You are on page 1of 7

DASAR-DASAR KONSEPSI BUATAN

Infertilitas hingga saat ini masih menjadi masalah di tengah masyarakat. Paling tidak
diperkirakan 10% dari pasangan mengalami kesulitan untuk mendapatkan keturunan. Pada
pasangan usia muda umumnya probabilitas untuk terjadinya konsepsi dalam satu siklus
reproduksi adalah berkisar antara 20 25 %. Umumnya 90 % pasangan usia muda akan
mengalami kehamilan pada satu tahun pertama setelah melakukan hubungan seksual yang
teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Oleh karena itu, umumnya penanganan
infertilitas dilakukan setelah 1 tahun meski ada pendapat yang menyatakan bahwa penangan
tersebut harus dilakukan lebih dini pada pasangan-pasangan yang perempuannya berusia
lebih dari 35 tahun. Pada penelitian yang dilalukan di Inggris disimpulkan bahwa paling
tidak 1 dari 6 pasangan akan mencari pertolongan ke dokter spesialis untuk masalah
infertilitas, baik yang bersifat primer, yaitu ketidakmampuan untuk hamil, maupun yang
bersifat sekunder, yaitu ketidakmampuan untuk menambah jumlah anak. Penyebab infertilitas
dapat dibagi menjadi 4 kategori, yaitu (1) infertilitas yang diakibatkan oleh factor perempuan,
(2) infertilitas yang diakibatkan oleh factor pria, (3) infertilitas yang diakibatkan oleh
kombinasi antara factor pria dan perempuan, dan (4) infertilitas yang diakibatkan oleh factor
yang tidak diketahui. Kategori utama penyebab infertilitas pada wanita adalah akibat
gangguan ovulasi (25%), kerusakan tuba (15%), dan endometriosis (10%). Sementara
masalah pada pria dapat mengakibatkan infertilitas pada 25% kasus. Akan tetapi, penyebab
infertilitas masih belum bisa didiagnosis pada 20 % kasus. Hal ini disebabkan oleh sejumlah
kelainan yang masih belum dapat dideteksi dengan menggunakan peralatan yang tersedia
sekarang.
Dengan terjadinya perubahan sosial di dalam masyarakat, saat ini perempuan cenderung
untuk menikah pada usia yang lebih tua jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Hal ini akan mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah pasangan yang memiliki masalah
fertilitas.
Berbagai teknik pengobatan telah diperkenalkan untuk mengatasi masalah infertilitas, tetapi
hingga kini teknik pengobatan yang memberikan hasil angka kehamilan tertinggi per siklus
adalah teknik fertilisasi invitro (FIV). Semenjak keberhasilan Dr. Edwards dan Steptoe
melahirkan bayi tabung pertama di dunia pada tahun 1978, terjadi peningkatan jumlah siklus
FIV yang sangat signifikan di seluruh dunia. Paling tidak saat ini di Swedia 1 dari 50
persalinan adalah berasal dari program FIV, sementara di Australia adalah 1 : 60, dan di
Amerika Serikat adalah 100.000 siklus FIV di Amerika Serikat yang menghasilkan paling
tidak 48.000 bayi.

Sejarah Teknik FIV


Dasar-dasar dari ilmu FIV sudah berkembang semenjak jaman Aristoteles. Pada tahun 1786
Hunter melakukan inseminasi buatan pertama pada manusia, yang dilanjutkan oleh Sims pada
tahun 1866 dengan menggunakan donor. Selanjutnya oengetahuan mengenai fertilisasi pada
hewan dan manusia mulai berkembang pada pertengahan abad ke-20. Thibauilt pada tahun

