Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Jaundice dapat diartikan sebagai diskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan
sklera akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Pada orang dewasa, akan tampak kuning
bila kadar bilirubin serum >2 mg/dL, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin >5 mg/dL.
Jaundice merupakan kondisi yang paling sering yang ditemukan pada neonatus. Diskolorasi
kuning pada kulit dan sklera pada ikterus neonatorum merupakan hasil dari akumulasi
unconjugated bilirubin. Unconjugated hyperbilirubinemia merefleksikan fenomena transisional
yang normal pada sebagian besar neonatus. Namun, pada beberapa neonatus, konsentrasi total
bilirubin serum dapat sangat tinggi, dimana dapat menimbulkan kekhawatiran karena
unconjugated bilirubin adalah neurotoksik dan dapat menyebabkan kematian pada neonatus
maupun sequele neurologis pada bayi yang bertahan hidup (kernikterus atau acute bilirubin
encephalopathy). Karena itu, adanya ikterus neonatorum perlu dilakukan evaluasi. Data paling
terakhir menunjukan 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi prematur akan mengalami jaundice
yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya, dan 5,1% dari neonatus
tersebut memiliki konsentrasi total bilirubin serum (TBS) >12,9 mg/dl. Sebagian besar ikterus
yang terjadi tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang
pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab
yang mendasar yang disebut juga ikterus Patologi.
BAB II
PRESENTASI KASUS
1
: By. T S
Tanggal lahir
: 04 Desember 2015
Usia
: 6 hari
Jenis kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Suku bangsa
: Jawa
Agama
: Islam
Alamat
Golongan darah
: A, Rhesus positif
Ayah:
Ibu :
Nama : Tn. A
Nama : Ny. TS
Umur : 28 tahun
Umur : 22 tahun
Alamat : Jl. KP. Jembatan RT 06/17 no.10,
Alamat : Jl. KP. Jembatan RT 06/17 no.10,
Cakung Jakarta Timur
Cakung Jakarta Timur
Pekerjaan : Security
Pekerjaan : IRT
Penghasilan: Rp. 2.000.000,00
Penghasilan: Pendidikan : SMAK
Pendidikan : SMA
Suku Bangsa : Jawa
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Agama : Islam
Golongan Darah : A, Rhesus positif
Golongan Darah : O, Rhesus positif
Kesimpulan : Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung
I. RIWAYAT PENYAKIT
Didapatkan keterangan secara alloanamnesis melalui ayah dan ibu bayi TS, pada hari Kamis, 10
Desember 2015 Pukul 11.35 WIB di ruang Perinatologi
2
Keluhan Utama
: Bayi terlihat kuning sejak usia 6 jam sebelum masuk rumah sakit
Umur
Penyakit
Umur
(-)
Difteria
(-)
Penyakit
Penyakit jantung
Umur
(-)
3
Cacingan
(-)
Diare
(-)
Penyakit ginjal
(-)
DBD
(-)
Kejang
(-)
Radang paru
(-)
Otitis
(-)
Morbili
(-)
TBC
(-)
Parotitis
(-)
Operasi
(-)
Atopi
(-)
Tidak ada
Perawatan antenatal
KEHAMILAN
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi
Sectio Caesarea
Indikasi : Bekas SC 1 kali
38 minggu
Berat lahir : 3100 gr
KELAHIRAN
Panjang lahir : 48 cm
Lingkar kepala : 34 cm
Keadaan bayi
Kesimpulan: Pasien lahir dengan sectio caesarea, neonatus cukup bulan dengan berat badan
lahir sesuai masa kehamilan.
D. Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi I
: Belum
: Tidak ada
Psikomotor
Tengkurap
Belum
Duduk
Belum
Berdiri
Belum
Berjalan
Belum
(Normal: 13 bulan)
Bicara
Belum
Perkembangan pubertas
Rambut pubis
Payudara
Menarche
:::-
ASI/PASI
ASI sesuai kemauan bayi
ASI sesuai kemauan bayi
ASI sesuai kemauan bayi
ASI sesuai kemauan bayi
ASI sesuai kemauan bayi
Buah/Biskuit
-
Bubur Susu
-
Bubur Saring
-
F. Riwayat Imunisasi
Orang tua pasien mengaku pasien belum dilakukan imunisasi.
G. Riwayat Keluarga
a. Pernikahan
Ayah
1
26 tahun
Tidak ada
Sehat
Perkawinan ke
Umur saat menikah
Konsanguinitas
Keadaan kesehatan
Ibu
1
20 tahun
Tidak ada
Sehat
b. Corak reproduksi
No
Umur
Jenis
Hidup
Meninggal
Keterangan
2 Tahun
Kelamin
Laki laki
Sehat
6 hari
Laki - laki
Sakit (pasien)
PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit
: tampak sakit sedang
Kesadaran
: compos mentis
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 3500 gr
Tinggi Badan
: 48 cm
Lingkar Kepala
: 35 cm
Lingkar Dada
: 33 cm
Status Gizi :
BB/U
: 3.5 kg
X 100%
3.4 kg
TB/U
: 48 cm X 100%
= 96 % (Baik)
50 cm
BB/TB
: 3.5kg
X 100%
= 106% (baik)
3.3kg
Kesimpulan Status Gizi : Baik
Tanda Vital
- Nadi
- Napas
- Suhu
: 152 x / menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular.
