You are on page 1of 41

I.

Aliran Progresivisme
A. Pendahuluan
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme
dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua
tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi
keagungannya.Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini
beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan
eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas
eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Progressivisme
dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu
mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Dalam pendapat lain, pragmatisme berpendapat bahwa suatu keterangan itu benar,
kalau kebenaran itu sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan
benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Aliran progresivisme memiliki
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi: Ilmu Hayat, bahwa manusia
untuk mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi yaitu bahwa manusia
mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru.
Psikologi yaitu manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan
pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya.

B. Tokoh-tokoh Progresivisme
Filsafat pendidikan Progresivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti
John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20.
Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi
penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar
"dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.
1. William James (11 Januari 1842 26 Agustus 1910)
Gambar 1: William JamesSeorang psychologist dan seorang filosuf Amerika yang
sangat terkenal. Paham dan ajarannya demikian pula kepribadiannya sangat
berpengaruh diberbagai negara Eropa dan Amerika. Meskipun demikian dia sangat
terkenal dikalangan umum Amerika sebagai penulis yang sangat brilian, dosen serta
penceramah dibidang filsafat, juga terkenal sebagai pendiri Pragmatisme. James
berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik,
harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar
fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari
ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari
prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku. Buku
karangannya yang berjudul Principles of Psychology yang terbit tahun 1890 yang

membahas dan mengembangkan ide-ide tersebut, dengan cepat menjadi buku klasik
dalam bidang itu, hal inilah yang mengantar William James terkenal sebagai ahli
filsafat Pragmatisme dan Empirisme radikal.
2. John Dewey (1859 - 1952)
Gambar 2: John DeweyJohn Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan
Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih
menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka
muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme
mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang
diungkapkan Dewey dalam bukunya "My Pedagogical Creed", bahwa pendidikan
adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi
ide Dewey, anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik, baru peminatan.
Salah seorang bapak pendiri filsafat pragmatisme. Dewey mengembangkan
pragmatisme dalam bentuknya yang orisinil, tapi meskipun demikian, namanya sering
pula dihubungkan terutama sekali dengan versi pemikiran yang disebut
instrumentalisme. Adapun ide filsafatnya yang utama, berkisar dalam hubungan
dengan problema pendidikan yang konkrit, baik teori maupun praktek. Dan reputasi
(nama baik) internasionalnya terletak dalam sumbangan pikirannya terhadap filsafat
pendidikan Prugressivisme Amerika. Dewey tidak hanya berpengaruh dalam kalangan
ahli filsafat profesional, akan tetapi juga karena perkembangan idenya yang
fundamental dalam bidang ekonomi, hukum, antropologi, teori politik dan ilmu jiwa.
Dia adalah juru bicara yang sangat terkenal di Amerika Serikat dari cara-cara
kehidupan demokratis.
Gambar 3: Charles S. PierceJohn Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan
kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20
Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan
spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik,
sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun
1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di
bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S.
Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan
studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan
disertasi tentang filsafat Kant.
Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala
jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada
tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan
metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey
banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi
Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan
sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.
Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembagalembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University
of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor
of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni
1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku
dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art
and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922),
Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education
(1916).

Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik
yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan
pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di
kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun
demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi,
politik serta ilmu jiwa.
3. Hans Vaihinger (1852 - 1933)
Gambar 4: Hans VaihingerMenurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis.
Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi
berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadiankejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata; jika
pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang
tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
4. Georges Santayana
Georges digolongkan pada penganut pragmatisme ini. Tapi amat sukar untuk
memberikan sifat bagi hasil pemikiran mereka, karena amat banyak pengaruh yang
bertentangan dengan apa yang dialaminya.
Gambar 5: Georges Santayana
C. Tempat Asal Aliran Progresivisme Dikembangkan
Progressivisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar abad
ke-20. John S. Brubaeher, mengatakan bahwa filsafat progressivisme bermuara pada
aliran filsafat pragmatisme yang di perkenalkan oleh William James (1842-1910) dan
John Dewey (1885 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis.
Didalam banyak hal progressivisme identik dengan pragmatisme. Oleh karena itu
apabila orang menyebut pragmatisme, maka berarti sama dengan.
Filsafat progressivisme sama dengan pragmatisme. Pertama, filsafat progressivisme
atau pragmatisme ini merupakan perwujudan dan ide asal wataknya. Artinya filsafat
progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme di mana telah
memberikan konsep dasar dengan azas yang utama yaitu manusia dalam hidupnya
untuk terus survive (mempertahankan hidupnya) terhadap semua tantangan, dan
pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya.
Oleh karena itu filsafat progresivisme tidak mengakui kemutlakan kehidupan, menolak
absolutisme dan otoriterisme dalam segala bentuknya. Nilai-nilai yang dianut bersifat
dinamis dan selalu mengalami perubahan, sebagaimana dikembangkan oleh lmanuel
Kant, salah seorang penyumbang pemikir pragmatisme-progresivisme yang
meletakkan dasar dengan penghormatan yang bebas atas martabat manusia dan
martabat pribadi. Dengan demikian filsafat progresivisme menjunjung tinggi hak asasi
individu dan menjunjung tinggi akan nilai demokratis.
Sehingga progresivisme dianggap sebagai The Liberal Road of Cultlire (kebebasan
mutlak menuju kearah kebudayaan) maksudnya nilai-nilai yang dianut bersifat
fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka (open minded). Dan menuntut
pribadi-pribadi penganutnya untuk selalu bersikap penjelajah, peneliti, guna
mengembangkan pengalamannya. Mereka harus memiliki sikap terbuka dan
berkemauan baik sambil mendengarkan kritik dan ide-ide lawan sambil memberi
kesempatan kepada mereka untuk membuktikan argumen tcrsebut.
Tampak filsafat progresivisme menuntut kepada penganutnya untuk selalu progres
(maju) bertindak secara konstruktif, inovatif dan reformatif), aktif serta dinamis.
Sebab sudah menjadi naluri manusia selalu menginginkan perubahan-perubahan.
Manusia tidak mau hanya menerima satu macam keadaan saja, akan tetapi
berkemauan hidupnya tidak sama dengan masa sebelumnya. Untuk mendapatkan

perubahan itu manusia harus memiliki pandangan hidup di mana pandangan hidup
yang bertumpu pada sifat-sifat: fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak
terikat oleh doktrin tertentu), curious (ingin mengetahui dan menyelidiki), toleran dan
open minded (punya hati terbuka).
Namun demikian filsafat progresivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan
alamiah manusia, kekuatan yang diwarisi manusia sejak lahir (man's natural powers).
Maksudnya adalah manusia sejak lahir telah membawa bakat dan kemampuan
(predisposisi) atau potensi (kemampuan) dasar terutama daya akalnya sehingga dengan
daya akalnya manusia akan dapat mengatasi segala problematika hidupnya, baik itu
tantangan, hambatan, ancaman maupun gangguan yang timbul dari lingkungan
hidupnya. Sehubungan dengan itu Wasty Soemanto menyatakan bahwa daya akal sama
dengan intelegensi, di mana intelegensi menyangkut kemampuan untuk belajar dan
menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasisituasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan-pemecahan masalah. Di sinitersirat
bahwa intelegensi merupakan kemampuan problem solving dalam segala situasi baru
atau yang mengandung masalah.
Dengan demikian potensi-potensi yang dimiliki manusia mempunyai kekuatankekuatan yang harus dikembangkan dan hal ini menjadi perhatian progresivisme.
Nampak bahwa aliran filsafat progresivisme menempatkan manusia sebagai makhluk
biologis yang utuh dan menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pelaku
(subyek) di dalam hidupnya.
D. Pandangan Progesivisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia
pendidikan pada abad ke-20, di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan
kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik
maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam
dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain, Oleh
karena itu filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab,
pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai
pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya
kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
Adapun filsafat progresivisme memandang tentang kebudayaan bahwa budaya sebagai
hasil budi manusia, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku,
melainkan selalu berkembang dan berubah. Maka pendidikan sebagai usaha manusia
yang merupakan refleksi dari kebudayaan itu haruslah sejiwa dengan kebudayaan itu.
Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan
baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhimya akan dapat
memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang dihasilkan sehingga
keluaran yang dihasilkan (anak didik) adalah manusia-manusia yang berkualitas
unggul, berkompetitif, insiatif, adaptif dan kreatif sanggup menjawab tantangan
zamannya.
Untuk itu sangat diperlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau
kurikulum eksperimental, yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman, di mana
apa yang telah diperoleh anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam
kehidupan nyatanya. Dengan metode pendidikan "Belajar Sambil Berbuat" (Learning
by doing) dan pemecahan masalah (Problem solving) dengan langkah-langkah
menghadapi problem, mengajukan hipotesa.
Dengan berpijak dari pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat
progresivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus
maju (progress) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban

baru.
Landasan filosofis pembelajaran IPA terpadu ialah filsafat pendidikan Progresivisme
yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick,
George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20. Progresvisme merupakan pendidikan
yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas,
aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman
teman sebaya.
Pembelajaran IPA terpadu merupakan konsep pembelajaran IPA dengan situasi lebih
alami dan situasi dunia nyata, serta mendorong siswa membuat hubungan antar cabang
IPA dan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari hari. Pembelajaran IPA terpadu merupakan pembelajaran bermakna yang
memungkinkan siswa menerapkan konsep-konsep IPA dan berpikir tingkat tinggi dan
memungkinkan mendorong siswa peduli dan tanggap terhadap lingkungan dan
budayanya.
Dalam pembelajaran IPA hendaknya guru dapat merancang dan mempersiapkan suatu
pembelajaran dengan memotivasi awal sehingga dapat menimbulkan suatu pertanyaan.
Dengan begitu, guru yang bertugas dapat mendorong, membimbing dan menilai
kemampuan berpikir siswa dalam melaksanakan pembelajaran berdasarkan inkuari.
Ciri utama pembelajaran IPA adalah dimulai dengan pertanyaan atau masalah
dilanjutkan dengan arahan guru menggali informasi, mengkonfirmasikan dengan
pengetahuan yang sudah dimiliki dan mengarahkan pada tujuan apa yang belum dan
harus diketahui. Jadi terlihat bahwa siswa akan dapat menemukan sendiri jawaban
dari masalah atau pertanyaan yang timbul diawal pembelajaran. Pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh diharapkan tidak dengan jalan mengingat seperangkat
fakta-fakta, tetapi dengan jalan menemukan dan menggeneralisasi sendiri sebagai hasil
kemandiriannya.
Dengan begitu, untuk pembelajaran IPA hendaknya dilakukan dalam kelompokkelompok kecil yang anggotanya heterogen, untuk dapat bekerja sama, saling
berinteraksi dan mendiskusikan hasil secara bersama sama, saling menghargai
pendapat teman, sampai dapat memutuskan kesimpulan yang disepakati bersama.
1. Asas Belajar
Pandangan mengenai belajar, filsafat progresivisme mempunyai konsep bahwa anak
didik mempuyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Kelebihan anak didik memiliki potensi
akal dan kecerdasan dengan sifat kreatif dan dinamis, anak didik mempunyai bekal
untuk menghadapi dan memecahkan problema-problemanya.
Seiring dengan pandangan di atas, bahwa filsafat progresivisme mengakui anak didik
memiliki potensi akal dan kecerdasan untuk berkembang dan megakui individu atau
anak didik pada dasarnya adalah insan yang aktif, kreatif dan dinamis dalam
menghadapi lingkungannya.
Pendidikan sebagai wahana yang paling efektif dalam melaksanakan proses pendidikan
tentulah berorientasi kepada sifat dan hakikat anak didik sebagai manusia yang
berkembang. Usaha-usaha yang dilakukan adalah bagaimana menciptakan kondisi
edukatif, memberikan motivasi-motivasi dan stimuli-stimuli sehingga akal dan
kecerdasan anak didik dapat difungsikan dan berkembang dengan baik.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi. Artinya
disini sebagai proses pertumbuhan dan proses di mana anak didik dapat mengambil
kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu dinding
pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik
tidak cukup di sekolah saja.

Jadi sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan
lingkungan sekitar. Artinya sekolah adalah bagian dari masyarakat. Untuk itu sekolah
harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan
sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan
usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan
wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan
daerah itu. Untuk itulah filsafat progresivisme menghendaki isi pendidikan dengan
bentuk belajar "sekolah sambil berbuat" atau learning by doing.
Tegasnya, akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu
diketahui bahwa sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge
(pemindahan pengetahuan) akan tetapi sekolah juga berfungsi sebagai transfer of value
atau pemindahan nila nilai, sehingga anak menjadi trampil dan berintelektual baik
secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat
harus dihilangkan.
John Locke (1632-1704) mengemukakan, bahwa sekolah hendaknya ditujukan untuk
kepentingan pendidikan anak. Sekolah dan pengajaran hendaknya disesuaikan dengan
kepentingan anak (Suparlar 1984: 48). Kemudian Jean Jacques Rosseau (1712-1778),
menyataka anak harus dididik sesuai dengan alamnya; jangan dipandang dari sudut
orang dewasa. Anak bukan miniatur orang dewasa, tetapi anak adalah anak dengan
dunianya sendiri, yaitu berlainan sekali dengan alam orang dewasa.
Beranjak dari ketiga pendapat di atas, berarti sekolah sebagai wiyata mandala
(lingkungan pendidikan) sebagai wadah pembinaan dalam pendidikan anak-anak didik
dalam rangka menumbuh kembangkan segenap potensi-potensi baik itu bakat, minat
dan kemampuan-kemampuan lain agar berkembang secara maksimal. Guru sebagai
pendidik bertanggung jawab akan tugas pendidikannya. Seluruh aktivitas-aktivitas
yang dijalankan guru harus diperuntukkan untuk kepentingan anak didik.
Hal yang harus diperhatikan gura adalah "anak didik bukan manusia dewasa yang
kecil" yang dapat diperlakukan sebagaimana layaknya orang dewasa. Guru harus
mengetahui tahap-tahap perkembangan anak didik lewat ilmu psikologi pendidikan.
Sehingga guru akan dapat mengetahui kapan dan saat bagaimana materi itu diajarkan.
Pertolongan pendidikan dilaksanakan selangkah demi selangkah (step by step) sesuai
dengan tingkat dan perkembangan psikologis anak.
Di samping itu, anak didik harus diberi kemerdekaan dan kebebasan untuk bersikap
dan berbuat sesuai dengan cara dan kemampuannya masing-masing dalam upaya
meningkatkan kecerdasan dan daya kreasi anak. Untuk itu pendidikan hendaklah yang
progresive. Di sini prinsip kebebasan prilaku, di mana anak sebagai subyek pendidikan,
sedangkan guru sebagai pelayan siswa.
Wasty Soemanto dalam Psikologi Pendidikan: Landasan Pemimpin Pendidikan,
mengutip pendapat John Dewey sebagai berikut:
John Dewey ingin mengubah hambatan dalam demokrasi pendidikan dengan jalan:
1. Memberi kesempatan murid untuk belajar perorangan.
2. Memberi kesempatan murid untuk belajar melalui pengalaman.
3. Memberi motivasi, dan bukan perintah. Ini berarti akan memberikan tujuan yang
dapat menjelaskan ke arah kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok anak
didik,
4. Mengikut sertakan murid di dalam setiap aspek kegiatan belajar yang merupakan
kebutuhan pokok anak.
5. Menyadarkan murid bahwa hidup itu dinamis. Oleh karena itu murid harus
dihadapkan dengan dunia yang selalu berubah dengan 'kemerdekaan beraktivitas,
dengan orientasi kehidupan masa kini.

