You are on page 1of 39

Bagian atas kepala/parietal

1)

Ketidakmampuan mengikuti lebih dari satu objek pada saat yang

sama
2)

Ketidakmampuan menyebutkan nama benda

3)

Kesulitan dalam membaca

4)

Kesulitan dalam menggambar benda

5)

Kesulitan dalam membedakan kiri dan kanan

6)

Kesulitan dalam berhitung

7)

Kehilangan kecakapan yang diperoleh sebelumnya untuk

melaksanakan pekerjaan
8)

Ketidakmampuan memusatkan perhatian

9)

Kesulitan pada penglihatan dan koordinasi lengan

c.

Belakang kepala/oksipital

1)

Penurunan penglihatan

2)

Kesulitan menentukan letak benda disekitarnya

3)

Kesulitan dalam mengidentifikasi warna

4)

Halusinasi

5)

Ilusi

6)

Buta huruf

7)

Kesulitan dalam mengenali gambarn benda

8)

Kesulitan dalam membaca dan menulis

Penatalaksanaan
Pasien dengan trauma kepala berat sering mengalami gangguan pernapasan, syock hipovolemik, gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan intracranial yang tinggi, kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler.
Perlu mendapat penanganan yang tepat.
a.

Pengelolaan Pernapasan
Pasien harus ditempatkan dalam posisi miring atau seperti posisi koma, periksa mulut keluarkan gigi
palsu bila ada, jika banyak ludah atau lendir lakukan penghisapan dan bersihkan sisa muntahan bila ada.
Lakukan hiperoksigenasi sebelum, selama dan sesudah penghisapan. Hindari fleksi leher yang berlebihan karena
bias mengakibatkan terganggunya jalan napas atau peningkatan TIIK. Pasang Tuba orotrakeal. Trakesotomi
dilakukan bila lesi didaerah mulut atau faring parah.
Perawat harus mengkaji frekuensi dan upaya pernapasan pasien, warna kulit, bunyi pernapasan ekspansi
dada. Bila terdapat gangguan, gas darah arteri harus diukur mengevaluasi efektifitas ventilasi. Bila pasien gelisah
dan melawan bantuan respirasi, perlu diberikan penenang diazepam. Posisi pasien harus selalu diubah setiap 3
jam dan lakukan fisioterapi dada 2 kali sehari.

b.

Gangguan Mobilitas Fisik


Pasca cidera posisi harus dibentuk segera. Posisi yang benar akan membantu menghambat tonus
abnormal dan memungkinkan penanganan yang lebih mudah oleh terapis fisik dan okupasi serta perawat yang
membantu pasien mempertahankan rentang gerak penuh. Posisi tubuh yang umu pasca cidera kepala adalah
opistotonus perawatan harus dilakukan dengan tujuan untuk menghentikan pola refleksif dan penurunan tonus
otot abnormal. Perawat harus menghindarkan terjadinya kontraktur dengan melakukan ROM pasif dengan
meregangkan otot dan mempertahankan mobilitas fisik. Perawat harus menggerakan setiap sendi sesuai rentang
gerak normalnya. Lakukan waktu memandikan pasien.

c.

Kerusakan Kulit
Dengan hilangnya fungsi motorik, klien sangat rentan terjadinya kerusakan kulit, pasien tidak sadar atau
pasien yang immobilitas adanya penekanan, kelembaban, gesekan, danpenurunan sensasi. Satu-satunya cara
menghindari gangguan intregritas kulit adalah hilangkan penekanan. Dan intervensi yang paling efektif adalah
mobilitas.

d.

Masalah Hidrasi
Pada klien cidera kepala terjadi konstriksi arteri-arteri renalis sehingga pembentukan urine berkurang
dan garam ditahan didalam tubuh akibat peningkatan tonus ortosimpatik. Pengukuran masukan dan haluran
cairan yang akurat dan evaluasi terhadap perubahan berat badan dari hari kehari sangat penting pada pengkajian
keseimbangan cairan. Pada dua hari pertama masukan cairan sebaiknya dibatasi 1 L/24 jam, hari ketiga keempat
1,5 L dan seterusnya 2 L/24 jam. Bila diberikan terapi koertikosteroid, diuretic atau cairan hiperosmolar, jumlah
cairan disesuaikan. Cairan yang diberikan ialah campuran Glukosa 5% dan NaCl 0,4%. Perawat juga harus
mengkaji kulit klien dan membrane mukosa terhadap kekeringan dan pecah-pecah, yang mencetuskan timbulnya
cidera lanjut. Evaluasi terhadap perubahan kardiovaskuler secara ketat terutama dengan mengukur tanda-tanda
vital, tekanan vena sentral serta curah jantung.

e.

Nutrisi pada trauma Otak Berat

Nutrisi pada klien trauma otak memerlukan jumlah kalori 2 kali lipat dengan meningkatnya aktivitas
system saraf ortosimpatik yang tampak pada hipertensi dan takikardi. Kegelisaan dan tonus otot yang meningkat
menambah kebutuhan kalori. Bila ebutuhan kalori ini tidak dipenuhi maka jaringan tubuh dan lemak akan
diurai, penyembuhan luka akan lebih lama, timbul dekubitus, daya tahan tubuh menurun. Sebelum nutrisi
diberikan kemampuan menelan gunakan sonde untuk memasukan nutrisi. Evaluasi juga penutupan bibir dan
gerakan lidah, bicara ngorok yang menandakan penurunan otot orofaringeal. Selain itu pertimbangan lain
sebelum memberikan makanan peroral adalah status pernapasan dan kekuatan batuk.
f.

Masalah Eliminasi
Pemantauan eliminasi usus dan fasilitas defekasi normal adalah tanggung jawab keperawatan. Pada fase
akut perawatan cidera otak, tanggung lainnya diprioritaskan seperti pencegahan peningkatan TIK. Mekanisme
normal dari pengosongan usus secara dasar oleh aktivitas refleks pada tingkat medulla spinalis. Pada cidera otak,
control volunteer pada perangsangan dan penghambatan refleks terganggu. Rangsang dengan jari untuk
menimbulkan refleks ditingkat medulla. Ini dapat dilakukan dengan jari bersarung tangan, enema volume kecil
atau iritan kimia seperti biosaodil (dukolak), supositorio. Selain masalah defekasi yang diperhatikan juga hdala
masalah eliminasi urine. Pada fase akut kateter bisa menjadi sumber infeksi. Latihan Bandung kemih bisa
dimulai dengan kateter intermitten, frekuensi berkemih atau sistostomi suprapubik indwelling yang memberikan
infeksi lebih sedikit.

g.

Masalah Komunikasi

1)

Disfasia
Ketika berkomunikasi dengan pasien disfasia, yang paling baik adalah dengan menggunakan bahasa yang
sederhana dengan gerakan tangan dan isyarat lingkungan. Menunjukkan objek, nada suara, ekspresi wajah.
Waktu dalam sehari, dan rutinitas rumah sakit berperan terhadap pemahaman klien gunakan kalimat pendek,
nada suara normal karena klien tidak tuli, klien hanya mengalami kesulitan memahami arti apa yang didengar.

2)

Disartia
Sekelompok gangguan wicara yang diakibatkan dari gangguan control otot mekanik bicara, kerusakan pada saraf
pusat.