: 50 x / menit, tipe thorakoabdominal, inspirasi:ekspirasi =1:2
: 36,6 C, axilla
STATUS GENERALIS
KEPALA
: Lingkar kepala: 34 cm (Normocephali) ubun-ubun besar belum menutup
RAMBUT
: Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, tipis
WAJAH
: Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut
8
MATA:
Alis mata merata, madarosis (-)
Bulu mata hitam, merata, trikiasis (-)
Visus
: normal
Ptosis
Sklera ikterik
: +/+
Lagofthalmus
Konjungtiva anemis : -/Cekung
Exophthalmus
: -/Kornea jernih
Endophtalmus
: -/Lensa jernih
Strabismus
: -/Pupil
Nistagmus
: -/Refleks cahaya
: langsung +/+ , tidak langsung +/+
TELINGA :
Bentuk
: normotia
Tuli
Nyeri tarik aurikula : -/Nyeri tekan tragus
Liang telinga
: lapang +/+
Membran timpani
Serumen
: -/Refleks cahaya
Cairan
: -/-
HIDUNG :
Bentuk
: simetris
Napas cuping hidung: -/Sekret
: -/Deviasi septum
:Mukosa hiperemis
: -/Konka eutrofi
: +/+
BIBIR
: mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)
MULUT
: trismus (-),oral hygiene baik, tumbuh gigi (-), mukosa gusi dan pipi berwarna
LIDAH
merah muda.
: normoglosia, mukosa merah muda (-), atrofi papil (-), tremor (-), coated tongue
(-),
TENGGOROKAN : Arkus faring simetris, hiperemis (-), uvula ditengah
LEHER
: bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB,
tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea
THORAKS
teraba di tengah
: Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, deformitas (-), retraksi suprastrenal (-),
Inspeksi
: Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada
pernapasan yang tertinggal, pernapasan abdomino-torakal, retraksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
ABDOMEN :
Inspeksi
benjolan, roseola spot (-), kulit keriput (-), gerakan peristaltik (-).
Palpasi
: supel, nyeri tekan (-) di regio epigastrium, turgor kulit baik. hepar teraba
1 cm di bawah arkus kosta kanan, permukaan rata, konsistensi kenyal, tepi tajam, lien
:
Preaurikuler
Postaurikuler
Submandibula
Supraclavicula
Axilla
Inguinal
ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas
STATUS NEUROLOGIS
Refleks Fisiologis
Kanan
Kiri
Hisap
Genggam
Moro
Mencucur
Plantar
Refleks Patologis
Babinski
Kanan
+
Kiri
+
10
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Rangsang meningeal
Kaku kuduk
Kerniq
Laseq
Bruzinski I
Bruzinski II
KULIT
Kanan
-
Kiri
-
: pucat (-), ikterik (+), sianosis (-), turgor kulit baik, lembab, pengisian kapiler 2
Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 10/12/2015
Parameter
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Darah Lengkap
Leukosit
13.4
Ribu/L
10.0-30.0
Eritrosit
3.9
Juta/L
3.6-5.8
Hemoglobin
13.3()
g/dL
14.7-18.6
Hematokrit
40()
43.4-56.1
Trombosit
421
Ribu/L
150-350
MCV
101
fL
95-121
MCH
34
Pg
22-34
32-36
MCHC
33.5
g/dL
RDW
15.9
Bilirubin Total
17.10()
U/L
<14
<12 mg/dL
11
Bilirubin Direk
Bilirubin Indirek
GDS
0.41
U/L
<0.5 mg/dL
16.69()
mg/dL
<1.0 mg/dL
80
mg/dL
30-100mg/dL
11.92
<12 mg/dL
Bilirubin direk
0.46
<0.5 mg/dL
IV. RESUME
Bayi terlihat kuning sejak usia 6 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Kuning mulai
terlihat di wajah terutama di sekitar kening, sekitar mata dan mulut, kemudian menyebar ke
dada, tangan dan kaki.
Sejak lahir sampai masuk rumah sakit, bayi tampak aktif, menangis kuat, tidak terlihat
sesak, tidak terlihat kebiru-biruan, tidak terdapat demam, kepala tidak pernah terbentur/jatuh,
tidak terdapat kejang, tidak terdapat perut yang mengencang, tidak tampak sering mengantuk.
Bayi laki-laki lahir secara sectio caesarea di RSUD Budhi Asih atas indikasi bekas sectio
caesarea 1 kali, menangis, aktif, APGAR score 8/9. Berat badan lahir 3100 gr, panjang badan 48
cm. Sejak lahir bayi kurang diberikan ASI oleh ibu, hanya diberikan 7-8 kali perhari. Saat usia 6
jam bayi mulai tampak kuning. Kuning menetap hingga usia hari ke tiga, dan disarankan oleh
dokter spesialis anak untuk dirawat di ruang perinalotogy, namun ibu pasien menolak. Setelah
usia 6 hari, kuning pada badan bayi tak kunjung menghilang sehingga ibu pasien membawa
kembali pasien ke RSUD Budhi Asih.
