You are on page 1of 19

TERAPI DIET PADA SIROSIS HATI

Oleh : Kurniati Dwi Utami S.Gz

A.

PENGERTIAN SIROSIS HATI

Gambar Sirosis Hati


Sirosis adalah proses difus yang ditandai oleh fibrosis dan perubahan struktur hepar
yang normal menjadi nodula- nodula yang abnormal. Hasil akhirnya adalah destruksi
hepatosit dan digantikan oleh jaringan fibrin serta gangguan atau kerusakan vaskular
(Dipiro et al, 2006). Progevisitas sirosis akan mengarah pada kondisi hipertensi portal
yang bertanggung jawab terhadap banyak komplikasi dari perkembangan penyakit
sirosis ini. Komplikasi ini meliputi spontaneous bacterial peritonitis (SBP), hepatic
encephalophaty dan pecahnya varises esophagus yang mengakibatkan perdarahan
(hematemesis dan atau melena) (Sease et al, 2008). Pada sirosis hepatis, jaringan hati
yang normal digantikan oleh jaringan parut (fibrosis) yang terbentuk melalui proses

bertahap. Jaringan parut ini mempengaruhi struktur normal dan regenerasi sel-sel hati.
Sel-sel hati menjadi rusak dan mati sehingga hati secara bertahap kehilangan
fungsinya. Hati (liver) sebagaimana diketahui adalah organ di bagian kanan atas perut
yang memiliki banyak fungsi, di antaranya:
Menyimpan glikogen (bahan bakar untuk tubuh) yang terbuat dari gula. Bila
diperlukan, glikogen dipecah menjadi glukosa yang dilepaskan ke dalam aliran darah.
Membantu proses pencernaan lemak dan protein.
Membuat protein yang penting bagi pembekuan darah.
Mengolah berbagai obat
Membantu membuang racun dari tubuh.
Sirosis merupakan penyakit yang sangat berbahaya karena mengganggu fungsi-fungsi
di atas. Selain itu, sirosis juga berisiko menjadi kanker hati (hepatocellular
carcinoma). Risiko terbesar sirosis yang disebabkan oleh infeksi hepatitis C dan B,
diikuti dengan sirosis yang disebabkan oleh hemokromatosis.
B.

PATOFISIOLOGI

Gambar Patofisio Sirosis


Pada kondisi normal, hati merupakan sistem filtrasi darah yang menerima darah yang
berasal dari vena mesenterika, lambung, limfe, dan pankreas masuk melalui arteri
hepatika dan vena porta. Darah masuk ke hati melalui triad porta yang terdiri dari
cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu. Kemudian masuk ke dalam
ruang sinusoid lobul hati. Darah yang sudah difilter masuk ke dalam vena sentral
kemudian masuk ke vena hepatik yang lebih besar menuju ke vena cava inferior
(Sease et al, 2008).
Pada sirosis, adanya jaringan fibrosis dalam sinusoid mengganggu aliran darah normal
menuju lobul hati menyebabkan hipertensi portal yang dapat berkembang menjadi
varises dan asites. Berkurangnya sel hepatosit normal pada keadaan sirosis
menyebabkan berkurangnya fungsi metabolik dan sintetik hati. Hal tersebut dapat
memicu terjadinya ensefalopati hepatik dan koagulopati (Sease et al, 2008).
Penyebab paling umum penyakit sirosis adalah kebiasaan meminum alkohol dan
infeksi virus hepatitis C. Sel-sel hati berfungsi mengurai alkohol, tetapi terlalu banyak
alkohol dapat merusak sel-sel hati. Infeksi kronis virus hepatitis C menyebabkan

peradangan jangka panjang dalam hati yang dapat mengakibatkan sirosis. Berdasarkan
penelitian, 1 dari 5 penderita hepatitis C kronis dapat berkembang menjadi sirosis.
Penyebab lain sirosis hati meliputi:
Infeksi kronis virus hepatitis B.
Hepatitis autoimun. Hepatitis autoimun adalah sistem kekebalan tubuh yang
tidak terkendali sehingga membuat antibodi terhadap sel-sel hati yang dapat
menyebabkan kerusakan dan sirosis.
Penyakit yang menyebabkan penyumbatan saluran empedu sehingga tekanan
darahterhambat dan merusak sel-sel hati. Sebagai contoh, sirosis bilier
primer, primary sclerosing, dan masalah bawaan pada saluran empedu.
Non-alcohol steato-hepatitis (NASH). Ini adalah kondisi di mana lemak
menumpuk di hati sehingga menciptakan jaringan parut dan sirosis. Kelebihan
berat badan (obesitas) meningkatkan risiko Anda mengembangkan non-alcohol
steato-hepatitis.
Reaksi parah terhadap obat dan jamu tertentu (Brandt dan Muckadell, 2005).
Beberapa racun dan polusi lingkungan.
Infeksi tertentu yang disebabkan bakteri dan parasit.
Gagal jantung parah yang dapat menyebabkan tekanan balik darah di hati.
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel hati,
sepertihemokromatosis (kondisi yang menyebabkan timbunan abnormal zat
besi di hati dan bagian lain tubuh) dan penyakit Wilson (kondisi yang

