You are on page 1of 25

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

BAB I
KASUS
IDENTITAS
Nama lengkap

: Ny. S.A.

Umur

: 47 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Bludiran PB, 1/129 Yogyakarta

Masuk RS tanggal

: 14 Januari 2016

Bangsal

: Cempaka

I.

DATA SUBJEKTIF (Autoanamnesis 15 Januari 2016 Pukul 17.00 WIB) DI BANGSA L

CEMPAKA
A. Keluhan Utama: kaki berdarah
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli penyakit dalam dengan keluhan kedua kaki berdarah yang dirasakan
sejak 5 hari SMRS. Awalanya hanya luka kecil yang muncul sejak 2 bulan SMRS yang
semakin melebar dan tidak bisa sembuh, lalu lama kelamaan menjadi lebih dalam dan
sering mengeluarkan darah. Pasien juga mengeluh sering BAK pada malam hari (+), dan
BB nya menurun sejak 1 bulan SMRS, Mudah lapar (-), mudah haus (-),Riwayat trauma
(-), Nyeri (-), gatal (-), keluhan mual (+), muntah (-), BAB dalam batas normal. Lalu
pasien di diagnosis Diabetes melitus tipe 2 non obese dan dirawat bersama dengan dokter
bedah dengan diagnosis ulkus DM pedis bilateral.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat DM (-), Baru diketahui sakit DM saat periksa ke RS
2. Riwayat hipertensi (-)
3. Riwayat asma (-)
4. Alergi obat dan atau makanan/minuman(-)
5. Riwayat mondok (-)
RM01

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

6. Riwayat operasi sebelumnya (-)


D. Riwayat Penyakit pada keluarga
1. Riwayat keluhan serupa (-)
2. Riwayat asma atau alergi (-)
3. Riwayat hipertensi (-)
4. Riwayat DM (-)
E. Anamnesis Sistem
Sistem SSP

: demam (-), pusing (-)

Sistem kardiovaskuler

: nyeri dada (-), berdebar-debar (-)

Sistem respirasi

: nyeri telan (-) sesak nafas (-),batuk (-), pilek (-)

Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (-), nyeri perut(-), diare (-), sembelit (-)
Sistem urogenital

: nyeri berkemih (-)

Sistem integumentum

: pucat (-), kuning (-), bengkak-bengkak (-)

Sistem muskuloskeletal : gerakan otot dan tulang bebas (+), nyeri sendi/otot (-).

II.

DATA OBJEKTIF (15 Januari 2016 PUKUL 17.00 WIB) DI BANGSAL CEMPAKA
A. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan Umum : Baik, compos mentis
2. Tanda Utama : TD
: 120/80 mmHg
Nadi
: 80 x/menit, isi & tegangan cukup, teratur, simetris
Suhu
: 36,8C per axilla
Pernapasan : 20 x/menit, tipe thorakoabdominal
3. Antropometri :
TB : 159 cm
BB : 50 kg
IMT : 19,7 kg/m
4. Pemeriksaan Umum
a. Kulit: sianosis (-), pucat (-), ikterik (-), rash (-)
b. Otot: eutrofi (+), tonus baik (+), tanda radang (-), kekuatan: 5/5/5/5,
c. Tulang: tanda radang (-), deformitas (-)
d. Sendi: tanda radang (-), gerakan bebas (+)
5. Pemeriksaan Khusus dan Status Interna
a. Kepala
RM02

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

- Bentuk
Mata
- Hidung
- Sinus
- Mulut

:
:
:
:
:

Mesosefal, rambut hitam


CA -/-, SI -/-, edema palpebra -/rhinorea -/-, epistaksis -/tanda peradangan (-)
mukosa bibir basah (+), stomatitis (-), gusi berdarah (-),

hiperemis faring (-), tonsil hipertrofi (+)


b. Leher
Simetris (+), pembesaran limfonodi (-), pembesaran kelenjar gondok (-),
pembesaran massa (-)
c. Thorak
Cor
Inspeksi:
- Iktus kordis tidak tampak

Palpasi:
- Ictus kordis tidak teraba

Pulmo
-

Perkusi:
- Batas jantung tidak mengalami pergeseran
Auskultasi:
- Suara jantung:
S1-S2 reguler, bising jantung (-),
gallop (-)

