You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Nyeri merupakan respon langsung terhadap kejadian peristiwa
yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan
seperti luka, inflamasi, atau kanker. Nyeri juga dapat dikatakan sebagai
perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak dan berkaitan dengan
(ancaman) kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi
dimana ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Ambang
nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level), dimana nyeri dirasakan untuk
pertama kali.
Sangat sulit untuk mengukur rasa nyeri karena derajat nyeri yang
dialami seseorang tidak hanya bergantung pada stimulus dan persepsinya,
tetapi juga pada interpretasi yang bersangkutan. Penggunaan substansi
analgetik untuk menghilangkan nyeri telah diketahui sekurang-kurangnya
sejak masa Hippocrates.
Penyebab timbulnya nyeri adalah adanya rangsangan mekanis atau
kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan dan
menyebabkan

dilepaskannya

mediator

nyeri

(histamin,

serotonin,

bradikinin, prostagladin, dll). Zat-zat tersebut akan merangsang reseptor


nyeri yang terletak pada ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir atau
jaringan atau organ lain.
Dari tempat tersebut rangsangan nyeri dialirkan melalui syaraf
sensoris ke SSP (Susunan Syaraf Pusat) melalui sumsum tulang belakang
ke thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar, dimana
rangsangan dirasakan sebagai nyeri.
Analgetik dibagi dalam dua kelompok utama yaitu analgetik lemah
yang sering disebut analgetik perifer dan analgetik kuat yang disebut
analgetik narkotik. Analgetik perifer mempengaruhi produksi substansi

penyebab nyeri pada tempat luka, dan meliputi aspirin dan salisilat,
parasetamol, NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs), dan opiate
lemah (kodein dan dekstropropoksofen). Sedangkan analgetik kuat atau
analgetik narkotik atau disebut juga analgetik opioid, memiliki daya
penghalang nyeri yang kuat sekali dengan titik kerja di SSP. Zat tersebut
umumnya mengurangi kesadaran (meredakan dan menidurkan),
menimbulkan perasaan nyaman (euforia) serta dapat menimbulkan
toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta menyebabkan ketergantungan
fisik dan psikis (adiksi).
I.2

Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian analgetika narkotika.
2. Untuk mengetahui mekanisme kerja analgetika narkotika
3. Untuk mengetahui interaksi antara analgetika narkotika dengan
reseptornya.
4. Unuk mengetahui analgetika golongan morfin beserta dosisnya.

BAB II
PEMBAHASAN
II.1

Analgetika Narkotika
Analgetika narkotik adalah senyawa yang dapat
menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif,
digunakan untuk mengurangi rasa sakit, yang moderat
ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh
penyakit kanker, serangan jantung akut, sesudah operasi,
dan kolik usus atau ginjal. Analgetika narkotik sering pula
digunakan untuk premedikasi anestesi, bersama-sama
dengan atropin, untuk mengontrol sekresi.
Aktifitas analgetik narkotik jauh lebih besar
dibanding golongan analgetik non narkotik, sehingga
disebut analgetik kuat. Golong ini pada umumnya
menimbulkan euforia sehingga banyak disalahgunakan.
Pemberian obat secara terus menerus menimbulkan
ketergantungan fisik dan mental atau kecanduan, dan efek
ini terjadi secara cepat. Penghentian pemberian obat
secara tiba-tiba menyebabkan sindrom abstinence atau
gejala withdrawal. Kelebihan dosis obat menyebabkan
kematian karena terjadi depresi pernapasan.
II.1.1 Reseptor Analgetik Narkotik
Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu
(mu), (kappa), dan (delta). Ketiga jenis reseptor
termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan
protein G1 dan memiliki subtype : mu1, mu2,
Delta1, Delta2, kappa1, kappa2, dan kappa3. Karena suatu
opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda

sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada


lebih dari satu jenis reseptor atau subtipe reseptor maka
senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek
farmakologi yang beragam.

II.1.2 Kerja Opioid Pada Reseptor Opioid


(mu)

Reseptor
(delta)

Enkefalin

Agonis

Agonis

-endorfin

Agonis

Agonis

Dinorfin
Agonis

Agonis lemah

Kodein

Agonis lemah

Agonis lemah

Morfin

Agonis

Agonis lemah

Metadon

Agonis

Meperidin

Agonis

Fentanil

Agonis

Obat

(kappa)