Bayi sudah buang air besar (BAB) sejak hari kelahiran bayi, awalnya berwarna hitam
kental kemudian menjadi berwarna kuning kehijauan saat umur 1 hari dan berwarna kuning
terang sejak umur 2 hari, BAB sebanyak 2 kali per hari, tidak berbau busuk. Buang air kecil
(BAK) bayi sejak lahir berwarna kuning bening, tidak terdapat warna BAK yang semakin kuning
gelap/seperti teh.
Bayi merupakan anak kedua. Pada persalinan pertama, sempat terjadi hal yang sama
seperti anak kedua. Pada persalinan yang pertama, anak kuning pada usia 1 hari dan mendapat
terapi fototerapi. Ibu pasien menyatakan bahwa selama kehamilan rajin kontrol ke RS dan ibu
12
tidak pernah mengalami keluhan seperti keputihan dan nyeri saat berkemih selama kehamilan.
Ibu pasien mengkonsumsi vitamin( Ferofort) yang diberikan dokter spesialis kebidanan dan
kandungan selama kehamilan. Ibu pasien tidak memiliki riwayat kencing manis selama
kehamilan. Golongan darah ibu O, golongan darah ayah A, dan golongan darah pasien A.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tampak sakit sedang, nadi
152 kali per menit, pernapasan 50 kali per menit dan suhu 36.6 0C. Pada pemeriksaan
antropometri dan status gizi didapatkan hasil bahwa status gizi pasien baik. Pada status generalis
didapatkan sklera ikterik, Ikterus pada wajah, dada, perut, ekstremitas atas (Kramer = 5).
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi tanggal (10/12/2015) didapatkan hemoglobin
menurun 13.3 g/dL, hematokrit menurun 40%, bilirubin total meningkat 17.10 U/L, bilirubin
indirek meningkat 16.69 mg/dL. Tanggal (11/12/2015) bilirubin total 11.92 mg/dL, indirek 0.46
mg/dL.
V. DIAGNOSIS BANDING
NCB SMK dengan Hiperbilirubinemia e.c suspect inkompatibilitas ABO
NCB SMK dengan Hiperbilirubinemia e.c defisiensi enzim G6PD
VI. DIAGNOSIS KERJA
NCB SMK dengan Hiperbilirubinemia e.c suspect inkompatibilitas ABO
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
-Pemeriksaan darah perifer lengkap
-Cek ulang kadar bilirubin total, direk, indirek
-Pemeriksaan Coombs test
-Pemeriksaan kadar G6PD
VIII. PENATALAKSANAAN
a.Non Medika Mentosa
1. Komunikasi, informasi, edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan pasien.
2. Fototerapi (Blue Light):
Bayi dalam keadaan telanjang, dibolak-balik setiap 2-3 jam, kedua mata ditutup dengan
kasa steril. Jarak bayi dengan lampu 40 cm.
3
13
: Ad bonam
Ad functionam
: Ad bonam
Ad sanationam
:Ad bonam
Follow Up
Tanggal
Subyektif
Obyektif
Analisa
Penatalaknaan
11/12/20
Tenang,
Hiperbilirubine
15
gerak aktif,
menangis(+
) Kuning
pada kedua
mata, muka,
dada,
tangan dan
kaki.
- susu formula /
ASI 50 cc/ dot
-intruksi :
RR: 40x/menit
HR: 148 x/menit
BB = 3270kg
PB=
48cm
L.Kepala =35cm
14
L.Dada = 33cm
Kepala: Normocephali
Mata: CA-/- SI+/+
Hidung NCH(-) sekret
(-)
Mulut kering(-) sianosis
(-)
Thoraks : BJ I-II reg
M(-) G(-) SNV +/+ Rh-/WH-/Abdomen : Supel, BU(+)
Ekstremitas : akral
hangat (+),
Kulit : turgor baik,
ikterik (+)
Kramer= 5
BAB III
PEMBAHASAN
Bayi terlihat kuning sejak usia 6 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Kuning mulai
terlihat di wajah terutama di sekitar kening, sekitar mata dan mulut, kemudian menyebar ke
dada, tangan dan kaki. Bayi laki-laki lahir secara sectio caesarea di RSUD Budhi Asih atas
15
indikasi bekas sectio caesarea 1 kali, menangis, aktif, APGAR score 8/9. Berat badan lahir 3100
gr, panjang badan 48 cm. Sejak lahir bayi kurang diberikan ASI oleh ibu, hanya diberikan 7-8
kali perhari. Saat usia 6 jam bayi mulai tampak kuning. Kuning menetap hingga usia hari ke tiga,
dan disarankan oleh dokter spesialis anak untuk dirawat di ruang perinalotogy, namun ibu pasien
menolak. Setelah usia 6 hari, kuning pada badan bayi tak kunjung menghilang sehingga ibu
pasien membawa kembali pasien ke RSUD Budhi Asih.
Bayi merupakan anak kedua. Pada persalinan pertama, sempat terjadi hal yang sama
seperti anak kedua. Pada persalinan yang pertama, anak kuning pada usia 1 hari dan mendapat
terapi fototerapi. Ibu pasien menyatakan bahwa selama kehamilan rajin kontrol ke RS dan ibu
tidak pernah mengalami keluhan seperti keputihan dan nyeri saat berkemih selama kehamilan.