Hal ini menunjukkan bahwa John Dewey ingin mengubah bentuk pengajaran
tradisional. di mana ditandai dengan sifat verbalisme di mana terdapat cara belajar
DDCH (duduk, dengar, catat, hafal), murid bersifat reseptif dan pasif saja. Hanya
menerima pengetahuan sebanyak-banyaknya dari guru, tanpa melibatkan siswa secara
aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Guru mendominasi kegiatan belajar. Murid
tanpa diberikan kebebasan sarna sekali untuk bersikap dan berbuat. Dalam abad ke-20
ini terjadi perubahan besar mengenai konsepsi pendidikan dan pengajaran. Perubahan
tersebut membawa perubahan pula dalam cara mengajar belajar di sekolah. di mana
kini berangsur-angsur beralih menuju kearah penyelenggaraan sekolah progresive,
sekolah kerja, sekolah pembangunan dan CBSA.
Progresivisme menghendaki pendidikan yang progresif. Tujuan pendidikan hendaklah
diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan bukanlah
hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik saja, melainkan yang terpenting
ialah melatih kemampuan berpikir secara ilmiah. Semua itu dilakukan oleh pendidikan
agar orang dapat maju atau mengalami progress. Dengan demikian orang akan dapat
bertindak dengan intelegen sesuai dengan tuntutan dari lingkungan.
Dari uraian di atas, dapatlah diambil suatu konklusi asas progresivisme dalam belajar
bertitik tolak dari asumsi bahwa anak didik bukan manusia kecil, tetapi manusia
seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, setiap anak didik berbeda
kemampuannya, individu atau anak didik adalah insan yang aktif kreatif dan dinamis
dan anak didik punya motivasi untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Pandangan Kurikulum Progressivisme
Selain kemajuan atau progres, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian
yang cukup dari progresivisme. Untuk itu filsafat progresivisme menunjukkan dengan
konsep dasarnya sejenis kurikulum yang program pengajarannya dapat mempengaruhi
anak belajar secara edukatif baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan
sekolal Tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang baik pula.
Sekolah yang baik itu adalah sekolah yang dapat memberi jaminan para siswanya
selama belajar, maksudnya yaitu sekolah harus mampu membantu dan menolong
siswanya untuk tumbuh dan berkembang serta memberi keleluasaan tempat untuk
para siswanya dalam mengembangkan bakat dan minatnya melalui bimbingan guru
dan tanggung jawab kepala sekolah. Kurikulum dikatakan baik apabila bersifat
fleksibel dan eksperimental (pengalaman) dan memiliki keuntungan-keuntungan untuk
diperiksa setiap saat.
Sikap progressvisme, memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan
sifat-sifat yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai
pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan
yang teratur.
Pendidikan dilaksanakan di sekolah dengan anggapan bahwa sekolah dipercaya oleh
masyarakat untuk membantu perkembangan pribadi anak. Faktor anak merupakan
faktor yang cukup urgen (penting), karena sekolah didirikan untuk anak. Karena itu
hak pribadi anak perlu diutamakan, bukan diciptakan sekehendak yang mendidiknya.
Dengan kata lain anak hendaknya dijadikan sebagai subyek pendidikan bukan sebagai
obyek pendidikan.
Untuk memenuhi keutuhan tersebut, maka filsafat progresivisme menghendaki jenis
kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah
dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sekolah didirikan karena tidak mempunyai
orang tua atau masyarakat untuk mendidik anak. Karena itu kurikulum harus dapat
mewadahi aspirasi anak, orang tua serta masyarakat. Maka kurikulum yang edukatif
dan eksperimental dapat memenuhi tuntutan itu. Sifat kurikulumnya adalah

kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat
eksperimental atau tipe Core Curriculum.
Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan
atas manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek.
Untuk itu ia memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan demi
kelestarian hidupnya. Hidupnya bukan hanya untuk kelestarian pertumbuhan saja,
akan tetapi juga untuk perkembangan pribadinya. Oleh karena itu manusia harus
belajar dari pengalaman.
Pengalaman-pengalaman itu diperoleh sebagai akibat dari belajar. Anak didik yang
belajar di sekolah akan mendapatkan pengalaman-pengalaman dari lingkungan, di
sekolah akan mendapatkan pengalaman-pengalaman itu yang nantinya dapat
diterapkan sesuai dengan kebutuhan umum (masyarakat sekitar).
Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah,
melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian core curriculum
mengandung ciri-ciri integrated curriculum, metode yang diutamakan yaitu problem
solving.
Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat
berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif,
maupun psikomotor. Dengan berlandaskan sekolah sambil berbuat inilah praktek kerja
di laboratorium, di bengkel, di kebun (Iapangan) merupakan kegiatan belajar yang
dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing. Dalam hal ini, filsafat
progresivisme ingin membentuk keluaran (out-put) yang dihasilkan dari pendidikan di
sekolah yang memiliki keahlian dan kecakapan yang langsung dapat diterapkan di
masyarakat luas.
Metode problem solving dan metode proyek telah dirintis oleh John Dewey (1859-1952)
dan dikembangkan oleh W.H Kilpatrick. John Dewey telah mengemukakan dan
menerapkan metode problem solving kedalam proses pendidikan, melakukan
pembaharuan atau inovasi dari bentuk pengajaran tradisional di mana adanya
verbalisme pendidikan. Di sini anak didik dituntut untuk dapat memfungsikan akal
dan kecerdasannya dengan jalan dihadapkan pada materi-materi pelajaran yang
menantang siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa dituntut
dapat berpikir ilmiah seperti menganalisa, melakukan hipotesa dan menyimpulkannya
dan penekanannya terletak kepada kemampuan intelektualnya. Pengajaran dengan
program unit, akan meniadakan batas-batas antara pelajaran yang satu dengan
pelajaran yang lain dan akan lebih memupuk semangat demokrasi pendidikan.
W.H Kilpatrick mengatakan, suatu kurikulum yang dianggap baik didasarkan atas tiga
prinsip:
1. Meningkatkan kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang.
2. Menjadikan kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dalam suatu kehidupan
yang bulat dan menyeluruh.
3. Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas keberhasilan
sekolah sehingga anak didik dapat berkembang dalam kemampuannya yang aktual
untuk aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan, dan dalam hal ini
apa saja yang ingin berbuat serta kecakapan efektif untuk mengamalkan secara
bijaksana melalui pertimbangan yang matang.
Dari penjelasan yang dikemukakan oleh W.H Kilpatrick tersebut ada beberapa hal
yang perlu diungkapkan yaitu: (1) kurikulum harus dapat meningkatkan kualitas
hidup anak didik sesuai dengan jenjang pendidikan, (2) kurikulum yang dapat
membina dan mengembangkan potensi anak didik, (3) kurikulum yang sanggup
mengubah prilaku anak didik menjadi kreatif, adaptif dan kemandirian dan (4)

kurikulum bersifat fleksibel atau luwes berisi tentang berbagai macam bidang studio.
Melalui proses pendidikan dengan menggunaka kurikulum yang bersifat intergrated
kurikulum (masalah-masalah dalam masyarakat disusun terintegrasi) dengan metode
pendidikan belajar sambil berbuat (learning by doing) dan metode problem solving
(pemecahan masalah) diharapkan anak didik menjadi maju (progress) mempunyai
kecakapan praktis dan dapat memecahkan problem sosial sehari-hari dengan baik.
E. Pandangan dan Sikap Saya tentang Aliran Progresivisme
1. Pandangan secara Ontologi
Asal Hereby atau asal keduniawian, adanya kehidupan realita yang amat luas tidak
terbatas, sebab kenyataan alam semesta adalah kenyataan dalam kehidupan manusia.
Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu, pengalaman
manusia tentang penderitaan, kesedihan, kegembiraan, keindahan dan lain-lain adalah
realita manusia hidup sampai mati, Pengalaman adalah suatu sumber evolusi, yang
berarti perkembangan, maju setapak demi setapak mulai dari yang mudah-mudah
menerobos kepada yang sulit-sulit (proses perkembangan yang lama).
Pengalaman adalah perjuangan, sebab hidup adalah tindakan dan perubahanperubahan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi
perjuangan, perubahan dan berani bertindak.
2. Pandangan secara Epistemologi
Pengetahuan adalah informasi, fakta, hukum prinsip, proses, kekuasaan yang
terakumulasi dalam pribadi sebagai hasil proses interaksi pengalaman. Pengetahuan
diperoleh manusia baik seeara langsung melalui pengalaman dan kontak dengan segala
realita dalam lingkun hidupnya, ataupun pengetahuan diperoleh langsung melalui
catatan (buku-buku, kepustakaan). Pengetahuan adalah hasil aktivitas tertentu. Makin
sering kita menghadapi tuntutan lingkungan dan makin banyak pengalaman kita
dalam praktek, maka makin besar persiapan menghadapi tuntutan masa depan.
Pengetahuan harus disesuaikan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan.
Kebenaran dan kemampuan suatu ide memecahkan masalah, kebenaran adalah
(sekuen dan pada sesuatu ide, realita pengetahuan dan daya guna.
3. Pandangan secara Aksiologi
Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian adanya pergaulan.
Masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang
berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, kecerdasan dari individu-individu. Nilai itu
benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan adalah menunjukkan kecocokan
dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan manusia.
4. Pandangan dari Sudut Budaya
Kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dalam berbagai bentuk dan manifestasinya,
dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak kaku, melainkan selalu
berkembang dan berubah. Filsafat progresivisme menganggap bahwa pendidikan telah
mampu merubah dan membina manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan kultural dan tantangan zaman, sekaligus menolong manusia menghadapi
transisi antara zaman tradisional untuk memasuki zaman modern (progresif).
Manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya selalu berupaya untuk mengadakan
perubahan-perubahan. Dengan sifatnya yang kreatif dan dinamis manusia terus
berevolusi meningkatkan kualitas hidup yang semakin terus maju. Kenyataan
menunjukkan bahwa pada zaman purbakala manusia hidup di pohon-pohon atau guagua. Hidupnya hanya bergantung dengan alam. Alamlah yang mengendalikan manusia.
Dengan sifatnya yang tidak iddle curiousity (rasa keingintahuan yang terus
berkembang) makin lama daya rasa, cipta dan karsanya telah dapat mengubah alam
menjadi sesuatu yang berguna. Alamlah yang dikendalikan oleh manusia. Hidup

