You are on page 1of 26

LAPORAN KEGIATAN

F 7. MINI PROJECT

KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI


PUSKESMAS NGASEM PERIODE JULI - OKTOBER 2015

DISUSUN OLEH:
dr. SYUKRON CHALIM

INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS NGASEM KABUPATEN BOJONEGORO
PERIODE JULI 2015 - OKTOBER 2015

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Usaha Kesehatan Masysrakat


Laporan F7. Mini Project

Topik :
KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI
PUSKESMAS NGASEM PERIODE JULI - OKTOBER 2015
Diajukan dan dipresentasikan dalam rangka praktik klinis dokter internship sekaligus
sebagai bagian dari persyaratan menyelesaikan program internship dokter Indonesia di
Puskesmas Pringsurat Kabupaten Temanggung

Telah diperiksa dan disetujui pada tanggal

Oktober 2015

Mengetahui,
Dokter Internsip

Dokter Pendamping

dr. Syukron Chalim

dr. Tri Vera Handayani


NIP.

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara ini yang sifatnya
progresif dan terkait dengan respon inflamasi paru akibat gas atau partikel berbahaya
(GOLD, 2007). Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari
gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan asma. Gejala
utamanya adalah sesak napas, batuk, dan produksi sputum yang meningkat (PDPI, 2011).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian kelima terbesar di
Amerika Serikat.Penyakit ini menyerang lebih dari 25% populasi dewasa.(Smeltzer &
Bare, 2001)
World health organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020
prevalensi PPOK akan meningkat. Data dari World Health Organization (WHO)
mengemukakan bahwa pada tahun 2010 PPOK menempati peringkat keempat sebagai
penyebab kematian setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vascular
sehingga menarik untuk dibicarakan karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus
meningkat. Peningkatan ini berbanding lurus dengan semakin tingginya prevalensi
merokok di berbagai negara, polusi udara dan bahan bakar biomasa lainnya yang menjadi
faktor risiko utama PPOK. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai 24 Miliyar
per tahunnya (Sudoyo et al, 2007). PPOK merupakan salah satu masalah besar di bidang
kesehatan dengan prevalensi 4-6% pada penduduk dewasa di Eropa dengan prevalensi
didominasi jenis kelamin laki-laki dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia
(Hackett, 2010).
Di Asia Tenggara diperkirakan prevalensi PPOK sebesar 6,3% dengan prevalensi
tertinggi ada di negara Vietnam (6,7%) dan RRC (6,5%). Di Indonesia diperkirakan
terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini meningkat dengan makin
banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan perokok
(PDPI, 2011). Pada Riset Kesehatan tahun 2013, Jawa Timur menduduki peringkat ke 10
dalam jumlah penderita PPOK dari seluruh propinsi di Indonesia (Riskesdas, 2013).
Sedangkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hasil survei Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM&PL) di 5
rumah sakit propinsi di Indonesia yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung,

dan Sumatera Selatan pada tahun 2004 menunjukkan bahwa PPOK menempati urutan
pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%),
kanker paru (30%) dan lainnya (2%) .
Merokok adalah suatu kebiasaan yang memiliki daya rusak yang cukup besar
terhadap kesehatan (Kusuma, 2011). Data dari WHO memperkirakan 1,25 miliar orang
penduduk dunia adalah perokok dan dua pertiganya terdapat di negara-negara maju
(Sajinadiyasa et al, 2010). Angka kejadian perokok di Amerika Serikat dan Inggris pada
laki-laki yaitu 26% dan 27% dan pada wanita adalah 21% dan 25% (Thomson et al, 2004).
Indonesia menduduki peringkat ke-4 jumlah perokok terbanyak di dunia dengan jumlah
sekitar 141 juta orang (Gondodiputro, 2007).
B. PERUMUSAN MASALAH
Bagaimana Karakteristik Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Di
Puskesmas Ngasem Periode Juli - Oktober 2015?
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Karakteristik Pasien Penyakit

Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Di Puskesmas Ngasem Periode Juli - Oktober


2015.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) Periode Juli Oktober 2015
b. Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) berdasarkan
jenis kelamin.
c. Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) berdasarkan
usia.
d. Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) berdasarkan

kebiasaan merokok

D. MANFAAT
1. Sebagai tambahan informasi ilmiah karakteristik pasien Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK) di Puskesmas Ngasem Periode Juli - Oktober 2015
2. Sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Surabaya dalam perancanaan tindakan
lanjut bagi upaya menurunkan angka Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

3. Sebagai bahan informasi untuk pengembangan penelitian yang serupa dan berkelanjutan
tentang pelaksanaan surveilans epidemiologi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)


2.1.1 Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran pernafasan yang
progresif dan ireversibel; terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya.