Ibu pasien mengkonsumsi vitamin( Ferofort) yang diberikan dokter spesialis kebidanan dan
kandungan selama kehamilan. Ibu pasien tidak memiliki riwayat kencing manis selama
kehamilan. Golongan darah ibu O, golongan darah ayah A, dan golongan darah pasien
A.Berdasarkan keluhan utama pasien, dapat dilihat bahwa timbulnya kuning pada anak berada
pada usia <24 jam, hal ini mengindikasikan bahwa jenis kuning yang dialami pasien dapat
dikatakan jenis kuning/ hiperbilirubinemia yang patologis, karena hiperbilirubinemia jenis
fisiologis baru muncul pada usia anak 2 atau 3 hari. Sehingga perlu ditelusuri lebih lanjut
penyebab kuning pada pasien tersebut.
Diketahui pada anamnesis golongan darah ibu O, golongan darah ayah A dan golongan
darah pasien A, kemungkinan ikterik patologis disebabkan oleh inkompatibilitas ABO semakin
besar. Karena ibu dengan golongan darah O mempunyai antibodi anti-A dan anti-B, sehingga
antibodi pada ibu akan mensensitisasi antigen pada anak yang bergolongan darah A.untuk
memastikan hal ini perlu dilakukan pemeriksaan penunjang test coombs untuk mendeteksi
antibodi pada permukaan eritrosit.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tampak sakit sedang,
nadi 152 kali per menit, pernapasan 50 kali per menit dan suhu 36.6 0C. Pada pemeriksaan
antropometri dan status gizi didapatkan hasil bahwa status gizi pasien baik. Pada status generalis
didapatkan sklera ikterik, Ikterus pada wajah, dada, perut, ekstremitas atas (Kramer = 5). Pada
pemeriksaan laboratorium hematologi tanggal (10/12/2015) didapatkan hemoglobin menurun
13.3 g/dL, hematokrit menurun 40%, bilirubin total meningkat 17.10 U/L, bilirubin indirek
meningkat 16.69 mg/dL. Tanggal (11/12/2015) bilirubin total 11.92 mg/dL, indirek 0.46 mg/dL.
16
Hal ini menunjukan adanya tanda dari ikterus patologis dimana timbul <24 jam, terdapat
peningkata bilirubin serum > 12 mg/dL.
Penegakan diagnosis Hiperbilirubin e.c inkompatibilitas berdasarkan anamnesis
Bayi terlihat kuning sejak usia 6 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Kuning mulai terlihat
di wajah terutama di sekitar kening, sekitar mata dan mulut, kemudian menyebar ke dada, tangan
dan kaki. golongan darah ibu O, golongan darah ayah A dan golongan darah pasien A. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik, Ikterus pada wajah, dada, perut, ekstremitas atas
(Kramer = 5). Pada pemeriksaan laboratorium hematologi tanggal (10/12/2015) didapatkan
hemoglobin menurun 13.3 g/dL, hematokrit menurun 40%, bilirubin total meningkat 17.10 U/L,
bilirubin indirek meningkat 16.69 mg/dL. Tetapi masih diperlukan test coomb untuk memastikan
penyebab hiperbilirubin pasien tersebut adalah inkompatibilitas ABO.
Diagnosa banding hiperbilirubin e.c defisiensi G6PD didapatkan dari gejala klinis seperti
ikterus yang timbul <24 jam, adanya ikterik, dan adanya penurunan kadar Hb, namun biasanya
pada pemeriksaan fisik anak dengan defisiensi G6PD didapatkan keadaan umum anak
iritable/rewel, letargi, suhu meningkat >38C, diare, nyeri abdominal, dan terdapat pembesaran
dari hepar dan lien. Pada pasien tidak didapatkan gejala tersebut. Namun diperlukan pemeriksaan
kadar G6PD untuk memastikannya.
Tatalaksana pada pasien yaitu diberikan terapi blue light therapy dimana Bilirubin
akan menyerap cahaya secara maksimal dalam batas wilayah warna biru ( mulai dari 420 470
nm ). Bilirubin dalam kulit akan menyerap energi cahaya, yang melalui fotoisomerasi mengubah
bilirubin tak terkonjugasi yang bersifat toksik menjadi isomer-isomer terkonjugasi yang
dikeluarkan ke empedu dan melalui otosensitisasi yang melibatkan oksigen dan mengakibatkan
reaksi oksidasi yang menghasilkan produk-produk pemecahan yang akan diekskresikan oleh hati
dan ginjal tanpa memerlukan konjugat. Indikasi fototerapi hanya setelah dipastikan adanya
hiperbilirubin patologik. Dan juga diberikan cairan sesuai dengan kebutuhan neonatus per hari,
yaitu Cairan diberikan dengan ASI on demand atau susu formula 336 cc/24 jam
17
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 HIPERBILIRUBINEMIA
4.2 Definisi
18
19
Asupan cairan
o Kelaparan
o Frekuensi menyusui
o Kehilangan berat badan/dehidrasi
20
Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sclera akiat akumulasi bilirubin tidak terkonjugasi yang
berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah
5-7 mg/dL. Ikterus dibagi menjadi dua yaitu ikterus fisiologis dan ikterus non-fisiologis. (1, 2, 3)
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang, maupun
cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada bayi cukup bulan dan
kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%. Untuk kebanyakan bayi fenomena ini
ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh factor
tunggal tapi kombinasi dari berbagai factor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi
baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru lahir
disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance
bilirubin. Umumnya kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi
cukup bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8
mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti
dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 samapi 2 minggu. (1, 2, 3)
Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar
yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2-4
minggu, bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu
formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama,
begitu juga dengan penurunannya jika tidak diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan
sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai
21
kelainan metabolisme bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat kurang dari 2 mg/dL dan
berkisar dari 1,4 sampai 1,9 mg/dL. (1, 2, 3)
Ikterus non fisiologis dulu disebut dengan ikterus patologis, tidak mudah dibedakan dari
ikterus fisiologis. Keadaan di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjut : (1, 2, 3, 6)
Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah, letargis, malas
menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil).
