. Pihak yang mendukung mengedan segera setelah pembukaan
lengkap berpendapat bahwa lamanya persalinan dapat menjadi lebih panjang apabila
tidak ada usaha aktif dari ibu untuk mengedan, menyebabkan bayi lebih stress, dan
17,23

kemungkinan terjadinya kerusakan otot dan saraf yang lebih besar pada ibu.

Namun, bagi pihak yang mendukung penundaan untuk mengedan,


berpendapat bahwa adanya dorongan secara dini yang agresif dapat meningkatkan
kelelahan pada ibu, meningkatkan penekanan jaringan dasar panggul sehingga akan
memperbesar risiko terjadinya kerusakan panggul. pada wanita primigravida,
ditemukan bahwa mengedan secara aktif lebih dari satu jam terbukti dapat
13,16

meningkatan risiko terjadinya kerusakan saraf pudendus.

Penundaan untuk mengedan berarti menahan dorongan untuk mengedan


sehingga memberikan kesempatan janin agar turun secara pasif melewati jalan lahir.
Penelitian yang mengevaluasi strategi penundaan untuk mengedan terhadap 1862
wanita primigravida, yang secara acak dibagi dalam kelompok segera mengedan pada
pembukaan lengkap dan lainnya menunda sampai dua jam kemudian dipersilahkan
13

untuk mengedan.

Diperoleh hasil bahwa pada kelompok yang menunda untuk

mengedan ditemukan angka kebutuhan akan tindakan bedah pervaginam baik vakum
maupun forsep yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang langsung
17

mengedan.

Penelitian lainnya, pada pasien yang menunda untuk mengedan pada

saat pembukaan lengkap ternyata tidak ditemukan adanya peningkatan kejadiankejadian yang tidak diinginkan selama persalinan, seperti rendahnya laserasi

perineum atau laserasi perineum tingkat lanjut yang rendah. Walaupun terdapat kala
dua memanjang bahkan mencapai 4 jam.

13,16,17

Angka kejadian laserasi perineum tingkat lanjut yang lebih kecil dan kejadian
perineum utuh lebih sering ditemukan pada pasien yang mengedan spontan
dibandingkan dengan mengedan yang diarahkan segera setelah pembukaan lengkap.
Sebaliknya, penelitian yang berbeda terhadap 350 wanita selama persalinan
memperoleh bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna kejadian kerusakan perineum
dan lamanya persalinan antara kelompok yang mengedan spontan atau menunda
dengan mengedan yang diarahkan sejak awal.

13,17

5.3 Pencegahan Kerusakan Dasar Panggul Setelah Kehamilan dan Persalinan


Senam yang pertama paling baik dan aman untuk mengembalikan kekuatan
otot dasar panggul setelah kehamilan dan persalinan adalah senam kegel. Senam
kegel bertujuan untuk mengembalikan fungsi otot dasar panggul sesegera mungkin
dan membantu mencegah terjadinya berbagai kerusakan dasar panggul yang dapat
terjadi selama persalinan.

2,17

Senam kegel tersebut harus dimulai sesegera mungkin

setelah persalinan. Ibu yang baru saja menjalani episiotomi setelah terlebih dahulu
diberi anestesi epidural, mungkin akan merasakan nyeri perineum tiba-tiba yang amat
sakit, setelah persalinan yang tidak terasa nyeri. Setelah persalinan ibu dapat
mengalami kesulitan untuk melakukan latihan dasar panggul, oleh karena adanya
mekanisme peregangan yang ditimbulkan pada saat persalinan atau akibat perineum
yang mengalami penjahitan atau memar. Senam kegel pada ibu setelah persalinan
dapat dilakukan dengan teknik sebagai berikut:

11,14,20

a. Kedutan perlahan tipe I, meliputi:


1.

Mengencangkan anus seperti menahan defekasi.

2.

Mengerutkan urethra dan vagina seperti menahan berkemih.

3.

Menahan dengan kuat selama mungkin sampai sepuluh detik dengan tetap
bernapas secara normal.

4.

Selanjutnya rileks dan istirahat selama tiga detik.

5.

Kemudian diulangi sebanyak mungkin maksimum sepuluh kali.

b. Kedutan cepat tipe II, meliputi:


Setelah melakukan gerakan itu, ulangi senam dengan mengencangkan dan
mengendurkan dengan lebih cepat sampai 10 kali tanpa menahan kontraksi.
Prosedur senam kegel tersebut dapat dilakukan secara bersama dengan
aktifitas lainnya, seperti: menyusui, memandikan atau membasuhnya bayi dan saat
duduk di kamar mandi setiap habis berkemih. Apabila nyeri perineum membuat
senam kegel menjadi sulit untuk dilakukan dalam posisi duduk, posisi lain yang dapat
dipakai adalah posisi telungkup, berbaring miring dengan bantal diletakkan di antara
17

kaki, atau berdiri dengan kedua kaku direntangkan.

