You are on page 1of 3

Kebakaran Hutan, Masker, dan Lahan Gambut

Kompas: 7 Agustus 2002

kompas/m syaifullah

HINGGA kini belum ada cara yang ampuh untuk


mengendalikan kebakaran hutan di Indonesia.
Padahal, pembakaran atau kebakaran hutan
yang selama ini terjadi di sejumlah daerah
menyebabkan asap membubung ke berbagai
penjuru kota dan pedesaan, bahkan ke negara
tetangga. Paling-paling begitu kebakaran terjadi,
warga disarankan menggunakan masker
penutup hidung dan mulut untuk mencegah
penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ispa).
Padahal, percuma saja memakai masker, karena
alat sederhana ini tidak mampu untuk
menghindari asap kebakaran hutan yang
semakin hebat.

Staf pengajar pada Jurusan Manajemen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)
Bambang Hero Saharjo menjelaskan, penggunaan masker merupakan alternatif yang kerap
disarankan pemerintah.
Bambang menjelaskan, penggunaan masker belumlah menyelesaikan masalah secara
komprehensif karena partikel yang disebabkan oleh kebakaran hutan itu berukuran kurang dari
dua mikron. Partikel asap ini mampu menembus pori-pori dari masker tersebut sehingga partikel
asap itu tetap terisap dan masuk ke saluran pernapasan, bahkan dapat menempel di paru-paru.
"Ukuran partikel 10 mikron saja dapat menempel hidung," katanya.
Masker justru hanya memberikan kepada masyarakat, seperti di Kalimantan dan Riau, suatu
kepuasan untuk mengisap asap. Kalaupun terpaksa memakai masker agar kegiatan sehari-hari
tidak terganggu, lanjut Bambang, sebaiknya masker tersebut dibasahi dengan air sehingga
partikel asap itu dapat lebih dulu tertahan oleh masker.

***
ADANYA asap tentu disebabkan oleh api. Hasil
penelitian tim Fakultas Kehutanan IPB terhadap
kebakaran hutan di Indonesia menunjukkan
bahwa sebagian besar smoke atau asap, entah
disebabkan oleh pembakaran hutan oleh
masyarakat ataupun oleh grup perusahaan
tertentu, ditimbulkan oleh lahan gambut. Hal itu
terjadi di Kalimantan Barat dan Tengah, serta
Riau.

kompas/m syaifullah

"Asap itu muncul akibat pembakaran lahan


gambut yang tidak sempurna," ujarnya. Jika
proses pembakaran tidak sempurna dengan
indikasi tingginya kadar air, asap itulah yang
akan muncul.

Sebetulnya, kebakaran lahan gambut sangat mustahil terjadi begitu saja. Hasil investigasi tim IPB
secara tegas menyebutkan bahwa lahan tersebut pasti dibakar oleh pihak-pihak tertentu.
Keuntungannya adalah abu pembakaran lahan gambut tersebut diyakini dapat menambah
mineral bagi tanaman, mematikan sekaligus mencegah peluang hama menyerang tanaman
tersebut, dan juga mengubah tingkat keasaman tanah.
Kalau lahan gambut itu dibuka begitu saja, tingkat keasaman (Ph) hanya mencapai ukuran empat
sehingga sangat tidak cocok untuk tanaman kelapa sawit. Hal itu menyebabkan tanaman kelapa
sawit itu menjadi berwarna kuning dan tidak berkualitas. Sementara, jika dimusnahkan dengan
cara dibakar terlebih dulu, tingkat keasaman bisa mencapai enam.
"Memang ada jalan alternatif lain untuk meningkatkan tingkat keasaman, yakni dengan
menggunakan zat kapur dan pupuk, tetapi biayanya akan semakin mahal. Tidak ada perusahaan
yang mau melakukan alternatif ini, karena mereka akan menderita kerugian begitu besar," kata
Bambang.
Padahal, lanjutnya, proses pembakaran justru akan merusak gambut yang kini memiliki luas di
atas 10 jutaan hektar (ha). Dengan tinggi 10 sentimeter saja yang dibakar, lahan itu akan
kehilangan hak pakainya selama 15 tahun. Untuk mengembalikan ketinggian 10 sentimeter
tersebut, kita harus membiarkan lahan itu tersedia sekian ribu tahun. Selain itu, akibat
pembakaran, fungsi kapasitas lahan gambut sebagai penampung air pun akan hilang. Akibatnya,
terjadilah banjir.