manusia tidak lagi di pohon-pohon atau gua-gua, akan tetapi dengan potensi akalnya
manusia telah membangun gedung-gedung yang menjulang tinggi, rumah-rumah
mewah.
Filsafat progresivisme yang memiliki konsep manusia memiliki kemampuankemampuan yang dapat memecahkan problematika hidupnya, telah mempengaruhi
pendidikan, di mana dengan pembaharuan-pembaharuan pendidikan telah dapat
mempengaruhi manusia untuk maju (progress). Sehingga semakin tinggi tingkat
berpikirnya manusia maka semakin tinggi pula tingkat budaya dan peradaban
manusia. Akibatnya anak-anak tumbuh menjadi dewasa, masyarakat yang sederhana
dan terbelakang menjadi masyarakat yang komplek dan maju.
II. ALIRAN ESENSIALISME
A. Pendahuluan
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman
Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya
yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh
fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan
dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan
dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua
aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi
satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir
yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah
konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama
muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad
pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai
manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.
Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, titik berat
tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern
sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John Butler
mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki
kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari
pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana terdapat sesuatu yang menghasilkan
penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental.
Dengan demikian disini jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima
gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya
kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan
hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi
gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas
yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk
yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan.
Menurut pandangan ini bahwa idealisme modern merupakan suatu ide-ide atau
gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua ide yang
dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu
yang ada di bumi dan dilangit, serta segala isinya. Dengan menguji dan menyelidiki
semua ide serta gagasannya maka manusia akan mencapai suatu kebenaran yang

berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT.


B. Tokoh-tokoh Esensialisme
1. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 1831)
Gambar 6: Georg Wilhelm Friedrich HegelHegel mengemukakan adanya sintesa antara
ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan
spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah
pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai
oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah
manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi
mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti
spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga
merupakan gerak.
2. George Santayana
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu
sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep
tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya
kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun
juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas
dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).
C. Tempat Asal Aliran Esensialisme Dikembangkan
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman
Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya
yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh
fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan
dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan
dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua
aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi
satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir
yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah
konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama
muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad
pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai
manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.
D. Pandangan Esensialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
1. Pandangan Essensialisme Mengenai Belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu
dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada
taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk
memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Pandangan
Immanuel Kant, bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera
merperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah
mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada
budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah
bukanlah budi kepada benda, lelapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi

membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.


Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa
yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan
menciptakan diri sendiri.
Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney menerangkan tentang
hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang
pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah
tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu adalah sosial. Jadi
belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial
angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan di teruskan kepada
angkatan berikutnya. Dengan demikian pandangan-pandangan realisme
mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas:
1. Determiuisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang
tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk
dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana
hidup yang harmonis.
2. Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai
belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini
berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan
akan pengawas yang diperlukan.
2. Pandangan Essensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal
pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horne dalam bukunya
mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal,
yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam
pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan
ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan
fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Bogoslousky, mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat
terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain,
kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
1. Universum:
Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup
manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya
dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang
diperluas.
2. Sivilisasi:
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi
manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar
kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera .
3. Kebudayaan:
Kebudayaan mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian,
kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
4. Kepribadian:
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak
bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan
agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan ientelektual sebagai keseluruhan, dapat
berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan ideal.
Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya kurikulum disusun secara
fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibilitas tidak tepat

diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk ini perlu
diadakan perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian.
Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan baru haruslah
dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci. Sedangkan Demihkevich
menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi .
Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan
teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai kepada yang paling
kompleks. Susunan ini dapat diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang
sederhana merupakan fundamen at au dasar dari susunannya yang paling kompleks.
Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis.
E. Pandangan dan Sikap Saya tentang Aliran Esensialisme
1. Pandangan secara Ontologi
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini
dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada ada pula.
Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia
haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan
akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang
mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esenisalisme
semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran
dan keagungan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme
menerapkan berbagai pola idealisme, realisme dan sebagainya.
Adapun uraian mengenai realisme dan idealisme ialah:
1. Realisme yang mendukung esensialisme yang disebut realisme obyektif karena
mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tcmpat manusia di
dalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dari
fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam
fisika dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jalan khusus. Dengan demikian
berarti bahwa suatu kejadian yang paling sederhana pun dapat ditafsirkan menurut
hukum alam di antaranya daya tarik bumi. Sedangkan oleh ilmu-ilmu lain
dikembangkanlah teori mekanisme, dan dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab
akibat, tarikan dan tekanan mesin yang sangat besar.
2. ldealisme obyektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan
dengan realisme obyektif. Maksudnya adalah bahwa pandangan-pandangannya
bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan
pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau
spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini adalah
nyata.
Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi
suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang
dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel
mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang
sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya
Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis
mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah
sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
Ciri lain mengenai penafsiran idealisme tentang sistem dunia tersimpul dalam
pengertian-pengertian makrokosmos dan mikrokosmos. Mikrokosmos menunjuk
kepada keseluruhan alam semesta dalam arti susunan dan kesatuan kosmis.
Mikrokosmos menunjuk kepada fakta tunggal pada tingkat manusia. Manusia sebagai

individu, jasmani dan rohani, adalah makhluk yang semua tata serta kesatuannya
merupakan bagian yang tiada terpisahkan dari alam semesta. Pengertian mengenai
makrokosmos dan mikrokosmos merupakan dasar pengertian mengenai hubungan
antara Tuhan dan manusia.
2. Pandangan secara Epistemologi
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti
epistemologi esensialisme. Sebab jika manusia mampu menyadari realita scbagai
mikrokosmos dan makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau
kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestiannya. Berdasarkan kualitas inilah
dia memperoduksi secara tepat pengetahuannya dalam benda-benda, ilmu alam,
biologi, sosial, dan agama.
1. Pandangan Kontraversi Jasmaniah dan Rohaniah
Perbedaan idealisme dan realisme adalah karena yang pertama menganggap bahwa
rohani adalah kunci kesadaran tentang realita. Manusia mengetahui sesuatu hanya di
dalam dan melalui ide, rohaniah. Sebaliknya realist berpendapat bahwa kita hanya
mengctahui sesuatu realila di dalam melalui jasmani. Bagi sebagian penganut realisme,
pikiran itu adalahjasmaniah sifatnya yang tunduk kepada hukum-hukum phisis.
Konsekuensinya kedua unsur rohani dan jasmani adalah realita kepribadian manusia.
Untuk mengerti manusia, baik filosofis maupun ilmiah haruslah melalui hal tersebut
dan pendekatan rangkap yang sesuai dalam pelaksanaan pendidikan.
2. Pendekatan (Approach) ldealisme pada Pengetahuan
Kita hanya mengerti rohani kita sendiri, tetapi pengertian ini memberi kesadaran
untuk mengerti realita yang lain. Sebab kesadaran kita, rasio manusia adalah bagian
dari pada rasio Tuhan yang Maha Sempurna.
Menurut T.H Green, approach personalisme itu hanya melalui introspeksi. Padahal
manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu hanya dengan kesadaran jiwa tanpa
adanya pengamatan. Karena itu setiap pengalaman mental pasti melalui refleksi antara
macam-macam pengamalan.
3. Menurut Teori Koneksionisme
Teori ini menyatakan semua makhluk, termasuk manusia terbentuk (tingkah lakunya)
oleh pola-pola connections between (hubungan-hubungan antara) stimulus dan respon.
Dan manusia dalam hidupnya sdalu membentuk tatajawaban dengan jalan
memperkuat atau memperlemah hubungan antara stimulus dan respon. Dengan
demikian terjadi gabungan-gabungan hubungan stimulus dan respon, yang sdalu
menunjukkan kualitas yang tinggi dan rendah atau kuat lemah. Di samping
koneksionisme dapat meletakkan pandangan yang lebih meningkat dari assosianisme
dan behi viorisme juga menunjukkan bahwa dalam hal belajar perasaa yang dimiliki
oleh manusia mempunyai peranan terhadap berhas tidaknya belajar yang dilakukan.
4. Tipe Epistemologi Realisme
Terdapat beberapa tipe epistemologi realisme. Di Amerika ada dua tipe yang utama:
a. Neorealisme
Secara psikologi neorealisme lebih erat dengan behaviorisme Baginya pengetahuan
diterima, ditanggap langsung oleh pikirar dunia realita. ltulah sebabnya neorialisme
menafsirkan badan se bagai respon khusus yang berasal dari luar dengan sedikit atat
tanpa adanya proses intelek.
b. Cretical Realisme
Aliran ini menyatakan bahwa media antara inetelek dengan realita adalah seberkas
penginderi'.an dan pengamatan.
3. Pandangan secara Aksiologi