Peptida opioid

Agonis
lemah

Agonisantagonis

Agonis

Buprenorfin

parsial

Pentazosin

Antagonis/ag

Agonis

onis parsial
Nalbufin

Agonis

Antagonis

Antagonis
Nalokson

Antagonis

Antagonis

Antagonis

Reseptor memeperantarai efek analgetik mirip


morfin, euphoria, depresi napas, miosis, berkurangnya
motilitas saluran cerna. 1 memediasi efek analgesik dan euforia
dari opioid, dan ketergantungan fisik dari opioid. Sedangkan reseptor 2
memediasi efek depresan pernafasan.
Reseptor diduga memperantarai analgesis seperti
yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan
depresi napas yang tidak sekuat agonis .
Reseptor

yang selektif terhadap enkefalin dan

reseptor (epsilon) yang sangat selektif terhadap betaendorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap
enkefalin. Terdapat bukti bukti yang menunjukkan bahwa
reseptor memegang peranan dalam menimbulkan
depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid.
Dari penelitian pada tikus didapatkan bahwa
reseptor dihubungkan dengan berkurangnya frekuensi
napas, sedangkan reseptor dihubungkan dengan
berkurangnya tidal volume. Resptor ada 2 jenis yaitu
reseptor 1 yang hanya didapatkan di SSP dan dihubungkan
dengan analgesia supraspinal, penglepasan prolaktin,
hipotermia dan katalepsi sedangkan reseptor
2dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan
bradikardia. Analgesik yang berperan pada tingkat spinal
berinteraksi dengan reseptor dan .
II.1.4 Interaksi Analgetik-Reseptor
Ikatan yang umumnya terjadi pada interaksi antara
obat golongan analgetik dan reseptor adalah ikatan IonDipol & Dipol-Dipol,yaitu :
a.

Adanya perbedaan keelektronegatifan atom C


dengan atom lain, seperti : O & N akan membentuk
distribusi elektron tidak simetrik atau dipol, yang

mampu membentuk ikatan dengan ion atau dipol


lain, baik yg mempunyai daerah kerapatan elektron
tinggi maupun yang rendah
b. Gugus-gugus yang mempunyai fungsi dipolar
c.

adalah.: gugus karbonil, ester, amida, eter & nitril


Gugus tersebut sering didapatkan pada senyawa
yang berstruktur khas berinteraksi dgn reseptor
analgesik.

II.2

Analgetika Narkotika Turunan Morfin


Morfin didapat dari opium, yaitu getah kering tanaman

papaver somniferuin . Opium mengandung tidak kurang dari 25


alkaloida antara lain adalah morfin, codein, noskapin, papaverin,
tebain dan narsein.
Selain efek analgetik turunan morfin juga menimbulkan
euforia sehingga banyak disalah gunakan. Oleh karna itu
distribusi turunan morfin dikintrol secara ketat oleh pemerintah.
Karena turunan morfin menimbulkan efek kecanduan, yang
terjadi secara cepat, maka di cari turunan atau analognya yang
masih mempunyai efek analgesik tetapi efek kecanduannya lebih
rendah.

(Struktur umum morfin digambarkan)


II.2.1 Ikatan Obat Turunan Morfin dengan Reseptor

Efek analgetik dihasilkan oleh adanya pengikatan


obat dengan sisi reseptor khas pada sel dalam otak dan
spinal cord. Rangsangan seseptor juga menimbulkan efek
ueforia dan rasa ngatuk. Menurut Beckett dan Cesy,
reseptor turunan morfin mempunyai tiga sisi yang sangat
penting untuk timbulnya aktifitas analgetik yaitu
1. Struktur bidang datar yang mengikat cincin aromatik
obat melalui ikatan Van Der Waals
2. Tempat anionik, yang mampu berinteraksi dengan
pusat muatan positif obat
3. Lubang dengan orientasi yang sesuai untuk
menampung bagian -CH2-CH2- dari proyeksi cincin
piperidin, yang teletak dibidang yang mengandung
cincin aromatik dan pusat dasar .

(Gambar diagram permukaan reseptor analgesik yang


sesuai dengan permukaan molekul obat)
II.2.2 Mekanisme Kerja Obat Turunan Morfin Secara
Farmakologi
Adanya rangsangan-rangsangan mekanis/kimiawi ( kalor/listrik )
yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan
melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri.
Mediator nyeri antara lain : histamin, serotonin, plasmakininplasmakinin, prostaglandin-prostaglandin, ion-ion kalium. Zat-zat ini
merangsang reseptor - reseptor nyeri pada ujung saraf bebas di kulit,
selaput lendir, dan jaringan, lalu dialirkan melalui saraf sensoris ke
susunan syaraf pusat ( SSP ) melalui sumsum tulang belakang ke talamus
dan ke pusat nyeri di otak besar ( rangsangan sebagai nyeri ).

Secara Farmakologi kerja obat turunan morfin pada


reseptor opioid menyababkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke
dalam sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan
meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya
kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya
dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri dan mengakibatkan
transmisi rangsang nyeri terhambat.
Endorphin bekerja dengan jalan menduduki reseptor reseptor
nyeri di susunan saraf pusat, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat
analgesik opioid berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa
reseptor nyeri yang belum di tempati endorphin. Tetapi bila analgetika
tersebut digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru di
stimulasi dan produksi endorphin di ujung saraf pusat dirintangi.
Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.
II.2.3 Hubungan Stuktur Dan Aktifitas
8

