You are on page 1of 11

ILMU DASAR KEPERAWATAN II

DOSEN :
Dr. Susmiati, M. Biomed
MEMBERS OF GROUP 2:
Dwi Yani Adinda

(1511314006)

Dzikra FitriAmita

(1511314025)

Rozi Ardi Tamala

(1511314002)

Balqis Qisty

(1511314016)

Hafsari Wulandari

(1511314024)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015/2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi nosokomial menurut WHO adalah adanya infeksi yang tampak pada
pasien ketika berada didalam rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dimana infeksi
tersebut tidak tampak pada saat pasien diterima dirumah sakit. Yang disebut infeksi
nosokomial ini termasuk juga adanya tanda tanda infeksi setelah pasien keluar dari rumah
sakit dan juga termasuk infeksi pada petugas petugas yang bekerja di fasilitas kesehatan.
Infeksi yang tampak setelah 48 jam pasien diterima dirumah sakit biasanya diduga
sebagai suatu infeksi nosokomial.

1.2Rumusan Masalah
a.
b.
c.
d.
e.

Apa Definisi Nosocomial Infection ?


Apakah Patogenis ?
Bagaimana Gejala Klinis Pasien Nosocomial Infection ?
Apa itu Etiology ?
Bagaimana Faktor Resiko terjadinya Nosocomial Infection ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

Infeksi nosocomial

Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh pasien
selama dia dirawat di rumah sakit dan menunjukkan gejala infeksi baru setelah 72 jam
pasien berada di rumah sakit serta infeksi itu tidak ditemukan atau diderita pada saat
pasien masuk ke rumah sakit (Olmsted RN, 1996, Ducel, G, 2002).
Infeksi nosokomial menurut WHO adalah adanya infeksi yang tampak pada
pasien ketika berada didalam rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dimana infeksi
tersebut tidak tampak pada saat pasien diterima dirumah sakit. Yang disebut infeksi
nosokomial ini termasuk juga adanya tanda tanda infeksi setelah pasien keluar dari rumah
sakit dan juga termasuk infeksi pada petugas petugas yang bekerja di fasilitas kesehatan.
Infeksi yang tampak setelah 48 jam pasien diterima dirumah sakit biasanya diduga
sebagai suatu infeksi nosokomial.
Istilah nosokomial berasal dari bahasa Yunani yaitu nosokomeion yang berarti
rumah sakit (nosos = penyakit, komeo = merawat). Infeksi nosokomial dapat
diartikaninfeksi yang berasal atau terjadi di rumah sakit.2,6,7 Infeksi yang timbul dalam
kurun waktu 48 jam setelah dirawat di rumah sakit sampai dengan 30 hari lepas rawat
dianggap sebagai infeksi nosokomial.
Suatu infeksi pada pasien dapat dinyatakan sebagai infeksi nosokomial bila
memenuhi beberapa kriteria :
1. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda klinis
infeksi tersebut.
2. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa
inkubasi infeksi tersebut.
3. Tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurangkurangnya 48 jam sejak
mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa infeksi sebelumnya.

2.2.

Patogenesis
Infeksi nosokomial disebabkan oleh virus, jamur, parasit; dan bakteri merupakan
patogen paling sering pada infeksi nosokomial.Patogen tersebut harus diperiksapada
semua pasien dengan demam yang sebelumnya dirawat karena penyakit tanpa gejala
demam.
Faktor predisposisi terjadinya infeksi nosokomial pada seseorang antara lain :
a. Status imun yang rendah (pada usia lanjut dan bayi prematur).
b. Tindakan invasif, misalnya intubasi endotrakea, pemasangan kateter, pipa saluran
bedah, dan trakeostomi.
c. Pemakaian obat imunosupresif dan antimikroba.

d. Transfusi darah berulang. Penularan oleh patogen di rumah sakit dapat terjadimelalui
beberapa cara :
1. Penularan melalui kontak merupakan bentuk penularan yang sering dan
penting infeksi nosokomial. Ada 3 bentuk, yaitu:
Penularan melalui kontak langsung: melibatkan kontak tubuh dengan

tubuhantara pejamu yang rentan dengan yang terinfeksi.


Penularan melalui kontak tidak langsung: melibatkan kontak pada
pejamu yang rentan dengan benda yang terkontaminasi misalnya jarum

suntik, pakaian, dan sarung tangan.


Penularan melalui droplet, terjadi ketika individu yang terinfeksi batuk,
bersin,berbicara, atau melalui prosedur medis tertentu, misalnya

bronkoskopi.
2. Penularan melalui udara yang
mengandung mikroorganisme
yang mengalami evaporasi,
atau partikel debu yang
mengandung agen
infeksius. Mikroorganisme
yang terbawa melalui udara
dapat terhirup pejamu yang rentan
yang beradapada ruangan yang
sama atau pada jarak
yang jauh dari sumber
infeksi. Sebagai contoh mikroorganisme Legionella, Mycobacterium
tuberculosis, Rubeola, dan virus varisela
3. Penularan melalui makanan, air, obat-obatan

dan

peralatan

terkontaminasi.
4. Penularan melalui vektor, misalnya nyamuk, lalat, tikus, dan kutu

yang

2.3.