***
SEBENARNYA hampir seluruh hutan di Indonesia sudah mengalami kerusakan. Tingkat laju
kerusakan itu sudah semakin hebat. Misalnya, tahun 1980-an, laju kerusakan hanya satu juta
hektar per tahun. Kemudian, tahun awal 1990, kerusakan menjadi 1,6 juta hektar/tahun. Tahun
1996, tim IPB memperhitungkan tingkat kerusakan meningkat lagi sekitar dua juta hektar/ tahun.
Akumulasi hutan yang rusak saat ini sudah hampir 50 juta hektar.
Kerusakan hutan di Riau, misalnya, sejak bulan Desember tahun 2001 sudah terjadi. Kebakaran
tersebut berlangsung hingga bulan Maret 2002, sehingga hampir 20.000 hektar dilalap api. "Hasil
investigasi diperoleh sekitar 20 perusahaan sangat berperan di balik aksi kebakaran ini," katanya.
Saat ini, kebakaran hutan di sana kembali bergolak, apalagi para penegak hukum tidak lagi
begitu peduli. Bahkan, dalam kasus kebakaran hutan di Dumai, para penegak hukum malah
membebaskan perusahaan yang jelas-jelas melakukan pembakaran. "Jadi, terserah saja, mau
menikmati asap atau mengurangi asap," ujar Bambang.
Data kerusakan hutan di Indonesia yang dalam buku Potret Keadaan Hutan Indonesia terbitan
akhir tahun 2001 oleh Global Forest Watch menunjukkan, laju kerusakan hutan pada era tahun
1980-an di Indonesia adalah sekitar satu juta ha/tahun, kemudian pada awal tahun 1990-an
tingkat kerusakan mencapai 1,7 juta ha/tahun. Lalu, sejak tahun 1996 meningkat lagi menjadi
rata-rata 2 juta ha/tahun.
Hutan yang sudah terdegradasi dan gundul di Indonesia adalah sebagai berikut: Sumatera
terdegradasi seluas 5,8 juta ha dan gundul seluas 3,2 juta ha, Kalimantan (degradasi 20,5 juta ha
dan gundul 4,3 juta ha), Sulawesi (degradasi 2,0 juta ha dan gundul 203.000 ha), Nusa Tenggara
Barat (degradasi 74.100 ha dan gundul 685 ha), Papua (degradasi 10,3 juta ha dan gundul 1,1
juta ha), dan Maluku (degradasi 2,7 juta ha dan gundul 101.200 ha).
Data Dinas Kehutanan Jawa Barat menyebutkan, dari luas hutan di Jawa Barat sebesar
791.519,33 ha yang terdiri dari hutan produksi seluas 472.307,7 ha, hutan lindung (203.105,71

ha), dan hutan konservasi (116.109,93 ha), ternyata luas total lahan kritisnya sudah mencapai
332.364 ha.
Secara rinci, hutan rusak yang terdapat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum seluas 158.317
ha, terdiri dari sub-DAS Citarum 112.453 ha, yakni meliputi Kabupaten Bandung seluas 56.590
ha, Kabupaten Cianjur (30.047 ha), Kabupaten Purwakarta (12.611 ha), dan Kabupaten
Karawang (13.205 ha); sub-DAS Cipunaga (Kabupaten Subang, Indramayu, dan Sumedang)
seluas 8.137 ha; sub-DAS Cibuni-Cilaki (Kabupaten Cianjur dan Sukabumi) seluas 27.834 ha;
dan sub DAS Ciasem (Subang) seluas 9.893 ha.
Selain itu, hutan rusak yang terdapat di DAS Ciliwung seluas 17.854 ha dengan rincian, yakni
sub-DAS Cimandiri (5.599 ha), sub-DAS Cileuntuh (750 ha), sub-DAS Cikaso (8.727 ha), dan
sub-DAS Cikarang (2.778 ha). Seluruhnya berada di daerah Sukabumi, sedangkan hutan yang
rusak di DAS Cimanuk yang terdapat di Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka, dan
Indramayu (83.721 ha) dan di DAS Citanduy yang terdapat di Cirebon, Kuningan, Tasikmalaya,
dan Ciamis (72.429 ha).
Sementara itu, luas kawasan hutan yang harus segera direhabilitasi di wilayah Jawa Barat
mencapai seluas 239.039 ha dengan rincian hutan lindung (70.789 ha), suaka alam dan wisata
(18.467 ha), dan hutan produksi (149.783 ha).
Padahal, ungkap Bambang, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Kebakaran Hutan terungkap jelas bahwa Departemen Kehutanan (Dephut)
mempunyai ruang lingkup taman nasional dan suaka margasatwa. Jika asap akibat pembakaran
atau kebakaran hutan sudah lintas batas, Dephut harus turun tangan. Departemen Lingkungan
Hidup bertugas dalam hal advokasi dan monitoring (memantau) lingkungan sehingga
departemen ini dapat menyampaikan informasi dan upaya-upaya penegakan hukum. Sementara
di dalam lingkup provinsi, tanggungjawab tersebut terletak pada gubernur, sedangkan di tingkat
kabupaten berada di tangan bupati. (STO)

You might also like