3)

Apraksia
Ketidakmampuan untuk melakukan, meminta, gerakan kompleks atau trampil oleh karena kelemahan otot,
deficit sensori, kurang pemahaman. Dibagi apxaksia idesional, idemotor, oral. Ciri utama apraksia adalah
ketidakmampuan mengikuti perintah, tapi mampu melakukan secara spontan. Perawatan dilakukan ara
menghindari perintah, biarkan klien melakukan dengan spontan. Hindari perintah minum tapi berikan gelas,
biarkan reflek minum bekerja.

h.

Obat-obatan yang sering digunakan

1)

Manitol IV dengan dosis awal 1 g/kg BB, evaluasi 15-20 menit, bila belum ada perbaikan tambahkan dosis 0,25
g/kg BB. Hati-hati terhadap kerusakan ginjal.

2)

Steroid digunakan untuk mengurangi edema otak.

3)

Natrium bikarbonat, untuk mencegah terjadinya asidosis.

4)

Antikonvulsan, masih bersifat controversial. Tujuan pemberian untuk profilaksis kejang.

5)

Terapi koma, merupakan langkah terakhir untuk mengendalikan TIK secara, konservatif. Terapi ini
menurunkan metabolisme otak, mengurangi edema, dan menurunkan TIK. Biasanya dilakukan 24-48 jam.

6)

Antipiretik, demam akan memperburuk keadaan karena akan meningkatkan metabolisme dan dapat terjadi
dehidrasi, kerusakan otak. Jika penyebab infeksi tambahkan Antibiotik.

7)

Sedasi, gaduh gelisah merupakan gejala yang sering ditemukan pada penderita cidera otak dan dapat
meningkatkan tekanan intracranial. Lorazepam (Ativan) 1-2 mg IV/IM dapat diberikan dan dapat diulang
pemberiannya dalam 2-4 jam. Kerugian pemberian sedasi ini adalah kita tidak dapat memantau kesadaran
penderita.

8)

Antasida AH2, untuk mencegah perdarahan GIT: Simetidin, Ranitidin, Famotidin.

9)

Furosemid, adakalanya diberikan bersama dengan obat anti edema lain. Dosis 1 mg/k BB IV dapat iulang tiap 612 jam.

g. Penatalaksanaan trauma kepala yang memerlukan tindakan bedah saraf


Penatalaksanaan trauma kepala yang memerlukan tindakan bedah saraf, merupakan proses yang terdiri
dari serangkaian tahapan yang saling berkaitan satu sama laian dalam mengambil keputusan dalam melakukan
tindakan pembedahan antara lain adalah sebagai berikut :
1)

Tahap 1

a)

Penilaian awal pertologan pertama, dengan memprioritaskan penilaian yaitu :


(1)

(a)

Airway : Jalan Nafas

Memberikan jalan dari sumbatan lendir, muntahan, benda asing

(b) Bila perlu dipasang endotrakeal


(2)

Breathing : Pernapasan

Bila pola pernapasan terganggu dilakukan nafas buatan atau ventilasi dengan respirator
(3)
(a)

Circulation : Perearan darah

Mengalami hipovelemik syok

(b) Infus dengan cairan kristaloid


(c)

Ringer lactat, Nac 10,9%, D5%, 45 salin


(4)

Periksa adanya kemungkinan adanya perdarahan

(a) Tentukan hal berikut : lamanya tak sadar, lamanya amnesia post trauma, sebab cedera, nyeri kepala, muntah.
(b) Pemeriksaan fisik umum dan neurologist
(c) Monitor EKG
b)

Diagnosis dari pemeriksaan laboratorium dan foto penunjang telah dijelaskan didepan

c)

Indikasi konsul beda saraf :


(1)

Coma berlangsung > 6 jam

(2)

Penurunan kesadaran (gg neurologos progresif)

(3)

Adanya tanda-tanda neorologist fokal, sudah ada sejak

terjadi cedera kepala


(4)

Kejang lokal atau umum post trauma

(5)

Perdarahan intra cranial

2)

Tahap II : Observasi perjalanan klinis dan perawatan supportif

3)

Tahap III

a) lndikasi pembedahan
(1) Perlukaan pada kulit kepala.
(2) Fraktur tulang kepala
(3) Hematoma intracranial.
(4) Kontusio jaringan otak yang mempunyai diameter > 1 cm dan atau laserasi otak
(5) Subdural higroma
(6) Kebocoran cairan serebros pinal
b) Kontra indikasi
(1) Adanya tanda renjatan/shock, bukan karena trauma tapi karena sebab lain missal: rupture alat viscera (rupture
hepar, lien, ginjal), fraktur berat pada ekstremitas.
(2) Trauma kepala dengan pupil sudah dilatasi maksimal dan reaksi cahaya negative, denyut nadi dan respirasi
irregular.
c ) Tujuan pembedahan
( l ) Mengeluarkan bekuan darah dan jaringan otak yang nekrose
(2) Mengangkat tulang yang menekan jaringan otak
(3) Mengurangi tekanan intracranial
(4 ) Mengontrol perdarahan
(5) Menutup/memperbaiki durameter yang rusak
(6) Menutup defek pada kulit kepala untuk mencegah infreksi atau kepentingan kosmetik.
d) Persiapan pembedahan
(1) Mempertahankan jalan naf as agar tetap bebas
(2) Pasang infuse
(3) Observasi tanda-tanda vital
(4) Pemeriksaan laboratorium
(5) Pemberian antibiotik profilaksi
(6) Pasnng NGT, DC
(7) Therapy untuk menurunkan TIK, dan anti konvulsan
4) Tahap IV:
a)

Pembedahan Spesifik

(1) Perlukaan pada kulit prinsipnya dilakukan "debridemen" Pada lesi desak ruang intrakranial traumatic pada
prinsipnya dilakukan kraniotomi yang cukup luasnya.
(2) Pada hematom Epipidual biasanya dilakukan
(a) Trepansi
(b) Kraniotomi yang diperluas dengan kraniektomi
Bila diagnosa dengan CT scan yang menunjukkan lesi dengan jelas, cukup dengan kraniotomi yang terbatas. Pada
epidural hematom yang lebih tebal < 1,5-1 cm, belum perlu tindakan operasi.

(3) Pada Hematom Subdural


Pada Hematom Subrudal akut senantiasa diperlukan kraniotomi yang luas. Tindakan kraniektomi atau membuat
lubang bur tidak dianggap cukup, ini hanya hematom subdural yang kronis,
(4) Pada Hematom intraserebral dart kontusio serebri dengan efek massa yang jelas.
Dilakukan tindakan kraniotomi yang cukup luas;
(a) Bila terdapat kontusio dengan diameter > 1cm, dipermukaan kortelis hendaknya diisap sampai batas jaringan otak
yang sehat.
(b) Menimbulkan efek massa yang jelas
(c) Menyebabkan penyimpangan garis tengah > 45 mm
(d) Volume diperkirakan > 30 cc atau diameter > 3 cm
(e) Menunjukkan peninggian tekanan inrakarnial > 30 mmHg dan atau berkaitan dengan gangguan neurologik
yang progresif
Pada hematorna intraserebral yang kronis dapat dilakukan dengan trepanasi secara konvensional dan aspirasi.
(5) Pada intraventrikuler hematoma;
(a) Kraniotomi aspirasi hematom
(b) Trepanasi drenase ventrikurel
(c) Bila timbul tanda-tanda hidrosefalus, dilakukan ventrikuloperitoneal shunt.
Prognosis buruk bila GCS < 8 pada saat masuk dirawat. Bila GCS > 8 prognosis lebih baik kira-kira 86%
hidupnya tidak tergantung orang lain.
(6) Pada subdural higroma Pada Rhinorrhea
(7) Pada Laserasi otak
(8) Pada fraktur tulang kepala terbuka
(9) Pada fraktur yang menekan tertutup
b) Evaluasi: komplikasi yang perlu diperhatikan:
(l) Perdarahan ulang
(2) Kebocoran cairan otak
(3) lnfeksi pada luka atau sePsis
(4) Timbulnya edema serebri
(5) Timbulnya edema pulmonum neurogenik, peninggian TIK
(6) Nyeri kepala setelah penderita sadar Kovulsi
c) Outcome
Outcome akibat trauma kepala. waluupun sudah dilakukan tindakan operasi tergantung beberepa faktor
diantaranya:
(l) Saat dilakukan operasi
(2) Tergantung pada penilaian tingkat kesadaran faktor usia
(3) Tergantung tanda-tanda vital waktu masuk
(4) Tergantung pada peninggian intrakraniel Tergantung pada faktor hematom: jenis, sifatnya, volume dan
lokalisasinya, misalnya:

(a) Outcome epidural hematem dengan kontusio serebri lebih buruk daripada kalau hanya ada epidural hematomnya
(Guillermann, 1996)
(b) Volume hernatom epidural (EDH) : EDH < 50 cc dengan mortaiitas 12%,EDH 50 - 100 cc dengan mortalitas 33%,
EDH > 100 cc dengan mortalitas 66%.

B.
l.

Asuhan Keperawatan Prria Cedera Kepnla


Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses keperawatan dalam mengkaji harus memperhatikan
data dasar pasien. Informasi yang didapat dari klien (sumber data primer), data yang didapat dari orang lain
(data sekunder), catatan kesehatan klien, informasi atau laporan laboratorium, tes diagnostik, keluarga dan
orang terdekat, atau anggota team kesehatan merupakan pengkajian data dasar (A. Aziz Alimul Hidayat 2001:12)

a.

Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab): nama umur, hubungan pasien dengan penanggung jawab.

b.

Riwayat kesehatan meliputi berikut ini :

1)

Kapan cedera terjadi?

2)

Apa penyebab cedera?

3)

Apakah peluru kecepatan tinggi?

4)

Apa objek yang membentur?

5)

Bagaimana proses terjadinya cedera pada kepala? Apakah Klien jatuh?

6)

Dari mana arah datangnya pukulan? Bagaimana kekuatan pukulan?

7)

Apakah Klien kehilangan kesadaran?

8)

Berapa lama durasi dan periode sadar?

9)

Dapatkah Klien dibangunkan?

(Sumber: Fransisca B. Batticaca, 2008:102)

c. Bidang Pengkajian
l) Tingkat kesadran dan responsivitas.
Tingkat kesadaran atau responsivitas diujikaji secara teratur karena perubahan pada tingkat kesadaran
mendahului semua perubahan tanda vital dan neurologik lain. Skala koma Glasgaw digunakan untuk mengkaji
tingkat kesadaran berdasarkan tiga kriteria pembukaan mata respon verbal dan respon motorik terhadap
perintah verbal atau stimulus nyeri.
Tabel 1.3
Glassgow Coma Scale (GCS)
Buka mata (E)
4 = Spontan
3 = Dengan perintah
2 = Dengan rangsang
1 = Tidak ada reaksi

Respon motorik (M)


6 = Mengikuti perintah
5 = Melokalisir nyeri
4 = Menghindari nyeri
3 = Fleksi abnormal
2 = Ekstensi abnormal
1 = Tidak ada gerakan

Respon verbal terbaik (V)


5 = Orientasi baik dan sesuai
4 = Disorientasi tempat dan waktu
3 = Bicara kacau
2 = Mengerang
1 = Tidak ada suara

Sumber : Suzanne C. Smeltze, 2001:2091


Klasifikasi tingkat kesadaran berdasarkan karakteristiknya :
a)

Sadar : Sadar penuh akan sekeliling, orientasi baik terhadap orang, tempat dan waktu, kooperatif, dapat
mengulang beberapa angka menit setelah diberitahu.

b) Otomatisme : Tingkah laku relatif normal (misal, mampu makan sendiri) dapat berbicara dalam kalimat tetapi
kesulitan mengingat dan memberi penilaian, tidak ingat peristiwa-peristiwa sebelum periode hilangnya

kesadaran, dapat mengajukan pertanyaan yang semua berulang kali, bertindak secara otomatis tanpa dapat
mengingat apa yang baru daya atau yang telah dilakukannya.Mengetahui perintah sederhana.
c)

Konfusi : Malakukan aktivitas yang bertujuan dengan gerakan yang canggung, disorientasi waktu tempat dan
orang, gangguan daya ingat tidak mampu mempertahankan pikiran atau ekspresi, biasanya . Sulit dibangunkan
menjadi tidak kooperatif.

d) Delirium : Disorientasi waktu, tempat dan orang, tidak kooperatif, agitasi, gelisah bersifat selalu menolak.
e)

Stupor : Diam, mungkin tampaknya tidur, berpesan terhadap rangsangan suara yang keras, terganggu oleh
cahaya, berespon baik terhadap rangsangan rasa sulit.

f)

Stupor dalam: Bisu, sulit dibangunkan (sedikit respon terhadap rangsang nyeri).

g) Koma : Tidak sadar, tidak berespon terhadap rangsangan nyeri maupun verbal. Refleks masih ada.
h) Koma ireversible dan kematian : Refleks t,ilang, pupil tcrpikasi dan dilatasi.Pernafasan dan denyut jantung
berhenti.
2) Fungsi serebal
Fungsi setiap lobus serebar dan gejala-gejala yang ditimbulkan penderita.

Tabel 1.4
Fungsi dan gangguan serebal
Lobus Srebal
Fungsi
Gangguan
Frontal
(a) Penilaian kepribadian bawaan
(c) Gangguan penilaian, penampilan
dan kebersihan diri
(b) Keahlian mental kompleks (abstraksi,
membuat konsep, memperkirakan (d) Gangguan afek, proses berpikir dan
masa depan)
fungsi motorik
(e)
Temporal
Memori pendengaran, memori
Gangguan memori kejadian yang
kejadian yang baru terjadi, daerah
baru terjadi, kejang psikomotor, tuli
auditorius primer yang
mempengaruhi kesadaran
Paralel
Bicara, berhitung, topografi kedua sisi
Afiasi, gangguan sensorik, akalkulia.
tubuh
Disorientasi, hilang kesadaran sisi
(f) Dominan
Kesadaran sensorik, sintesis ingatan
tubuh yangberlawanan
(g) Non dominan
yangkompleks
(h)
Oksipital
Memori, visual penglihatan
Defisit penglihatan dan buta

Sumber : Sylvia Anderson Price : 2006:1048


3) Pemeriksaan saraf kranial
a)

Nervus olfaktorius (nerves kranial 1)


Nervus olfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian diolah lebih lanjut. Dengan mata tertutup
dan pada saat yang sama satu lubang hidung ditutup. Penderita diminta membedakan zat aromatik lemah seperti
vanila, cengkeh, kopi dan lain-lain.

b) Nervus optikus (nervus kranial II)


Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju klasma optikum. Kemudian melalui traktus optikus
menuju korteks oksipitalis untuk dikenali dan diinterpretasikan saraf ini dapat diperiksa dengan tes ketajaman
penglihatan dengan menggunakan tes snellen atau penderita diminta membaca berbagai ukuran huruf pada
surat kabar. Dan dengan tes lapang pandang dengan cara penderita diminta untuk menutup salah satu matanya
dan diminta untuk melihat lurus ke depan. Sebuah pensil atau jari pemeriksa digerakan memasuki lapang
pandang mata yang tidak tertutup dilakukan dari empat arah. Penderita diminta untuk menyebutkan kapan
pensil atau juri mulai tampak memasuki lapang pandang.
c)