Ikterus bertahan selama 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi
kurang bulan.
23
ketegangan otot
Perut membuncit
Pembesaran pada hati
Feses berwarna seperti dempul
Muntah, anoreksia, fatigue,
Warna urin gelap.
4.8 Patofisiologi
4.8.1 Pembentukan Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi reduksi. Langkah oksidasi
yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan bantuan enzim heme
oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada
reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk pembentukan haemoglobin dan
karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara
cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan
biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat
24
tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi
bilirubin. (1, 2, 3, 5)
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang
dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga
reabsorpsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik). (1, 2)
4.8.2 Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikulo endothelial, selanjutnya dilapaskan
ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan
plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendahdan kapasitas
ikatan molar yang kurang.Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar
dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam sel hepar. Bilirubin yang
terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susuna syaraf pusat dan bersifat non toksik. (1, 2)
25
Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat obatan yang
bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat obat tersebut akan menempati tempat
utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula
melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. (1, 2)
Obat obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin:
Pada bayi kurang bulan ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya merupakan komplikasi
dari hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemi, asidosis, hipotermia, hemolisis dan septikemia. Hal
tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan jumlah bilirubin bebas dan berisiko pula
untuk keadaan nerotoksisitas oleh bilirubin. (1, 2)
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu: (1)
1) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian besar
bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2) Bilirubin bebas
3) Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap dieksresikan melalui ginjal.
4) Bilirubin terkonjugasi yang terikat denga albumin serum.
4.8.3 Asupan Bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin
terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel membran yang
berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik lainnya.
Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari sintesis de novo, resirkulasi
enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati dan
konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik
pada keadaan normal ataupun tidak normal. (1, 5)
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepaatik bilirubin tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini terjadi
26
karena adanya defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dari darah ke
empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan. Walaupun demikian defisiensi ambilan ini dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada minggu kedua kehidupan saat
konjugasi bilirubin hepatic mencapai kecepatan normal yang sama dengan orang dewasa.
(1, 5)
27
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup bulan
sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 % bilirubin yang
diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per
kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek. (1)
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus biliaris,
yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak lain,
gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu,
kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia
dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit. (1)
4.8.6 Mekanisme hiperbilirubinemia dan ikterus
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi :
pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh
hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu
akibat faktor intra hepatik yang bersifat opbtruksi fungsional atau mekanik. (1, 2)
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang
pertama,sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi.
28
29
kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada Neonatus
dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi.(1, 2)
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang
panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer yang larut
dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di
konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukoronil
transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini. (1)
4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional maupun
obstruksi,
terutama
mengakibatkan
hiperbilirubinemia
terkonjugasi
.Karena
bilirubin
terkonjugasi latut dalam air,maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih
sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai
bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam
serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia
terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi
obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel
hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstra hepatik (mengenai saluran empedu di luar hati).
Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan niokimia yang sama. (1, 2)
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan
umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (inkompatibilitas
golongan darah dan Rh), defek sel darah merah pada
: terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 6-8
mg/dL biasanya tercapai pada hari ke 3-5. Pada bayi kurang bulan nilainya
10-12 mg/dL, bahkan sampai 15 mg/dL. Peningkatan/akumulasi bilirubin
serum < 5 mg/dL/hr.
Ikterus patologis
pertama. Ikterus ini biasanya timbul pada hari ke dua, kemudian menghilang pada hari ke
sepuluh, atau pada akhir minggu ke dua. Bayi dengan gejala ikterus ini tidak sakit dan tidak
memerlukan pengobatan,kecuali dalam pengertian mencegah terjadinya penumpukan bilirubin
tidak langsung yang berlebihan.
