You are on page 1of 18

1

I.

DEFINISI HEPATITIS FULMINAN


Hepatitis fulminan yaitu perjalanan fulminan yang ditandai oleh
kegagalan hati akut yang terkait dengan nekrosis masif dan submasif sel hati
(Chandrasoma, 2006). Hepatitis fulminan didefinisikan secara ketat sebagai
sindrom klinik akibat nekrosis hepatosit masif atau gangguan fungsional
hepatosit berat pada penderita yang sebelumnya tidak menderita penyakit
hati. Gangguan ini biasanya berkembang setelah masa kurang dari 8 minggu.
Fungsi sintesis, ekskretori, dan detoksikasi hati seluruhnya terganggu berat,
dengan ensefalopati hepatik suatu kriteria diagnostik yang sangat penting
(Suchy, 2000).

II.ANATOMI HEPAR
Hepar terbagi dalam dua belahan utama, yaitu sinistra dan dextra.
Permukaan atas berbentuk cembung dan terletak di bawah diafragma;
permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan, fisura transfersus.
Permukaannya dilintasi oleh berbagai pembuluh darah yang masuk-keluar
hepar. Fisura longitudinal memisahkan sinistra dan dextra di permukaan
bawah, sedangkan ligamen falciformis melakukan hal yang sama di
permukaan atas hepar. Selanjutnya hepar dibagi kembali menjadi 4 belahan
(dextra, sinistra, kaudata, kwadrata) dan setiap belahan atau lobus terdiri dari
lobulus. Lobulus ini berbentuk polihedral dan terdiri dari sel hepatosit
berbentuk kubus, dan cabang-cabang pembuluh darah diikat bersama oleh
jaringan hepar. Hepar mempunyai 2 jenis persediaan darah yaitu yang datang
melalui arteri hepatica dan yang melalui vena porta (Pearce, 2006).

Gambar 1. Hepar dilihat dari atas

Gambar 2. Permukaan belakang hepar

Gambar 3. Diagram pembuluh darah yang masuk dan keluar hepar


Arteri hepatica yang keluar dari aorta dan memberikan seperlima
darahnya kepada hepar; darah ini mempunyai kejenuhan oksigen 95-100%.
Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena mesenterica superior,
mengantarkan empat perlima darahnya ke hepar; darah ini mempunyai
kejenuhan oksigen hanya 70% sebab beberapa oksigen telah diambil oleh
limpa dan usus. Darah vena porta membawa zat makanan ke hepar yang telah
diabsorbsi oleh mukosa usus halus. Vena hepatica mengembalikan darah dari
hati ke vena cava inferior. Di dalam vena hepatica tidak terdapat katup.
Saluran empedu terbentuk dari penyatuan kapiler-kapiler empedu yang
mengumpulkan empedu yang mengumpulkan empedu dari sel hepatosit.
Maka terdapat 4 pembuluh darah utama yang menjelajahi seluruh hepar, 2
yang masuk ke hepar yaitu arteri hepatica dan vena porta, dan 2 yang keluar
dari hepar yaitu vena hepatica dan saluran empedu (Pearce, 2006).
III.

FISIOLOGI HEPAR
Fungsi hepar bersangkutan dengan metabolisme tubuh khususnya
mengenai pengaruhnya atas makanan dan darah. Hepar merupakan pabrik
kimia terbesar dalam tubuh karena menjadi perantara metabolisme artinya
mengubah zat makanan yang diabsorbsi dari usus dan yang disimpan di suatu
tempat di dalam tubuh, guna dibuat sesuai untuk pemakaiannya di dalam
jaringan. Hepar juga mengubah zat buangan dan bahan racun untuk dibuat