menyebabkan penumpukan abnormal zat tembaga di hati dan bagian lain


tubuh).
Komplikasi sirosis
a.

Variceas Esophageal Hemorrhage (Perdarahan varises esofagus)

Komplikasi dari hipertensi portal yang paling penting adalah perkembangan dari
varises atau rute alternative aliran darah dari portal ke sirkulasi sistemik, melewati
liver. Varises menekan sistem vena portal dan mengembalikandarah ke sirkulasi
sistemik. Pasien dengan sirosis memiliki resiko untuk terjadi perdarahan varises
ketika tekanan vena portal 12 mmHg lebih besar dari tekanan vena cava. Perdarahan
dari varises terjadi pada 25% hingga 40% pasien dengan sirosis, dan setiap episode
perdarahan membawa resiko kematian antara 25% hingga 30%. Perdarahan ulang
biasanya mengikuti dari setiap kejadian perdarahan awal, terutama 72 jam dari
perdarahan awal (Sease et al, 2008).

b.

Hepatic Encephalophaty

Patofisiologi dari penyakit ini masih belum jelas sampai sekarang, namun ada
beberapa teori yang mengatakan bahwa mekanisme perkembangan penyakit sirosis
menjadi hepatic encephalopathy adalah :
1. Metabolisme produk nitrogen di saluran pencernaan menjadi produk metabolit
yang toksik bagi SSP. Degradasi urea dan protein ini akan menjadi produk
ammonia yang melalui aliran darah akan menembus sawar darah otak dan
mengakibatkan perubahan neuropsikiatrik di SSP.

2. Gamma-aminobutyric-acid (GABA) yang bekerja sebagai inhibitor


neurotransmitter yang diproduksi juga di dalam saluran pencernaan terlihat
mengalami peningkatan jumlah dalam darah pada pasien dengan sirosis hati.
3. Meningkatnya asam amino aromatik yang menembus sawar darah otak, hal ini
mengakibatkan meningkatnya sintesis false neurotransmitter (seperti
octopamine dan phenylephrine, dan menurunnya produksi dopamine dan
norepinephrine) (Goldman, 2007).
Faktor yang mempengaruhi timbulnya Hepatic Encelopati adalah:
a.

Faktor endogen yaitu memburuknya fungsi hati (hepatitis akut)

b.

Faktor eksogen, antara lain :


Protein berlebih dalam usus
Perdarahan massif/ syok hipovolemik
Sindrom alkalosis hipovolemik akibat diuretik atau parasentesis yang cepat
Pengaruh obat-obatan (penenang, anestetik/narkotika)
Infeksi yang berat
Konstipasi

Pasien dengan hepatic encephalopathy menunjukkan adanya perubahan mental dan


status motorik dimana derajat keparahannya meliputi:
1. Stage I

Euphoria /depresi, kebingungan ringan dan berfluktuasi, gangguan pembicaraan,


gangguan ritme tidur.
2. Stage II
Lambat beraksi, mengantuk, disorientasi, amnesia, gangguan kepribadian, asteriksis,
reflex hipoaktif, ataksia
3. Stage III
Tidur yang dalam, sangat pusing, reflex hiperaktif, flapping tremor.
4. Stage IV
Tidak bereaksi pada rangsangan apapun, reflex okuler yang lemah, kekauan otot,
kejang menyeluruh.
c.