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah penyakit tunggal, tetapi merupakan satu
istilah yang merujuk kepada penyakit paru kronis yang mengakibatkan gangguan pada
sistem pernafasan (Snider, 2003).
Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi batuk kronik yang
produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-turut. Sementara emfisema
didefinisikan sebagai pembesaran alveolus di hujung terminal bronkiol yang permanen dan
abnormal disertai dengan destruksi pada dinding alveolus serta tanpa fibrosis yang jelas.
The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) guidelines
mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan gangguan pernafasan yang
ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi yang abnormal pada paru
akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas yang berbahaya (Kamangar, 2010).
Sementara menurut Affyarsyah Abidin, Faisal Yunus dan Wiwien Heru Wiyono
(2009), PPOK adalah penyakit paru kronik yang tidak sepenuhnya reversibel, progresif,
dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal terhadap partikel dan gas yang
berbahaya. Kata progresif disini berarti semakin memburuknya keadaan seiring
berjalannya waktu (National Heart Lung and Blood Institute, 2009) .
2.1.2 Gejala-gejala PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi
akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat
akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak nafas yang
semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum atau
dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan gangguan
tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut ini dapat dibagikan menjadi dua yaitu gejala
respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak nafas yang semakin bertambah
berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas
yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh,
peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien (Riyanto, Hisyam, 2006).
Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien mengalami gejala batuk, sputum
yang produktif, sesak nafas, dan mempunyai riwayat terpajan faktor risiko. Diagnosis
memerlukan pemeriksaan spirometri untuk mendapatkan nilai volume forced expiratory
maneuver (FEV 1) dan force vital capacity (FVC). Jika hasil bagi antara FEV 1 dan FVC
kurang dari 0,7, maka terdapat pembatasan aliran udara yang tidak reversibel sepenuhnya
(Fahri, Sutoyo, Yunus, 2009). Pada orang normal volume forced expiratory maneuver

(FEV 1) adalah 28ml per tahun, sedangkan pada pasien PPOK adalah 50 - 80 ml. Menurut
National Population Health Study (NPHS), 51% penderita PPOK mengeluhkan bahwa
sesak nafas yang mereka alami menyebabkan keterbatasan aktivitas di rumah, kantor dan
lingkungan social (Abidin, Yunus, Wiyono, 2009).
2.1.3 Faktor- faktor risiko PPOK
a) Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States
menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama mortalitas bronkitis kronik
dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik setelah
forced expiratory maneuver (FEV 1), terjadi penurunan mendadak dalam volume ekspirasi
yang bergantung pada intensitas merokok. Hubungan antara penurunan fungsi paru dengan
intensitas merokok ini berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK seiring
dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan
penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan pria. Sementara prevalensi PPOK
dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita yang merokok
dari tahun ke tahun (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
PPOK berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama kali merokok,
jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status terbaru perokok
memprediksikan mortalitas akibat PPOK. Individu yang merokok mengalami penurunan
pada FEV1 dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko menderita PPOK (Kamangar,
2010).
Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi sistem
pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi paru
(Kamangar, 2010). Pemaparan asap rokok pada anak dengan ibu yang merokok
menyebabkan penurunan pertumbuhan paru anak. Ibu hamil yang terpapar dengan asap
rokok juga dapat menyebabkan penurunan fungsi dan perkembangan paru janin semasa
gestasi.
b) Hiperesponsif saluran pernafasan
Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan emfisema adalah variasi
penyakit yang hampir sama yang diakibatkan oleh faktor genetik dan lingkungan.
Sementara British hypothesis menyatakan bahwa asma dan PPOK merupakan dua kondisi
yang berbeda; asma diakibatkan reaksi alergi sedangkan PPOK adalah proses inflamasi
dan kerusakan yang terjadi akibat merokok. Penelitian yang menilai hubungan tingkat

respon saluran pernafasan dengan penurunan fungsi paru membuktikan bahwa peningkatan
respon saluran pernafasan merupakan pengukur yang signifikan bagi penurunan fungsi
paru (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
Meskipun begitu, hubungan hal ini dengan individu yang merokok masih belum
jelas. Hiperesponsif salur pernafasan ini bisa menjurus kepada remodeling salur nafas yang
menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi pada penderita PPOK (Kamangar, 2010).
c) Infeksi saluran pernafasan
Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa infeksi salur
nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan
PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah penyebab penting terjadinya eksaserbasi
PPOK, hubungan infeksi saluran nafas dewasa dan anak-anak dengan perkembangan
PPOK masih belum bisa dibuktikan (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
d) Pemaparan akibat pekerjaan
Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran nafas juga
bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama bekerja. Pekerjaan seperti
melombong arang batu dan perusahaan penghasilan tekstil daripada kapas berisiko untuk
mengalami obstruksi saluran nafas. Pada pekerja yang terpapar dengan kadmium pula,
FEV 1, FEV 1/FVC, dan DLCO menurun secara signifikan (FVC, force vital capacity;
DLCO, carbon monoxide diffusing capacity of lung). Hal ini terjadi seiring dengan
peningkatan kasus obstruksi saluran nafas dan emfisema. Walaupun beberapa pekerjaan
yang terpapar dengan debu dan gas yang berbahaya berisiko untuk mendapat PPOK, efek
yang muncul adalah kurang jika dibandingkan dengan efek akibat merokok (Reily, Edwin,
Shapiro, 2008).
e) Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan
pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi udara
yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya
PPOK masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil
pembakaran biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK
pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko
yang kurang penting berbanding merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
f) Faktor genetik