Gejala Klinis
Tanda dan gejala sistemik infeksi nosokomial sama dengan infeksi lainnya, yaitu
demam, takikardia, takipneu, ruam kulit, dan malaise. Gejala dan tanda tersebut timbul
dalam waktu 48 jam atau lebih setelah pasien di rawat di rumah sakit, atau dalam 30 hari
setelah pasien keluar dari rumah sakit.Sumber infeksi nosokomial dapat dicurigai jika
terdapat penggunaan alat dalam prosedur medis, sebagaicontoh pemasangan pipa
endotrakeal yang dapat dihubungkan dengan sinusitis, otitis, trakeitis, dan pneumonia;
pemasangan kateter intravaskular dapat menyebabkan flebitis; kateter Foley dapat
dihubungkan dengan infeksi saluran kemih oleh karena candida

2.4.

Etiologi
2.4.1. Agen infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia dirawat di
rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak
selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi
tergantung pada karakteristik mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat
antibiotika, tingkat virulensi, dan banyaknya materi infeksius (Ducel, G, 2002).
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat
menyebabkan

infeksi

nosokomial.

Infeksi

ini

dapat

disebabkan

oleh

mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh
flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan infeksi
yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal, yaitu
penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau bahanbahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan
disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang
sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal (Ducel, G,
2002)

2.4.2. Respon dan toleransi tubuh pasien


Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh
pasien dalam hal ini adalah umur, status imunitas penderita, penyakit yang diderita,
obesitas dan malnutrisi, orang yang menggunakan obat-obatan immunosupresan
dan steroid serta intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa
dan terapi (Babb, JR. Liffe, AJ, 1995).
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh
terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit
kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan
AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi
dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat
immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya
prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi,
intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi (Babb, JR.
Liffe, AJ, 1995).

2.5.

Faktor Resiko Terjadinya Infeksi Nosokomial pada Pasien

2.5.1. Infeksi secara langsung atau secara tidak langsung


Infeksi boleh terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung. Penularan
infeksi ini dapat tertular melalui tangan, kulit dan baju, yang disebabkan oleh golongan
staphylococcus aureus. Cairan yang diberikan secara intravena dan jarum suntik,
peralatan serta instrumen kedokteran boleh menyebabkan infeksi nosokomial. Makanan
yang tidak steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan
terjadinya cross infection (Babb, JR. Liffe, AJ, 1995, Ducel, G, 2002).

2.5.2. Resistensi Antibiotika


Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara tahun 19501970, kebanyakan penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan
disembuhkan. Bagaimanapun, keberhasilan ini menyebabkan penggunaan berlebihan dan
penyalahgunaan antibiotika.
Maka, banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten. Peningkatan
resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama pada pasien yang
immunocompromised (Ducel, G, 2002).
Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini meningkatkan multiplikasi serta
penyebaran strain yang resisten. Penyebab utamanya adalah penggunaan antibiotika yang

tidak sesuai dan tidak terkontrol, dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi dan
pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat serta kesalahan diagnosa
(Ducel, G, 2002).
Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah
sakit,dan menjadi sangat penting karena:
Meningkatnya jumlah penderita yang dirawat
Seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur
Mikroorganisme yang baru (mutasi)
Meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika(Ducel, G, 2002)

2.5.3. Faktor alat


Suatu penelitian klinis menujukkan infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh
infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi
dari luka operasi dan septikemia. Penggunaan peralatan non steril juga boleh
menyebabkan infeksi nosokomial (Ducel, G, 2002).

2.6.

Cara Penularan Infeksi Nosokomial


Cara penularan infeksi nosokomial bisa berupa infeksi silang (Cross infection) yaitu
disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau penderita lain di rumah sakit secara
langsung atau tidak langsung. Infeksi sendiri (Self infection, Auto infection) yaitu
disebabkan oleh kuman dari penderita itu sendiri yang berpindah tempat dari satu
jaringan ke jaringan yang lain. Infeksi lingkungan (Environmental infection) yaitu
disebabkan oleh kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang
berada di lingkungan rumah sakit. Misalnya lingkungan yang lembab dan lain-lain
(Depkes RI, 1995). Menurut Jemes H,Hughes dkk, yang dikutip oleh Misnadiarli 1994,
tentang model cara penularan, ada 4 cara penularan infeksi nosokomial yaitu kontak
langsung antara pasien dan personil yang merawat atau menjaga pasien. Seterusnya,
kontak tidak langsung ketika objek tidak bersemangat/kondisi lemah dalam lingkungan
menjadi kontaminasi dan tidak didesinfeksi atau sterilkan, sebagai contoh perawatan luka
paska operasi. Selain itu, penularan cara droplet infection dimana kuman dapat mencapai
ke udara (air borne) dan penularan melalui vektor yaitu penularan melalui
hewan/serangga yang membawa kuman (Depkes RI, 1995).

2.7.