Hipertensi Portal

Hipertensi portal paling sering disebabkan oleh peningkatan resistensi aliran darah
portal. Karena sistem vena porta tidak memiliki katup, resistensi di setiap ketinggian
antara sisi kanan jantung dan pembuluh splanknikus menyebabkan tekanan yang
meninggi disalurkan secara retrograd. Peningkatan resistensi dapat terjadi pada
presinusoid, sinusoidal dan postsinusoid (Sudoyo, 2006). Peningkatan tekanan ini
menyebabkan aliran darah dikembalikan ke vena portal. Darah dari vena portal tidak
dapat masuk kedalam hepar karena terjadi pengerasan sehingga aliran darah tidak
terpenetrasi menyebabkan tekanan portal meningkat, kompensasinya terbentuk sistem
kolateral menembus aliran lain yang dapat ditembus. Karena sifat vena (termasuk
vena porta) yang berbentuk katup dan jarangnya katup maka kenaikan tekanan akan
diteruskan kembali ke vascular bed sehingga terjadi shunting portal ke sistemik
(McPhee, 1995).

d.

Asites

Asites adalah terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan dalam rongga peritonium.
Akumulasi cairan mengandung protein tersebut terjadi karena adanya gangguan pada
struktur hepar dan aliran darah yang disebabkan oleh inflamasi, nekrosis fibrosis atau
obstruksi menyebabkan perubahan hemodinamis yang menyebabkan peningkatan
tekanan limfatik dalam sinusoid hepar, mengakibatkan transudasi yang berlebihan
cairan yang kaya protein ke dalam rongga peritonium. Peningkatan tekanan dalam
sinusoid menyebabkan peningkatan volume aliran ke pembuluh limpatik dan akhirnya
melebihi kapasitas drainage sehingga tejadi overflow cairan limpatik kedalam rongga
peritonium (McPhee, 1995). Ciran asites merupakan cairan plasma yang mengandung
protein sehingga baik untuk media pertumbuhan bakteri patogen, diantaranya
enterobacteriaceae (E. Coli), bakteri gram negatif, kelompok enterococcus (Sease et
al, 2008).
Gejala
Sirosis di tahap awal tidak menimbulkan gejala. Pada tahap ini tes fungsi hati dapat
mendeteksi perubahan yang mengarah pada disfungsi hati, seperti:

Kegagalan membuat cukup protein seperti albumin yang membantu untuk


mengatur komposisi cairan di dalam aliran darah dan tubuh.
Kegagalan membuat bahan kimia yang cukup diperlukan untuk pembekuan
darah.
Kurang mampu mengolah limbah kimia dalam tubuh seperti bilirubin sehingga
menumpuk di dalam tubuh.
Kurang mampu memproses obat, racun, dan bahan kimia lainnya yang
kemudian bisa menumpuk di dalam tubuh.
Pada tahap akhir, sirosis hati terkait dengan banyak gejala. Sebagian besar gejalanya
adalah akibat dari jaringan hati fungsional yang tersisa terlalu sedikit untuk
melakukan tugas-tugas hati. Gejala yang dapat timbul pada fase ini adalah:
Kelelahan.
Kelemahan.
Cairan yang bocor dari aliran darah dan menumpuk di kaki (edema) dan perut
(ascites).
Kehilangan nafsu makan, merasa mual dan ingin muntah.
Kecenderungan lebih mudah berdarah dan memar.
Penyakit kuning karena penumpukan bilirubin.
Gatal-gatal karena penumpukan racun.

Gangguan kesehatan mental dapat terjadi dalam kasus berat karena pengaruh
racun di dalam aliran darah yang memengaruhi otak. Hal ini dapat
menyebabkan perubahan kepribadian dan perilaku, kebingungan, pelupa dan
sulit berkonsentrasi.
Hipertensi portal yang disebabkan noleh adanya jaringan parut yang membatasi
aliran darah melalui vena portal sehingga terjadi tekanan balik.. Vena portal
adalah vena yang membawa darah berisi nutrisi dari usus dan limpa ke hati.
Normalnya, darah dari usus dan limpa dipompa ke hati melalui vena portal.
Namun, sirosis menghalangi aliran normal darah melalui hati sehingga darah
terpaksa mencari pembuluh baru di sekitar hati. Pembuluh-pembuluh darah
baru yang disebut varises ini terutama muncul di tenggorokan (esofagus) dan
lambung sehingga membuat usus mudah berdarah. Jika perdarahan usus terjadi,
maka akan terjadi muntah darah, atau mengeluarkan darah melalui kotoran
(feses). Kondisi ini adalah kedaruratan medis yang harus segera ditangani.
C.

