Professional Documents
Culture Documents
I.
II.ANATOMI HEPAR
Hepar terbagi dalam dua belahan utama, yaitu sinistra dan dextra.
Permukaan atas berbentuk cembung dan terletak di bawah diafragma;
permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan, fisura transfersus.
Permukaannya dilintasi oleh berbagai pembuluh darah yang masuk-keluar
hepar. Fisura longitudinal memisahkan sinistra dan dextra di permukaan
bawah, sedangkan ligamen falciformis melakukan hal yang sama di
permukaan atas hepar. Selanjutnya hepar dibagi kembali menjadi 4 belahan
(dextra, sinistra, kaudata, kwadrata) dan setiap belahan atau lobus terdiri dari
lobulus. Lobulus ini berbentuk polihedral dan terdiri dari sel hepatosit
berbentuk kubus, dan cabang-cabang pembuluh darah diikat bersama oleh
jaringan hepar. Hepar mempunyai 2 jenis persediaan darah yaitu yang datang
melalui arteri hepatica dan yang melalui vena porta (Pearce, 2006).
FISIOLOGI HEPAR
Fungsi hepar bersangkutan dengan metabolisme tubuh khususnya
mengenai pengaruhnya atas makanan dan darah. Hepar merupakan pabrik
kimia terbesar dalam tubuh karena menjadi perantara metabolisme artinya
mengubah zat makanan yang diabsorbsi dari usus dan yang disimpan di suatu
tempat di dalam tubuh, guna dibuat sesuai untuk pemakaiannya di dalam
jaringan. Hepar juga mengubah zat buangan dan bahan racun untuk dibuat
mudah untuk ekskresi ke saluran empedu dan urin. Hepar juga mempunyai
fungsi glikogenik karena dirangsang oleh kerja suatu enzim maka sel hepatosit
menghasilkan glikogen dari konsentrasi glukosa yang diambil dari makanan
hidrat karbon. Zat ini disimpan sementara oleh sel hepatosit dan diubah
kembali menjadi glukosa oleh kerja enzim bila diperlukan oleh jaringan tubuh.
Karena fungsi ini maka hepar membantu supaya kadar gula yang normal
dalam darah yaitu 80-100 mg glukosa setiap 100 cc darah dapat
dipertahankan. Akan tetapi fungsi ini dikendalikan oleh sekresi dari pankreas,
yaitu insulin. Hepar juga dapat mengubah asa amino menjadi glukosa (Pearce,
2006).
Beberapa dari unsur susunan empedu, misalnya garam empedu, dibuat
dalam hepar; unsur lain misalnya pigmen empedu dibentuk di dalam sistem
retikulo-endotelium dan dialirkan ke dalam empedu oleh hati. Hepar
menerima asam amino yang diabsorbsi oleh darah. Di dalam hati terjadi
deaminasi oleh sel, artinya nitrogen dipisahkan dari bagian asam amino, dan
amonia diubah menjadi ureum. Ureum dapat dikeluarkan dari daerah oleh
ginjal dan diekskresikan ke dalam urin (Pearce, 2006).
Hepar menyiapkan lemak untuk pemecahannya terakhir menjadi hasil
akhir asam karbonat dan air. Garam empedu yang dihasilkan oleh hati adalah
penting untuk pencernaan dan absorbsi lemak. Kekurangan garam empedu
mengurangi absorbsi lemak dan karena itu dapat berjalan tanpa perubahan
masuk feses seperti yang terjadi pada beberapa gangguan pencernaan pada
anak, pada penyakit coeliac, seriawa tropik dan gangguan tertentu pada
pankreas (Pearce, 2006).
Hepar juga bersangkutan dengan isi normal darah :
a) Hepar membentuk sel darah merah pada masa hidup janin
b) Hepar berperan dalam penghancuran sel darah merah
c) Menyimpan hematin yang diperlukan untuk penyempurnaan sel darah
merah baru
d) Membuat sebagian besar dari protein plasma
e) Membersihkan bilirubin dari darah
V.
asteriksis mungkin bisa ditunjukkan pada anak yang lebih besar. Penderita
sering somnolen atau bingung atau bangun mendadak dan akhirnya bisa
menjadi berespon hanya pada rangsangan nyeri. Penderita dapat dengan cepat
dalam kondisi buruk pada stadium koma yang lebih dalam dimana respon
ekstensor dan postur deserebrasi serta dekortikasi muncul. Respirasi biasanya
meningkat pada awalnya, tetapi gagal respirasi bisa terjadi pada koma
stadium IV. Selain ensefalopati yang biasa terjadi pada hepatitis fulminan
yaitu hipoglikemi dan koagulopati (Suchy, 2000).