Pencegahan terjadinya Infeksi Nosokomial

Pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencana yang terintegrasi,
monitoring dan program yang termasuk :
Membatasi transmisi organisme dari atau antara pasien dengan cara mencuci
tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan

disinfektan.
Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang

cukup, dan vaksinasi.


Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif.
Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya.
Terdapat pelbagai pencegahan yang perlu dilakukan untuk mencegah infeksi
nosokomial. Antaranya adalah dikontaminasi tangan dimana transmisi penyakit melalui
tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga hiegene dari tangan. Tetapi pada
kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya alasan seperti
kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai
pentingnya hal ini, dan waktu mencuci tangan yang lama. Penggunaan sarung tangan
sangat dianjurkan apabila melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien dengan
yang dirawat di rumah sakit (Louisiana, 2002).
Simonsen et al (1999) menyimpulkan bahwa lebih dari 50% suntikan yang dilakukan
di negara berkembang tidak aman contohnya adalah jarum, tabung atau keduanya yang
dipakai secara berulang-ulang. Untuk mencegah penyebaran infeksi melalui jarum suntik
maka diperlukan, penggunaan jarum yang steril dan penggunaan alat suntik yang
disposabel. Masker digunakan sebagai pelindung terhadap penyakit yang ditularkan
melalui udara. Sarung tangan, sebaiknya digunakan terutama ketika menyentuh darah,
cairan tubuh, feses maupun urine. Sarung tangan harus selalu diganti untuk setiap
pasiennya, baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian selama
kita melakukan suatu tindakan untuk mencegah percikan darah, cairan tubuh, urin dan
feses (Louisiana, 2002).

2.8.

Peran Perawat Dalam Infeksi Nosokomial


Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat berkaitan dengan
terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dan perawat bertanggung jawab
menyediakan lingkungan yang aman bagi klien terutama dalam pengendalian infeksi

dalam proses keperawatan. Perawat juga bertindak sebagai pelaksana terdepan dalam
upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial (Potter & Perry, 2005). Jumlah
tenaga pelayanan kesehatan yang kontak langsung dengan pasien, jenis dan jumlah
prosedur invasif, terapi yang diterima, lama perawatan, dan standar asuhan keperawatan
mempengaruhi risiko terinfeksi. Faktor standar asuhan keperawatan yang mempengaruhi
terjadinya infeksi nosokomial adalah klasifikasi dan jumlah ketenagaan yang memiliki
kemampuan dalam menjalankan dan mempraktikkan teknik aseptik; peralatan dan obat
yang sesuai, siap pakai dan cukup; ruang perawatan yang secara fisik dan hygiene yang
memadai; aspek beban kerja dalam pembagian jumlah penderita dengan tenaga
keperawatan, dan jumlah pasien yang dirawat (Darmadi, 2008).
Peran perawat dalam pengendalian infeksi adalah menyediakan layanan
konsultasi mengenai semua aspek pencegahan dan pengendalian infeksi dengan
menggunakan metode yang berdasarkan bukti penelitian, praktisi, dan keefektifan biaya
(Brooker, 2008). Pelaksanaan praktik asuhan keperawatan untuk pengendalian infeksi
nosokomial adalah bagian dari peran perawat (WHO, 2002).
WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection menyatakan
bahwa peran perawat pelaksana dalam pengendalian infeksi nosokomial yaitu: (1)
menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan
praktik keperawatan; (2) pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan
penggunaan isolasi, (3) melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah atau tanda dan
gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; (4) melakukan isolasi jika pasien
menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; (5) membatasi paparan pasien terhadap
infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien lain, atau peralatan yang
digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan; (6) mempertahankan keamanan
peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan di ruangan dari penularan infeksi
nosokomial.

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh pasien
selama dia dirawat di rumah sakit dan menunjukkan gejala infeksi baru setelah 72 jam
pasien berada di rumah sakit serta infeksi itu tidak ditemukan atau diderita pada saat
pasien masuk ke rumah sakit (Olmsted RN, 1996, Ducel, G, 2002).
Infeksi nosokomial disebabkan oleh virus, jamur, parasit; dan bakteri merupakan
patogen paling sering pada infeksi nosokomial.Patogen tersebut harus diperiksapada
semua pasien dengan demam yang sebelumnya dirawat karena penyakit tanpa gejala
demam.
Peran perawat dalam pengendalian infeksi adalah menyediakan layanan
konsultasi mengenai semua aspek pencegahan dan pengendalian infeksi dengan
menggunakan metode yang berdasarkan bukti penelitian, praktisi, dan keefektifan biaya
(Brooker, 2008). Pelaksanaan praktik asuhan keperawatan untuk pengendalian infeksi
nosokomial adalah bagian dari peran perawat (WHO, 2002).

REFERENCE
2013.Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
T. Mansyur Tanjungbalai.PDF
Arwani, dkk. (2005). Manajemen Bangsal Keperawatan. Jakarta: EGC
Brooker, C. (editor). (2008). Ensiklopedia Keperawatan Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC
Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta: Salemba
Medika

You might also like