You are on page 1of 8

SEKILAS TENTANG TRAUMA MEDULA SPINALIS

A. PENDAHULUAN
Akibat suatu trauma pada medulla spinalis dan kauda ekuina telah dikenal oleh manusia purba,
tetapi catatan pada manusia yang paling dini tentang paraplegia dan kuadriplegia pada manusia
ditemukan pada Papirus Edwin _ Smith . Disini para dokter mesir menuliskan gejala , cara
pemeriksaan penderita dan mengemukakan prognosisnya yang jelek. Setelah melalui perjalanan
yang panjang , pengalaman, perhatian makin bertambah selama dan sesudah perang dunia II,
sumbangan yang berharga telah diwujudkan terutama di inggris .George Ridoch memutuskan
untuk mengobati pendertita dikenal sebagai unit trauma spinal. Kecelakaan lalu lintas , terjatuh,
olahraga (Misalnya menyelam) , kecelakaan industry, luka tembak dan luka bacok, ledakan bom
merupakan penyebab trauma medulla spinalis.
B. PATOGENESIS
Efek trauma terhadap tulang belakang bias berupa fraktur -dislokasi, fraktur dan dislokasi.
Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah ter 3:1:1
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tapi dislokasi cenderung lokasi terjadi pada tempattempat antara bagian yang sangat mobil dan bagianyang terfiksasi seperti vertebra C1-2, C5-6
dan T11-12
Dislokasi bias ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang
nyata pada tulang belakang , efek traumatiknya bias mengakibatkan lesi yang nyata di medulla
spinalis.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi , tetapi dapat
menimbulkan lesi pada medulla spinalis yang dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong
dalam trauma tak langsung ini adalah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau dengan badan
berdiri atau terlempar oleh gaya eksploso bom.
Medula spinalis danradiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut :
a. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang
mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
b. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan , hal ini
biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan menurun
dengan bertambahnya usia

c. Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran
darah kapiler dan vena.
d.

GAngguan sirkulasi akibat kompresi tulang atua system arteri spinalis anterior dan posterior

C. MANIFESTASI LESI TRAUMATIK


1. KOMOSIO MEDULA SPINALIS
Komosio medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana funsi medulla spinalis hilang sementara
akibat suatau trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi. Sembuh sempurna akan
terjadi dalam waktu beberpa menit hingga beberapa jam/ hari tanpa meningglakan gejala sisa.
Kerusakan reversible yang mendasari komosio medulla spinalis berupa edema, perdarahan
perivaskuler kecil- kecil dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada saat inspeksi makroskopik
medulla spinalis tetap utuh . Bila paralisis total dan hilngnya sensibilitas menetap lebih dari 48
jam maka kemungkinan sembuh sempurna menipis dan perubahan pada medulla spinalis lebih
mengarah ke perubahan anatomic daripada fisiologik
2. KONTUSIO MEDULA SPINALIS
Berbeda dengan komosio medulla spinalis yng diduga hanya merupakan gangguan fisiologik
saja tanpa kerusakan anatomic makroskopik, maka pada kontusio medulla spinalis didapati
kerusakan makroskopik dan mikroskopik medulla spinalis yaitu perdarahan, pembengkakan
(edema), perubahan neuron,reaksi peradangan.
Perdarahan di dalam sustansia alba memperlihatkan adanya bercak bercak degenarasi waller
dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron yang di ikuti proliferasi microglia dan astrosit.

3. LASERASIO MEDULA SPINALIS


Pada laserasio medulla spinalis terjadi kerusdakan yang berat akibat diskontinuitas medulla
spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau bacok / tusukan, fraktur dislokasi
vertebra.
4. PERDARAHAN
Akibat trauma , medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural Maupun
hematomieli. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma maupun akibat
anesthesia epidural dan sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang relative ringan

tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis. Kedua keadaan
diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomieli adalah perdarahan di dalam substansia
grisea medulla spinalis . Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktu- dislokasi , trauma whiplash
atau trauma tidak langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri / duduk.
Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medulla spinalis dibawah lesi, yang sering
menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka
terdapat perbaikan- perbaikan funsi funikulus lateralis dan posterior medulla spinalis. Hal ini
menimbulkan gamabran klinis yang khas hematomielia sebagai berikut : terdapat paralisis
flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan di bawah lesi terdapat paresis spastic, dengan utuhnya
sensibilitas nyerei dan suhu serta fungsi funikulus posterior.
5. KOMPRESI MEDULA SPINALIS
Kompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun perdarahan epi dan
sudural. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom kompresi medulla spinalis akibat tumor,
kista, dan abses di dalam kanalis vertebralis . Akan didapati nyeri radikuler dan paralisis flaksid
setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi. Akibat hiperekstensi , hiperfleksi, dislokasi,
fraktur dan gerak lecutan (whiplash) radiks saraf tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian dan menimbulkan nyeri
radikular spontan.Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai hematorakhis yang sebenarnya
lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis traumatic yang reversible. Di bawah lesi kompresi
medulla spinalis akan didapati paralisis spastic dan gangguan sensorik serta otonom sesuai denga
deerajat bertanya kompresi. Kompresi konus medularis terjadi akibat fraktu- dislokasi vertebra
L1, yang menyebabkan rusaknya segmen sakralis medulla spinalis.Biasanya tidak dijumpai
gangguan, otorik yang menetap, tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen sakralis yang
terutama mengenai daerah sadel, perineum dan bokong.
Di samping itu dijumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio urin serta pada pria
terdapat impotensi. Kompresi kaudal ekulna akan menimbulkan gejala, yang bergantung pada
serabut saraf spinlais mana yang terlibat. Akan dijumnpai paralisis flaksid dan atrofi otot.
Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat. Kompresi pada saraf spinalis S2, S3,
dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilamgnya control volunteer vesika urinaria,
inkontinensia alvi dan impotensi.
6. HEMISEKSI MEDULA SPINALIS
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk / bacok di medulla spinalis. Gambaran
klinisnya merupakan sindrom down sequard yaitu setinggi lesi terdapat kelimpuhan neuron
motorik perifer(LMN) ipsilateral pada otot otot yang disarafi oleh motoneuron yang terkena
hemilesi . Setinggi lesi dijumpai deficit sensorik ipsilateral yang terbatas pada kawasan sensorik
segmen yang terkena hemilesi. Dibawah tingkat lesi dijumpai pada sisi ipsi lateral kelumpuhan

neuron motorik sentral (UMN) dan deficit sensorik proprioseptif sedangkan pada sisi kontra
lateral terdapat deficit sensorik protopatik.
7. SINDROM MEDULA SPINALIS BAGIAN ANTERIOR
Sindrom ini mempunyai cirri khas berikut: paralisis dan hilangnya sensibilitas protopatik
dibawah tingkat lesi, tetapi sensibilitas protopatik tetap utuh.
8. SINDROM MEDULA SPINALIS BAGIAN POSTERIOR
Ciri khas sindrom ini adalah adanya deficit motorik yang lebih berat pada lengan daripada
tungkai dan disertai defisit sensorik.
Defisit motorik yang lebih jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat dijelaskan akibat rusaknya
sel motorik di kornu anterior medulla sinalis segmen servikal atau akibat terlibatnya serabut
traktus kortikospianlis yang terletak lebih medial di kolumna lateralis medulla spinalis. Sindrom
ini sering dijumpai pada penderita spondilosis servikal.
9. TRANSEKSI MEDULA SPINALIS
Bila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi teransversal maka akan dijumpai 3
macam gangguan yang muncul serentak yaitu:
a) Semua gerak voluntary pada bagian tubuh yang terletakdibawah lesi akan hilang fungsinya
secra mendadak dan menetap
b) Semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang
c) Semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan menghilang. Efek terakhir
ini disebut renjartan spinal(spinal shock), yang melibatkan baik reflex tendon maupun reflex
otonom. Kadang kala pada fase renjatan ini masih dapat dijumpai reflex bulbokavernosus dan
atau beberapa minggu samapi beberapa bulan(3-6 minggu)
Pada anak- anak fase syok spinal berlansung lebih singkat daripada orang dewasayaitu kurang
dari 1 minggu.Bila terdapat dekubitus , infeksi traktus urionarius atau keadaan metabolic yang
terganggu , mal nutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung lebih lama.
Mc Cough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme syok spinal.
a.