Inspeksi:
Bentuk dada simetris (+) N
Nafas thorakoabdominal (+)
Ketinggalan gerak (-)
Retraksi (-)
Palpasi:
Fremitus suara hemithorak dextra =
sinistra (+)
Pergerakkan dada kesan simetris
Perkusi:
Sonor pada semua lapang paru,
Pemeriksaan batas paru hepar SIC V
Auskultasi:
Suara paru: Suara dasar vesikuler +/+,
suara tambahan -/-.

d. Abdomen
- Inspeksi: tanda peradangan (-)
- Auskultasi: peristaltik usus (+) normal, metalic sound (-)
- Perkusi: timpani (+), nyeri ketok ginjal (-), undulasi (-)
- Palpasi: supel (+), nyeri tekan (-), hepar/lien ttb
e. Ekstremitas
Pemeriksaan
Perfusi akral
Pulsasi a. Brachialis
Pulsasi a. Dorsalis Pedis
Kekuatan

Superior
Dextra/Sinistra
Hangat
+/+, kuat
5/5

Inferior
Dextra/Sinistra
Hangat
+/+, kuat
5/5
RM03

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

Reflek fisiologis

+/+, N

+/+, N

6. Status Lokalis : Regio pedis dextra dan sinistra


Inspeksi : edem (+), hiperemis (+), darah (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+)
7. Status Anestesi
a. Airway: Jalan nafas bersih, buka mulut > 3 jari, gigi palsu (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-).
b. Breathing: Nafas spontan, suara dasar vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-, sesak
(-), RR = 20 x/m
c. Circulation: Nadi 86 x/menit, TD : 120/80 mmHg, s1-s2 reguler, bising (-), gallop
(-), akral hangat nadi kuat dengan CRT < 2
d. Disability: GCS E4V5M6, kesadaran kompos mentis, KU: baik
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 13 Januari 2016 pukul 15.40 WIB
PARAMETER

HASIL

NILAI
RUJUKAN

UNIT

Leukosit

7,4

4.0-10

10e3/ul

Eritrosit

3,39 L

4.00-5.50

10e3/ul

Hemoglobin

9,4 L

11.0-16.0

gr/dl

Hematokrit

27,6

32-44

MCV

81,4

81-99

Fl

MCH

27,7

27-31

Pg

MCHC

34,1

33-37

Gr/dl

643 H

150-450

10e3/ul

HEMATOLOGI

Trombosit

Differential Telling Mikroskopis


Neutrofil%

70,6 H

50-70

Lymposit%

14,7

20-40

%
RM04

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

Monosit%

5,1

3-12

Eosinofil%

1,0

0,5-5,0

Basofil%

0,3

0-1

Neutrofil#

7,55

2-7

10e3/ul

Lymposit#

3,33

0,8-4

10e3/ul

Monosit#

0,32

0,12-1,2

10e3/ul

Eosinofil#

0,21

0,02-0,50

10e3/ul

Basofil#

0,03

0-1

10e3/ul

Masa Perdarahan

230

<6

Masa Penjendalan

800

<12

Glukosa Darah Sewaktu

397 H

70-140

mg/dl

Glukosa darah puasa

174 H

70-116

mg/dl

Glukosa 2 jam PP

381 H

85-140

mg/dl

KIMIA

PARAMETER

HASIL

NILAI RUJUKAN

UNIT

Urinalisa
PH

5,5

Kuning-jernih

Urinalisys strips

Bj

1.020

1.005-1.030

Urinalisys strips

Negative

Negative

Urinalisys strips

Negative

Negative

Urinalisys strips

Glukosa

Positif (++)

Negative

Urinalisys strips

Darah

Positif (+)

Negative

Urinalisys strips

Keton
Protein

RM05

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

Nitrit

Negative

Negative

Urinalisys strips

Urobilin

Positif (+)

Negative

Urinalisys strips

Leukosit

Positif (25-35)/LP

Positif (0-2_/LP

Eritrosit

Positif (15-20)//LP

Negatif (0)/LP

Epithel

Positive (6-10)/LP

Positive (6-10)