Defisiensi 1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko untuk


terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi 1-antitripsin di
Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. 1-antitripsin merupakan inhibitor
protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrophil elastase di paru.
Defisiensi 1-antitripsin yang berat menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53 tahun
bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi perokok (Kamangar, 2010).
2.1.4 Patogenesis PPOK
Perubahan patologis pada PPOK terjadi di saluran pernafasan, bronkiolus dan
parenkim paru. Peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear yang diaktivasi dan
makrofag yang melepaskan elastase tidak dapat dihalangi secara efektif oleh antiprotease.
Hal ini mengakibatkan destruksi paru. Peningkatan tekanan oksidatif yang disebabkan oleh
radikal-radikal bebas di dalam rokok dan pelepasan oksidan oleh fagosit, dan leukosit
polimorfonuklear menyebabkan apoptosis atau nekrosis sel yang terpapar. Penurunan usia
dan mekanisme autoimun juga mempunyai peran dalam patogenesis PPOK (Kamangar,
2010)
a) Bronkitis kronik
Pembesaran kelenjar mukus, perubahan struktur pada saluran pernafasan termasuk
atrofi, metaplasia sel squamous, abnormalitas silia, hiperplasia otot lurik, proses inflamasi,
dan penebalan dinding bronkiolus adalah tanda-tanda bronkitis kronik. Neutrofilia terjadi
di lumen saluran pernafasan dan infiltrasi neutrofil berkumpul di submukosa. Di
bronkiolus, terjadi proses inflamasi mononuklear, oklusi lumen oleh mukus, metaplasia sel
goblet, hiperplasia otot lurik, dan distorsi akibat fibrosis. Semua perubahan ini
dikombinasikan bersama kehilangan supporting alveolar attachments menyebabkan
pernafasan yang terbatas akibat penyempitan lumen saluran pernafasan dan deformitas
dinding saluran pernafasan (Kamangar, 2010).
b) Emfisema
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal dan
disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat 3 jenis emfisema menurut morfologinya:
1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan meluas ke
perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering terjadi akibat kebiasaan
merokok yang telah lama.
2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal dan
bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah. Emfisema tipe ini adalah

tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien dengan defisiensi 1-antitripsin.
3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus.
Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003).
2.1.5 Komplikasi PPOK
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal nafas yang digolongkan
menjadi gagal nafas kronik dan gagal nafas akut. Pada gagal nafas kronik ditandai dengan
sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan puruen, demam, dan
kesadaran menurun. Selain itu dapat timbul pula infeksi berulang yang terjadi akibat
produksi sputum berlebihan sehingga terbentuk koloni kuman. Pada kondisi kronik ini
imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Komplikasi lain adalah terjadinya kor pulmonal yang ditandai oleh P pulmonal pada EKG
dan hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan.
2.1.6 Penatalaksanaan PPOK
Adapun tujuan dari penatalaksanaan PPOK ini adalah: (PDPI, 2011)
-

Mencegah progresifitas penyakit

Mengurangi gejala

Meningkatkan tolenransi latihan

Mencegah dan mengobati komplikasi

Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang

Mencegah dan meminimalkan efek samping obat

Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

Meningkatkan kualitas hidup penderita

Menurunkan angka kematian


Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu tujuan selama

tata laksana PPOK.


a) Terapi Farmakologis
1. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting) (PDPI, 2011).