Hubungan stuktur-aktifitas turunan morfin dijelaskan


sebagai berikut :
1. Eterifikasi dan esterifikasi gugus hidroksin fenol akan
menurunkan aktifitas analgesik, meningkatkan
aktifitas antibatuk dan meningkatkan efek kejang.
2. Eterifikasi, esterifikasi, oksidasi atau penggantian
gugus hidroksi alkohol dengan halogen atau hidrogen
dapat meningkatkan aktifitas analgesik, meningkatkan
efek stimulan, tetapi juga meningkatkan toksisitas.
3. Perubahan gugus hidroksil alkohol dari posisi 6 ke
posisi 8 menurunkan aktifitas analgesik secara drastis.
4. Perubahan konfigurasi hidroksil pada C6 dapat
meningkatkan aktifitas analgesik .
5. Hidrogenasi ikatan rangkap C7 - C8 dapat menghasilkan
efek yang sama atau lebih tinggi dibanding morfin.
6. Substitusi pada cincin aromatik akan mengurangi
aktifitas analgesik.
7. Pemecahan jembatan eter antar C4 dan C5 akan
menurunkan aktifitas.
8. Pembukaan cincin piperidin menyebabkan penurunan
aktifitas.
9. Demetilasi pada C17 dan perpanjangan rantai alifatik
yang terikat pada atom N dapat menurunkan aktifitas.
Adanya gugus alil pada atom N menyebabkan
senyawa antagonis kompetitif.
Hubungan perubahan struktur dan aktifitas turunan
morfin dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Contoh
1. Morfin, didapat dari hasil isolasi opium, yang mengandung
morfin antara lain 5-20%. Dalam sediaan biasanya sebagai
HCl atau sulfat. Morfin diginakan untuk mengurangi rasa
sakit yang hebat, misalnya serangan jantung akut. Efek
kecanduannya terjadi dengan cepat. Morfin diikat oleh
protein plasma 20-35 %, dan memiliki waktu paro eliminasi
2,9-0,5 jam. Dosis oral 20-25 mg setiap 4 jam. I.M S.C :10
mg/70 kg/ bb.

10

2. Codein, didapat dari hasil metilasi gugus hidroksil fenol


morfin. Efek analgesiknya kuat. Kecanduan codein lebih
rendah dibandingkan morfin dan tidak menimbulkan
depresi pernafasan. Dalam sediaan biasanya sebagai
garam HCl, fosfat atau sulfat. Absorbsi obat dalam saluran
cerna cukup baik, obat diikat dalam protein plasma 7-25%.
Kadar dalam plasma tertinggi dicapai antara 0,5-1,5 jam
setelah pemberian oral,dengan waktu paro plasma 2-4
jam. Dosis oral : 30 mg 4 dd, antibatuk: 5-10 mg 4 dd.
3. Dionin (etilmorfin), didapat dari hasil etilasi gugus
hidroksi fenol morfin. Efek analgesiknya lebih rendah dari
morfin dan mempunyai efek antibatuk yang kuat seperti
codein. Dionin dipergunakan dalam optalmologi karena
mempunyai efek kemosis. Dalam sediaan biasanya sebagai
garam HCl. Dosis oral : 30 mg 4 dd, antibatuk: 5-10 mg 4
dd.
4. Heroin (diasetilmorfin), didapat dari hasil etilasi gugus
hidroksil penol morfin. Efek analgesinya dan euforianya
lebih tinggi dibandingkan morfin. Kecendrungan dan
kecanduan heroin terjadi lebih cepat dan efek samping
jauh lebih besar dibanding morfin. Heroin sering
disalahgunakan, sehingga digolongkan sebagai obat
terlarang.

BAB III

11

SIMPULAN
Jadi analgetika narkotika merupakan senyawa yang dapat
menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, digunakan
untuk mengurangi rasa sakit, yang moderat ataupun berat,
seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker,
serangan jantung akut, sesudah operasi, dan kolik usus atau
ginjal. Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu (mu), (kappa),
dan (delta). Turunan morfin bekerja pada reseptor spesifik
(mu), tetapi dapat bekerja juga pada reseptor kappa dan delta.
Ikatan yang terjadi antara obat turunan Morfin dan reseptor
adalah ikatan Van der waals, ikatan ion dan ikatan hidrofob.

12

DAFTAR PUSTAKA
1. Siswandono dan Soekardjo. 2000. Kimia Medisinal 2. Jakarta : Airlangga
University Press.
2. Anonim 2012. Analgetika dan Antipiretika Sumber : http://
aniskhoe2110.blogspot.com/2012/06/analgetika-dan-antipiretika.html.
Diakses tanggal : Senin, 17 Desember 2012. Jam 22.00
3. Anonim. 2011. Makalah Analgetik Perifer Sumber :
http://sistribinahusada.blogspot.com/2011/03/makalah-analgesikperifer.html. Diakses tanggal : Senin, 17 Desember 2012. Jam 22.15
4. Anonim. 2012. Pengertian Analgetik Antipiretik. Sumber :
http://dedy9.wordpress.com/2012/08/02/pengertian-analgesik-antipiretik/.
Diakses tanggal : 17 Desember 2012. Jam 02.30.

13

You might also like