Ikterus dengan kemungkinan besar menjadi patologik dan memerlukan pemeriksaan
yang mendalam antara lain : (6)
Derajat
Daerah ikterus
Perkiraan kadar
ikterus
bilirubin
5,0 mg%
II
9,0mg%
11,4mg%
4.11
12,4mg%
16,0mg%
Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang
mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko
tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat,
lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil
pemeriksaan kadar serum bilirubin
Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin
total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin
total < 15 mg/dL (<257 mol/L), dan tidak reliable pada kasus ikterus yang sedang mendapat
terapi sinar. 5,11
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus
antara lain :
Golongan darah dan Coombs test
Darah lengkap dan hapusan darah
Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
TABLE 1. Laboratory Evaluation of the Jaundiced Infant of 35 or More Weeks Gestation
Indications
Assessments
Jaundice in first 24 h
Measure TcB and/or TSB
Jaundice appears excessive for infants age
Measure TcB and/or TSB
Infant receiving phototherapy or TSB rising Blood type and Coombs test, if not obtained
rapidly (ie, crossing percentiles [Fig 2]) and with cord blood
Complete blood count and smear
unexplained by history and physical examination
Measure direct or conjugated bilirubin
It is an option to perform reticulocyte count,
G6PD, and ETCOc, if available
Repeat TSB in 424 h depending on infants
age and TSB level
TSB concentration approaching exchange levelsPerform reticulocyte count, G6PD, albumin,
or not responding to phototherapy
Elevated direct (or conjugated) bilirubin level
ETCOc, if available
Do urinalysis and urine culture. Evaluate for
33
of newborn thyroid
and
35
Di Amerika Serikat, 8-10 % dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi hiperbilirubinemia
berat yang selanjutnya mengalami kern ikterus. (8, 9)
Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kern ikterus, yaitu:
(8, 9)
Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga mereka tidak segera
menghubungi dokter.
Banyaknya bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar
bilirubin darah belum mencapai puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran), ditambah
dengan tidak kontrol kembali dalam jangka waktu satu minggu kemudian.
36
Dokter yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai derajat kuningnya kulit
akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan terutama pada kasus yang berat
dan tidak adanya informasi kepada para orang tua untuk memperhatikan kualitas
kuningnya kulit pada bayi mereka.
Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi pemeriksaan kadar
bilirubin yang belum selesai.
:Opistotonus,
hipertonia
muskulus
ekstensor,
retrocollis, panas.
Fase 3 (setelah minggu pertama)
: Hipertonia
Kronik
Tahun pertama: hipotonia, refleks tendon aktif, keterlambatan skil motorik
Setelah tahun pertama :
gangguan
pergerakan,
upward
gaze,
gangguan
pendengaran
sensorineural.
4.13.4 Etiologi
Penyebab kern ikterus adalah dikarenakan kadar bilirubin yang sangat tinggi yang dapat
mencapai tingkat toksik sehingga merusak sel-sel otak. (8, 9)
4.13.5 Patogenesis
Patogenesis kern ikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara kadar
bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar bilirubin yang tak terikat/bebas,
menembusnya ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik terhadap jejas. Permeabilitas
37
sawar darah otak dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan maturasi otak. Pada setiap bayi,
nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek atau kadar bilirubin bebas dalam darah
yang kalau dilebihi akan bersifat toksik, tidak dapat diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi
pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada bayi tanpa adanya hemolisis, yaitu bila kadar serum
berada di bawah 25 mg/dL. Pada bayi yang mendapat ASI, kern ikterus dapat terjadi bila kadar
bilirubin melebihi 30 mg/dL, meskipun batasannya luas yaitu antara 21-50 mg/dL. Onset terjadi
dalam minggu pertama kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu ke-2 bahkan
minggu ke-3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk menimbulkan pengaruh toksik
juga belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan terhadap kern ikterus. (8, 9)
Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum
menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam
sirkulasi, yaitu hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin
karena ikatan kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis, kenaikan
sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau hipotermia) atau oleh faktorfaktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap
bilirubin, atau kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia, prematuritas,
hiperosmolalitas, dan infeksi. Permukaan otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada
pemotongan, daerah-daerah tertentu secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak
terkonjugasi, terutama pada korpus subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius yang
berdekatan, korpus striata, talamus, globus palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum,
dan nukleus saraf kranial. Daerah yang tak berfigmen juga dapat cedera.
Hilangnya neuron, gliosis reaktif dan atrofi sistem serabut yang terlibat ditemukan pada
penyakit yang lebih lanjut. Pola jejas dihubungkan dengan perkembangan sistem enzim
oksidatif pada berbagai daerah otak dan bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera
otak hipoksik. Bukti yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan
oksigen oleh jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada membran sel; jejas
hipoksia yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel otak terhadap jejas.
Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa hiperbilirubinemia atau perubahan mikroskopik yang
spesifik kern ikterus mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama. (8, 9)
4.13.6 Kriteria Diagnosis
38
Secara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga
ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. (8, 9)
Tanda-tanda dan gejala-gejala kern ikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada
bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi hiperbilirubinemia dapat
menyebabkan sindroma setiap saat selama masa neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat
jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan intrakranial
dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya
refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat
sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo yang menjadi negatif dan kegawatan pernapasan.
Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan
melengking bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme,
kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya
menggenggam. Rigaditas jarang terjadi pada stadium lanjut. (8, 9)
Banyak bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang bertahan
hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat sembuh dan 2-3 bulan kemudian
timbul beberapa kelainan. Selanjutnya, pada usia 1 tahun opistotonus, rigiditas otot, gerakan
yang tidak teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada tahun ke-2 opistotonus dan kejang
mereda, tetapi gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak disadari, rigiditas otot atau pada
beberapa bayi, hipotonia bertambah secara teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom
neurologis yang lengkap terdiri atas koreotetosis dengan spasme otot involunter, tanda-tanda
ekstrapira-midal, kejang defisiensi mental, wicara disartrik, kehilangan pendengaran terhadap
frekuensi tinggi, strabismus dan gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal,
hipotonia, atau ataksia terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sindrom ini
hanya dapat ditandai melalui inkoordonasi neoromuskular ringan sampai sedang, ketilian parsial,
atau disfungsi otak minimal yang terjadi sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin tidak
tampak sampai anak masuk sekolah. (8, 9)
4.14 Diagnosis Banding
Sepsis
Merupakan sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteriemia.
Kriteria diagnosis meliputi gejala klinis berupa gangguan keadan umum (tampak tidak sehat,
39
tidak mau minum, suhu badan labil), saluran cerna, pernapasan, kardiovaskuler, susunan saraf
pusat, hematologik dan kulit. Dari hasil laboratorium didapatkan anemia, leukopenia, netropenia
absolut, trombositopenia, peningkatan Laju Endap Darah dan C- Reactive Protein.
Asfiksia
Merupakan keadaan yang ditandai oleh gejala-gejala akibat hipoksia yang progresif, akumulasi
CO2, dan asidosis.
Hipoglikemia
Merupakan keadaan yang terdapat pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah,
mempunyai kadar glukosa darah rendah.
Kriteria diagnosis ditandai dengan atau tanpa gejala; letargi/apati, tremor, apnea, sianosis,
kejang, koma, menangis lemah atau high pitched cry, poor feeding.
4.15 Pemeriksaan Penunjang
40
Manajemen
Strategi mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia meliputi; pencegahan, penggunaan
farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar. (1, 7)
1. Strategi pencegahan hiperbirubinemia
(1) Pencegahan primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali per hari
untuk beberapa hari pertama.
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi. (1, 7)
Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta
penyaringan
pemeriksaan
antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh darahtali pusat bayi.
41
Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus
dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa
tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam. (1, 7)
Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus
dalam 24 jam pertama setelah lahir.
Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus yang berlebihan.
Semua kadar bilirubin harus diintrepretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam.(1, 7)
Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis
dan kultur urin
Bayi sakit dan ikterus pada umur atau lebih dari 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan
bilirubin total dan direk untuk mengidentifikasi adanya kolestatis.
Jika kadar bilirubin direk meningkat, dilakukan evaluasi tambahan mencari penyebab
kolestatis.
asal
geografis
yang
fototerapi
buruk. (1, 7)
(5) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
Setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat. (1, 7)
RS harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orang tua mengenai kuning,
perlunya monitor terhadap kuning, dan anjuran bagaimana monitoring harus dilakukan.
(1,
7)
42
jika
Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang sering dengan waktu
yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuensi
yang jarang walaupun total waktu yang diberikan sama.
Observasi berat badan, BAK, dan BAB yang berhubungan dengan pola menyusui
rangsang
pengeluaran atau produksi ASI dengan cara memompa, dan menggunakan protokol
penggunaan fototerapi yang dikeluarkan AAP.
Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI,
sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus
menetap lebih dari 6 hari atau meningkat diatas 20 mg/dL atau ibumemiliki riwayat
bayi sebelumnya terkena kuning. (1, 7)
43
44
2. Farmakoterapi
a) Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi bayi dengan rhesus yang berat dan
inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan
transfusi tukar.
b) Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG T dan ligandin serta dapat
meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin berlangsung
lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan
hiperbilirubinemia pada
neonatus selama tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi
prematur lebih banyak memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital
dapat diberikan dengan dosis 8 mg/kg berat badan
sehari,
mula-mula
parenteral,
45
46
3. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang
perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi bayi yang
mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan
bayi bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan
47
48
49
Mekanisme fototerapi.
Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang bulan
menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi.
Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada
neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai dengan
rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP). (5)
Sinar Fototerapi
50
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan suatu
gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan
panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak
ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar
memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin adalah
sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam menurunkan
kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar
adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar.
Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka
semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum.Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai
W/cm2/nm.
Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar
diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi.28,36 Intensitas sinar 30
W/cm2/nm cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi.
Intensitas sinar yang diharapkan adalah 10 40 W/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk
fototerapi standard adalah 30 50 W/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan lebih
besar pula efikasinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.
Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh. Cara
mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada bayi.
Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan
menggunakan sinar halogen.Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan terlalu
dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi berjarak 10
cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus diposisikan di
pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.
Tabel 1: Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup
bulan. (1, 3, 7)
51
Usia ( jam )
Pertimbangan
Terapi sinar
Transfusi tukar
Transfusi
25-48
terapi sinar
>12mg/dl
(>200 mol/L)
>15 mg/dl
( >250 mol/L)
>20 mg/dl
(>340 mol/L)
49-72
>15mg/dl
(>250 mol/L)
>18 mg/dl
(>300mol/L)
>25mg/dl
(425 mol/L)
>30 mg/dl
(510mol/L)
>72
>17 mg/dl
(>290 mol/L)
>20mg/dl
(>340mol/L
>25mg/dl
(>425 mol/L)
>30mg/dl
(>510 mol/L)
Tabel 2: Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit ( >37
minggu ) (1, 3, 7)
Neontaus
kurang
bulan Neontaus
kurang
bulan
Serum (mg/dl)
Terapi sinar Transfusi
5-7
7-10
10
10-12
tukar
10
10-15
17
18
Serum (mg/dl)
Terapi sinar
Transfusi
4-6
6-8
8-10
10
tukar
8-10
10-12
15
17
Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin
direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.