Macam-macam bronkodilator: (PDPI, 2011)


a. Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
b. Golongan agonis beta-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidka dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
c. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
d. Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer
untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan
kadar aminofilin darah.
2. Kortikosteroid
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg (PDPI, 2011).
3. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan: (PDPI, 2011)
Lini I: Amoksisilin, Makrolid
Lini II: amoksisilin dan asam kluvanat, Sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
4. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat

perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin (PDPI, 2011).
b) Terapi non-farmakologis
1. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen (PDPI, 2011):
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi:
Pao2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90%
Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan
Pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru
lain.
2. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi
akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi
paru dan perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan: (PDPI, 2011)
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

3. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup pendita PPOK. Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu:
(PDPI, 2011)
- Latihan fisik
- Latihan pernapasan dan latihan endurance
- Rehabilitasi psikososial
2.2 Rokok
2.2.1 Definisi rokok
Rokok adalah gulungan tembakau yang dibalut dengan kertas atau daun nipah.
Menurut Alamsyah (2009), rokok umumnya terbagi menjadi tiga kelompok yaitu rokok
putih, rokok kretek dan cerutu. Bahan baku rokok adalah daun tembakau yang dirajang dan
dikeringkan. Cerutu biasanya berbentuk seperti kapal selam dengan ukuran yang lebih
besar dan lebih panjang berbanding rokok putih dan rokok kretek. Cerutu terdiri dari daun
tembakau yang dikeringkan saja tanpa dirajang, digulung menjadi silinder besar lalu
diberikan lem. Gulungan tembakau yang dikeringkan, dirajang, dan dibungkus dengan
kertas rokok dikenali sebagai rokok putih. Apabila ditambah cengkeh atau bahan lainnya
dalam rokok putih ia dikenali sebagai rokok kretek (Khoirudin, 2006).
2.2.2 Definisi merokok dan perokok
Merokok pada dasarnya adalah kegiatan atau aktivitas membakar rokok yang
kemudiannya dihisap dan dihembuskan keluar sehingga orang yang disekitarnya juga bisa
terhisap asap rokok yang dihembuskannya (Kemala, 2008). Menurut Alamsyah (2009),
perokok adalah seseorang yang merokok sekurang-kurangnya satu batang per hari selama
sekurang-kurangnya satu tahun.
2.2.3 Klasifikasi perokok
Perokok pada garis besarnya dibagi menjadi dua yaitu perokok aktif dan perokok
pasif. Perokok aktif adalah orang yang langsung menghisap asap rokok dari rokoknya,
sedangkan perokok pasif adalah orang-orang yang tidak merokok, namun ikut menghisap
asap sampingan selain asap utama yang dihembuskan balik oleh perokok. Dari beberapa
pengamatan dilaporkan bahwa perokok pasif menghisap lebih banyak bahan beracun
daripada seorang perokok aktif (Khoirudin, 2006).
Alamsyah (2009), mengklasifikasikan perokok atas tiga kategori, yaitu:

1. Bukan perokok (non-smoker), seseorang yang belum pernah mencoba merokok sama
sekali.
2. Perokok eksperimental (experimental smokers), seseorang yang telah mencoba merokok
tetapi tidak menjadikannya suatu kebiasaan.
3. Perokok tetap (regular smokers), seseorang yang teratur merokok baik dalam hitungan
mingguan atau dengan intensitas yang lebih tinggi.
Menurut Smet (1994) dalam Kemala (2008) terdapat tiga tipe perokok yang dapat
diklasifikasikan menurut banyaknya rokok dihisap. Tiga tipe perokok tersebut adalah:
1. Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok sehari
2. Perokok sedang yang menghisap 5 - 14 batang rokok dalam sehari
3. Perokok ringan yang menghisap 1 - 4 batang rokok sehari
Sementara menurut Bustan (1997) dalam Khoirudin (2006), yang dikatakan
perokok ringan adalah perokok yang menghisap 1 - 10 batang rokok sehari, perokok
sedang, 11 - 20 batang sehari, dan perokok berat lebih dari 20 batang rokok sehari. Sitepoe
(2000) dalam Alamsyah (2009), membagikan perokok kepada empat kelompok, yaitu
perokok ringan, sedang, dan berat sama seperti menurut Bustan (1997) dan kelompok
keempat, yaitu perokok yang menghisap rokok dalam-dalam.
2.2.4 Kandungan bahan kimia dalam rokok
Tiap rokok mengandung kurang lebih daripada 4000 elemen, dan hampir 200
diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah nikotin,
karbon monoksida, dan tar. Zat-zat kandungan rokok ini adalah yang paling berbahaya
bagi tubuh. Rokok putih mengandung 14 - 15 mg tar dan 5 mg nikotin, sementara rokok
kretek mengandung sekitar 20 mg tar dan 4 - 5 mg nikotin. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan tar dan nikotin pada rokok kretek lebih tinggi daripada rokok putih. Kandungan
tar dan nikotin pada cerutu adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan rokok
putih dan rokok kretek oleh karena ukurannya yang lebih besar (Khoirudin, 2006).
a) Nikotin
Nikotin merupakan zat yang bisa meracuni saraf, meningkatkan tekanan darah,
menimbulkan penyempitan pembuluh darah perifer, dan menyebabkan ketagihan dan
ketergantungan pada pemakainya. Selain itu, nikotin juga mengganggu sistem saraf
simpatis dengan merangsang pelepasan adrenalin, meningkatkan frekuensi denyut jantung,
tekanan darah dan kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama
jantung. Nikotin juga mengganggu kerja otak, dan banyak bagian tubuh yang lain. Nikotin

mengaktifkan trombosit dan menyebabkan adhesi trombosit ke dinding pembuluh darah.