1954 melakukam FIV pertama pada hewan mamalia. Chang selanjutnya sukses
menumbuhkan embrio kelinci yang berasal dari teknik FIV, dan bahkan pada tahun 1959 ia
berhasil mendapatkan bayi kelinci hasil kehamilan dari transfer telur yang dilakukan FIV.
Selanjutnya pada tahyn 1965 Edwards mendapatkan penemuan bahwa oosit manusia
membutuhkan waktu kurang lebih 37 jam untuk mencapai tingkat matur setelah diambil dari
ovarium dengan menggunakan teknik biopsi.
Perkembangan dalam teknik FIV juga semakin terbantu dengan ditemukannnya beberapa
obat seperti human pituitary gonadotropin (hPG) dan human menopausal gonadotropin
(hMG). Pada tahun 1958 dan 1960 Gemzel dan Lunenfeld berhasil mendapatkan kehamilan
pertama pasca pemberian hPG dan hMG. Klein dan Palmer pada tahun 1961 melakukan
aspirasi oosit manusia dari ovarium dengan menggunakan teknik laparoskopi.
Edwards salah satu pionir teknik FIV menyelesaikan program doktornya dengan meneliti
kematangan folikel menggunakan parameter tahapan diakenesia dan metaphase II. Ia
mendapatkan penemuan bahwa sel telur mamalia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mencapai derajat matur jika dibandingkan dengan sel telur hewan. Awalnya dia menggunakan
pengetahuan tersebut untuk membiakan embrio dengan tujuan untuk mendapatkan sel induk
yang berasal dari embrio (Embryonic Stem Cells). Selanjutnya dia mendapatkan bahwa sel
telur manusia harus mencapai derajat matur sebelum dibuahi oleh sperma. Pada tahun 1969
Edwards yang bekerja sama dengan Barry Bavister mampu melakukan fertilisasi sel telur
manusia dengan menggunakan sperma tanpa melalui proses kapasitasi terlebih dahulu.
Selanjutnya Edwards bertemy dengan seorang ahli ginekologi yang berpengalaman dalam
tindakan laparoskopi, yaitu Dr. Patrick Steptoe. Dengan bantuan Steptoem Edwards banyak
mendapatkan sel-sel telur yang diambil dari ovarium per laparoskopi. Kemudian mereka
mulai melakukan transfer embrio pada tahun 1971. Dalam prosedur tersebut mereka juga
menggunakan hMG, klomifen sitrat, dan luteal support. Namun, selalu menemui kegagalan.
Hingga pada akhirnya mereka mendapatkan kehamilan pertama pada tahun 1975 yang
berakhir dengan kehamilan ektopik. Kelahiran bayi dari program FIV yang pertama terjadi
pada tahun 1978 dan mendapatkan perhatian yang luas dari seluruh dunia. Keberhasilan
untuk melahirkan bayi dari program FIV diikuti pula oleh negara-negara lain seperti Australia
pada tahun 1980, Amerika Serikat pada tahun 1981, Perancis pada tahun 1982, dan di
Indonesia lahir bayi dari program FIV pada tanggal 2 Mei 1988 di Jakarta oleh Program
Melati RSAB Harapan Kita.
Dengan keberhasilan kelahiran bayi dari program FIV tersebut ternyata memacu kemajuan
yang pesat dalam bidang FIV. Paling tidak semenjak tahun 1982 hingga 1994 banyak sekali
ditemukan metode dan cara yang ditujukan untuk meningkatkan keberhasilan program FIV,
diantaranya adalah penggunaan ultrasonografi untuk memandu pengambilan oosit,
pembekuan embrio manusia, teknik gamete intrafallopian transfer (GIFT), teknik zygote
intrafallopian transfer (ZIFT), proses vitrifikasi sel telur manusia, diagnosis genetik praimplantasi, assisted batching, dan yang cukup spektakuler adalah penemuan teknik intracytoplasmic sperm injection (ICSI). ICSI dianggap sebagai suatu terobosan yang fenomenal
karena dianggap dapat mengatasi permasalahan infertilisasi yang diakibatkan oleh factor pria.