Pandangan ontologi dan epistemologi sangat mempengaruhi pandangan aksiologi. Bagi


aliran ini, nilai-nilai berasal, tergantung pada pandangun-pandangan idealisme dan
realisme sebab essensialisme terbina aleh kedua syarat tersebut.
a. Teori Nilai Menurut Idealisme
Penganut idealisme berpegang bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos,
karena itu seseorang dikatakan baik jika banyak interaktif berada di dalam dan
melaksanakan hukum-hukum itu. Menurut idealisme bahwa sikap, tingkah laku dan
ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang
yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang
membutuhkan suasana tenang, haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk ini,
ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan
terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan baik pakaian
dan suasana kesungguhan tersebut.
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu
sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep
tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya
kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter at au nilai-nilai, namun
juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas
dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).
b.Teori Nilai Menurut Realisme
Prinsip sederhana realisme tentang etika ialah melalui asas ontologi bahwa sumber
semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Dapat
dikatakan bahwa mengenai masalah baik-buruk khususnya dan keadaan manusia pada
umumnya, realisme bersandarkan atas keilumuan dan lingkungan. Perbuatan
seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai akibat adanya saling hubungan
antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh dari Iingkungan.
III. ALIRAN PRAGMATISME
A. Pendahuluan
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu
ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya
ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.
Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada
umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problemproblem yang terjadi pada awal abad ini.
B. Tokoh-tokoh Pragmatisme
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan,
perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh
William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya
suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak.
Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914)
sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun
1978.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir
bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan,
tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa
dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952).
Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan

William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi,


filsafat politik, dan pendidikan.
C. Tempat Asal Aliran Pragmatisme Dikembangkan
Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide
sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas
baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James
mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan nama baru bagi
sejumlah cara berpikir lama. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai
kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (15611626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke
(1632-1704). Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam
berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan
Neopositivisme.
Pragmatisme, telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam
ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan
dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang
berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada duniayakni
standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia.
Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat
mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya
Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya, sebagai landasan strategis untuk
melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus untuk
mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai alternatif dari Kapitalisme yang
telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat
manusia.
1. Hakikat Pragmatisme
Deskripsi mengenai Pragmatisme akan diawali dengan penjelasan ringkas tentang
sejarah mata rantai pemikiran Barat, agar diperoleh gambaran komprehensif tentang
posisi Pragmatisme dalam konstelasi pemikiran Barat.
Asal Usul Pragmatisme
Gambar 7: Thomas AquinasSetelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang
gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan
Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha yang berkisar antara tahun 1400-1600
M untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi. Berbeda
dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan perhatian pada masalah
metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika,
Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran Empirisme. William Ockham (12851249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan inderawi,
telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang
menonjol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide
Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya Renaissance.
Semangat Renaissance ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari
kekangan dan belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber
pengetahuan, tidak terletak pada filsafat Yunani itu sendiri. Dalam hal ini Barat hanya
mengambil karakter utama pada filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari
agama, atau dengan kata lain, adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini
terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti Nicolaus Copernicus
(1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung oleh Johanes Kepler
(1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643). Juga Francis Bacon (1561-1626) dengan

teknik berpikir induktifnya, yang berbeda dengan teknik deduktif Aristoteles (dengan
logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad Pertengahan. Jadi, Barat tidak
mengambil filsafat Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang menjadi
dasar filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik (400-1000 M)
dengan filsafat Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Augustinus (354-430),
maupun periode Scholastik (1000 - 1400 M) dengan filsafat Thomisme yang bersandar
pada Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak membahas
fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat Renaissance
itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri, tetapi pada karakternya yang
terlepas dari agama.
Renaissance juga diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan terhadap
dominasi gereja Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517). Gerakan
ini bertolak dari korupsi umum dalam gereja seperti penjualan Surat Tanda
Pengampunan Dosa (Afllatbrieven), penindasannya yang telanjang, dan dominasinya
terhadap negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara langsung ikut
memperjuangkan apa yang disebut pembebasan akal, tetapi gerakan ini secara tak
sadar telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan beragama
(Protestan) dan telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan Gereja
menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik terhadap Injil di Jerman
sekitar abad XVII juga dianggap implikasi tak langsung dari adanya Reformasi.
Meskipun demikian, Gereja Katholik dan tokoh Reformasi memiliki sikap sama
terhadap upaya Renaissance, yakni menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil.
Calvin, seorang tokoh Reformasi di Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hiduphidup terhadap Servetus dari Spanyol (1553), yang menentang Trinitas. Gereja
Katholik dan Reformasi juga sama-sama menolak ide Copernicus (1543) tentang
matahari sebagai pusat tatasurya, seraya mempertahankan doktrin Ptolemeus yang
menganggap bumi sebagai pusat tatasurya.
Pada abad XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran
yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes
(1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran
Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (16321704). Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya
adalah rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan
adalah empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya.
Kemudian datanglah Masa Pencerahan (Aufklarung) pada abad XVIII yang dirintis
oleh Isaac Newton (1642-1727), sebagai perkembangan lebih jauh dari Rasionalisme
dan Empirisme dari abad sebelumnya. Pada abad sebelumnya, fokus pembahasannya
adalah pemberian interpretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada
Masa Aufklarung, pembahasannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan
manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum,
pendidikan dan sebagainya.
Bertolak dari prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753)
mengembangkan immaterialisme, sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada
pandangan John Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi
sebenarnya (hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap
bahwa substansi-substansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang
diamati. Pandangan Locke dan Berkeley dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume
(1711-1776), dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan)
ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan
keyakinan bahwa pengetahuan tentang manusia akan dapat menjelaskan hakikat

pengetahuan yang dimiliki manusia.


Selain George Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant (1724-1804) juga dianggap
salah seorang tokoh Masa Pencerahan. Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni aliran
yang mencoba mensintesiskan secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang
bermuara pada Empirisme Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai
menelaah batas-batas kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir
Rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant
juga mempercayai Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan
mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar
ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh
dari pengalaman tersebut.
Pada abad XIX, filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J.
Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831). Namun yang
mereka kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan
ide-ide, yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya, aliran
mereka disebut dengan Idealisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh yang
menonjol, karena banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan muridmuridnya, baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan, yaitu
pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey (18591952), salah seorang peletak dasar Pragmatisme yang menjadi budaya Amerika (baca :
Kapitalisme) saat ini, dan pengikut Hegel aliran kiri yang memusuhi agama, seperti
Feuerbach, Karl Marx, dan Engels dengan ide Materialisme yang merupakan dasar
ideologi Komunisme di Rusia.
Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi
beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.
Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu
Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah
pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah
data-data yang nyata/empirik, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik
dan sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang
diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai
politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan
perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh
dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.
Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu
adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (18181883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika
Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian dengan
mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide
menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi
tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika
Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan
perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis Materialisme, yang
menjadi dasar ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme).
Pragmatisme dianggap juga salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme,
kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman
Gambar 8: William James(Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang
dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh
Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James. Pembahasan tentang
Pragmatisme akan diuraikan lebih rinci pada keterangan selanjutnya.