Perangsangan reseptor pada pembuluh darah oleh nikotin akan mengakibatkan
peningkatan sistolik dan diastolik, yang selanjutnya akan mempengaruhi kerja jantung.
Penyempitan pembuluh darah perifer akibat nikotin akan meningkatkan risiko terjadinya
ateriosklerosis, selain juga meningkatkan tekanan darah (Khoirudin, 2006).
b) Karbon monoksida (CO)
Gas karbon monoksida (CO) memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan
dengan hemoglobin dalam eritrosit. Hemoglobin seharusnya berikatan dengan oksigen
untuk didistribusikan ke seluruh tubuh. Karena CO lebih kuat berikatan dengan
hemoglobin daripada oksigen, CO akan bersaing untuk menempati tempat oksigen pada
hemoglobin. Menurut Amalia (2002) dalam Khoirudin (2006), kadar gas CO dalam darah
bukan perokok kurang dari 1%, sementara dalam darah perokok mencapai 4-15%. Gas ini
akan menimbulkan desaturasi haemoglobin dan menurunkan penghantaran oksigen ke
jaringan seluruh tubuh. Karbon monoksida juga mengganggu pelepasan oksigen,
mempercepat aterosklerosis, menurunkan kapasitas latihan fisik, dan meningkatkan
viskositas darah sehingga mempermudah penggumpalan darah (Khoirudin, 2006).
c) Tar
Tar merupakan komponen padat asap rokok yang bersifat karsinogen. Kadar tar
dalam rokok berkisar 24 - 45 mg. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga
mulut dalam bentuk uap padat. Setelah dingin, tar akan menjadi padat dan membentuk
endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran pernafasan dan paru. Pengendapan
ini bervariasi antara 3 - 40 mg per batang rokok (Khoirudin, 2006).

2.2.5 Pengaruh asap rokok pada paru


Merokok merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK. Gangguan respirasi dan
penurunan faal paru paling sering terjadi pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah
bungkus rokok pertahun, dan perokok aktif mempengaruhi angka kematian. Perokok pasif
dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko terjadinya PPOK. Di Indonesia,
70% kematian karena penyakit paru kronik dan emfisema adalah akibat penggunaan
tembakau. Lebih daripada setengah juta penduduk Indonesia pada tahun 2001 menderita
penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh penggunaan tembakau (Supari, 2008).
Secara umum telah diketahui bahwa merokok dapat menyebabkan gangguan

pernafasan. Terdapat beberapa alasan yang mendasari pernyataan ini. Pertama, salah satu
efek dari penggunaan nikotin akan menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru, yang
meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam dan keluar paru. Kedua, efek iritasi asap
rokok menyebabkan peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus serta
pembengkakan lapisan epitel. Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan
sel epitel pernapasan yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan
cairan dan partikel asing dari saluran pernafasan. Akibatnya lebih banyak debris
berakumulasi dalam jalan napas dan kesukaran bernapas menjadi semakin bertambah.
Hasilnya, semua perokok baik berat maupun ringan akan merasakan adanya tahanan
pernafasan dan kualitas hidup berkurang (Guyton, 2006).
Pada beberapa perokok berat yang tidak menderita emfisema, dapat terjadi
bronkitis kronik, obstruksi bronkiol terminalis dan destruksi dinding alveolus. Pada
emfisema berat, sebanyak empat perlima membran saluran pernafasan dapat rusak.
Meskipun hanya melakukan aktivitas ringan, gawat pernafasan bisa terjadi. Pada
kebanyakan pasien PPOK dengan gangguan pernafasan terjadi keterbatasan aktivitas
harian, bahkan ada yang tidak dapat melakukan satu kegiatan pun. Dipercayai merokok
adalah penyebab utamanya (Guyton, 2006).
Terdapat hubungan dose response antara rokok dan PPOK. Lebih banyak batang
rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko
penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat
dilihat dan diukur dengan Index Brinkman (IB), yaitu jumlah konsumsi batang rokok per
hari dikalikan dengan jumlah lamanya merokok dalam tahun (Supari, 2008). Derajat berat
merokok ini dikatakan ringan apabila IB 0 - 200, sedang jika 200 - 600 dan berat apabila
lebih daripada 600. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan jenis perokok
sama ada perokok aktif, perokok pasif atau bekas perokok (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003).