Teknik ini tidak bergantung lagi pada parameter dasar sperma, yaitu konsentrasi, morfologi,
dan mortilitas.
Hingga saat ini dengan perkembangan teknologi yang pesat dalam bidang FIV, ternyata hasil
program FIV menunjukkan perkembangan yang konstan atau lambat. Secara umum rata-rata
angka kelahiran per transfer embrio pada tahun 1995 adalah 22 % keberhasilan mencapai
40% atau lebih. Masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan program FIV masih
relative tetap, yaitu kegagalan kehamilan (25 %) dan peningkatan kejadian kehamilan ganda
(25 40 %).
Syarat
Program FIV ini sangat menegangkan, tingkat keberhasilannya belum tinggi, dan biayanya
sangat mahal. Oleh karena itu, pasangan suami isteri yang akan mengikuti program ini harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut,
-

Telah dilakukan pengelolaan infertilitas selengkapnya.

Terdapat indikasi yang sangat jelas.

Memahami seluk beluk prosedur konsepsi buatan secara umum.

Mampu memberikan izin atas dasar pengertian (informed consent).

Mampu membiayai prosedur ini dan kalau berhasil mampu membiayai persalinan
serta membesarkan bayinya.

Prosedur FIV
Prosedur dalam program FIV terdiri atas
-

Persiapan

Stimulasi ovarium

Pengambilan sel telur

Pengambilan sel sperma

Inseminasi

Kultur embrio

Transfer embrio

Persiapan Pasien
Sebelum mengikuti program FIV pasangan suami isteri harus memenuhi criteria/indikasi
sebagai berikut,

Infertilitas disebabkan oleh factor pria yang tidak dapat dikoreksi dengan tindakan
operatif/medikamentosa atau tidak dapat diatasi dengan tindakan inseminasi intrauterin.

Infertilitas disebabkan oleh factor tuba yang tidak dapat dikoreksi atau setelah
dilakukan operasi rekonstruksi dalam waktu 1 tahun tidak terjadi kehamilan.

Infertilisasi yang tidak terjelaskan dalam waktu 3 tahun dan tindakan medikamentosa
ataupun inseminasi intrauterine tidak menghasilkan kehamilan.

Kegagalan fungsi ovarium karena proses kanker di mana sebelumnya sel telur atau
embrio telah dibekukan.

Adanya penyakit yang diturunkan secara genetik (single gene disease).

Pemeriksaan hormonal pada hari ke-3 haid (FSH dan E2) dapat menentukan respons terhadap
stimulasi ovarium dan berhubungan dengan keberhasilan program FIV. Nilai FSH >12
mIU/ml dan E2 > 80 pg/ml mencerminkan respons yang buruk terhadap stimulasi ovarium
dan terjadinya kehamilan.
Analisis sperma dilakukan untuk merencanakan tindakan fertilisasi yang akan dilakukan
apakah secara konvensional atau dengan menggunakan teknik intra cytoplasmic sperm
injection (ICSI).

Stimulasi ovarium
Sejak ditemukannya preparat gonadotropin pada tahun 1980-an, tindakan stimulasi ovarium
banyak menggunakan obat golongan ini dengan harapan dapat menghasilkan sel telur yang
lebih banyak jika dibandingkan dengan siklus natural. Untuk mencegah lonjakan LH yang
premature, diberikan juga GnRH agonis atau GnRH antagonis. Meta-analisis antara tahun
1985 1999 membuktikan bahwa preparat rekombinan FSH memberikan hasil yang lebih
baik jika dibandingkan dengan hMG.
Saat ini banyak metode dalam stimulasi ovarium yang dapat digunakan pada kondisi yang
berbeda-beda. Siklus natural pada program FIV memberikan embrio transfer rate sebesar
45,5 %, ongoing pregnancy rate sebesar 7,2 %, dan cycle cancellation rate sebesar 29 %.
Efek samping ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS) dan kehamilan ganda lebih rendah
pada siklus natural.
Protocol yang terbanyak digunakan dalam stimulasi ovarium saat ini adalah long protocol
dimana dilakukan penekanan terhadap fungsi hipofisis dan ovarium sejak fase midluteal
sampai kadar estradiol < 50 pg/ml. setelah tercapai kondisi tersebut baru dilakukan stimulasi
dengan menggunakan gonadotropin. Dosis gonadotropin yang digunakan sangat bergantung
pada usia pasien, berat badan, nilai FSH, dan jumlah folikel antral.