Nervus okulomotoris, troklearis dsn abdusen (nervus III, IV dan V)


Ketiga saraf ini diperiksa bersama karena bekerja sama mengatur otot-otot ekstra okuler. Selain itu, saraf
okulomotoris juga berfungsi mengangkat kelopak mata atas dan mempersarafi otot konstriktor yang mengubah
ukuran pupil. Persarafan ini diperiksa dengan menyuruh penderita mengikuti gerakan tangan atau pensil dengan
mata bergerak ke atas, bawah, medial dan lateral. Selain itu persarafan ini diperiksa dengan cara refleks pupil
terhadap cahaya.

d) Nervus trigeminus (nervus V)


Nervus trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik dan memberi persarafan ke otot temporalis dan
maseter, yang merupakan otot-otot pengunyah. Bagi motorik saraf ini diperiksa dengan meminta pendcrita
mengatupkan gigi dan menggerakan rahang.
e)

Nervus fasialis (nervus VII)

Saraf ini membawa serabut sensorik yang menghantar persepsi pengecepan bagian anterior lidah dan serabut
motorik yang mempersarafi semua otot ekspresi wajah, termasuk tersenyum, mengerutkan dahi dan
menyeringai. Bagian motorik nervus fasialis dapat dinilai dengan menyuruh penderita melakukan berbagai
gerakan wajah dan memperhatikan cara bicara penderita. Sensasi pengecapan dapat dinilai dengan meminta
penderita dengan membedakan rasa manis, asam, asin dan pahit.
f)

Nervus vestibulokoklearis (nervus VII)


Saraf vestibulokoklearis berfungsi mempertahankan keseimbangan dan menghantarkan impuls yang
memungkinkan seseorang mendengar. Pemerikasa ini dilakukan dengan tes pendengaran {whispering watc tick
test) dan dengan menggunakan garpu tala (tes rinne dan weher)

g) Nervus glosufaringeus dan nervus vagus ( nervus IX dan X)


Nervus glusofaringeus memiliki bagian sensorik yang menghantarkan pengecapan bagian posterior lidah,
mempersarafi sinus karotikus dan korpus karotikus serta memberi sensasil faring. Nervus vagus mempersarafi
semua visera toraks dan abdomen dan mengahantarkan impuls dari dinding usus, jantung dan paru. Penilaian
nervus vagus ditujukan pada evaluasi fungsi motorik palatum, faring dan laring. Fungsi ini dinilai dengan
mengevaluasi palatum mole dan refleks menelan.
h) Nervus asesorius (nervus Xl)
Nervus asesorius adalah nervus motorik yang mempersarafi otot sternokleido mastoideus dan bagian otot
trapezius. Fungsi ini dinilai dengan penderita diminta untuk menggerakan kepala dan penderita diminta
mengangkat rengan ke arah vertikal.
i)

Nervus hipoglosus (nervus kranialis)


Nervus hipoglosus mempersarafi otot-otot lidah. Fungsi lidah yang normal sangat penting urrtuk berbicara.dan
menelan.

4) Pemeriksaan fungsi motorik


Berbagai kerusakan sistem motorik pada tiap tingkatan dapat mengganggu koordinasi dan gaya berjalan.
Tes yang dapat mengetahui adanya gangguan koordinasi: penderita diminta untuk berjalan pada satu garis
dengan tumit ditempelkan pada ujung jari kaki yeng lain. Selain itu penderita diminta untuk meniru gerakan
sederhana yang cepat (memukulkan telapak tangan dan punggung tangan pada lutut secara bergantian). Gaya
bejalan dapat dinilai dengan meminta penderia berjalan.
Tonus dan kekuatan otot harus diperhatikan, gangguan neuron motorik atas meningkatkan tonus otot,
sedangkan gangguan neuron motor bawah menurunkan tonus otot. Tonus otot diperiksa dengan cara
menggerakan sendi secara pasif, Kekuatan otot dapat diperiksa dengan membandingkan otot saat sisi dengan
otot sisi lainnya pada waktu penderita mencoba melakukan gerakan-gerakan pemeriksa.
5) Tes Rangsang Meningeal (Tes Rangsang Selaput Otak)
a) Nuchal rigidity (kuku kuduk)
Cara pemeriksaan: klien tanpa bantal, lakukan terlebih dahulu fleksi leher ke lateral, menyingkirkan
kemungkinan kekakuan leher karena proses lokal di leher seperti fraktur dan artritis akut. Lakukan fleksi leher
(mendekatkan dagu ke sternum), mengalami tahanan karena nyeri yang timbul
b) Tanda Kernig

Lakukan fleksi paha hingga persendian panggul mencapai sudut 90 0derajat, setelah itu tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutut. Positif jika terdapat rasa tahanan dan sakit sebelum mencapai sudut 135
derajat.
c)

Tanda Brudzinski I dan II


Bila pada saat fleksi leher terjadi juga fleksi pada kedua lutut, maka tanda Brudzinski I positif.
Tanda Brudzinski II, dilakukan satu tungkai difleksikan pada persendian panggul, sedang tungkai yang
lain lagi berada dalam keadaan ekstensi. Positif bila tungkai yang eksterisi ikut fleksi.

6) Aktivitas/istirahat
Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan, perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadriplegia,
masalah dalam keseimbangan, kehilangan tonus otot.
7) Sirkulasi
Perubahan tekanan darah atau normal. Perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi).
8) Integritas ego
Perubahan tingkah laku atau kepribadian, cemas, mudah tersinggung, bingung.
9) Elimiansi
Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi makanan/cairan, mual muntah dan
mengalami perubahan selera, gangguan menelan.
10) Nyeri atau ketidaknyamanan
Sakit kepala dengan intensitas dan durasi yang berbeda, wajah menyeringai, gelisah tidak bisa beristirahat.
11) Pernafasan
Perubahan pola nafas, stridor, ronki, mengi positif.
12) Pemeriksaan diagnostik
Menurut Marilyn E.Doengoes, et. Al, 2000 :272
a) CT Scan, bertujuan untuk mengidetifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan
otak.
b) MRI tujuannya sama dengan CT Scan.
c) Angiografi serebral menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan dan trauma.
d) EEG, memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
e) Sinar X, mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis-garis tengah
(karena perdarahan edema), adanya fragmen tulang.
f) BAER (Brain Aditory Evoked Respon) rnenunjukan fungsi korteks dan batang otak.
g) PET (Position Emission Tomography menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak.
h) Fungsi lumbal, CSS, menduga kemungkinan adanya pcrdarahan subraknoid.
i) GDA (Gus Darah Arteri), mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenesi yang akan dapat meningkatkan
TIK, Kimia atau elekrolit darah, mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK atau
perubahan mental.
k) Pemeriksaan toksikologi, mendeteksi obat yang mungkin bertanggungjawab terhadap penurunan kesadaran.
l) Kadar antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi
kejang.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah kebutuhan klinis mengenai seseorang, keluarga, atau masyarakat sebagai
akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial. (A. Aziz Alimul Hidayat
2001:24)
Berikut ini adalah diagnosa keperawatan Cedera kepala menurut Marilyn E. Doengoes at. all 2000, 273-289
:
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh hematoma.
b. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif bcrhuhungan dengan kerusakan neurovaskuler
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi
d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif
f. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengun trauma jaringan
g. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan tingkat
kesadaran.
h. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasional
i. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan.