BAB III
METODE
Sebelum mengetahui tentang metoda penyuluhan kesehatan, hendaknya diketahui
terlebih dahulu tentang tujuan yang akan dicapai, apakah akan merubah periakal
(knowledge), perirasa (attitude) atau kah perilaku (behaviour). Dengan mengetahui
sasarannya maka dapat dipilih kira-kira metode yang mana paling cocok dari hal hal
tersebut penyuluhan kesehatan pasien PPOK yang cocok adalah antara lain ceramah,
diskusi, bimbingan penyuluhan, tanya jawab, monitor diri sendiri dan ikut menjadi anggota

perkumpulan PPOK. Dengan sendirinya masing-masing cara ada keuntungan dan


kerugiannya, dan metoda satu dan lainnya saling mempengaruhi.
Oleh karena itu metode penyuluhan yang akan dilakukan adalah ceramh, diskusi,
bimbingan penyuluhan , Tanya jawab serta memberikan lefleat dan presentasi sebagai
media penyuluhan
Pelaksaanaan penyuluhan tersebut dilakukan pada:
Hari / Tanggal : Jam kerja Puskesmas Ngasem bulan Juli-Oktober dan Jumat / 16
Oktober 2015
Waktu
: 09.00 WIB - selesai
Tempat
: Puskesmas Ngasem dan Posyandu Lansia Sendangharjo
Peserta
: Pasien PPOK Puskesmas Ngasem dan Lansia Sendangharjo
Penyuluhan dilakukan dengan memperhatikan beberapa prinsip yaitu :
1. Memberikan dukungan dan nasihat yang positif dan menghindari kecemasann.
2. Memberikan informasi secara bertahap, tidak beberapa hal sekaligus.
3. Memuai dengan hal yang sederhana baru kemudian yang kompleks.
4. Mempergunakan alat bantu dengar-pandang (audio visual) slide, dan lefleat
5. Memperbaiki ketaatan pasien dengan memberikan pengobatan sesederhana mungkin.
6. Melakukan motivasi dengan cara memberi penghargaan dan mendiskusikan hasil tes
Laboratorium.

BAB IV
HASIL MINI PROJECT
A. Penyuluhan
Penyuluhan dilakukan secara tatap muka, dihadiri petugas puskesmas, serta
para warga. Penyuluhan dimulai dengan perkenalan dengan pembicara dilanjutkan
penyampaian materi PPOK oleh dokter internsip, kemudian ditutup dengan tanyajawab dan diskusi. Selain itu peserta diberi pesan agar materi yang diperoleh
selama penyuluhan dapat disampaikan pada keluarga, serta teman lainnya yang
tidak datang pada waktu penyuluhan, jika ada pertanyaan yang tidak dijawab atau
kurang paham dapat ditanyakan pada petugas kesehatan. Para peserta menunjukkan
minat dan perhatian yang baik akan kegiatan penyuluhan.
B. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan pengecekan pemahaman peserta


penyuluhan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar materi yang telah
disampaikan. Pertanyaan yang dijawab dengan benar oleh peserta penyuluhan
merupakan bukti keberhasilan bahwa penyuluhan yang telah dilakukan mampu di
terima dan dipahami oleh peserta. Bagi peserta yang menjawab keliru perlu
dibenarkan dan menanyakan adakah yang masih belum dipahami, untuk kemudian
penyuluh memberikan informasi kembali agar peserta dapat memahami dengan
baik dan benar.
C. Hasil Penelitian
Penelitian mengenai hubungan antara derajat merokok dengan prevalensi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ini didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 1. Distribusi pasien PPOK berdasarkan jenis kelamin
JenisKelamin
Laki-laki
Perempuan
Jumlah

PPOK
Jumlah
23
7
30

%
76,7%
23,3 %
100%

Tabel 2. Distribusi pasien PPOK dan berdasarkan umur


Umur
(tahun)
<40
40-49
50-59
60-69
70
Jumlah

PPOK
Jumlah

4
9
6
7
4
30

13,3
30
20
23,3
13,3
100

Tabel 3. Distribusi pasien PPOK berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap
Jumlah Batang
Rokok (Perhari)
10
11-20
21
Jumlah