2. Arti Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action)
atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu
berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti
ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah faedah atau
manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila
membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it
works).
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai
teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam
pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).
Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak
pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran
teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah,
melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu
berubah, sejalan dengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar
dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang
mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung
tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di
satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain,
siap diuji dengan perdebatan atau diskusi.Kedua, kebenaran merupakan suatu
pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran
itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan
fakta.
James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara
berpikir induktif. Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan
menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian.
Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari
prinsip. Sedang pemikir Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular)
kepada kesimpulan umum yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi
dari induksi terhadap fakta-fakta partikular.
Tetapi Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme
tradisional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme
radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman,
harus merupakan hubungan yang dialami.
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebut Practicalisme ,
sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce.
Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu
untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan
pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan
logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan
psikologi. Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagi
kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang
bermukim pada benda itu sendiri. Yang kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran
dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau
psikologis, yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan
kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang

didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi


praktisnya melalui pengalaman.
John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragm
sme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah
individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan
intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey
menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak
menggunakan pendekatan biologis. Dewey menerapkan Pragmatismenya dalam dunia
pendidikan Amerika dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang mempunyai
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Merasakan adanya masalah
2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
4. Memilih dan menganalisis hipotesis.
5. Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan
eksperimen/pengujian.
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme
menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan
pengalaman.
Demikianlah Pragmatisme berkhotbah dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu
hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan
dapat memenuhi kebutuhan manusia.
D. Pandangan Pragmatisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
1. Pengalaman dan Pertumbuhan
Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (18091882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai
dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis,
melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan.
Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas
manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui
pendidikan.
Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah,
tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan,
hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum
moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.

Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme.


Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses
yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan
fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa
pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju
pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan
pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu
ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan
dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di
lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur
komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan
model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar
untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.
Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya
dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia
berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan.
Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak
berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah
pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut
Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.
2. Tujuan Pendidikan
Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa
sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari
buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas
yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada
melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan
praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing.
Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk
mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap
mengadakan eksplorasi.
Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan
miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error.
Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju
kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan

kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan
mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan
bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum
kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan
kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang
dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi
yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan
asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam
pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan
kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima
pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana
agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.
Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam
masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan
mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki
semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam
hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahanperubahan sosial.
Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni,
kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta
pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat
menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang
dibutuhkan dalam kegiatan bersama.
Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat
sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan
(serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent.
Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan
pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan
setiap individu tidak dapat berkembang.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan
rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral
dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam

realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai
solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan
problema dan kesulitan tersebut.
Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau
rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari
pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan
antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses
sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk
pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan
kelanjutan pikiran dan benda.
E. Pandangan dan Sikap Saya tentang Aliran Pragmatisme
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :
1. Pandangan dari Segi Landasan Ideologi
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari
kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan
Pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan
demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai
sumber ilmu pengetahuan.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi Kapitalisme.
Aqidah ini, sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan
sebagai pemikiran yang logis. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain
hanyalah penyelesaian yang berkecenderungan ke arah jalan tengah atau bersikap
moderat, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama
adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad
Pertengahan (abad V - XV M), yakni keharusan menundukkan segala sesuatu urusan
dalam kehidupan menurut ketentuan agama. Sedangkan yang kedua, adalah pemikiran
sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Al Khaliq.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara
dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud
di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama).
Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang
kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah
mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan
kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu

peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan,


dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya
terhadap peraturan Al Khaliq ini.
Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat
dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan,
tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan Al Khaliq tidaklah lebih
penting daripada ketiadaan-Nya, maka ini adalah suatu ide yang tidak memuaskan
akal dan tidak menenteramkan jiwa.
Jadi, berdasarkan fakta bahwa aqidah Kapitalisme adalah jalan tengah di antara
pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah,
maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan membatalkan aqidah ini. Tak
ada bedanya apakah aqidah ini dianut oleh orang yang mempercayai keberadaan Al
Khaliq atau yang mengingkari keberadaan-Nya.
Tetapi dalam hal ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal) yang qathi
(yang bersifat pasti), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada dan Dialah yang
menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil tersebut juga membuktikan
bahwa Al Khaliq ini telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia dalam
kehidupannya, dan bahwasanya Dia akan menghisab manusia setelah mati mengenai
keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq tadi.
Menjadi fokus pembahasan di sini ialah aqidah Kapitalisme itu sendiri dan penjelasan
mengenai kebatilannya. Dan kebatilan Kapitalisme cukup dibuktikan dengan
menunjukkan bahwa aqidah Kapitalisme tersebut merupakan jalan tengah antara dua
pemikiran yang kontradiktif, dan bahwa aqidah tersebut tidak dibangun atas dasar
pembahasan akal.
Kritik yang merobohkan aqidah Kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup untuk
merobohkan ideologi Kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, seluruh pemikiran
cabang yang dibangun di atas landasan yang batil termasuk dalam hal ini
Pragmatisme pada hakekatnya adalah batil juga.
4. Kritik dari Segi Metode Berpikir
Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode
Ilmiah (Ath Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala
bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu
sosial. Ini adalah suatu kekeliruan.

Metode Ilmiah adalah suatu metode tertentu untuk melakukan


pembahasan/pengkajian untuk mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat
materi yang dikaji, melalui serangkaian percobaan/eksperimen yang dilakukan
terhadap materi.
Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat
materi/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode
Ilmiah sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu
kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode
Akliyah/Rasional (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiah. Sebab, Metode
Ilmiah itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah.
Metode Akliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman
sesuatu sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui
indera ke dalam otak, yang kemudian diinterpretasikan dengan sejumlah informasi
sebelumnya yang bermukim dalam otak.
Metode Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiah, atau
dengan kata lain Metode Ilmiah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah.
Argumen untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir
halaman 32-33, ada dua point :
a. Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiah, tak dapat tidak pasti
dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh
melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiah. Maka, Metode Akliyah berarti menjadi
dasar bagi adanya Metode Ilmiah.
b. Bahwa Metode Ilmiah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/material
yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran
yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang
Metode Akliyah, dapat mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. Maka
dari itu, Metode Akliyah lebih tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih
luas daripada Metode Ilmiah.
Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiah adalah cabang dari Metode Akliyah.
Jadi yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah,
bukan Metode Ilmiah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.
5. Kritik Terhadap Pragmatisme Itu Sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan
praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari

tiga sisi. Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan
kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis
ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan
realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah
diketahui kesesuaiannya dengan realitas.
Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari
keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan.
Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya
menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia. Kedua, Pragmatisme
menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas
intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan
kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi
instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia
dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide.
Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya
dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan
keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif. Ketiga.
Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan
perubahan subjek penilai ide baik individu, kelompok, dan masyarakat dan
perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki
Pragmatisme baru dapat dibuktikan menurut Pragmatisme itu sendiri setelah
melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini
mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan
inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
6. Kontradiksi Pragmatisme Dengan Islam
Jelas sekali bahwa Pragmatisme sebagai standar ide dan perbuatan sangat
bertentangan dengan Islam. Sebab Islam memandang bahwa standar perbuatan adalah
halal haram, yaitu perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Bukan
kemanfaatan atau kegunaan riil untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan
oleh sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis.
Allah SWT berfirman :
Berilah keputusan di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah (Al
Maaidah : 48)