3. Rencana Keperawatan
Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, mengatasi masalahmasalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan (Nikmatur Rohmah, 2009:58)
Berikut ini adalah intervensi keperawatan Cedera kepala menurut Marilyn E Doengoes:
a. Perubahan perfusi jaringan serebral
l) Dapat dihubungkan dengan:
Penghentian aliran darah oleh sol (hemoragi, hematoma): edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera
perubahan metabolik takur lajak obat alkohol), penurunun TD sistematik atau hipoksia (hipovolemia, distamia
jantung).
2) Kemungkinan dibuktikan oleh :
a) Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori.
b) Perubahan respon motorik atau sensorik gelisah.
c) Perubahan tanda vital.
3) Hasil yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan :
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisi dan fungsi motorik atau sensorik.

Tabel 1.5
Intervensi diagnosa perubahan perfusi jaringan serebral
Intervensi

Rasional

1. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan


1. Menentukan pilihan intervensi
dengan keadaan tertentu atau yang
menyebabkan koma penurunan perfusi
jaringan otak dan potensial peningkatan TIK

2. Pantau/catat status neurologist secara teratur 2. Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat
dan bandingkan dengan nilai standar (GCS)
kesadaran dan potensial peningkatan TIK

3. Kaji respon motorik terhadap penglihatan yang3. Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan
sederhana
kemampuan untuk merespon pada
rangsangan eksternal dan merupakan
petunjuk keadaan kesadaran terbaik pasien

4. Kaji perubahan pada penglihatan seperti


4. Gangguan penglihatan yang dapat diakibatkan
adanya penglihatan yang kabur, ganda, lapang
oleh kerusakan mikroskopik pada otak
pandang menyempit dan kedalaman presepsi
mempunyai konsekuensi terhaap keamanan

5. Catat ada atau tidaknya refleks-refleks tertentu5. Penurunan refleks menandakan adanya
seperti refleks melenlan, batuk dan babinski
kerusakan pada tingkat otak tengah atau
dan sebagainya
batang otak

6. Pertahankan kepala atau leher pada posisi


tengah atau posisi netral, sokong dengan
gulungan handuk kecil atau bantal kecil

6. Kepala yang miring pada salah satu sisi


menekan vena juguralis dan menghambat
darah vena yang selanjutnya akan
meningkatkan TIK

7. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.Beri


cairan melalui IV dengan alat kontrol

7. Pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk


menurunkan edema serebral; meminimalkan
fluktasi aliran vaskuler TD dan TIK

8. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi

8. Menurunkan hipoksemia yang mana dapat


meningkatkan vasolidai dan volume darah
serebral yang meingkat TIK

b. Resiko tinggi terhadap tidak efektif pola nafas


1) Faktor resiko meliputi :
a) Kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak).
b) Kerusakan persepsi atau kognitif.
c) Obstruksi trakeobronkial.
2) Kemungkinan dibuktikan oleh :
Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala dapat membuat diagnosis aktual.
3) Hasil yang diharapkan atau kriteria evaluasi, pasien akan :
Mempertahankan pola pernafasan normal atau efektif, bebas diangosis, dengan GDA dalam batas normal pasien.
Tabel 1.6
Intervensi pada diagnosis resiko tinggi terhadap tidak efektif pola nafas

Intervensi
1. Pantau frekuensi, irama
kedalaman pernafasan, catat
ketidakteraturan pernafasan

Rasional
1. Perubahan dapat menandakan awitan
komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti
cedera otak), atau menandakan lokasi atau
luasnya keterlibatan otak
2. Angkat kepala tempat tidur
2. Untuk memudahkan ekspansi paru atau
sesuai aturannya, posisi miring
ventilasi paru dan kemungkinan lidah jatuh
sesuai indikasi
yang menyambut jalan nafas
3. Anjurkan pasien untuk
3. Mencegah atau menurunkan atelektasis
melakukan nafas dalam yang
efektif jika pasien sadar
4. Auskultasi suara nafas,
4. Untuk mengidintifikasi adanya masalah paru
perhatikan daerah hipoventilasi seperti atelaktasi atau obstruksi jalan nafas
dan adanya suara-suara
yang membahayakan oksigensi serebral dan
tambahan yang tidak normal
atau menandakan terjadinya infeksi paru
(seperti krekesl, ronchi, mengi)
(umumnya merupakan komplikasi paru dari
cedera kepala)
5. Melihat keadaan ventilasi dan tanda-tanda
komplikasi yang berkembang
5. Lakukan ronsen torak

6. Berikan oksigen

6. Memaksimalkan oksigen pada daerah arteri


dan membantu dalam pencegahan hipoksia

c. Perubahan persepsi sensorik


l) Dapat dihubungkan dengan :
Perubahan persepsi sensorik, transmisi dan atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
2) Kemungkinan dibuktikan oleh :
a) Disorientasi terhadap waktu tempat dan orang.
b) Perubahan dalam respon terhadap rangsang.

c) Inkoordinasi motorik perubahan dalam postur, ketidakmampuan untuk memberi tahu posisi bagian tubuh
(propiosepsi).
d) Perubahan pola komunikasi.
3) Hal yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasian akan :
a) Melakukan kembali atau mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
b) Mengikuti perubahan dalam kemampuan dan adanya keterbatasan residu.
Tabel 1.7
Intervensi pada diagnosa perubahan persepsi sensorik

Intervensi
1. Evaluasi atau pantau secara teratur 1.
perubahan orientasi, kemampuan
berbicara, alam perasaan atau afektif,
sensorik dan proses pikir
2. Kaji kesadaran sensorik seperti
2.
respon sentuhan, panas atau dingin,
benda tajam atau tumpul dan
kedasaran terhadap gerakan dan letak
tubuh
3. Hilangkan suara bising atau stimulasi3.
yang berlebihan sesuai kebutuhan

Rasional
Fungsi serebral bagian atas biasanya
terpenuhi lebih dulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksigenasi
Informasi penting untuk keamanan

Menurunkan ansietas, respon emosi


yang berlebihan atau bingung yang
berhubungan dengan sensorik yang
berlebihan
4. Bicara dengan suara yang lembut dan4. Pasien mungkin mengalami
pelan, gunakan kalimat yang pendek keterbatasan perhatian atau pemahaman
dan sederhana, pertahankan kontak
selama masa akut dan penyembuhan
mata
5. Buat jadwal istirahat yang adekuat 5. Mengurangi kelelahan, mencegah
atau periode tidur tanpa ada
kejenuhan, memberikan kesempatan
gangguan
untuk tidur
d. Perubahan proses pikir
1) Dapat dihubungkan dengan perubahan fisiologis, konflik psikologis.
2) Kemungkinan dibuktikan oleh :
a) Defisit atau perubahan memori jarak jauh saat ini yang baru terjadi
b) Pengalihan perhatian, perubahan lapang atau konsentrasi perhatian.
c) Disorientasi pada waktu, tempat, orang, lingkungan dan kejadian.
3) Hal yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan :
a) Memperhatikan atau melakukan kembali orientasi mental dan reabilitas biasanya.
b) Mengenai perubahan berpikir atau perilaku
c) Berpartisipasi dalam aturan terapeuntik atau penyerapan kognitif.