DIAGNOSIS

Kecurigaan sirosis terutama muncul bila pasien memiliki gejala dan riwayat
meminum alkohol berat atau terkena hepatitis kronis. Pemeriksaan darah dapat
mengkonfirmasi kegagalan fungsi hati. USG dapat menunjukkan adanya kerusakan
hati. Pemeriksaan pendukung dapat berupa antibodi virus hepatitis a, kelebihan zat
besi atau tembaga di dalam darah. Gejala klinik dan kelainan yang ditemukan pada
data laboratorium sebagaimana dalam tabel dibawah ini
Tabel 1. Gejala klinik dan Data Laboratorium Pasien Sirosis Hati (Dipiro et al,
2006)

Sign and symptomps (percent patients)Fatigue (65%), pruritus (55%)


Hyperpigmentation (25%), jaundice (10%)
Hepatomegaly (25%), splenomegaly (15%)
Palmar erythema, spider angiomegaly, gynecomastia
Ascites, edema, pleural effusion, and respiratory difficulties
Malaise, anorexia, and weight loaa
Encephalopathy
Laboratory testHypoalbuminemia
Elevated prothrombin time
Thrombocytopenia
Elevated alkaline phosphatase
Elevated aspartase transaminase (AST), alanine transaminase (ALT),
And -glutamyl transpeptidase (GGT)
D.

TERAPI

Secara umum, kerusakan sel-sel hati tidak dapat direhabilitasi. Tujuan pengobatan
adalah mencegah pembentukan jaringan parut hati lebih lanjut, atau memperlambat
kerusakan sel-sel hati. Sirosis cenderung semakin memburuk jika penyebab yang
mendasari tetap ada. Oleh karena itu perlu upaya untuk memperlambat atau
menghentikan penyebab sirosis, misalnya:

Tidak minum alkohol.


Pengobatan untuk mengendalikan virus hepatitis.
Steroid atau obat penekan kekebalan lainnya untuk mengobati penyakit
autoimun menyebabkan kerusakan hati.
Obat-obatan yang dapat membantu mengurangi hipertensi portal (diuretic)
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan
pembatasan cairan karena satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah
hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic
Terapi Gizi Medis Penderita Sirosis Hati
Manajemen diet pada sirosis ditujukan agar status nutrisi penderita tetap terjaga,
mencegah memburuknya penyakit hati, dan mencegah terjadinya ensefalopati hepatik
sehingga kualitas serta harapan hidup penderita juga akan membaik. Pada pasien ini
dilakukan diet tinggi protein dan tinggi kalori untuk memperbaiki status gizi pasien.
Pemberian protein pada penderita sirosis disesuaikan dengan kompikasi keadaan
pasien. Kelebihan protein dapat mengakibatkan peningkatan amonia darah yang
berbahaya, sedangkan kekurangan protein akan menghambat penyembuhan sel hati.
Pada sirosis hati terkompensasi diberikan diet tinggi kalori tinggi protein dengan
maksud agar sel-sel hati dapat beregenerasi. Sedangkan untuk mengontrol tingkat
amonia darah digunakan laktulosa dan atau suatu jenis antibiotik yang bernama
neomisin.

Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino rantai
cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan sebagai
sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan untuk
metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai organ hati kedua
sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang baik dan
bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi lebih banyak,
stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah jatuh pada
keadaan koma.
Menurut Wolf (2011) nutrisi yang seimbang baik dari segi kalori, karbohidrat, protein
dan lemak, akan membawa pengaruh yang baik untuk memperbaiki kerusakan sel
hati. Pada tingkat tertentu, kerusakan sel hati masih bisa diperbaiki dengan cara
memproduksi sel hati baru yang sehat. Widiastuti dan Mulyati (2005) meneliti bahwa
kadar albumin secara umum rata-rata meningkat pada pasien sirosis hati yang
diberikan suplemen asam amino rantai cabang (AARC).
Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari
disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang, cukup
kalori, dan mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu, misalnya, asites perlu diet