PPOK
Jumlah
%
6
11
13
30

20
36,7
43,3
100

Tabel 4. Distribusi pasien PPOK berdasarkan lama merokok


LamaMerokok
(Tahun)
10

PPOK
Jumlah
%
0

11-20
21
Jumlah

5
25
30

16,7
83,3
100

BAB V
DISKUSI
Penelitian ini menunjukkan distribusi pasien PPOK lebih besar terjadi pada lakilaki yakni sebesar 76,7% seperti yang tercantum pada tabel 1. Hasil ini sesuai dengan
gambaran penderita penyakit paru oleh karena paparan rokok di Poliklinik Paru RSUP
Sanglah yang mayoritas pasien PPOK adalah laki-laki yakni sebesar 65,7% (Sajinadiyasa,
2010). Pada tabel 2, distribusi pasien PPOK berumur lebih dari 40 tahun memiliki
presentase tertinggi. Hal ini sesuai dengan pedoman diagnosis penyakit PPOK dan
bronkitis kronis yang menyatakan bahwa usia faktor risiko dari penyakit ini adalah usia
lebih dari 40 tahun (PDPI, 2011). Menurut jurnal penelitian Suradi (2007) juga disebutkan
bahwa angka kematian dan angka kesakitan PPOK akan meningkat pada penderita yang
berumur lebih dari 45 tahun.
Tabel 3 dan 4 menyatakan bahwa sebagian besar penderita PPOK adalah perokok
berderajat berat dengan jumlah rokok yang dihisap 21 batang rokok perhari dan lama
merokok 21 tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat Suradi (2007) bahwa semakin banyak
jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi perokok, maka
semakin besar risiko untuk mengalami PPOK. Rokok memberi kontribusi yang besar pada
angka kesakitan atau angka kematian dan memberikan masalah ketergantungan yang
berhubungan dengan berbagai penyakit termasuk PPOK (Rai, 2008).
Berdasarkan diskusi serta tanya jawab dengan warga pada waktu penyuluhan,
menunjukkan masih banyak warga yang mempunyai kebiasaan merokok. Merokok
merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK. Gangguan respirasi dan penurunan faal
paru paling sering terjadi pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus rokok
pertahun, dan perokok aktif mempengaruhi angka kematian. Perokok pasif dan merokok
selama hamil juga merupakan faktor risiko terjadinya PPOK. Di Indonesia, 70% kematian

karena penyakit paru kronik dan emfisema adalah akibat penggunaan tembakau. Lebih
daripada setengah juta penduduk Indonesia pada tahun 2001 menderita penyakit saluran
pernafasan yang disebabkan oleh penggunaan tembakau (Supari, 2008).
Terdapat hubungan dose response antara rokok dan PPOK. Lebih banyak batang
rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko
penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat
dilihat dan diukur dengan Index Brinkman (IB), yaitu jumlah konsumsi batang rokok per
hari dikalikan dengan jumlah lamanya merokok dalam tahun (Supari, 2008). Derajat berat
merokok ini dikatakan ringan apabila IB 0 - 200, sedang jika 200 - 600 dan berat apabila
lebih daripada 600. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan jenis perokok
ada perokok aktif, perokok pasif atau bekas perokok (PDPI, 2011).
Kejadian PPOK diakibatkan karena warga terutama bapak-bapak dan lansia lakilaki memiliki kebiasaan merokok baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan
berpengaruh terhadap orang terdekatnya. Pada kebanyakan pasien PPOK dengan gangguan
pernafasan terjadi keterbatasan aktivitas harian, bahkan ada yang tidak dapat melakukan
satu kegiatan pun. Dipercayai merokok adalah penyebab utamanya.
Dari analisis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebiasaan merokok
berdampak pada tingginya kejadian PPOK di dusun Klepu.

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa kesakitan penderita PPOK terjadi
pada usia lebih dari 40 tahun, jumlah penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan,
dan perokok berderajat berat dengan jumlah rokok yang dihisap 21 batang rokok perhari
dan lama merokok 21 tahun.
B. Saran
1. Bagi Kader
a. Dilakukan penyuluhan rutin oleh para kader agar warga selalu ingat dengan
bahaya merokok dan risikonya
b. Dilakukan penyuluhan mengenai ventilasi yang baik pada rumah agar pertukaran
udara di rumah baik
2. Bagi warga Desa Ngasem terutama bapak-bapak dan lansia laki-laki agar mau
mengurangi bahkan dapat berhenti merokok sehingga terjadi penurunan angka
PPOK

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, H., 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University
Press.
Arief, M.Tq., 2010. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta :
UNSPRESS.
Babusyte, A., Kristina, S., Jeroch, J., Lotvall, J. 2007. Pattern of Airway Inflammation and
MMP-12 Expression in Smokers and Ex-Smokers with COPD. Respiratory
Research. 8:81.
Bartal, M., 2005. COPD and Tobacco Smoke. Tobacco Pouch. Monaldi Arch Chest Dis.
63: 4, 213-225.
Depkes (Departemen Kesehatan Republik Indonesia), 2012. Rokok Membunuh Lima Juta
Orang Setiap Tahun (http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/458rokokmembunuh- lima-juta-orang-setiap-tahun.html)
Devereux, 2006. ABC of chronic obstructive pulmonary disease. Definition, epidemiology,
and risk factors. BMJ. 332: 1142-4.
Djojodibroto, R., 2009. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta : EGC
Fawzani, 2005., Terapi Berhenti Merokok (Studi Kasus 3 Perokok Berat). Yogyakarta :
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease), 2007. Executive
summary global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease update 2007.
Gondodiputro, S., 2007. Bahaya Tembakau dan Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau.
Bandung : FK UNPAD.
Ikawati, Z., 2011. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya. Yogyakarta :
Bursa Ilmu.