Tabel 1. Stadium Ensefalopati Hati
Gejala
Tanda
Elektroens
efalogram
VI.
I
Periode
letargi,
euforia;
tidur
terbalik
antara
siang dan
malam;
mungkin
sadar
Sulit
menggamb
ar gambar,
melakukan
tugas
mental
Normal
Stadium
II
III
Ngantuk,
Struppor
perilaku
tapi bisa
tidak
dibangunk
sesuai,
an,
gelisah,
bingung,
irama,
bicara
perasaan
kacau
lebar,
disorientas
i
Asteriksis,
Asteriksis,
bau
hiperefleks
hepatikus,
is, refleks
inkontinen
ekstensor,
sia
kaku
Lambat
seluruhnya
,
gelombang
Tak
normal
mencolok,
gelombang
trifasik
IV
Koma
IVa
respons
terhadap
rangsanga
n beracun
IVb tidak
berespons
Arefleksia
,
tanpa
asteriksis,
lunglai
Tak
normal
bilateral
lambat,
gelomban
g
,
elektrik
korteks
tenang
Pada hepatitis fulminan terjadi nekrosis hati masif. Pada awalnya hati
tampak agak besar, tegang dan merah akibat bendungan dan edema. Kemudian
setelah berhari-hari, daerah nekrotik menjadi kuning sampai merah atau hijau,
bergantung pada jumlah lemak, perdarahan dan empedu bocor yang tampak.
Bila banyak sel hepatosit yang hilang, maka hati menjadi mengecil dan lunak
akibat kolaps kerangka retikulin. Sel hepatosit kebanyakan hilang dengan
susunan parenkim yang masih utuh, yaitu vena centralis yang masih di tengah
lobulus letaknya dan sinusoid yang tersusun radier. Retikulin masih utuh. Sel
Kupffer dan histiosit dapat mengandung lipofucsin yang dilepaskan dari sel
hati yang rusak. Daerah portal mengandung sebukan sel radang. Sisa sel hati
yang tidak rusak biasanya hanya tampak pada tepi lobulus dan kadang
menunjukkan kolestasis intrasel. Setelah terjadi kerusakan, maka lazimnya
segera terjadi regenerasi beberapa sel yang masih utuh, namun pada hepatitis
fulminan tidak tampak regenerasi sel hati karena sel utuh yang dapat
membelah diri tidak ada. Proses terjadi nekrosis terjadi secara cepat dan dapat
terjadi tidak diketahui dengan pasti karena terjadi infeksi yang keras sekali
sehingga mematahkan pertahanan tubuh dengan cepat atau resistensi hati
rendah sekali. Perjalanan mikroskopis menunjukkan serangan yang ditujukan
kepada sel hati terjadi serentak dan menyebabkan disintegrasi. Tidak tampak
sel hati yang rusak dan menghilang secara perlahan. Bagian nekrotik yang
tertinggal
atau
diabsorbsikan. Reaksi radang sedikit sekali karena proses yang pendek dan
cepat atau sel Kupffer telah rusak. Sebukan radang yang tampak di dalam dan
di sekitar vena centralis diduga terisi dengan sisa sel. Beberapa sel di
antaranya mengandung lipofucsin yang berasal dari sel hati nektrotik
(Darmawan, 1973).
VII.
efek sitotoksik virus langsung dan respon imun terhadap antigen virus.
Sepertiga sampai setengah penderita dengan gagal hati akibat HBV menjadi
negatif untuk HbsAg serum dalam beberapa hari penyajian dan sering tidak
dapat mendeteksi HbeAg atau DNA HBV dalam serum. Penemuan ini
mengesankan suatu respon hiperimun terhadap virus yang mendasari nekrosis
hati yang masif. Pembentukan metabolit hepatotoksik yang melekat secara
kovalen pada unsur pokok sel makromolekul dilibatkan dalam jejas hati yang
disebabkan oleh obat-obatan seperti asetaminofen dan isoniazid; hepatitis
fulminan bisa pasca pengosongan substrat intraseluler yang terlibat pada
detoksifikasi, terutama glutation. Apapun penyebab awal jejas hepatosit,
berbagai faktor bisa turut berperan pada patogenesis gagal hati, termasuk
gangguan regenerasi hepatosit, perubahan perfusi parenkim, endotoksemia,
dan penurunan fungsi retikuloendotelial hati (Suchy, 2000).