Namun, semua ibu dianjurkan

untuk melanjutkan senam dasar panggul secara teratur sepanjang hidup, agar
terhindar dari gangguan berkemih di kemudian hari. Kekuatan dari otot-otot dasar
panggul tersebut dapat dinilai setelah 8 hingga 12 minggu setelah persalinan dengan
cara melompat pada kondisi kandung kemih yang penuh kemudian batuk sekuat
tenaga dua hingga tiga kali pada saat melakukan tindakan tersebut.

13,17

Kejadian konstipasi dan peregangan sebaiknya harus dihindari untuk menjaga


integritas dari penjaitan yang telah dilakukan dan meminimalisir tekanan terhadap
otot dasar panggul. Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
sembelit, antara lain: diet tinggi serat disertai dengan hidrasi yang cukup, latihan fisik
atau olah raga yang teratur dan bila perlu dengan obat pelunak kotoran.

17,20

41

BAB VI
RINGKASAN
Berdasarkan telaah kepustakaan di atas maka dapat disampaikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Kehamilan dan persalinan mengakibatkan terjadinya berbagai kerusakan pada
dasar panggul melalui mekanisme regangan secara mekanik, kerusakan saraf
pudendus, kerusakan berbagai jaringan ikat, ligamentum, dan tulang panggul.
2. Persalinan yang melibatkan janin makrosomia dan tindakan pembedahan
pervaginam, terutama forsep dapat meningkatkan risiko terjadnya kerusakan
dasar panggul. Sedangkan hal tersebut dapat diminimalisasi melalui
persalinan seksio sesarea khususnya yang dilakukan pada saat sebelum
dimulainya persalinan.
3. Pencegahan kerusakan dasar panggul selama kehamilan dapat dilakukan
dengan latihan dasar panggul, melakukan pijat perineum, menjaga kesehatan
secara umum, seperti optimalisasi berat badan, olah raga dan pencegahan
sembelit. Pencegahan kerusakan dasar panggul selama persalinan dilakukan
dengan mengatur posisi dan strategi mengedan yang benar saat persalinan.
Pencegahan kerusakan dasar panggul setelah kehamilan dan persalinan
dilakukan dengan latihan senam kegel dan pencegahan terjadinya konstipasi.

42

DAFTAR PUSTAKA
1. Junizaf, Erwinanto, Sasotya, S., Rizkar, M., Budinurdjaja, P., Armawan,E.,
Hasan, Ermawati, Santoso, B.I., Hakim,S., Pranoto, I., Lotisna, D., Megadhana,
W., Tala, R., fauzi, A., Rahajeng, Irianta, T., Djuanna,A.,Chan, N., Suskhan,
2011. Buku Ajar Uroginekologi Indonesia. Jakarta: Himpunan Uroginekologi
Indonesia Bagian Obsetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. hal: 5-22.
2. Petros, P. 2007. The Female Pelvic Floor. Germany: Springer Midizin Verlag
Heidelberg.p.7-51.
3. Borolini, M.A.T., Drutz, H.P., Lovatsis, D., Alarab, M. 2010. Vaginal Delivery
and Pelvic Floor Dysfunction: Current Evidence and Implication for Future
Research. (serial online), [cited 2011 Jan 11]. Available from: URL:
http://www.springerlink.com/content/mm16155587787075/
4. Segedi, L.M., Llic, K.P., Curcic, A., Visnjevac, N., 2011. Quality of Live in
Women with Pelvic Floor Dysfunction. (serial online), [cited 2011 Jul 11].
Available from: URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22191311
5. Vaart, C.H., Leeuw, J.R.J., Roovers, J.P.W.R., Heintz, A.P.M. 2000. The Effect
of Coping Strategies on Health Related Quality of Live in Women With
Symptoms of Pelvic Floor Dysfunction. (serial online), [cited 2011 Mar 17].
Available
from:
URL:
http://igiturarchive.library.uu.nl/dissertations/1954490/c7.pdf
6. Herbert, J. 2009. Pregnancy and Childbirth: the effects on Pelvic Floor Muscles.
(serial online), [cited 2011 Peb 14] Available from: URL:
http://www.nursingtimes.net/nursing-practice-clinical-research/pregnancy-andchildbirth-the-effects-on-pelvic-floor-muscles/1999381.pdf
7. Handa, V.L. 2010. Pregnancy, Delivery, and pelvic Floor Disorders. (serial
online),
[cited
2011
Jan
18].
Available
from:
URL:
http://www.uptodate.com/contents/pelvic-floor-disorders-associated-withpregnancy-and-childbirth/abstract/1-4
8. Eason, E., Labrecque, M., Marcouc, S., Mondor, M., Effects of Carrying a
Pregnancy and of Method of Delivery on Urinary Incontinence: a Prospective
Cohort Study. (serial online), [cited 2011 Jan 11]. Available from: URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC375532/