Syaikh An Nabhani menjelaskan ayat ini dalam Muqaddimah Dustur, bahwa ukuran
perbuatan adalah apa yang diturunkan oleh Allah, bukan konsekuensi-konsekuesi yang
dihasilkan dari aktivitas-aktivitas manusia.
Selain itu, Allah SWT telah memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkanNya, yaitu Syariat Islam. Allah SWT berfirman :
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu
mengikuti wali (pemimpin/sahabat/sekutu) selainnya (Al Araaf :3)
Mafhum Mukhalafah (pengertian kebalikan) dari ayat di atas adalah, janganlah kita
mengikuti apa yang tidak diturunkan Allah, termasuk manfaat-manfaat atau
kegunaan-kegunaan yang muncul sebagai konsekuensi dari aktivitas kita, sebab
semuanya bukan termasuk apa yang diturunkan Allah.
Allah SWT juga telah berfirman :
Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dia (Al Hasyr : 7)
Mafhum Mukhalafah ayat ini adalah, janganlah kita mengambil apa saja (pandangan
hidup) yang tidak berasal dari Rasul, termasuk ide Pragmatisme. Ide ini tidak berasal
dari Muhammad Rasulullah saw, tetapi dari orang-orang kafir yang berasal dari Eropa
dan Amerika.
Jelas, bahwa Pragmatisme bertentangan dengan Islam. Sebab ukuran perbuatan dalam
Islam adalah perintah dan larangan Allah, bukan manfaat riil suatu ide untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
Namun demikian, bukan berarti Islam tidak memperhatikan kemanfaatan. Islam
terbukti telah memperhatikan aspek kemanfaatan, seperti misalnya sabda Rasulullah
saw :
Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga
perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendoakan kedua
orang tuanya. (HSR. Muslim)
Benar, Islam memang memperhatikan kemanfaatan, tetapi kemanfaatan yang telah
dibenarkan oleh syara, bukan kemanfaatan secara mutlak tanpa distandarisasi lebih
dulu oleh syara. Hal ini karena nash-nash yang berhubungan dengan manfaat tidak
dapat dipahami secara terpisah dari nash-nash lain yang menegaskan aspek halal
haram. Maka, kemanfaatan yang diperhatikan oleh Islam adalah kemanfaatan yang
dibenarkan oleh syara, bukan sembarang manfaat.
Jadi, ketika dinyatakan bahwa standar perbuatan adalah syara, dan bukan manfaat,

maka hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan aspek kemanfaatan. Tetapi
maknanya adalah, manfaat itu bukan standar kebenaran untuk ide atau perbuatan
manusia. Sedang kemanfaatan yang dibenarkan Islam, yakni yang telah diukur dan
ditakar dengan standar halal haram, maka itu adalah manfaat yang yang dapat diambil
oleh manusia sesuai kehendaknya.
7. Dekonstruksi Pragmatisme, Suatu Kewajiban
Pragmatisme adalah ide batil dan ide kufur yang sangat mungkar, karena ide tersebut
dibangun di atas landasan ideologi yang kufur, dihasilkan dengan metode berpikir yang
tidak tepat, serta mengandung kerancuan dan kekacauan pada dirinya sendiri.
Oleh karena itu, karena Pragmatisme adalah suatu kemungkaran, maka seorang
muslim wajib menghancurkan dan membuang Pragmatisme dengan sekuat tenaga
serta melawan siapa saja yang hendak menyesatkan umat dengan menjajakan ide hina
dan berbahaya ini di tengah-tengah umat Islam yang sedang berjalan menuju kepada
kebangkitannya.
8. Tinjaun Kritis lainnya
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat
bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis,
epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan
bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu
dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya
dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia
itulah yang membenarkan tindakan tadi.
Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama
sekali tidak menghendaki adanya diskusi, malainkan langsung mencari tindakan yang
tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah
manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam
pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha
memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan
untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang
tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya
berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis.
Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak
yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi

praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu
mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori
tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan
ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis,
pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya
fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita,
filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi
praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi
melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan
atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada,
mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga
keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi
positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini
muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar
pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu.
Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap
perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang
berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian
yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan
terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif,
sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar
pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan
yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis
masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat
dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.
IV. ALIRAN PERENIALISME
A. Pendahuluan
B. Tempat Asal Aliran Perenialisme Dikembangkan

Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang


kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan
keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluur yaitu berupa kembali
kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji
ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat
perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada
masa lampau, karena dengan mengembalikan keapaan masa lampau ini, kebudayaan
yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat
mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang.
Perenialisme rnemandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebuoayaan dan pendidikan zaman
sekarang.
Dari pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme mcmandang
pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan
kebudayaan sekarang (zaman modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini
perlu dikembalikan kemasa lampau.
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di
mana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi
seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme
berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas
yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan.
Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang
cukup berat timbulah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar
manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat
sebagai suatu azas yang komprehensif Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu
pandangan hidup yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.
C. Tokoh-tokoh Perenialisme
Gambar 9: AristotelesFilsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya
Philosophia Perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri,
kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan
reformer utama dalam abad ke-13.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno

dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan
pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang
sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaankepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.
Jadi sikap untuk kembali kemasa Iampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di
mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan
berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Gambar 10: PlatoAsas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat, kebudayaan
yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada dalam
pengayoman supermasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi
Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita
filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam
bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia
perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu
sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan
tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal
dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam
maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal
dengan nama perenialisme.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan
gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang
diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep
filsafat pendidikan perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaranajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai
perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun
semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai
pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih
penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di
tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang
karenanya, manusia dapat mengerti dan memaham'i kebenaran-kebenaran yang
fenomenal maupun yang bersendikan religi (Bamadib, 1990: 64-65).
Jadi aliran perenialisme dipakai untuk program pendidikan yang didasarkan atas

pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh yang


mengembangkan ini timbul dari lingkungan agama Katholik atau diluarnya.
D. Pandangan Perenialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena
dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat
analisa. Jadi dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal
pikiran. Menurut epistemologi Thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan
tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan
potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara
penuh.
Jadi epistemologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian
dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang dibuktikan dengan kebenaran
yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika melalui hukum
berpikir metode dedduksi, yang merupakan metode filsafat yang menghasilkan
kebenaran hakiki, dan tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis mayor dan
metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita khusus.
Menurut perenialisme penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama
adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Prinsipprinsip pertama mampu mempunyai penman sedemikian, karena telah memiliki
evidensi diri sendiri.
Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal
faktor-faktor dengan pertautannya masing-masing memahami problema yang perlu
diselesaikan dan berusaha untuk men gadakan penyelesaian masalahnya. Dengan
demikian ia telah mampu mengembangkan suatu paham.
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan
mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental.
Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau.
Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidangbidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu
pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi
zaman yang sudah lampau.
Dengan mengetahui rulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut,
yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan
yakni:

1. Anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lamp au yang telah
dipikirkan oleh orang-orang besar.
2. Mereka memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karyakarya tokoi1 terse but
untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.
Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya
buahpikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat
mengetahui bagaimana pemikiran para ahli tersebut dalam bidangnya masing-masing
dan dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat
berguna bagi diri mereka sendiri, dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka
pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat perenialisme
tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan.
Masak dalam arti hidup akalnya. ladi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke
arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan
serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan
berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang
lain.
Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke
arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai
tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tug as pendidikanlah yang
memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor
keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang
yang telah mendidik dan mengajarkan.
Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih
lanjut, bahwa kalau pada abad pertengahan filsafat teologis, sekarang seharusnya
bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari
Tuhan. Di samping itu, dikatakan pula bahwa karena kedudukan sendi-sendi tersebut
penting maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilistis.
Dari ungkapan yang diutarakan oleh Robert Hutchkins di atas mengenai hakikat
pendidikan tinggi itu, jelaslah bahwa pendidikan tinggi sekarang ini hendaklah
berdasarkan pada filsafat metafisika yaitu filsafat yang berdasarkan cinta intelektual
dari Tuhan. Kemudian Robert Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena manusia itu
pada hakikatnya sama, maka perlulah dikembangkan pendidikan yang sama bagi
semua orang, ini disebut pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum

yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan sifat tiap
individu, diharapkan tiap individu itl! terbentuk atas dasar landasan kejiwaan yang
sama.
E. Pandangan dan Sikap Saya tentang Aliran Perenialisme
1. Pandangan secara Ontologi
Ontologi perennialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individuIl,
esensi, aksiden dan substansi. Perennialisme membedakan suatu realita dalam aspekaspek perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual disini adalah bend a
sebagaimana nampak dihadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera
seperti batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas
tertentu.
Misalnya bila manusia ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun
aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya
kurang penting dibandingkan dengan esensial, misalnya orang suka bermain sepatu
roda, atau suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap
individu, misalnya partikular dan uni versal, material dan spiritual.
Jadi segala yang ada di alam semesta ini seperti halnya manusia, batu bangunan dasar,
hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya mempakan hal yang logis dalam
karakternya. Setiap sesuatu yang ada, tidak hanya merupakan kambinasi antara zat
atau bend a tapi merupakan unsur patensiaJitas dengan bentuk yang merupakan unsur
aktualitas sebagaimana yang diutarakan aleh Aristateles tetapi ia juga merupakan
sesuatu yang datang bersama-sama dari sesuatu "apa" yang terkandung dalam inti
(essence) dan potensialitas dengan tindakan untuk "berada" yang merupakan unsur
aktualitas sebagaimana yang diungkapkan oleh ST. Thomas Aquinas.
Uraian di atas sejalan dengan apa yang dikatakan I.R Poedjawijatna bahwa esensi dari
pada kenyataan itu adalah menuju ke arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh
dari patensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap
waktu adalah patensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Misalnya
meskipun manusia dalam hidupnya jarang dikuasai oleh sifat eksistensi kemanusiaan,
tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauannya, Schula ini dapat
dikurangi. Hal-hal yang bersifat partikular yang merintangi kehidupan dapat diatasi.
Maka dengan peningkatan suasana hidup spiritual ini manusia dapat makin
mendekatkan diri kepada gerak yang tanpa gerak itu, ialah tujuan dan bentuk terakhir