Silinder hyalin

Negative

Negative

Silinder leukosit

Negative

Negative

Silinder granula

Negative

Negative

Kristal oxalat

Negative

Negative

Kristal urat

Negative

Negative

Kristal triple
phospat

Negative

Negative

Kristal amorf

Negative

Negative

Trivhomonas

Negative

Negative

Bakteri

Negative

Negative

Jamur

Negative

Negative

Bilirubin
Urinalisa

EKG : NSR
III. DIAGNOSIS KERJA
1. Diagnosis klinis : ulkus DM pedis bilateral
2. Status anestesi : ASA II
IV. PLANNING DAN PERSIAPAN PRE-OPERASI
a. Puasa 8 jam sebelum induksi anestesi
RM06

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

b. Planning anestesi : digunakan regional anestesi


V. STATUS ANESTESI (INTRAOPERASI) tanggal 15 Januari 2016
Nama

: Ny. S.A.

Umur

: 47 tahun

Bangsal/ kelas

: Cempaka kelas I

Diagnosis Pra-Bedah

: Ulkus DM pedis bilateral

Jenis tindakan

: Debriedement

Ahli anestesi

: dr. Aryono H. Sp. An

Ahli bedah

: dr. Tri Gunawan Sp.PB

Perawat anestesi

: Sutikno

Jenis anestesi

: Regional Anestesi

Regimen induksi

: Lidocain HCL 100 mg

Obat

Ondansentron 4 mg

Ketorolac 30 mg

RM07

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

Infus

Ringer Lactat (RL)

Jumlah Cairan

Infus:

Maintenance : 2 cc/kgBB x 50 kg = 100 cc


Puasa: 10 jam pengganti puasa: 10 (jam) x 100 cc (Maintenance) = 1000 cc/jam
Stres operasi kecil: 4 cc/kgBB/jam 8 x 50 = 400 cc/jam
Pada jam I : M + 1/2PP + SO = 100 cc + 1000/2 + 400 = 1000 cc /jam
Pada jam II/III : M + 1/4PP + SO = 100 cc + 1000/4 + 400 = 700 cc/jam

Instruksi Pasca Bedah

a. Infus

: RL 20 tpm

b. Antibiotika

: Sesuai dr. Tri Gunawan, Sp.B

c. Analgesika

: Ketorolac 30mg/8 jam

d. Anti muntah

: Ondansentron 4 mg (k/p)

e. Posisi pasien : Supine


f. Roborantia

: Awasi KU, vital sign, balance cairan dan perdarahan.

g. Lain-lain

:-

VI. PROGNOSIS

ad bonam

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

BAB II
DASAR TEORI

A. DIABETES MELLITUS
I.
DEFINISI

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes

Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduaduanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus
merupakan suatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan
singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan problema anatomik dan
kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
II.

KLASIFIKASI

Tipe
II

Tipe
lain

Tipe

Diab

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke


defisiensi insulin absolut

Autoimun
Idiopatik
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
dominan defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin

Defek genetik fungsi sel beta

Defek genetik kerja insulin

Penyakit eksokrin pankreas

Endokrinopati

Karena obat atau zat kimia

Infeksi

Sebab imunologi yang jarang

Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

etes
Meli
9

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

tus
Gest
atio
nal

III.

DIAGNOSIS
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar gula glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun
kapiler tetap dapat digunakan dengan memperhaikan angka-angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan

pemantauan

hasil

pengobatan

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti

tersebut di bawah ini :


Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan

yang tdak dapat dijelaskan sebabnya.


Keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Bagan Penegakan Diagnosis Diabetes Melitus

10

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

IV.

PENATALAKSANAAN

1.
2.
3.
4.

Pilar Penatalaksanaan DM

Edukasi
Terapi gizi medis
Latihan jasmani
Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani.
11

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)


a. Insulin Secretagogue
1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh

sel beta pankreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan
seperti orangtua, gangguan faal ginal dan hati, kurang nutrisi, serta penyakit
kardiovaskuler, tidak dianjurkan untuk penggunaan sulfonilurea jangka panjang.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Rpaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati.
a. Penambah Sensitivitas terhadap Insulin
Tiazolidindion
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan

jumlah

protein

penngangkut

glukosa,

sehingga

meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Kontraindikasi untuk pasien


dengan penyakit jantung kelas I IV karena dapat memperberat edema
anasarka dan juga gangguan faal hati. Perlu dilakukan pemantauan faal
hati berkala.