Tabel 1.8

Intervensi pada Diagnosa Perubahan Proses Pikir

Intervensi
Rasional
1. Kaji rentang perhatian,
1. Rentang perhatian kemampuan untuk
kebingungan, dan catat tingkat
konsentrasi mungkin memendek secara tajam
ansietas pasien
yang menyebabkan dan merupakan potensi
terhadap terjadinya ansietas yang
mempengaruhi proses pikir pasien
2. Pastikan dengan orang terdekat2. Masa pemulihan cedera kepala meliputi fase
untuk membandingkan
agitasi, respon marah, dan fase berbicara atau
kepribadian atau tingkah laku
proses pikir yang kacau
pasien sebelum mengalami
trauma dengan respon pasien
sekarang
3. Pertahankan bantuan yang
3. Memberikan pasien perasaan yang stabil dan
konsisten dari staff sebanyak
mampu mengontrol situasi
mungkin
4. Berikan penjelasan mengenai 4. Kehilangan struktur internal (perubahan
prosedur-prosedur dan tekanan dalam memori, alasan dan kemampuan untuk
kembali penjelasan yang
membuat konseptual) menimbulkan kekuatan
diberikan itu oleh senyawa lain
5. Jelaskan pentingnya melakukan5. Pemahaman bahwa pengkajian dilakukan
pemeriksaan neurologis secara
secara teratur untuk mencegah atau
berulang dan teratur
membatasi komplikasi yang mungkin terjadi
atau tidak menimbulkan suatu hal yang serius
pada pasien dapat membantu menurunkan
ansietas
6. Koordinasikan atau ikut serta 6. Membantu dengan metode pengajaran yang
pada pelatihan kognitif atau
baik untuk kompensasi gangguan pada
program rehabilitasi sesuai
kemampuan berfikir dan mengatasi masalah
indikasi
konsentrasi, memori, daya penilaian,
runtunan dan menyelesaikan masalah

e. Kerusakan mobilitas fisik


l)

Dapat dihubungkan dengan :


Kerusakan persepsi kognitif, penurunan kekuatan atau tahanan, terapi pembatasan atau kewaspadaan
keamauan, misalnya: tirah baring, imobilisasi.

2) Kemungkinan dibuktikan oleh


a)

Ketidakn mampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik termasuk mobilitas di tempat tidur,
pemindahan ambulasi.

b) Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan atau kontrol otot.
3) Hal yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan:
Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau kompensasi.
Tabel 1.9
Intervensi pada diagnosa kerusakan mobilitas fisik

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Intervensi
Periksa kembali kemampuan 1.
dan keadaan secara fungsional
pada kerusakan yang terjadi
Letakkan pasien pada posisi 2.
tertentu untuk menghindari
kerusakan karena tekanan
Pertahanan kesejajaran tubuh 3.
secara fungsional, seperti
pantat, kaki dan tangan
Berikan atau bantu untuk
4.
melakukan rentang gerak

Rasional
Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan
secara fungsional dan mempengaruhi pilihan
intervensi yang akan dilakukan
Perubahan posisi yang teratur menyebabkan
penyebaran terhadap berat badan dan
meningkatkan sirkulasi padaseluruh tubuh
Bidai tangan bervariasi dan didesain untuk
mencegah deformitas tangan dan
meningkatkan fungsinya secara optimal
Mempertahankan mobilitas dan fungsi sendi
atau posisi normal ekstermitas dan
menurunkan terjadinya yang statis
Instruksikan atau bantu pasien 5. Proses penyembuhan lambat seringkali
dengan program latihan dan
menyertai trauma kepala dan pemulihan
penggunaan alat mobilitas
secara fisik merupakan bagian yang amat
penting dari suatu program pemulihan secara
fisik merupakan bagian yang penting dari
suatu program pemulihan tersebut
Berikan perawatan kulit dengan6. Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit
cermat, masase dengan
dan menurunkan resiko terjadinya ekskoriasi
pelembab dan ganti linen atau
kulit
pakaian yang basah

f. Resiko tinggi terhadap infeksi :


l) Faktor resiko meliputi :
a) Jaringan trauma, kulit rusak. prosedur infasif
b) Penurunan kerja sillia, slasis cairan tubuh.
c) Kekurangan nutrisi.
d) Respon inflamasi tertekan (penggunan steroid).
e) Perubahan integritas system tertutup (kebocoran CSS).

2) Kemungkinan dibuktikan oleh :


Tidak dapat diharapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual.
3) Hal yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasian akan :
a) Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
b) Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.

Tabel 1.10
Intervensi pada Diagnosa Resiko Tinggi terhadap Infeksi

Intervensi
1. Berikan perawatan aseptic dan 1.
antiseptik. Pertahankan teknik cuci
tangan yang baik
2. Observasi daerah kulit yang
2.
mengalami kerusakan (seperti luka,
garis jahitan), daerah yang
terpasang alat invasi (seperti infus)
catat karakteristik dari drainase dan
adanya inflamasi
3. Pantau suhu tubuh secara teratur 3.

Rasional
Cara pertama untuk menghindari
terjadinya infeksi nasokomial
Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan tindakan
dengan segera dan mencegah terhadap
komplikasi selanjutnya

Dapat mengidentifikasi perkembangan


sepsis yang selanjutnya memerlukan
evaluasi atau tindakan dengan segera
4. Menurunkan pemajanan terhadap
pembawa kuman penyebab infeksi

4. Batasi pengunjung yang dapat


menularkan infeksi atau cegah
pengunjung yang mengalami
infeksi saluran nafas bagian atas
5. Berikan antibiotik sesuai indikasi 5. Terapi profilaktif dapat digunakan dalam
pasien yang mengalami trauma,
kebocoran CSS atau setelah dilakukan
pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nasokomial
g. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
l) faktor resiko meliputi :
Perubahan kemampuan untuk mencerna nutrisi (pemurnian tingkat kesadaran), kelemahan otot yang
diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik.
2) Kemungkinan dibuktikan oleh :
Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual.

3) Hal yang diharapkan kriteria evaluasi pasien akan :


a) Mendemonstrasikan pemeliharaan atau kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan
b) Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi dengan nilai laboratorium dalam rentang normal
Tabel 1.11
Intervensi pada Diagnosa Resiko Tinggi terhadap Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Intervensi
Rasional
1. Kaji kemampuan pasien untuk 1. Faktor ini menentukan pemilihan
mengunyah, menelan, batuk, dan
terhadap jenis makanan sehingga pasien
mengatasi sekresi
harus terlindung dari aspirasi
2. Auskultasi bising usus, catat
2. Fungsi saluran pencernaan biasanya tetap
adanya penurunan atau hilangnya
baik pada kasus cedera kepala. Jadi bising
suara yang hiperaktif
usus membantu dalam menentukan respon
untuk makan atau berkembangnya
komplikasi
3. Timbang berat badan sesuai
3. Mengevalusi keefektifan atau kebutuhan
indikasi
mengubah pemberian nutrisi
4. Berikan makanan dalam jumlah 4. Meningkatkan proses pencemaran dan
kecil dan dalam waktu yang sering toleransi pasien terhadap nutrisi yang
dan teratur
diberikan dan dapat meningkatkan
kerjasama pasien saat makan
5. Tingkatkan kenyamanan
5. Sosialisasi waktu makan dengan orang
lingkungan yang santai termasuk
terdekat atau teman dapat meningkatkan
sosialisasi saat makan
pemasukan dan menormalkan fungsi
makan
6. Konsultasikan dengan ahli gizi 6. Merupakan sumber yang efektif untuk
kebutuhan kalori atau nutrisi tergantung
pada usia, berat badan, ukuran tubuh,
keadaan penyakit sekarang

h. Perubahan proses keluarga


1) Dapat dihubungkan dengan :
Transisi dan krisis situasional. Ketidakpastian tentang hasil atau harapan,
2) Kemungkinan dibuktikan oleh :
a) Kesulitan beradaptasi terhadap perubahan atau menghadapi pengalaman traumatik secara konstruktif.
b) Ketidak tepatan untuk mengekpresikan atau menerima perasaan dari anggota keluarga.
3) Hal yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan :
a) Mulai mengekpresikan perasaan dengan bebas dan tepat
b) Mengidentifikasikan sumber-sumber internal dan eksternal untuk menghadapi situasi.
Tabel 1.12
Intervensi pada Diagnosa Perubahan Proses Keluarga