Patogenesis ensefalopati hati bisa berhubungan dengan kenaikan kadar
amonia serum, neurotransmitter palsu, amin, kenaikan aktivitas reseptor asam
-aminobutirat, atau kenaikan kadar senyawa seperti benzodiazepin endogen
dalam sirkulasi. Penurunan klirens (bersihan) hati dari bahan ini bisa
menyebabkan disfungsi sistem saraf sentral yang nyata (Suchy, 2000).
VIII.
10
11
makanan, dan gangguan siklus tidur bayi. Bila hepatitis fulminan semakin
lanjut, akan ditemukan gangguan kesadaran kurang lebih dari 2 minggu
setelah terjadinya kuning. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan ikterus,
asites, bisa terdapat hepatomegali atau justru hati menjadi kecil, mungkin
juga ditemukan perdarahan gastrointestinal. Perhatikan juga gejala-gejala
adanya edema serebral yaitu adanya peningkatan dari tonus otot, hipertensi,
kejang, dan agitasi. Penting untuk mengetahui apakah hepatitis fulminan
terjadi karena infeksi, pengaruh obat-obatan dan penyingkiran penyakit hati
metabolik. Diagnosis secara klinis dicurigai pada pasien kuning yang
perkembangan ensefalopati dalam waktu 8 minggu sejak onset penyakit
kuning. Pemeriksaan biokimiawi didapatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi
(serum total bilirubin > 1,5 mg/dl), peningkatan aminotransferase (>10.000
IU/L), peningkatan amonia plasma (> 100 IU/L), koagulopati (protrombin >
40 detik), peningkatan fungsi hati (SGPT > 40 IU/L) (Kelly, 1993; Suchy,
2000; Arief, 2005; Latif, 2010).
12
13
amonia dalam kandungan asam usus. Pemberian antibiotik yang tidak bisa
diabsorbsi per oral atau rektal seperti neomisin bisa mengurangi produksi
amonia yang dihasilkan bakteri usus. Flumazenil, suatu antagonis
benzodiazepin bisa menyembuhkan ensefalopati hepatik awal (Arief, 2005;
Suchy, 2000).
Penelitian terkendali telah menunjukkan hasil yang paling jelek
daripada
hepatitis
fulminan
pada
penderita
yang
diobati
dengan
14
organ sehingga memerlukan waktu tunggu yang lama. Living related liver
transplantion organ berasal dari donor hidup, diambil lobus kiri donor dewasa
sehingga dapat memperpendek waktu tunggu. Kontraindikasi transplantasi
adalah sepsis, metabolik asidosis yang tak terkoreksi, hipotensi yang
memerlukan dosis presor tinggi, dan perfusi otak dibawah 40 mmHg walau
sudah pengobatan (Suchy, 2000; Arief, 2005).
XI.
KOMPLIKASI
a. Ensefalopati Hepatis
Ensefalopati hepatis adalah gangguan fungsi otak akibat gangguan
fungsi hati akut, dapat timbul dengan adanya faktor pencetus seperti
sepsis, perdarahan saluran cerna, gangguan elektrolit, pemberian sedasi
terutama benzodiazepin (Arief, 2005).
b. Edema Otak
Penyebab utama kematian pada gagal hati akut ditujukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi ini. Edema otak dapat timbul pada
ensefalopati stadium III dan IV, timbul dalam hitungan jam setelah koma
yang ditandai dengan perubahan neurologis seperti pupil anisokor, rigiditas
otot, klonus dan kejang lokal serta hilangnya refleks batang otak. Juga
dapat terjadi gangguan pola pernapasan, bradikardia, peningkatan tekanan
darah. Edema otak terjadi bila terdapat kenaikan tekanan intrakranial > 30
mmHg. Penyebab dari edema otak tidak diketahui, tetapi faktor iatrogenik
seperti kelebihan cairan, gangguan kadar glukosa darah menyebabkan
metabolisme otak anaerob sehingga terjadi perubahan aliran cairan otak,
kegagalan sirkulasi sistemik menyebabkan iskemia otak dan edema (Arief,
2005).
c. Perdarahan
Gangguan hemostasis disebabkan kegagalan sintesis faktor pembeku
dan faktor fibrinolitik oleh hati, penurunan jumlah dan fungsi trombosit
dan terjadinya koagulasi intravaskular. Faktor koagulasi yang diproduksi
15
obat-obatan.