mudah untuk ekskresi ke saluran empedu dan urin. Hepar juga mempunyai
fungsi glikogenik karena dirangsang oleh kerja suatu enzim maka sel hepatosit
menghasilkan glikogen dari konsentrasi glukosa yang diambil dari makanan
hidrat karbon. Zat ini disimpan sementara oleh sel hepatosit dan diubah
kembali menjadi glukosa oleh kerja enzim bila diperlukan oleh jaringan tubuh.
Karena fungsi ini maka hepar membantu supaya kadar gula yang normal
dalam darah yaitu 80-100 mg glukosa setiap 100 cc darah dapat
dipertahankan. Akan tetapi fungsi ini dikendalikan oleh sekresi dari pankreas,
yaitu insulin. Hepar juga dapat mengubah asa amino menjadi glukosa (Pearce,
2006).
Beberapa dari unsur susunan empedu, misalnya garam empedu, dibuat
dalam hepar; unsur lain misalnya pigmen empedu dibentuk di dalam sistem
retikulo-endotelium dan dialirkan ke dalam empedu oleh hati. Hepar
menerima asam amino yang diabsorbsi oleh darah. Di dalam hati terjadi
deaminasi oleh sel, artinya nitrogen dipisahkan dari bagian asam amino, dan
amonia diubah menjadi ureum. Ureum dapat dikeluarkan dari daerah oleh
ginjal dan diekskresikan ke dalam urin (Pearce, 2006).
Hepar menyiapkan lemak untuk pemecahannya terakhir menjadi hasil
akhir asam karbonat dan air. Garam empedu yang dihasilkan oleh hati adalah
penting untuk pencernaan dan absorbsi lemak. Kekurangan garam empedu
mengurangi absorbsi lemak dan karena itu dapat berjalan tanpa perubahan
masuk feses seperti yang terjadi pada beberapa gangguan pencernaan pada
anak, pada penyakit coeliac, seriawa tropik dan gangguan tertentu pada
pankreas (Pearce, 2006).
Hepar juga bersangkutan dengan isi normal darah :
a) Hepar membentuk sel darah merah pada masa hidup janin
b) Hepar berperan dalam penghancuran sel darah merah
c) Menyimpan hematin yang diperlukan untuk penyempurnaan sel darah
merah baru
d) Membuat sebagian besar dari protein plasma
e) Membersihkan bilirubin dari darah

f) Berkenaan dengan penghasilan protrombin dan fibrinogen yang perlu


untuk penggumpalan darah
Penyimpanan dan penyebaran berbagai bahan, termasuk glikogen,
lemak, vitamin dan besi. Vitamin A dan D yang dapat larut lemak disimpan di
dalam hepar, maka itulah mengapa minyak hati merupakan sumber vitamin ini
yang begitu baik. Hepar membantu mempertahankan suhu tubuh sebab
luasnya organ dan banyaknya kegiatan metabolik yang berlangsung
mengakibatkan darah yang mengalir melalui organ itu naik suhunya. Hepar
juga memiliki fungsi detoksikasi. Beberapa obat tidur dan dan alkohol dapat
dimusnahkan sama sekali oleh hepar; tetapi dalam dosis besar obat bius dapat
merusak sel hepar (Pearce, 2006).
IV.

ETIOLOGI HEPATITIS FULMINAN


Hepatitis fulminan paling sering merupakan komplikasi hepatitis virus
(A, B, D, E , mungkin C, dan lain-lain). Risiko tinggi hepatitis fulminan yang
tidak biasa terjadi pada orang muda yang menderita infeksi campuran dengan
hepatitis virus B (HBV) dan hepatitis D. Mutasi pada daerah piranti (precore)
DNA hepatitis virus B (HBV) dihubungkan dengan hepatitis berat dan
fulminan. Hepatitis B juga menyebabkan beberapa kasus hepatitis fulminan
yang tanpa petanda serologis infeksi HBV tetapi dengan DNA HBV yang
ditemukan dalam hati. Hepatitis virus C dan E jarang menyebabkan hepatitis
fulminan di Amerika Serikat. Suatu tambahan, virus yang tidak dikenali
menyebabkan sebagian besar dari apa yang di masa lalu dikenal sebagai
hepatitis fulminan non-A, non-B. Bentuk ini mungkin merupakan penyebab
yang paling sering dari hepatitis fulminan pada anak. Penyakit ini terjadi
secara sporadis dan biasanya tanpa faktor risiko parenteral hepatitis B atau C.
Infeksi virus Eipstein-Bar, virus herpes simpleks, adenovirus, enterovirus
sitomegalovirus, dan varisela zooster bisa menyebabkan hepatitis fulminan
pada anak (Suchy, 2000)