dari segalanya.
Jadi dengan demikian bahwa segala yang ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk
atau badan dan jiwa yang disebut dengan substansi, bila dihubungkan dengan manusia
maka manusia itu adalah patensialitas yang di dalam hidupnya tidak jarang dikuasai
oleh sifat eksistensi keduniaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan
kemauannya semua ini dapat diatasi. Maka dengan suasana ini manusia dapat
bergerak untuk menuju tujuan (teleologis) dalam hal ini untuk mendekatkan diri pada
supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta manusia itu sendiri dan merupakan
tujuan akhir.
2. Pandangan Epistemologis Perennialisme
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan
kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu
yang menunjukkan kesesuaian an tara pikir dengan benda-benda. Benda-benda disini
maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. lni
berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari
sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala sesuatu
dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa pengetahuan itu inerupakan hal yang sangat
penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science
sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris
kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan
metode deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self
evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang
berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.
3. Pandangan Aksiologi Perennialisme
Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural, yakni
menerima universal yang abadi. Dengan azas seperti itu, tidak hanya ontologi dan
epistemologi yang didasarkan atas prinsip teologi dan supernatural, melainkan juga
aksiologi. Khususnya dalam tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subyek telah
memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu adapula
kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.
Masalah nilai itu merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia
berdasarkan pada azas-azas supernatural yaitu menerima universal yang abadi,
khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah

pada jiwanya. Oleh karena itulah hakekat manusia itu juga menentukan hakikat
perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam
aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itu
ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang manusia, karena manusia itu
secara alamiah condong kepada kebaikan.
Jadi manusia sebagai subyek dalam bertingkah laku, telah memiliki potensi kebaikan
sesuai dengan kodratnya, di samping adapula kecenderungan-kecenderunngan dan
dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang
bersesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia. Kodrat wujud manusia yang
pertama-tama adaJah lercermm dari jlwa dan pikirannya yang disebut dengan
kekuataJl potensial yang membimbing tindakan manusia menuju pada Tuhan at au
menjauhi Tuhan, dengan kata lain melakukan kebaikan atau kejahatan, Kebaikan
tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan
berpikir rasional.
Dalam bidang pendidikan perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya,
seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat
memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan dan pikiran, Pendidikan hendaknya
berorientasi pada p~tensi itu dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada
pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi.
Dengan demikian jelaslah bahwa perenialisme itu rnenghendaki agar pendidikan
disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan dan pikiran
sebagaimana yang dimiliki secara kodrat. Dengan memperhatikan hal ini, maka
pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi.
Ide-ide Plato ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan
kepada dunia kenyataan, Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah "kehahagiaan".
Untuk mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus di
kembangkan secara seimbang. Sejalan dengan uraian di atas, Zuhairini Arikunto juga
berpendapat dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, mengatakan tujuan pendidikan
yang dikehendaki oleh Thomas Aquinas ialah sebagai usaha mewujudkan kapasitas
yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata, Oalam hal ini
peranan guru adalah mengajar dan memberikan bantuan pada anak didik untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Menurut Robert Hutchkins bahwa manusia adalah animal rasionale, maka tujuan
pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik dapat hidup penuh

kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri. Oleh karenanya tujuan pendidikan di
sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di atas, mempertinggi kemampuan anak
untuk memiliki akal sehat.
Dapatlah disimpulkan bahwa tujuan dari pada pendidikan yang hendak dicapai oleh
para ahli tersebut di atas adalah untuk mewujudkan agar anak didik dapat hidup
bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi dengan akalnya dikembangkan maka
dapat mempertinggi kemampuan akal pikirannya. Dari prinsip-prinsip pendidikan
perenialisme tersebut maka perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan
modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan
tinggi.
V. Aliran Rekonstruksionisme
A. Pendahuluan
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggeris rekonstruct yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu
aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada
prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis
kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan
perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang
mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan
kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah
sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai
visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk
mengembalikan kebudayaan yang scrasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme
memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal
dengan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran
rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus
yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat
manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan
antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia
dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga

pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama


dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan
utama terse but memerlukan kerjasama antar ummat manusia.
B. Tokoh-tokoh Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930,
ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh
dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg
C. Tempat Asal Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini
lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan
melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.
D. Pandangan Rekonstruksionisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan
tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya
inetelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui
pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang
dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan
umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan
suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia
yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya
leori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan
potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan
kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan,
nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk
dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam
bakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan bakikat rohani. Kedua macam
hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sarna azali dan abadi, dan
hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes, seorang
tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima atas
prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera
ditangkap oleh panca indera manusia, semen tara itu kenyataan bathin segera diakui
dengan adanya akal dan petasaan hidup. Di balik gerak realita sesungguhnya

terdapatlah kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama atas


kausa prima. Kausa prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu
tanpa gerak. Tuhan adalah aktualitas murni yang sarna sekali sunyi dan substansi.
Alam pikiran yang demikian bertolak hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa
bergantung padii ilmt pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu
berkembang ke arah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafal
lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.
E. Pandangan dan Sikap Saya tentang Aliran Rekonstruksionisme
1. Pandangan secara Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu.
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana
realita itu ada di mana dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita
beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju kearah yang khusus menam pakkan diri
dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh
panca indra manusia seperti bewan dan tumbuhan atau benda lain disekeiling kita, dan
realita yang kita ketahui dan kita badapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain
substansi yang dipunnyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal
pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang
dari potensialitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut
mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya
sendiri dan diakui bahwa tiap realita memiliki perspektif tersendiri.
2. Pandangan Ontologis
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya
dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin
melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah
melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan man usia. Tetapi, secara
umum ruang lingkup (scope) ten tang pengertian "nilai" tidak terbatas.
Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas
supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan
prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang
berasaldari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran
dan keburukan dapat diketahuinya. Kemudian, manusia sebagai subyek telah memiliki
potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan

tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal
mempunyai peran untuk memberi penentuan.
Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari
filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pad a prinsipprinsip dari praktek-praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan
organisasi politik. Karenanya, dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan
tertinggi, yakni bersatu dengan Tuhan, kemudian berpikir rasional. Dalam kaitannya
dengan estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya ialah Tuhan sendiri. Keindahan
yang maujud itu hanyalah keindahan khusus, pancaran un sur keindahan universal
yang abadi, maha indah dan Tuhan.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni
kebajikan intelektual dan kebajikan moral, kebajikan moral merupakan suatu
kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajikan intelektual.
Dari gerakan intelektualitas pada abad pertengahan yang mencapai kristalisasi pada
abad IX-XIV, memberikan argumentasi rasio tentang eksistensi Tuhan. Alselpus,
seorang tokoh utama scholastik, menyatakan bahwa secara kritis realita semesta dapat
dipahami dan tidak ada sesuatu di alam nyata ini diluar kekuasaan Tuhan karena
semua itu sebagai perwujudan dari kesempurnaannya. Dalam perkembangan
selanjutnya, penafsiran yang demikian didukung oleh Thomas Aquinas yang inti
pembicaraannya untuk mengetahui realita yang ada yang hams berdasarkan iman dan
perkembangan rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan iman.
3. Pandangan Epistemologis
Kajian epsitemologis aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme
(progressive) dan perenialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami
realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin
memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita
terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya,
baik akal maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahun, dan akal di
bawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan
dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya.
Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan
ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan buktibukti lain atas eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu

diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai
kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum
tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang
logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal
pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pernikirannya adalah
silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor
dan kesimpulan (condusion), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif
dan induktif.

You might also like