IPCRG (International Primary Care Respiratory Group), 2006. Management of Chronic


Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Primary Care Respiratory Journal. 15, 4857.
Ismir, F., Dianiati, K.S., 2009. Efek Peradangan Sistemik Pada PPOK Terhadap Sistem
Kardiovaskular. Jurnal Respirologi Indonesia. Departemen Pulmonologi FKUI.
Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Kedokteran Vaskular FKUI. RSUP
Persahabatan. Jakarta
Jindal, SK., Anggarwal, SK., 2006. Chaudhry, K., Gupta, D., Chhabra, SK., DSouza, GA.,
A Multicentric Study on Epidemiology of Chronic Obstructive Pulmonary Disease
and its Relationship with Tobacco Smoking and Environmental Tobacco Smoke
Exposure. The Indian Journal of Chest Disease and Allied Sciences. Vol.48. 23-30.
Kasim, E., 2001. Merokok sebagai Faktor Resiko Terjadinya Penyakit Periodontal.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
KMKRI (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia), 2008., Pedoman
Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008.
Kusuma, A., 2011. Pengaruh Merokok Terhadap Kesehatan Gigi dan Rongga Mulut.
Semarang : Universitas Islam Sultan Agung (http://www.unissula.ac.id)
Mannino, 2006. COPD in never-smoker : Results from the Population-based burden of
Obstructive Lung Disease. Chestnet : Pubmed. 139, 752-763.
Notoadmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi Cetakan Pertama.
Jakarta : Rineka Cipta.
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), 2003. PPOK, Pedoman Praktis diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI.
PDPI, 2011. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik), Diagnosis dan Penatalaksanaan.
Revisi pertama. Jakarta : PDPI.
Rai, I.B. Ngurah., Sajinadiyasa., 2008. Hubungan Merokok dan Lama Rawat Inap Pasien
Asma Eksaserbasi Akut di RSUP Sanglah Denpasar. Divisi Pulmonologi/SMF Ilmu
Penyakit Dalam : FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.
Russel, R., Culpitt, S., Barnes, P., Smith, M., DeMatos, C., Donnelly, L., 2002. Release
and

Activity

of

Matrix

Metalloproteinase-9

and

Tissue

Inhibitor

of

Metalloproteinase-1 by Alveolar Macrophages from Patients with Chronic


Obstructive Pulmonary Disease. Am.J.Respir. Cell.Mol.Biol; 26 : 602-609.

Sajinadiyasa, 2010. Prevalensi dan Risiko Merokok Terhadap Penyakit Paru Di Poliklinik
Paru Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Jurnal Respirologi Indonesia.
Divisi Pulmonologi/SMF Ilmu Penyakit Dalam : FK UNUD/ RSUP Sanglah
Denpasar.
Savitz, D. Meyer, R. Tanzer, J. Lewin, F., 2006. Public Health implication of smokeless
tobacco use as a harm reduction strategy. American Journal of Public Health. 96 :
1934-1939.
Soegito, 2004., Pengobatan Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut dengan Ciprofloxacin
Dibandingkan dengan Co Amoxiclav. Sumatera Utara : Bagian Ilmu Penyakit Paru
FK USU
Sopiyudin, D., 2011. Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan.
Jakarta : Evidence Based Medicine.
Sudoyo et al, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi Keempat. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Suradi, 2007. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Tinjauan
Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Pengukuhan Guru Besar Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi. Surakarta : UNS.
Sutoyo, 2009., Bronkitis Kronis dan Lingkaran yang tak Berujung Pangkal (Vicious
Circle). Jurnal Respirologi Indonesia. Jakarta : Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi RS Persahabatan Jakarta.
Tabrani, R., 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Trans Info Media
Teramoto, S., 2007. COPD Phatogenesis from the viewpoint of risk factors. Tokyo :
Internal Medicine.
Thomson, N.C., Livingstone, E., 2004. Asthma and cigarette smoking. Eur Respir J. 24 :
822-33.
Yunus, F., 2003. Manfaat Rehabilitasi Paru dalam Meningkatkan atau Mempertahankan
Kapasitas Fungsional dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di
RSUP Persahabatan. Jurnal Respirologi Indonesia. Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. Jakarta
Yunus, F., 2009. Penatalaksanaan Bronkhitis Kronik. Jurnal Respirologi Indonesia.
Jakarta : Bagian Pulmonologi FKUI Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta.
Yunus, F., Agustin, H., 2008. Proses Metabolisme pada Penyakit Paru Obstructive Kronik
(PPOK). Jurnal Respirologi Indonesia. Volume 28. Jakarta : Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI SMF Paru RS Persahabatan


Jakarta.

You might also like