Hilangya fasilitas traktus desendens

b.

Inhibisi dari bawah yang menetap , yang bekerja pada reflex ekstensor dan

c.

Degenerasi aksonal interneuron

Karena fase renjatan spinal ini mat dramatis , ridoch menggunkanya sebagai dasar pembagian
gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau arefleksi dan aktivitas reflex yang
meningkat.

10. SYOK SPINAL ATAU AREFLEKSIA


Sesaat setelah trauma , fungsi lesi di bawah tingkat lesi hilang, otot flaksid ,reflex hilang,
paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga di bawah tingkat lesi
dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi sert6a fungsi seksual. Kulit menjadi
kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Sfingter
vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan karena hilangnya inhibisi dari
pusat system saraf pusat yang lebih tinggi) tetapi otot destrusor dan otot polos dalam keadaan
atonik. Urin akan terkumpul , setelah intravaskuler lebih tinggi dari sfingter uretra maka urin
akan mengalir keluar(overflow incontinence) demikian pula terjadi dilatasi pasif usus besar ,
retensio alvi dan ileus paralitik. Refleks genitalia (ereksi penis, reflex bulbokavernosus, kontraksi
otot dartos) menghilang.

11. AKTIVITAS REFLEKS YANG MENINGKAT


Setelah beberapa minggu respons reflex terhadap rangsang mulai timbul, mula- mula lemah
makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul reflex fleksi yang khas yaitu tanda babinski dan
kemudian fleksi tripel( gerak menghindar dari rangsang dengan mengadakan fleksi pada sendi
pergelangan kaki, sendi lutut dan sendi pangkal paha) muncul.Beberapa bulan kemudian reflex
menghindar tadi akan bertambah meningkat , sehingga rangsang pada kulit tungkai akan
menimbulkan kontraksi otot perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, pilo ereksi dan pengosongan
kandung kemih secra otomatis( kadang kala juga pengosongan rectum). Hal ini disebut reflex
massa.
D. DIAGNOSIS
a)

Radiologik

Foto polos posisi antero- posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma
akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi. Pada ruang gawat
darurat, foto lateral daerah vertebra yang diperkirakan mendapat trauma harus dikerjakan segera,
meskipun penderita telah membawa foto dari rumah sakit sebelumnya( khususnya pada trauma
daerah servikal). Tujuan tindakan ini adalah untuk memastikan bahwa tidak terjadi perubahan
jajaran vertebra(alignment) sewaktu diangkat/ dipindahkan. Pada trauma daerah servikal foto
dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur
vertebra C1- C2.

b) Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medulla spinalis . Sedikit peningkatan tekanan liquor
serebrospinal dannadanya blockade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya
derajat edema medulla spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan
dengan hati- hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yuang telah
terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma
pada daerah vertebra servikalis tersebut.
c)

Mielografi

Mielografi tampaknya tidak mempunyai indikasi pada fase akut trauma medulla spinalis. Tetapi
mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada derah lumbal, sebab
sering terjadi herniasi diskus intevertebralis.
E. TATALAKSANA
Pada umumnya pengobatan trauma medulla spinalis adalah konservatif dan simptomatik.
Manajemen mempunyai tujuan mempertahankan fungsi medulla spinalis yang masih ada dan
memperbaiki kondisi untuk penyembuhan jaringan medulla spinalis yang mengalami trauma
tersebut.
Prinsip tatalaksana dapat diringkaskan sebagai berikut:

Segera imobilisasi dan diagnose dini

Stabilisasi daeerah tulang yang mengalami trauma

Pencegahan progreivitas gangguan medulla spinalis

Rehabilitasi dini

Pada penderita yang diperkirakan mengalami trauma pada daerah servikal harus difiksasi degan
kerah servikal(cervical collar). Bila kerah tidak tersedia , maka kepala dan leher difiksasi
(imobilisasi) dengan menggunakan bantal pasir pada sisi kanan dan kiri kepala serta leher,
sedangkan penderita dibaringkan dalam posisi terlentang pada alas yang keras(papan). Sewaktu
penanggulanganawal dimulai , oksigenisasi dan aliran darah yang adekuat pada medulla spinalis
dipertahankan. Perhatian yang besra ditujuakan untuk mempertahankan jalan nafas.
Bila tekanan oksigen medulla spinalis atau aliran darah berkurang . maka lesi medulla spinalis
akan memburuk. Pemeberian cairan secar intravena segera dilakukan untuk mencegah terjadinya
hipotensi.
Trauma medulla spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralisis otot- otot interkostal.
Oleh karena itu dapatterjadi gangguan pernafasan bahkan kadang kala apneu. Bila perlu dilakuka

inkubasi nasotrakeal(hindari fleksi dan ekstensi yang berlebihan) bila pemberian oksigen saja
tidak efektif membantu penderita.Pada trauma servikal, hilangnya control vasomotor
menyebabkan pengumpula darah di pembuluh darah di abdomen , anggota gerak bawah dan
visera yang mengalami dilatasi , menyebabkan timbulnya hipotensi.
Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat dilatasi gaster akut.Bila
tidak dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu aspirasi dan akan memperberat pernafasan .
secepat mungkin diruang gawat darurat dilakukan pemasangan kateter foley sebab retensio urin
akan berkembang dalam waktu beberapa jam. Perawatan yang baik perlu untuk mencegah
timbulnya efek infeksi mtraktus urinarius.
Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan pemberian enema.
Kemudian bila periltastik timbul kembali dapat diberikan obat pelunak feses. Bila traktus
gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi enema dapat digantidengan supositoria. Penderita harus
sering diperhatikan ada/ tidaknya fekalit. Untuk mencegah timbulnya dekubitus perlu dilakukan
alih baring tiap 2 jam.
Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi edema medulla spinalismasih controversial.bila
hendak diberikan dapat dipakai deksametason. Bila timbul spastisitas dapat digunakan
diazepam,baklofen dan dantrolen sodium untuk mengatasinya.
F. OPERASI
Pada saat ini laminektomi dekopresif tak dianjurkan kecuali pada kasus- kasus tertentu. Indikasi
operasi pada saat ini adalah:
1. Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal, bilamana
traksi dan manipulasi gagal.
2. Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medulla spinalis dengan fragmen tulang tetap
menekan permukaan anterior medulla spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat.
3. Trauma servikal dengan lesi parsial medulla spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen
tulang dan diduga terdapat penekanan medulla spinalis oleh herniasi diskus intervertebralis.
Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan tomografik untuk
membuktikannya.
4.

Fragmen yang menekan lengkung saraf

5.

Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis

6. Lesi parsial medulla spinalis yang berangsur- angsur memburuk setelah mulanya dengan
cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan , harus dicurigai hematoma.
G. REHABILITASI

Rehabilitasi harus dilakukan sedini mungkin dengan tujuan untuk mencegah dengan tujuan untuk
mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi cacat dan menyiapkan penderita untuk kembali ke
tengah keluarganya dan masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu tim rehabilitasi yang terdiri dari:
Dokter
Perawat
Fisioterapis
Pekerja social
Psikolog
Ahli terapi kerja
Ahhli ortotik
Ahli ortopedi
Program rehabilitasi ini dapat dibagi dalam 2 tahap yang sinambung.Tahap pertama pada fase
akut yaitu semasa penderita dalam pengobatan yang intensif. Terutama dikerjakan oleh perawat
dan fisioterapis. Tindakan yang dapat dilakukan pada fase ini adalah latiha, masase,
elektroterapi,memelihara jalan nafas, merawat gangguan sensibilitas, merawat gangguan miksi
dan defekasi. Pada tahap kedua yaitu program rehabilitasi jangka panjang , disisni semua unsure
tim rehabilitasi dilibatkan dengan tujuan memasyarakatkan kemabali penderita.
Program ini meliputi:

Menyiapkan keadaan mental emosional penderita agar dapat tetap berkarya meskipun
menderita cacat

Edukasi pada penderita dan keluarga tentang perawatan dirumahlatihan cara makan,
berpakaian ,miksi dan defekasi

Alih pekerjaan yang disesuaikan dengan kondisi penderita.

You might also like