rendah protein dan rendah garam. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit,
menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan
penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang
mengandung protein 1 gr/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari atau 35-40
kcal/kgBB/hari dengan protein berkisar antara 1,2-1,6 g/kgBB bergantung pada
derajat malnutrisi dan kondisi lain yang dialami pasien. Dalam preskripsi diet pasien
sirosis hati, tidak ada pembatasan asupan karbohidrat walaupun pasien mengalami
resistensi insulin (Tsiaousi, et.al., 2008).
Pada pasien yang mengalami liver injury pada kasus yang akut dan kronik sering
ditemukan balans nitrogen negative. Oleh karena itu, sering ditemukan adanya
pemecahan protein oleh otot karena sintesis protein atau pemecahan protein yang
dilakukan oleh hati telah menurun fungsinya. Dalam memberikan treatment mengenai
protein, yang perlu diperhatikan adalah menghindarkan pasien sirosis dari kejadian
malnutrisi serta menghindarkan pasien dari encephalopathy hepar. Untuk itu, selain
mengatur protein yang diberikan, asupan karbohidrat dan lemak juga perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya pemecahan yang mengakibatkan malnutrisi.
Pada pasien sirosis, rasio asam amino rantai cabang (BCAA) misalnya isoleusin,
leusin, dan valine) terhadap asam amino aromatic misalnya fenilalanin, triptofan, dan
tirosin sering ditemukan abnormal terutama pada pasien yang mengalami malnutrisi.
Menjaga resiko kedua macam asam amino ini dapat menghindarkan pasien dengan
sirosis terhadap kejadan ensefalopathy hepatic (Lieber, 1999).
Terapi cairan pada asites
Pada penderita sirosis dengan asites maka terapi diet rendah natrium dan pengurangan
cairan yang menumpuk di perut (ascites) perlu dilakukan. Menurt Hasse dan
Mataresse (2004), pasien hati yang memiliki ascites mengalami peningkatan energi
expenditure. Namun dalam penghitungannya, hendaknya memperhatikan berat badan

yang telah dikoreksi untuk mencegah terjadinya overfeeding. Sirosis merupakan salah
satu penyakit katabolisme, itulah sebabnya protein diberikan tinggi. Protein 1,2/kg BB
diberikan karena mempertimbangkan kadar albumin dan total protein yang rendah
namun tetap memperhitungkan kadar BUN-kreatinin yang tinggi. Sumber protein
yang diberikan diutamakan berasal dari BCAA. Natrium sebaiknya diberikan secara
terbatas sampai 2 g/hari pada pasien ascites yang diber terapi diuretik. Hal ini
dilakukan untuk menghindari kekurangan maupun kelebihan natrium yang dapat
berakibat pada abnormalitas metabolik (Hasse dan Mataresse, 2004). Lemak diberikan
rendah jika terdapat pembesaran lien dan ikterik. Sebagian kecil penderita asites tidak
berhasil dengan pengobatan konservatif. Pada keadaan demikian dapat dilakukan
parasintesis. Parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5-10 liter / hari, dengan catatan
harus dilakukan infuse albumin sebanyak 6 8 gr/liter cairan asites yang akan
dikeluarkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa parasintesa dapat menurunkan
masa opname pasien. Namun prosedur ini tidak dianjurkan pada anak-anak, kadar
protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3,
creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.
Hepatorenal Sindrome
Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian diuretik yang berlebihan,
pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan dan
infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa ritriksi cairan,garam,
potassium dan protein.
Penelitian Baru Di Bidang Nutrisi Pada Sirosis Hepatis
Penelitian yang dilakukan Anthony (2012), diketahui pada penderita sirosis hepatis
non alkoholik diketahui bahwa asupan rendah kolin dapat menyebabkan peningkatan
terjadinya fibrosis hati pada pasien wanita post-menaupose. Penelitian yang dilakukan

Malaguarnea (2011) pada pasien enchepalopati hepatic yang diberi oral L-carnitin
mengalami perbaikan dalam gejala kelemahan dan kelelahan (fatique) yang sering
muncul pada pasien sirosis hepatis. Penelitian yang dilakukan Suzanna (2011) pada
pasien ensepalopati sirosis yang mengalami malnutrisi akan mengalami perbaikan jika
diberikan treatmen diet jumlah kalori 35-40 kal / kg BB dan
1,5 g protein / kg BB yang di dalamnya mengandung BCAA substitusi seperti Lornithine-L-aspartate. Penelitian yang dilakukan Eduard (2005), terhadap penyerapan
dan pengangkutan asam lemak rantai panjang pada sirosis diketahui bahwa tidak
terdapat steatore pada pasien dan menunjukkan adanya penyerapan yang baik pada
penderita sirosis dengan spontaneous portal-systemic shunting.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rosenack,J, Diagnosis and Therapy of Chronic Liver and Biliarry Diseases
2. Hadi.Sujono, Gastroenterology,Penerbit Alumni / 1995 / Bandung
3. Sherlock.S, Penyakit Hati dan Sitim Saluran Empedu, Oxford,England Blackwell
1997
4. Hakim Zain.L, Penatalaksanaan Penderita Sirosis Hepatitis
5. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, Penerbit Balai FK UI, Jakarta
1987
6. Anonymous http://alcoholism.about.com/library/blcirrosis.htm
7. Lesmana.L.A, Pembaharuan Strategi Terapai Hepatitis Kronik C, Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK UI. RSUPN Cipto Mangunkusumo