Protocol lain yang digunakan dalam stimulasi ovarium adalah short protocol dimana
permberian GnRH agonis dilakukan pada hari ke-2 haid bersamaan dengan pemberian
gonadotropin. Jika dibandingkan dengan long protocol, metode ini memiliki angka kehamilan
yang lebih rendah.
Selama proses stimulasi ovarium, dilakukan tindakan monitoring untuk memantau jumlah
dan pertumbuhan folikel melalui ultrasonografi serta pemeriksaan hormone estradiol.
Pengaturan dosis obat, kegagalan stimulasi, dan penentuan waktu pengambilan oosit sangat
bergantung pada monitoring ini. Untuk maturasi oosit 34 36 jam sebelum pengambilan
oosit dilakukan penyuntikan hCG rekombinan atau dari urin.

Pengambilan Sel Telur/Oosit (Oocyte Retrieval)


Tindakan pengambilan sel telur dilakukan bila telah dijumpai minimal 3 buah folikel
berdiameter 20 mm. Tindakan ini dapat dilakukan secara transvaginal dengan panduan
ultrasonografi. Untuk menghilangkan rasa nyeri selama tindakan dapat dilakukan pemberian
anesthesia atau hanya analgesia saja. Hasil studi acak tersamar ganda membuktikan bahwa
tindakan pengambilan sel telur yang dilakukan dengan anesthesia akan mendapatkan jumlah
oosit yang lebih banyak jika dibandingkan dengan analgesia saja, tetapi tidak ada perbedaan
dalam kejadian kehamilan. Sementara itu, tindakan flushing yang dilakukan selama
pengambilan sel telur dapat meningkatkan rasa nyeri dan waktu yang diperlukan sehingga
tindakan ini hanya direkomendasikan pada pasien yang memiliki jumlah oosit 3.

Pencarian Sperma (Sperm Recover)


Pada kasus dimana sperma tidak bisa didapatkan dari ejakulasi, pengambilan sperma akan
dilakukan melalui epididimis atau testis. Biasanya hal ini dilakukan pada kondisi
azoospermia (baik obstruksi maupun nonobstruksi), disfungsi ereksi, atau kegagalan
ejakulasi. Berbagai tindakan operatif dalam pengambilan sperma antara lain,
-

Percutaneus epididymal sperm aspiration (PESA)


Testicular sperm aspiration (TESA)
Testicular sperm extraction (TESE)
Microsurgical epididymal sperm aspiration (MESA)

Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)


Tindakan ICSI pertama kali dilakukan oleh Palermo dan kawan-kawan pada tahun 1992.
Penemuan tindakan ini sekaligus merupakan titik balik dalam dunia FIV terutama dalam
penanganan infertilitas yang disebabkan oleh factor pria. Awalnya indikasi ICSI hanya
terbatas pada kasus oligozoospermia, azoospermia, atau kualitas semen yang buruk. Saat ini

indikasi penggunaan ICSI telah meluas pada kegagalan FIV berulang, kegagalan fertilisasi,
dan factor-faktor lainnya.
Tindakan ICSI di Eropa yang dilakukan pada tahun 1993 1994 menunjukkan bahwa
keberhasilan fertilisasi bila sperma diambil dari ejakulasi akan mencapai 64 % sedangkan bila
sperma diambil dari epididimis atau testis keberhasilan fertilisasi mencapai 62,5 % dan 52 %.
Dari seluruhnya 90 % dapat dilakukan transfer embrio dan 19 22 % terjadi kehamilan.
Studi di Cornell sejak tahun 1995 dari 10.000 kasus ICSI yang dilakukan, 76 % terjadi
fertilisasi, 85 % pasien mendapatkan embrio yang baik dan angka kehamilan mencapai 50 %.
Walaupun begitu Iuran kehamilan pada ICSI sama baiknya dengan FIV konvensional bila
dilakukan pada pria yang normozoospermia.
Bila tindakan ICSI dilakukan pada sperma yang imatur (studi di Cornell) clinical pregnancy
rate mencapai 69 % dari 198 kasus embrio transfer, sedangkan pada kasus frozen sperm ICSI
kehamilan mencapai 57 % dari 369 pasangan. Tindakan ICSI dapat juga dilakukan pada
kasus kegagalan fertilisasi yang dikenal dengan sebutan rescued ICSI, tetapi tindakan ini
sudah tidak direkomendasikan lagi.
Saat ini yang menjadi perhatian utama dari tindakan ICSI adalah keamanan prosedur ICSI
dan hubungannya dengan Iuran bayi yang dihasilkan. Kontroversi di bidang ini terutama
menyangkut 4 hal yaitu Iuran obstetric, kemungkinan kelainan kromosom, kelainan
congenital, dan gangguan perkembangan. Hal lain yang masih dicari yaitu kemungkinan
kerusakan DNA sperma akibat ICSI.