Pada
stadium
II-III
ensefalopati
terjadi
16
yang mulai akut. Pada penderita yang keadaannya lebih buruk menjadi koma
stadium IV prognosisnya sangat jelek. Komplikasi utama seperti sepsis,
perdarahan berat, atau gagal ginjal meningkatkan mortalitas. Penelitian
menunjukkan bahwa ikterus lebih dari 7 hari sebelum mulai ensefalopati,
waktu protrombin lebih dari 50 detik, dan bilirubin serum lebih dari 17,5
mg/dL (300 mol/L) menunjukkan prognosis jelek tidak tergantung dari
stadium awal koma hepatikum. Ketahanan hidup 50-70% bisa dicapai pada
penderita dengan prognosis yang paling jelek pasca transplantasi hati
orthotopik. Penderita yang membaik pada hepatitis fulminan dengan hanya
perawatan pendukung (suportif) biasanya tidak mengalami sirosis atau
penyakit hati kronis. Anemia aplastik adalah komplikasi yang lazim dan
biasanya mematikan pada hepatitis fulminan akibat dari hepatitis non-A, nonB, non-C sporadis (Suchy, 2000)
XIII.
KESIMPULAN
1. Hepatitis fulminan yaitu perjalanan fulminan yang ditandai oleh kegagalan
hati akut yang terkait dengan nekrosis masif dan submasif sel hati .
2. Hepatitis fulminan paling sering merupakan komplikasi hepatitis virus (A,
B, D, E , mungkin C, dan lain-lain). Terjadi pada kira-kira 1% kasus
hepatitis B dan hepatitis C, dan lebih terjadi jarang pada hepatitis A.
Penderita koinfeksi hepatitis B dan virus delta mempunyai insidensi yang
lebih besar dibanding yang dengan hepatitis B saja.
3. Gejala hepatitis fulminan yaitu ikterus progresif, bau (fetor) hepatikus,
demam, nafsu makan menurun, muntah, nyeri abdomen, penurunan cepat
ukuran hati, diatesis hemoragis, asites bisa timbul. Iritabilitas, makan sulit,
dan perubahan pada irama tidur mungkin merupakan satu-satunya temuan
pada bayi; asteriksis mungkin bisa ditunjukkan pada anak yang lebih
besar. Penderita sering somnolen atau bingung atau bangun mendadak dan
akhirnya bisa menjadi berespon hanya pada rangsangan nyeri. Penderita
dapat dengan cepat dalam kondisi buruk pada stadium koma yang lebih
dalam dimana respon ekstensor dan postur deserebrasi serta dekortikasi
17
ketahanan
hidup
50-60%
terjadi
pada
gagal
hati
yang
18
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sjamsul. 2005. Tatalaksana Gagal Hati Akut. Surabaya.
Chandrasoma, Parakrama, Taylor, Clive R. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi
Edisi 2. Jakarta. EGC.
Kelly, DA. 1993. Fulminant hepatitis and acute liver failure. Management of
Digestive and Liver Disorders in Infants and Children. Eds, JP Buts and EM
Sokal. Elsevier Science. pp 577-593
Latif, N., Mehmood, K. 2010. Risk Factor for Fulminant Hepatic Failure And
Their Relation With Outcome In Children. Original Article. J Pak Med
Assoc. pp 175-178.
Liu, M., et all. 2001. Fulminant Viral Hepatitis : Molecular And Cellular Basis,
and Clinical Implication. Expert Reviews. Cambridge University Press. pp
1-19.
Markum, A. H, dkk. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit FK UI :
Jakarta.
Pearce, Evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta. PT
Gramedia Pustaka Utama.
Sadikin, Darmawan. 1973. Patologi. Jakarta. Penerbit Bagian Patologi Anatomik
FK UI.
Sass, David A., Shakil, A. O. 2005. Fulminant Hepatic Failure. Article. CAQ
Corner. Volume 11. pp 594-605.
Sibernagl, S., Lang, F. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta :
EGC.
Suchy, Frederick J. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta. EGC.
Whitington, P. F.; Alonso, E. M. 2001. Fulminant Hepatitis in Children: Evidence
for an Unidentified Hepatitis Virus. Invited Review. Journal of Pediatric
Gastroenterology & Nutrition. Volume 33, pp 529-536.