Berbagai obat dan bahan kimia hepatotoksik bisa juga menyebabkan


hepatitis fulminan, jejas hati yang bisa diramal adalah setelah pemaparan pada
karbon tetraklorid dan jamur Amanita phalloides atau setelah dosis
asetaminofen berlebihan. Kerusakan idiosinkrasi bisa pasca pemakaian obatobatan seperti halotan atau natrium valproat. Iskemia dan hipoksia akibat
oklusi vaskuler hepatik, gagal jantung kongestif, penyakit jantung sianotik
kongenital, atau syok sirkulasi bisa menyebabkan gagal hati. Gangguan
metabolik yang terkait dengan gagal hati adalah penyakit Wilson, triosinemia
herediter, intoleransi fruktosa herediter, penyakit penyimpanan besi neonatus,
defek p ada -oksidasi asam lemak, dan defisiensi pengangkutan elektron
mitokondria (Suchy, 2000).
Pada penelitian Nazia Latif di Karachi (2010), penyebab terbesar yaitu
akibat dari hepatitis A (51%) dan selain itu karena penyebab non-viral,
metabolik, drug induced. Terdapat 8% pasien terkena hepatitis fulminan
karena Wilsons disease, 2% karena hepatitis autoimun (Latif, 2010).

V.

MANIFESTASI KLINIS HEPATITIS FULMINAN


Pada hampir 95% pengidap tidak disertai riwayat penyakit hepatitis
dan baru terdeteksi saat pemeriksaan donor darah (Markum, 1991). Anak
dengan hepatitis fulminan biasanya sebelumnya sehat dan paling tidak
mempunyai faktor risiko terhadap penyakit hati seperti hepatitis atau pajanan
produk darah. Ikterus progresif, bau (fetor) hepatikus, demam, nafsu makan
menurun, muntah, dan nyeri abdomen sering terjadi. Penurunan cepat ukuran
hati tanpa perbaikan klinis merupakan tanda yang kurang baik. Diatesis
hemoragis dan asites bisa timbul. Penderita harus diawasi dengan ketat
terhadap ensefalopati hepatik, yang pada awalnya ditandai dengan gangguan
minor kesadaran atau fungsi motorik. Iritabilitas, makan sulit, dan perubahan
pada irama tidur mungkin merupakan satu-satunya temuan pada bayi;

asteriksis mungkin bisa ditunjukkan pada anak yang lebih besar. Penderita
sering somnolen atau bingung atau bangun mendadak dan akhirnya bisa
menjadi berespon hanya pada rangsangan nyeri. Penderita dapat dengan cepat
dalam kondisi buruk pada stadium koma yang lebih dalam dimana respon
ekstensor dan postur deserebrasi serta dekortikasi muncul. Respirasi biasanya
meningkat pada awalnya, tetapi gagal respirasi bisa terjadi pada koma
stadium IV. Selain ensefalopati yang biasa terjadi pada hepatitis fulminan
yaitu hipoglikemi dan koagulopati (Suchy, 2000).
Tabel 1. Stadium Ensefalopati Hati

Gejala

Tanda

Elektroens
efalogram

VI.

I
Periode
letargi,
euforia;
tidur
terbalik
antara
siang dan
malam;
mungkin
sadar
Sulit
menggamb
ar gambar,
melakukan
tugas
mental
Normal

Stadium
II
III
Ngantuk,
Struppor
perilaku
tapi bisa
tidak
dibangunk
sesuai,
an,
gelisah,
bingung,
irama,
bicara
perasaan
kacau
lebar,
disorientas
i
Asteriksis,
Asteriksis,
bau
hiperefleks
hepatikus,
is, refleks
inkontinen
ekstensor,
sia
kaku
Lambat
seluruhnya
,
gelombang

PATOLOGI HEPATITIS FULMINAN

Tak
normal
mencolok,
gelombang
trifasik

IV
Koma
IVa
respons
terhadap
rangsanga
n beracun
IVb tidak
berespons
Arefleksia
,
tanpa
asteriksis,
lunglai
Tak
normal
bilateral
lambat,
gelomban
g
,
elektrik
korteks
tenang