Kultur Embrio dan Transfer Embrio


Setelah dilakukan inseminasi, tindakan selanjutnya adalah melakukan observasi untuk
memastikan apakah terjadi fertilisasi atau tidak. Kemudian setiap 24 jam dilakukan penilaian
pembelahan sel pada embrio. Waktu yang tepat dan stadium embrio yang harus ditransfer
sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa transfer
embrio yang dilakukan pada hari ke-3 akan memberikan kehamilan yang lebih baik jika
dibandingkan ahri ke-2. Hal yang sama akan terjadi bila transfer embrio dilakukan pada
stadium blastocyst (hari ke-5). Walaupun Cochrane review belum menyatakan bahwa
blastosis transfer akan menghasilkan kehamilan yang lebih baik (OR 0,86; 95% CI 0,57
1,29).
Saat ini banyak dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan teknik transfer
embrio sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan.
Beberapa teknik yang sering digunakan antara lain adalah pembersihan serviks, pengisian
kandung kencing, penggunaan soft catheter, dummy transfer, dilatasu servikd, atau
ultrasound guided embryo transfer. Keberhasilan kehamilan akan dinilai 2 minggu
pascatransfer embrio.

Luteal Support
Pemberian GnRH agonis sangat stimulasi ovarium akan menyebabkan defek fase luteal
sehingga dapat mengganggu proses implantasi. Untuk mengatasi hal ini diperlukan
pemberian hormone progesterone, kombinasi estrogen-progesteron, atau hCG dalam berbagai
bentuk sediaan, dosis maupun rute pemberian. Meta analisis membuktikan bahwa pemberian
progesterone sama efektifnya dengan hCG dalam meningkatkan kemungkinan kehamilan
pascaFIV, sedangkan penambahan preparat estrogen oral pascaFIV akan meningkatkan
keberhasilan implantasi.

Kriopreservasi
Tindakan kriopreservasi sperma dan embrio merupakan hal penting dalam teknologi
reproduksi berbantu (TRB). Dengan ditemukannnya berbagai teknik baru dalam stimulasi
ovarium, maka serung dijumpai jumlah oosit dan embrio yang banyak sehingga diperlukan
teknik kriopreservasi untuk melakukan simpan beku embrio yang tersisa. Teknik ini juga
penting pada kasus-kasus hiperstimulasi ovarium yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
transfer embrio. Berbagai teknik yang digunakan dalam hal ini yaitu slow freezing, rapid
freezing, atau vitrifikasi.
Hal penting yang harus dihadapi dalam prosedur simpan beku terutama adalah keamanan
penyimpanan, kemungkinan transmisi penyakut, dan keberhasilan atau viabilitas embrio
setelah thawing.

Penutup
Meski telah terjadi perkembangan yang pesat dalam bidang FIV, keberhasilan kehamilan
dalam program FIV hanya berkisar 30% dengan kegagalan terbanyak disebabkan oleh factor
implantasi. Oleh karena itu, berbagai penelitian saat ini diarahkan untuk mencari factor-faktor
yang dapat mempengaruhi proses implantasi dan bagaimana mengatasi masalah ini.

You might also like