Intervensi
Rasional
1. Catat bagian-bagian dari unit
1. Menentukan adanya sumber keluarga dan
keluarga, keberadaan atau
mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan
keterlibatan system pendukung
2. Anjurkan keluarga untuk
2. Kegembiraan dapat berubah menjadi
menentukan hal-hal yang menjadi
kesedihan atau kemarahan akan kehilangan
perhatiannya tentang keseriusan
dan kebutuhan pertemuan dengan orang baru
kondisi, kemung-kinan untuk
yang mungkin asing bagi keluarga dan
meninggal atau kecatatan
bahkan tidak disukai oleh keluarganya
(ketidakmampuan)
berlarutnya perasaan seperti tersebut diatas
dapat menimbulkan depresi
3. Tentukan dan anjurkan untuk
3. Berfokus kepada kekuatan dan penguatan
menggunakan cara-cara koping
kemampuan khusus untuk menghadapi krisis
tingkah laku yang cukup
cacat sekarang ini
sebelumnya dilakukan
4. Libatkan keluarga dalam pertemuan4. Memfasilitasi komunikasi, memungkinkan
tim rehabilitasi dan perencanaan
keluarga untuk menjadi bagian integral dari
perawatan atau pengambilan
rehabilitasi dan memberikan rasa kontrol
keputusan
i) Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan
1) Dapat dihubungkan dengan :
Kurang pemahaman, tidak mengenal informasi atau sumber-sumber, kurang mengingat atau keterbatsan
kognitif,
2) Kemungkinan dibuktikan oleh :
Meminta informasi, pernyataan salah konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi.
3) Hal yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan :
a) Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial kornplikasi.
b) Melakukan prosedur yang dilakukan dengan benar.
Tabel 1.13
Intervensi pada Diagnosa Kurang Pengetahuan

Intervensi
Rasional
1. Evaluasi kemampuan dan kesiapan1. Memungkinkan untuk menyampaikan

untuk belajar dari keluarga pasien


dan juga keluarganya
2. Berikan kembali informasi yang 2.
berhubungan dengan proses trauma
dan pengaruh sesudahnya

bahan yang didasarkan atas kebutuhan


secara individual
Membantu dalam menciptakan harapan
yang realitas dan meningkatkan
pemahaman pada keadaan saat ini dan
kebutuhannya
3. Diskusikan rancana untuk
3. Berbagai tingkat bantuan mungkin perlu
memenuhi kebutuhan perawatan
direncanakan yang didasarkan atas
diri
kebutuhan yang bersifat individual
4. Berikan kembali atau berikan
4. Aktivitas, pembatasan, pengobatan atau
penguatan terhadap pengobatan
kebutuhan terapi yang direkomendasikan
yang diberikan sekarang. Indikasi
diberikan atau disusun atas dasar
program yang kontinu setelah
pendekatan antara disiplin atau evaluasi
proses penyembuhan
amat penting untuk perkembangan
pemulihan atau pencegahan terhadap
komplikasi
5. Berikan instruksi dalam bentuk 5. Memberikan penggunaan visual dan
tulisan dan jadwal mengenai
rujukkan setelah sembuh
aktivitas, obat-obatan dan faktorfaktor penting lainnya
4. lmplementasi
lmplementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap
pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditunjukkan kepada nursing order untuk membantu
klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu tindakan yang spesifik dilakukan memotivasi faktorfaktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.(Nursalam 2001:63).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan Pasien (hasil yang diamati)
dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Nikmatur Rohmah, 2009:94).

LAPORAN PENDAHULUAN EPIDURAL HEMATOMA


09.32 askep2 No comments

A. Latar Belakang
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi karena
fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh
sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi
sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di
kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan
atau robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan
maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal
dengan sebutan epidural hematom.
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan
dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous
epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial
hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke
dalam ruang epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan hematoma epidural dan sekitar 10%
mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka
kejadian di Amerika Serikat.Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah
berjalan dan sering jatuh.
60 % penderita hematoma epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur
kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5
tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan
4:1.
B. Tujuan
1.

Mampu melakukan pengkajian yaitu mengumpulkan data subyektif dan data obyektif pada pasien
dengan EDH

2.

Mampu menganalisa data yang diperoleh

3.

Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan EDH

4.

Mampu membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan EDH

5.

Mampu melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang ditentukan.

6.

Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan

C. Pengertian
Epidural hematom adalah adanya pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat
pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah
ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 2
hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.

D. Etiologi
EDH sebagai akibat perdarahan pada lapisan otak yang terdapat pada permukaan bagian dalam dari
tengkorak.
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa keadaan yang bisa
menyebabkan epidural hematom adalah misalnya benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma
epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
pembuluh darah.
E. Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter. Perdarahan ini
lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering
terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau
oksipital
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara
durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak
kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah
pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di medulla
oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius).
Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral,
refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang
berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan
intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama
makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar
kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar
setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang
ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat atau
epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak
sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
F. Tanda dan Gejala
Pasien dengan EDH seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan
yang keluar pada saluran hidung atau telinga.
Tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan EDH antara lain:

Penurunan kesadaran, bisa sampai koma

Bingung

Penglihatan kabur

Susah bicara

Nyeri kepala yang hebat

Keluar cairan darah dari hidung atau telinga

Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.

Mual

Pusing

Berkeringat

Pucat

Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

G. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran jaringan otak.
b. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan, trauma.
c. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen
tulang.
d. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
e. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.

H. Pathway
benturan pada kepala karena kecelakaan

robekan arteria meningea media

Luka terbuka

Resiko infeksi

perdarahan pada lapisan di antara tulang tengkorak dan dura

meter
Epidural

Hematom

penghentian aliran darah

Penurunan TD sistemik

serebral

Perubahan perfusi jaringan

Edema

suplay darah ke otak menurun

karbondioksida tertahan

desakan oleh hematoma

reaksi anaerob

peningkatan TIK

injuri

Kerusakan mobilitas fisik

2.

3.
a.

b.
c.
d.

Resiko

asam laktat

penurunan kesadaran

7.
1.

Kejang

Nyeri akut
Reflek menelan lemah

Ketidakseimbangan Nutrisi

Pengkajian
BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada
pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas
berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi
sputum pada jalan napas.
BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan
meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia
yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala.
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,
baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus
cranialis, maka dapat terjadi :
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.

e.
f.
g.
h.
4.
5.

6.

I.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

8.

9.
10.

J.
1.

Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.


Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga
kesulitan menelan.
BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan
mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi
kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot
antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada
spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
Diagnosa Keperawatan
Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral;
penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Resiko pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak).
Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
Resiko injuri b.d peningkatan TIK : kejang
Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi
pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
Nyeri akut b.d agen injuri fisik, biologis : trauma; peningkatan asam laktat di otak
Resiko infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.
Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup
(kebocoran CSS)
Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien
(penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status
hipermetabolik.
Kecemasan keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidakpastian tentang hasil/harapan.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang pemajanan, tidak mengenal
informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
Fokus Intervensi
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma);
edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung).
Tujuan:
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi

Rasional

Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan


koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial
peningkatan TIK.

Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan


dalam pemulihannya setelah serangan awal,
menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan
intensif.
Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan

lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.


Pantau /catat status neurologis secara teratur dan
bandingkan dengan nilai standar GCS.

Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara


kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.

Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III)


berguna untuk menentukan apakah batang otak
masih baik.
Peningkatan TD sistolik yang diikuti oleh penurunan
TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda
terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh
penurunan kesadaran.
Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total tubuh
yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.

Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas,


suhu.

Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi


fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk
mempertahankan atau menurunkan TIK.
Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak
dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga
akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko
terjadinya peningkatan TIK.

Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran


mukosa.

Turunkan stimulasi eksternal dan berikan


kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.

Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan


edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran
vaskuler TD dan TIK
Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral
yang meningkatkan TIK.
Tindakan kolaboratif

Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk,


muntah, mengejan.

Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai


indikasi/yang dapat ditoleransi.

Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.

Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid,


antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.

2.

Resiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan
otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi

Rasional

Pantau frekuensi, irama, kedalaman


pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.

Pernapasan lambat, periode apnea dapat


menandakan perlunya ventilasi mekanis.

Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan


dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas
sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.

Kemampuan memobilisasi atau membersihkan


sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas.

Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi


miirng sesuai indikasi.

Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan


perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan
menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang
menyumbat jalan napas.
Mencegah/menurunkan atelektasis.

Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang


efektif bila pasien sadar.
Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati,
jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna
dan kekeruhan dari sekret.
Auskultasi suara napas, perhatikan daerah
hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak
normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.

Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma


atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat
membersihkan jalan napasnya sendiri.
Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti
atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang

Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri

Lakukan ronsen thoraks ulang.

membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau


menandakan terjadinya infeksi paru.
Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan
asam basa dan kebutuhan akan terapi.
Melihat kembali keadaan ventilasi dan tandatandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi
atau bronkopneumoni.

Berikan oksigen.

Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan


membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat
pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
mekanik.
Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini
seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk
memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan resiko atelektasis/
komplikasi paru lainnya.

Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.

3.

Resiko terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan
tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid).
Tujuan
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi

Rasional

Berikan perawatan aseptik dan antiseptik,


pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.

Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi


nosokomial.

Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan,


daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik
dari drainase dan adanya inflamasi.

Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya


demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi
mental (penurunan kesadaran).
Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan
pengeluaran sekret paru secara terus menerus.

Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan


untuk melakukan tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.

Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang


selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan
dengan segera.

Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi


paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia,
atelektasis.

Observasi karakteristik sputum.


Berikan antibiotik sesuai indikasi

Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang


mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah
dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI Traumatologi , Surabaya.
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html.
Anonym,Epidural hematoma, www.nyp.org
Anonym, Intracranial Hemorrhage, www.ispub.com
Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.
Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com
NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification, Philadelphia, USA
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome Classifications, Philadelphia, USA

2. Anatomi dan Fisiologi Otak


Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan
terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak), yang
secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa.
Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah:
kulit kepala yang mngandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang tengkorak,
meningens (selaput otak dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998: 12)
Otak dibagi dalam beberapa bagian:
a. Serebrum (otak besar)
Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi
depan atas rongga tengkorak, masing-masing disebut fase kranialis anterior atas dan
fase kranialis media.
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:
1) Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan siklus
sentralis. Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol motorik
gerakan volunter termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai ekspresi emosi,
moral dan tingkah laku etika. Fungsi aktifitas motoriknya diekspresikan melalui:

korteks somato-motorik primer (area Brodmann 4), korteks premotor dan suplemen
(area Brodmann 6), frontal eye field (area Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area
Brodmann 44), sedangkan kontrol ekspresif dari emosi dan moral dilaksanakan oleh
korteks pre frontal (Satyanegara, 1998: 15)
2) Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh karaco
oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan rasa kecap,
dimana selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk menimbulkan kesiagaan
tubuh terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara, 1998: 17)
3) Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan
lobus oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang berkaitan
dengan pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-memori
4) Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang daris erebrum lobus oksipitalis
sangat penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum, fungsi serebrum
terdiri dari:
a) mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
b) pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi, keinginan
dan memori
c) pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil
Untuk memperjelas letak dari setiap Lobus Otak dapat dilihat pada gambar 2.1
dibawah ini:

Gbr.2.1. Penampang lateral lobus-lobus otak

Sumber: Satyanegara, L. Djoko Listiano, Ilmu Bedah Saraf Edisi III, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1998
b. Batang otak (trunkus serebri)
Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula spinalis
dan otak. Batang otak terdiri dari:
1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan
mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di bagian depan lobus
temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping.
Fungsi dari diensefalon:
a) vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah
b) respiratori, membantu proses persyarafan
c) mengontrol kegiatan reflek
d) membantu pekerjaan jantung
Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi sebagai pusat
integrasi susunan saraf otonom, regulasi temperatur, keseimbangan cairan dan
elektrolit, integrasi sirkuit siklus bangun-tidur, intake makanan, respon tingkah laku
terhadap emosi, pengontrolan endokrin, dan respon seksual. Thalamus berfungsi
sebagai pusat persediaan dan integrasi bagi semua jenis impuls sensorik, kecuali
penciuman.thalamus memainkan peranan penting dalam transmisi impuls nyeri.
(satyanegara, 1998:20)
2) Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas,
2 di sebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 di sebelah bawah
disebut korpus quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius berjalan ke veritral
di bagian medial. Serat-serat saraf nervus troklearis berjalan ke arah dorsal
menyilang garis tengah ke sisi lain.
Fungsinya terdiri dari:

a) membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata


b) memutar mata dan pusat pergerakan mata
3) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons
varoli dengan serebelum, terletak didepan serebelum di antara otak tengah dan
medula oblongota, disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernafasan
dan reflek.

Fungsi dari pons varoli terdiri dari:


a) penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata
dengan serebelum
b) pusat syaraf nervus trigeminus
4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah medula
oblongata merupakan persambungan medula spinalis ke atas dan bagian atas
medula oblongata disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medula
oblongata
Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari medula
spinalis dan otak yang terdiri dari:
a) mengontrol pekerjaan jantung
b) mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor)
c) pusat pernafasan (respiratory centre)
d) mengontrol kegiatan reflek
Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan:
a. Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, di
bagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia di bagian
dalam. Di dalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater pada tempat

tertentu mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak, rongga ini
dinamakan sinus longitudinal superior, terletak di antara kedua hemisfer otak.
b. Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piameter membentuk
sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan syaraf
sentral. Medula spinalis terhenti setinggi di bawah lumbal I-II terdapat sebuah
kantong berisi cairan, berisi saraf perifer yang keluar dari medula spinalis dapat
dimanfaatkan untuk mengambil cairan otak yang disebut pungsi lumbal.
c. Piamater (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater
berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut
trabekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis
inferior yang mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan serebri
dengan sereblum.(Syaifuddin, 1997: 124)

You might also like