9. Cunninghan, F.G., Leveno, K.J.,Bloom, S.L., Hauth, J.C., Rouse, D.J., Spong,
rd
C.Y. 2010. Wiliams Obstetrics 23 Edition. United States of America: The
McGraw-Hill Companies.p. 407-442.
10. Silversides, C.K., Colman J.M. 2000. Physiological Changes in Pregnancy. (serial
online),
[cited
2011
Jan
9].
Available
from:
URL:
http://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/Sample
_chapter/9781405134880/9781405134880.pdf
11. McCrory, J.L., Chambersa, A.J., daftary, A., Redfern, M.S. 2011.
Neuromechanical Adaptations to Pregnancy. (serial online), [cited 2011 Jan 17].
Available
from:
URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Neuromechanical_adaptations_to_pregnancy
12. Sultan, A.H., Thakar, R., Fenner, D.E. 2007. Perineal and Anal Sphincter Trauma
Diagnosis and Clinical Management. London: Springer Verlag London. p.123132.
13. Culligan P.J., Goldberg, R.P. 2007. Urogynecology in Primary Care. London:
Springer Verlag London. p. 21-33.
14. Aronson, M.P. 2009. Vaginal Birth and Pelvic Floor Dysfunction. (serial online),
[cited 2011 Jan 16]. Available from: URL: http://neogs.org/Syllabus/Fall
%20Program%202009/Aaronson%2009.11%20S%2
0Vaginal%20Birth%20and%20Pelvic%20Floor%20Dysfunction,%20NEOGS.pdf
15. Davila, G.W., Ghoniem, G.M., Wexner, S.D. 2006. Pelvic Floor Dysfunction A
Multidisciplinary Approach. London: Springer Verlag London. p.6-17.
16. Theobald, P.V., Zimmerman, C.W., Davila, G.W. 2011. New Techniques in
Genital Prolapse Surgery. London: Springer Verlag London. p.3-10.
17. Vasavada, S.P., Appell, R.A., Sand, P.K., Raz, S. 2005 Female Urology,
Urogynecology and Voiding Dysfunction. New York: Marcel Dekker. p. 95-118.
18. Koelbl, H., Nitti, V. 2007. Pathophysiology of Urinanry Incontinence, Faecal
Incontinence and Pelvic Organ Prolapse. (serial online), [cited 2011 Jan 12].
Available
from:
URL:
http://www.icsoffice.org/Publications/ICI_4/files- book/Comite-4.pdf.
19. Miller, J.M, Brandon, C., Jacobson, J.A., Low, L.K., eilinski, R., DeLancey,
J.O.L. 2009. MRI Findings in Patients Considered High Risk for Pelvic
Floor.p.264-268.

20. Baessler, K., Schuessler, B. 2003. Chilbirth Induced Trauma to The Urethral
Continence Mechanism: Review and Recommendations. (serial online), [cited
2011
Jan
11].
Available
from:
URL:
http://www.springerlink.com/content/mm16155587787075/pdf
21. Bertozzi, S., Londero A.P., Frucalzo,A., Driul, L., Delneri, C., Calcagno, P.,
Marchesoni, D. 2011. Impact of Episiotomy on Pelvic Floor Disorders and Their
Influence on Womens Wellness after The Sixth Month Postpartum: a
Retrospective Study. (serial online), [cited 2011 Jan 15]. Available from: URL:
http://www.biomedcentral.com/1472-6874/11/12
22. Itrich, J. 2006. Pregnancy and Mode of Delivery May Contribute to Pelvic Floor
Disorders. (serial online), [cited 2011 Jan 15]. Available from: URL:
http://ucsdnews.ucsd.edu/newsrel/health/pelvic06.asp
23. Mostwin J. 2006. Pathophysiology of Urinanry Incontinence, Faecal Incontinence
and Pelvic Organ Prolapse. (serial online), [cited 2011 Jan 11]. Available from:
URL: http://www.icsoffice.org/Publications/ICI_3/v1.pdf/chap8.pdf
24. Lukacs, E., Lawrence, J.M., Contretas, R., Nager C.W., Luber, K.M. 2005. Parity,
Mode of Delivery, and Pelvic Floor Disorders. (serial online), [cited 2011 Jan 18].
Available
from:
URL:
http://birthtraumacanada.org/resources/Delivery+and+the+pelvic+floor+PDF.pdf
25. Parente, M.P.L., Jorge, R.M.N., Mascarenhas, T., Fernandes, A.A>, Martins,
J.A.C. 2007. Deformation of The Pelvic Floor Muscles during a Vaginal
Delivery. (serial online), [cited 2011 Jan 11]. Available from: URL:
http://www.springerlink.com/content/g687103h70165n22/
26. Chin, H.Y., Chen, M.C., Liu, Y.H., Wang, K.H., Post Partum Urinary
Incontinence: a Comparison of Vaginal Delivery, Elective, and Emergent
Cesarean Section. (serial online), [cited 2011 Jan 16]. Available from: URL:
http://www.laboratoriosilesia.com/upfiles/sibi/GI030742.pdf
27. Lubis, D.L. 2009. Kekuatan Otot Dasar Panggul pada Wanita Pasca Persalinan
Normal dan Pasca Seksio Sesarea dengan Perineometer (tesis). Medan:
Universitas Sumatra Utara.

41

You might also like