b. Penghambat Glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin > 1,5 mg/dl) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misal penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat membeerikan efek samping mual. Untuk

12

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah


makan.
c. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan adalah kembung dan flatus.
2. Insulin
Seperti telah diketahui. Untuk memenuhi kebutuhan insulin basal dapat
digunakan kerja menengah (intermediate-acting insulin) atau kerja panjang (longacting insulin); sementara untuk memenuhi kebutuhan insulin prandial (setelah
makan) digunakan insulin kerja cepat (sering disebut insulin reguler/short-acting
insulin). Di pasaran, selain tersedia dengan insulin komposisi tersendiri, juga ada
sediaan yang sudah dalam bentuk campuran antara insulin kerja menengah (disebut
premixed insulin).

Algoritma pengelolaan DM II

13

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

Keuntungan metformin adalah dapat mengurangi peningkatan berat

badan yang sering ditemukan pada pasien yang mendapat terapi insulin. Kombinasi
obat metformin atau glitazon dengan insulin yang telah diberikan pada seorang pasien
diabetes melitus dapat menyederhanakan jadwal pemberian insulin. Penambahan obat
golongan inhibitor alfa-gluosidase juga dapat mengurangi jumlah suntikan insulin per
harinya.
B.

EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN

Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan

gula darah karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin relatif atau
absolut atau karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan
penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon
katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, kortisol, tetapi di
sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan
hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis,
katabolisme protein.

Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi,
peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan
prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural
tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade
aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 /kg) sebagian
dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek
menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi
(2,1MAC halotan).

C.

PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM

Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula

darah, maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan
pengawasan status diabetesnya. Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat
mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan
14

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis


glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan sintesis
kortisol melalui aksinya pada 11-hydroxylase dan enzim pemecah kolesterol, dan
akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1
mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum
terbukti.

Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan

memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obatobat golongan ini akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi
growth hormone dan akan menyebabkan penurunan respon glikemia pada
pembedahan. Efek-efek ini minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif,
tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu melalui infus intravena
pada pasien di ICU.

Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan

keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik.


Teknik ini secara efektilk menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu
hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus dan
pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan
akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal dan mungkin
bermanfaat pada pasien diabetes.

Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah efek insulin

untuk transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui
peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut
Greene

penggunaan

karena kurang pengaruhnya

halotan

pada

pasien

cukup

terhadap peningkatan hormon

memuaskan
pertumbuhan,

peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat
menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama |
pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran
tak nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah.

Pengaruh propofol pada sekresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien

diabetik menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari


15

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

sirkulasi. Meskipun hal ini tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol
digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat
terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di
ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak
berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan
kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.

Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural

atau subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur


pembedahan pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas
bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih
memuaskan dan tanpa menimbulkan komplikasi. Epidural anestesia lebih efektif
dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula,
growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.

D.

TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM

Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural dan

blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi
insulin residual. Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan
kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan
dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural.

Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor

a-adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan


menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parsial. Tidak ada bukti bahwa
anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia umum memberikan
banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal
mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang
lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomi. Hipotensi yang dalam
dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria,
serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat
meningkat dengan penggunaan teknik regsonal pada pasien diabetes.

16

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

E.

KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF

kontinyu

D5W (1,5 ml/kg/jam)

eratif

NPH insulin (1/2 dosis biasa

ml/kg/jam) Regular

pagi hari) (NPH=neutral protamine

insulin Unit/jam =

Hagedorn)

Glukosa plasma :

150

Preop

Intra

Pemberian secara bolus

Regular

insulin

Infus

D5W

Sama

operattf

(berdasarkan sliding scale)

dengan preoperatif

Pasca

operatif

Sama dengan intraoperative

Sama

dengan preoperatif

Tabel:

Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin

perioperatif pada pasien DM. Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin


diberikan setelah akses intravena dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa.

1.

Tujuan utamanya adalah :

Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.


2. Memberikan

kecukupan karbohidrat untuk

mencegah metabolisme

katabolik dan ketoasidosis.


3.

Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemi.