Pada hepatitis fulminan terjadi nekrosis hati masif. Pada awalnya hati
tampak agak besar, tegang dan merah akibat bendungan dan edema. Kemudian
setelah berhari-hari, daerah nekrotik menjadi kuning sampai merah atau hijau,
bergantung pada jumlah lemak, perdarahan dan empedu bocor yang tampak.
Bila banyak sel hepatosit yang hilang, maka hati menjadi mengecil dan lunak
akibat kolaps kerangka retikulin. Sel hepatosit kebanyakan hilang dengan
susunan parenkim yang masih utuh, yaitu vena centralis yang masih di tengah
lobulus letaknya dan sinusoid yang tersusun radier. Retikulin masih utuh. Sel
Kupffer dan histiosit dapat mengandung lipofucsin yang dilepaskan dari sel
hati yang rusak. Daerah portal mengandung sebukan sel radang. Sisa sel hati
yang tidak rusak biasanya hanya tampak pada tepi lobulus dan kadang
menunjukkan kolestasis intrasel. Setelah terjadi kerusakan, maka lazimnya
segera terjadi regenerasi beberapa sel yang masih utuh, namun pada hepatitis
fulminan tidak tampak regenerasi sel hati karena sel utuh yang dapat
membelah diri tidak ada. Proses terjadi nekrosis terjadi secara cepat dan dapat
terjadi tidak diketahui dengan pasti karena terjadi infeksi yang keras sekali
sehingga mematahkan pertahanan tubuh dengan cepat atau resistensi hati
rendah sekali. Perjalanan mikroskopis menunjukkan serangan yang ditujukan
kepada sel hati terjadi serentak dan menyebabkan disintegrasi. Tidak tampak
sel hati yang rusak dan menghilang secara perlahan. Bagian nekrotik yang
tertinggal

(sisa) dibawa oleh sirkulasi darah atau dilarutkan

atau

diabsorbsikan. Reaksi radang sedikit sekali karena proses yang pendek dan
cepat atau sel Kupffer telah rusak. Sebukan radang yang tampak di dalam dan
di sekitar vena centralis diduga terisi dengan sisa sel. Beberapa sel di
antaranya mengandung lipofucsin yang berasal dari sel hati nektrotik
(Darmawan, 1973).
VII.

PATOGENESIS HEPATITIS FULMINAN


Mekanisme yang menyebabkan hepatitis fulminan masih kurang
dimengerti. Belum diketahui mengapa hanya sekitar 1-2% penderita hepatitis
virus mengalami gagal hati. Destruksi masif hepatosit bisa menggambarkan

efek sitotoksik virus langsung dan respon imun terhadap antigen virus.
Sepertiga sampai setengah penderita dengan gagal hati akibat HBV menjadi
negatif untuk HbsAg serum dalam beberapa hari penyajian dan sering tidak
dapat mendeteksi HbeAg atau DNA HBV dalam serum. Penemuan ini
mengesankan suatu respon hiperimun terhadap virus yang mendasari nekrosis
hati yang masif. Pembentukan metabolit hepatotoksik yang melekat secara
kovalen pada unsur pokok sel makromolekul dilibatkan dalam jejas hati yang
disebabkan oleh obat-obatan seperti asetaminofen dan isoniazid; hepatitis
fulminan bisa pasca pengosongan substrat intraseluler yang terlibat pada
detoksifikasi, terutama glutation. Apapun penyebab awal jejas hepatosit,
berbagai faktor bisa turut berperan pada patogenesis gagal hati, termasuk
gangguan regenerasi hepatosit, perubahan perfusi parenkim, endotoksemia,
dan penurunan fungsi retikuloendotelial hati (Suchy, 2000).
Patogenesis ensefalopati hati bisa berhubungan dengan kenaikan kadar
amonia serum, neurotransmitter palsu, amin, kenaikan aktivitas reseptor asam
-aminobutirat, atau kenaikan kadar senyawa seperti benzodiazepin endogen
dalam sirkulasi. Penurunan klirens (bersihan) hati dari bahan ini bisa
menyebabkan disfungsi sistem saraf sentral yang nyata (Suchy, 2000).
VIII.

