Professional Documents
Culture Documents
Judul
Iain C. Macdougall, M.D., Jerome Rossert, M.D., Nicole Casadevall, M.D., Richard B.
Stead, M.D., Anne-Marie Duliege, M.D., Marc Froissart, M.D., and Kai-Uwe Eckardt,
M.D.
Diambil dari: N. ENGL J MED 361;19 NEJM.ORG NOVEMBER 2009
LATAR BELAKANG
Induksi antibodi anti-eritropoetin yang menetralisir adalah komplikasi yang
jarang terjadi pada penggunaan rekombinan eritropoeitin manusia dalam rangka
meningkatkan produksi sel darah merah pada pasien dengan anemia akibat gagal
ginjal kronis. Anti bodi tersebut dapat menyebabkan aplasia sel darah merah
murni. Antibodi ini tidak saja menetralisir epoetin dan darbepoetin alfa tetapi juga
eritropoeitin pasien sendiri. Pada kasus yang berat akibat aplasia sel darah merah
murni yang dimediasi antibodi, hampir tidak ditemukan eritroblas pada sumsum
tulang, hitung retikulosit kurang dari 10 x 10 9 per liter, dan pasien bergantung pada
transfusi.
Insiden aplasia sel darah merah murni yang dimediasi antibodi seringkali
berhubungan dengan pemberian subkutan dari formula epoetin alfa yang dijual di
luar Amerika Serikat (Eprex atau Erypo [Janssen-Cilag]).
Komplikasi ini
menyebabkan ditariknya lisensi pemberian subkutan produk tersebut di Eropa dan
tempat lainnya. Untuk menurunkan risiko terbentuknya antibodi, pada bulan
November 2005 manufaktur dari agen yang menstimulasi eritropoesis
merekomendasikan pemberian intravena dari semua produk di Amerika Serikat
untuk pasien yang menjalani hemodialisis, walaupun memerlukan dosis yang lebih
tinggi.
Aplasia sel darah merah ini akibat antibodi antieritropoietin jarang sekali
sembuh sendiri, sehingga manajemen sering menjadi masalah. Pengobatan dengan
imunosupresif dapat mengobati beberapa kasus, namun ekspos berulang terhadap
epoetin atau darbopoetin alfa dapat menginduksi kembali terbentuknya antibodi.
Reaksi anafilaksi setelah injeksi berulang epoetin atau darbopoetin alfa juga telah
dilaporkan pada pasien dengan aplasia sel darah merah murni.
Sebuah observasi menemukan bahwa sebuah peptida dapat bertindak
sebagai agonis reseptor eritropoietin, sehingga menstimulasi eritropoiesis, yang
dilaporkan Tahun 1996, namun peptida orisinal ini (EMP-1) belum dikembangkan
sebagai agen terapi. Selanjutnya dikembangkan agonis reseptor eritropoietin
berdasar peptida dengan sekuen asam animo yang tidak berhubungan dengan
eritropoetin rekombinan asli (Hematide, Affymax) dan telah menunjukkan stimulasi
eritropoiesis in vitro dan pada berbagai spesies binatang.
Telah diteliti apakah temuan baru yaitu agonis reseptor eritropoietin berdasar
peptida sintesis (Hematide, Affymax) dapat menstimulasi eritropoetin pada pasien
dengan anemia yang disebabkan oleh antibodi antieritropoietin.
METODE
Desain Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menentukan apakah agonis reseptor
eritropoietin berdasar peptida sintetis dapat meningkatkan dan mempertahankan
kadar hemoglobin diatas 11 g per desiliter tanpa memerlukan transfusi sel darah
merah pada pasien dengan antibodi eritropoetin dan aplasia sel darah merah murni.
Dilaporkan di penelitian ini yang pertama terdaftar adalah 14 pasien yang
didaftarkan antara 23 Maret 2006 dan 8 September 2008, dan diikuti sampai 31
Maret 2009.
mingguan, dan sampel di ambil bulanan terhadap tes fungsi hepar, pengukuran
urea, kadar elektrolit dan kadar antibodi antieritropoietin dan antibodi antiagonis.
Analisis Statistik
Hasil di simpulkan menggunakan statistik deskriptif, dan data dipresentasikan
sebagai median, rentang interkwartil, dan rentang.
HASIL
Pasien dan Karakteristik Dasar
Sejumlah 14 pasien yang memenuhi syarat didaftarkan secara berturut-turut
antara 23 Maret 2006 dan 8 september 2008: 6 di Jerman, 4 di Inggris Raya, dan 4
di Perancis. Hasil dilaporkan sepanjang 31 Maret 2009 pada waktu tersebut durasi
median dari pengobatan adalah 28 bulan (rentang 3 hingga 36). Dari 14 pasien, 9
menjalani dialisis (7 dengan hemodialisis, dan 2 peritoneal dialisis), dan 5 tidak
memerlukan terapi pengganti ginjal pada saat pendaftaran. Usia median pada saat
pendaftaran adalah 72 tahun (rentang 38 hingga 91), dan 9 dari 14 pasien adalah
pria. Sebanyak dua belas pasien mendapatkan transfusi dengan median 8 unit dari
sel darah merah selama tiga bulan sebelum masuk, dan 12 pasien dengan kadar
ferritin serum lebih tingggi dari 1000 ng per mililiter. Sebelum pengobatan,
konsentrasi median hemoglobin adalah 9.0 g per desiliter (rentang 7.5 hingga 10.8),
dan hitung retikulosit adalah 10 x 10 9 per liter (rentang, 0 hingga 70 x 10 9).
Antibodi antieritropoietin di deteksi pada semua pasien. Temuan sumsum tulang
pada 11 pasien konsisten dengan aplasia sel darah merah murni. Pada tiga pasien
(Pasien 3, 4 dan 7), eritropoiesis ditemukan pada sumsum tulang, namun hipoplasia
sel darah merah juga tampak. Dari ketiga pasien tersebut, diagnosis aplasia sel
darah merah pada salah satu pasien (pasien 3) berdasarkan hitung retikulosit yang
rendah dan adanya antibodi antieritropoietin; pasien 4 sebelumnya telah di
diagnosis aplasia sel darah merah dan kambuh kembali setelah paparan ulang
epoetin, yang dibuktikan dengan peningkatan kadar antibodi antieritropoietin dan
turunnya konsentrasi hmoglobin; pasien 7 telah didiagnosis aplasia sel darah merah
murni 6 bulan sebelum pendaftaran dan merupakan dependen transfusi; dengan
hitung retikulosit adalah 31 x 10 9 hingga 70 x 109per liter sebelum masuk
penelitian.
KESIMPULAN