(1

Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus

secara kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih
17

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

tepat dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15
unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5
ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin
(50 unit RI dalam 250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih
fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan
rumus dibawah ini (Rumus Roizen):

Gukosa plasma (mg/dl)


Unit per jam =
150

Atau

Glukosa plasma (mg/dl)

Unit per jam =

100
pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan

infeksi

Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin

menyebabkan pergeseran kalium intraselular. Pada pasien yang menjalani


pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama. Teknik yang dianjurkan
oleh Hins adalah sebagai berikut:

Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam

diberikan intra vena. Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:
1.

Campur 50 RI kedalam 500cc 0,9%Nacl.

2.

Infuskan dengan larutan 0,5-1 /jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).

3.

Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di

bawah ini :

18

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

Kadar

gula

Kebutuhan insulin

darah

4,4

( 80 )

4,4 -

Matikan

glukosa IV
Kurangi insulin menjadi

6,6

Teruskan insulin 0,5 - 1


/jam

9,9
9,9 -

Naikkan laju insulin 0,8


- 1,5 /jam

13,2

>

13,75

Laju insulin 1,5 /jam


atau lebih

Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal

dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama.

Berikut ini salah satu teknik GIK :

Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5%

ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam.


Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc

Nacl 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan.


Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah
kemudian cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan
hasil pengukuran di bawah ini:

beri

0,2 - 0,7 u/jam


6,6 -

pompa,

Kadar gula

Infus insulin

19

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

< 150 mg/dl

5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl

10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl

15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl

20 cc/jam (4 unit/jam)

F.

PERAWATAN PASCA BEDAH

Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi

metabolik pasien stabil dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan
insulin dihentikan hanya setelah pemberian subkutan insulin kerja pendek.
Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus diteruskan sampai
pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari
suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja
sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus
glukosa dan insulin dihentikan dan sebelum regimen insulin pasien
dilanjutkan. Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau
hiperglikemia pasien pasca bedah terutama terdapat keterlambatan bangun
atau penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah pasca bedah.

VII.

o
PEMBAHASAN
20

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi

ahli anestesi dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat


mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat
mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di
atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus
adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami
pembiusan dan pembedahan. Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
Pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah,
peningkatan glukogenesis, katabolisme protein. Efek pembiusan pada respon tersebut
sangat bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon tersebut sangat
bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolic terhadap
pembedahan dengan cara blockade aferen dan saraf otonom.
Pada kasus ini, pasien mempunyai penyakit DM tipe II, sehingga efek anestesi
pada saat operasi sangatlah tinggi, karena terdapat teknik anesthesia, terutama dengan
penggunaan spinal, epidural dan blockade regional lain, dapat mengatur sekresi
hormon katabolic dan sekresi insulin residual. Pemilihan obat anestesi dalam kasus
DM sangatlah penting karena terdapat beberapa obat yang dipakai untuk anestesi
dapat mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme
dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis
glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan sintesis
kortisol melalui aksinya pada 11-hydroxylase dan enzim pemecah kolesterol, dan
akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1
mmol per liter pada pasien non diabetes.

Untuk kasus ini, pasien dilakukan anestesi regional dengan menggunakan

induksi lidocain HCL 100 mg, obat dengan ketorolac 30mg dan ondancentron 4mg.
Penggunaan regional anestesi dipilih dari segi jenis operasi, faktor resiko penderita,
dan keuntungan dan kerugian dalam proses pemilihan jenis anestesi untuk pasien.
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau
subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan
21

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai
suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan
tanpa menimbulkan komplikasi.

22

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

DAFTAR PUSTAKA

1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease in


A Practice of Anesthesia, 6thed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.
2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang
Critical Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
3. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus

Anestesia-Operasi

dalam Buku Naskah

Lengkap Konas III IDSAI, 1992: 209-218.


4. William J, Fenderl. Diseases of the Endocrine System in Anesthesia and Common
Diseases, 2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.
5. Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed.
Anesthesia, 4thed, Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.
6. Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed.
Perioperative Care, 1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.
7. McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of Patients
with Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London, 2000: 80-90.
8. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-655.
9. Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan Angkasa
Offset, Bandung, 1991: 36-106.
10. Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.

23

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

11. Zaloga Gary P. Endocrine Consultation

in Clinical Anesthesia Practice, WB

Saunders, 1994: 185-20

24

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2016

Yogyakarta, 22 Januari

2016

Preceptor,

dr. Ardi Prmono, Sp.An.,

M.kes

25

You might also like