8. Lieber, CS dalam Kopple, Joel dalam Shills et.al. 1999. Modern Nutrition in Health
and Disease. Williams and Wilkins: New York
9. Tsiaousi, Eleni T; et.al., 2008. Malnutrition in End Stage Liver Disease:
Recommendations and Nutritional Support. J Gastroenterol Hepatol. 2008;23(4):527533.
10. Brandt, Carl. J dan Ove Schaffalitzky de Muckadell. 2005. Cirrhosis of the
Liver. www.netdoctor.co.uk
11. Hasse dan Mataresse dalam Mahan, Kathleen dan Sylvia Escott-Stump.
2004. Krauses : Food, Nutrition, and Diet Therapy 11th ed. Philadelphia :
Saunders National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases.
2008. Cirrhosis. www.digestive.iddk.nih.gov
12. Abeysinghe, M.R.N., Almeida, R., Fernandopulle, M., Karunatiluka, H.,
Ruwanpathirana, S., 2005. Guidlines on Clinical Management of Dengue
Fever/Dengue Haemorrhagic Fever. Sri lanka : SLMH, p. 1- 44
13. Anonim, 2009, MIMS Indnesia Petunjuk Konsultasi, Jakarta: PT Infomaster,
lisensi CMPMedia.
14. Dib, N., Oberti, F., Cales, P., 2006. Current management of the complications of
portal hypertension : Variceal bleeding and ascites. CMAJ
15. Fauci, et al., 2008, Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition.
United States:The Mcgraw-Hill Companies.
16. Garcia-Tsao, et al., 2007, Prevention and Management of Gastroesophageal
Varices and Variceal Heorrage in Cirrhosis. AASLD Practice Guidelines.

17. Gines, P., M.D., Cardenas, A., M.D., Arroyo, V., M.D., and Rodes, J., M.D.,
2004, Management of Cirrhosis and Ascites. The New England Journal of Medicine.
18. Goldman, et al., 2007, Cecil Medicine 23rd Edition, Saunders:Elsevier.
19. Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M.P. and Lance, L.L., 2008, Drug
Information Handbook, 17 th ed., Ohio : Lexi-Comp.
20. McPhee, S.J., Lingappa, V.R., Ganong, W.F. and Lange, J.D. (Eds.),
1995. Pathophysiology of Disease An Introduction to Clinical Medicine, 21st Edition,
Stamford: Appleton & Lange.
21. PMFT RSU Dr.Soetomo, 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi 3. Surabaya: RSU Dr. Soetomo.
22. Schwinghammer, T.L., 2009. In: Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L.,
Hamilton, C.W., Pharmacotheraphy Handbook, USA: Mcgraw-Hill Comapanies,
Inc.
23. Sease, J.M., Timm, E.G., and Stragano, J.J., 2008. Portal hypertension and
cirrhosis. In: J.T. Dipiro, R.L. Talbert, G.C Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, and L.M.
Posey (Eds.). Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Ed. 7th, New York:
The McGraw-Hill Companies, Inc.
24. Sudoyo, A. W et all., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat,
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
25. Widiastuti, Yuliati dan Tatik Mulyati. 2005. Pengaruh BCAA Terhadap Kadar
Albumin Pasien Sirosis Hepatis di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Diakses
darihttp://eprints.undip.ac.id/26173/1/67_Yuliati_Widiastuti_G2C20122.rtf_A.pdf

26. Wolf, David. Cirrhosis. 2011. Diakses


dari http://emedicine.medscape.com/article/185856-overview#
27. Eduard Cabr, Jos M Hernandez-Prez, Lourdes Fluvia`, Cruz Pastor, August
Corominas, and Miquel A Gassull. Absorption and transport of dietary long-chain
fatty acids in cirrhosis: a stable-isotope-tracing study13 Am J Clin
Nutr 2005;81:692701.
28. Anthony L Guerrerio, Ryan M Colvin, Amy K Schwartz, Jean P Molleston, Karen
F Murray, AnnaMae Diehl, Parvathi Mohan, Jeffrey B Schwimmer, Joel E
Lavine, Michael S Torbenson, and Ann O Scheimann Choline Intake In A Large
Cohort Of Patients With Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Am J Clin Nutr April
2012 vol. 95 no. 4 892-900

You might also like