Komplikasi terapi sinar
Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi
sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi
proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut yang terlihat selama
ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara
pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas. (5)
Kelainan yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :
1. Peningkatan insensible water loss pada bayi
52
tukar
Hal ini terutama akan terlihat pada bayi yang kurnag bulan. Oh dkk (1972) melaporkan
kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari keadaan biasa. Untuk hal ini
pemberian cairan pada penderita dengan terapi sinar perlu diperhatikan dengan
sebaiknya.
2. Frekuensi defekasi yang meningkat
Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain dikemukankan karena
meningkatnya peristaltik usus (Windorfer dkk, 1975). Bakken (1976) mengemukakan
bahwa diare yang terjadi akibat efek sekunder yang terjadi pada pembentukan enzim
lactase karena meningkatnya bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan kadar
laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare. Teori ini masih belum dapat
dipertentangkan (Chung dkk, 1976)
3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut flea bite rash di daerah muka, badan dan
ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada beberapa bayi
dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome (Kopelman dkk, 1976).
Hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar.
Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses tumbuh
kembang bayi.
4. Gangguan retina
Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan (Noel dkk 1966). Pnelitain
Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi mata pada
umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih diteruskan.
5. Gangguan pertumbuhan
Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics 1970). Lucey
(1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat menemukan gangguan tumbuh
kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar. Meskipun demikian hendaknya
pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi yang tepat selama waktu yang
diperlukan.
6. Kenaikan suhu
Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan kenaikan suhu,
Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan sebagian lampu yang
dipergunakan.
7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan menghilang
dengan sendirinya.
53
8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat
tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
Tranfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan
dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang
sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982). (1, 5)
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin
dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi,
transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal
dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia. (5)
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O
dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran,
dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama
dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah
antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB,
untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit pasien/bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160
mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.
(1, 5)
Transfusi
Tukar
55
Kebutuhan
Double Volume
Single Volume
Polisitemia
BB x volume darah x 2
BB x volume darah
BB x volume darah x (Hct sekarang Hct yang diinginkan)
Anemia
Hct sekarang
BB x volume darah x (Hb yang diinginkan Hb sekarang)
(Hb donor Hb sekarang)
BB x volume darah x (PCV yang diinginkan PCV
sekarang)
(PCV donor)
Indikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar
pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam
tabel 2. (1, 5)
Tabel 3: Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum
Bayi Cukup Bulan
Usia
Hari
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Sehat
mg/dL
15
25
30
dan 30
seterusnya
Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa dirujuk
secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai kadar di atas,
sertakan contoh darah ibu dan bayi. (5)
Tabel 4: Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah
Berat badan (gram)
KadKadar
Bilirubin
(mg/dL)
<> > <1000
1000-1500
10-12
12-15
56
1500-2000
15-18
2000-2500
18-20
Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb rendah.
b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 13 gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
adekuat dengan terapi sinar.
Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:
Emboli
Infark
Aritmia
Volume overload
Arrest
6. Pendarahan
Trombositopenia
7. Infeksi
57
8. Hemolisis
9. Graft-versus host disease
10. Lain-lain : hipotermia, hipertermia, dan kemungkinan terjadinya enterokolitis
nekrotikans.
Perawatan pasca tranfusi tukar
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdulrahman S. Hiperbilirubinemia. Dalam : Sholeh K, Ari Y, Rizalya D, Gatot IS, Ali
U, editor. Buku Ajar Neonatologi. Edisi pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2010; p. 147-69.
2. Piazza AJ, Stoll BJ. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn. In : Kliegman
RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 18 th
ed. United States of America : Saunders Elsevier ; 2007 ; p. 756-65.
3. Hansen
TW,
Rosenkrantz
T.
Neonatal
Jaundice.
Jan
7,
2011.
Available:
http://emedicine.medscape.com/article/974786-overview
4. Risa E, Agus H, Fatimah I, Sylviati M. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Available:
http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-js9khg-pkb.pdf
5. Universitas
Sumatera
Utara.
Hiperbilirubinemia.
Available:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20333/4/Chapter%20II.pdf
6. Sudigdo S. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Anak. Jakarta : 2007 ;
p. 364-68.
7. American Academy of Pediatrics. Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn
Infant
35
or
More
Weeks
of
Gestations.
Available:
http://aappolicy.aappublications.org/cgi/reprint/pediatrics;114/1/297.pdf
58
8. Piazza AJ, Stoll BJ.Kern Icterus. In : Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton
BF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. United States of America: Saunders
Elsevier ; 2007 ; p. 761-65.
9. Springer
S.
Rosenkrantz
T.
Kernicterus.
Jul
1,
2010.
Availble:
http://emedicine.medscape.com/article/975276-overview
59