PATOFISIOLOGI HEPATITIS FULMINAN


Hepatitis fulminan memiliki berbagai akibat yang berbahaya.
Hipoalbuminemia akibat penurunan sintesis protein di hati sehingga dapat
menimbulkan asites dan edema. Asites dan edema menyebabkan volume
plasma yang berkurang sehingga menyebabkan hiperaldosteronisme sekunder
dan hipokalemia yang selanjutnya menimbulkan alkalosis (pembentukan NH 4+
di ginjal meningkat). Selain itu, berkurangnya kemampuan hati untuk
mnsintesis menyebabkan penurunan konsentrasi faktor pembekuan di dalam
plasma. Kolestasis yaitu penyumbatan aliran empedu dapat terjadi dan
memicu kencenderungan perdarahan karena kekurangan garam empedu akan
menurunkan pembentukan misel dan juga absorbsi vitamin K di usus sehingga

10

karboksilasi- dari faktor pembekuan II (protrombin), VII, IX, dan X yang


tergantung vitamin K berkurang (Sibernagl, 2007).
Hipertensi portal dapat terjadi pada hepatitis fulminan yang akan
menyebabkan asites dan akan lebih buruk karena terjadi penghambatan aliran
limfe yang selanjutnya menyebabkan trombositopenia akibat splenomegali
dan pembentukan varises esofagus. Defisiensi faktor pembekuan aktif,
trombositopenia, dan varises esofagus dapat menyebabkan perdarahan hebat.
Hipertensi portal dalam keadaan seperti ini dapat menyebabkan enteropati
eksudatif dan meningkatkan asites karena hilangnya albumin dari plasma,
selain memberi kesempatan pada bakteri di usus besar untuk diberi makan
dengan protein yang telah melewati lumen usus sehingga meningkatkan
pelepasan amonium yang bersifat toksik terhadap otak. Pada hipertensi portal,
zat yang bersifat toksik (seperti amin, fenol, asam lemak rantai pendek)
terhadap otak akan melewati hati dan tidak akan dibuang oleh hati seperti
yang seharusnya sehingga terjadi ensefalopati. Otak menghasilkan transmitter
palsu (misalnya serotonin) dari asam amino aromatik karena jumlahnya yang
meningkat di dalam plasma juga berperan dalam ensefalopati (Sibernagl,
2007).
Hiperamonemia yang berperan terhadap terjadinya ensefalopati (apatis,
memory gaps, tremor, akhirnya koma hepatikum) meningkat karena
perdarahan saluran cerna yang juga berperan dalam peningkatan suplai protein
ke kolon, hati tidak lagi mampu mengubah amonium (NH 3, NH4+) menjadi
urea, hipokalemia yang menyebabkan asidosis intrasel yang mengaktifkan
pembentukan amonium di sel tubulus proksimal dan pada saat yang sama
menyebabkan alkalosis sistemik (Sibernagl, 2007).
IX.

DIAGNOSIS HEPATITIS FULMINAN


Pada anamnesis ditemukan keluhan perut membesar (asites), demam,
sakit perut, kulit gatal, mual, badan lemas, mengeluhkan air kemih berwarna
gelap. Jika pada bayi, alloanamnesis mengeluhkan bayi menjadi rewel, sulit

11

makanan, dan gangguan siklus tidur bayi. Bila hepatitis fulminan semakin
lanjut, akan ditemukan gangguan kesadaran kurang lebih dari 2 minggu
setelah terjadinya kuning. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan ikterus,
asites, bisa terdapat hepatomegali atau justru hati menjadi kecil, mungkin
juga ditemukan perdarahan gastrointestinal. Perhatikan juga gejala-gejala
adanya edema serebral yaitu adanya peningkatan dari tonus otot, hipertensi,
kejang, dan agitasi. Penting untuk mengetahui apakah hepatitis fulminan
terjadi karena infeksi, pengaruh obat-obatan dan penyingkiran penyakit hati
metabolik. Diagnosis secara klinis dicurigai pada pasien kuning yang
perkembangan ensefalopati dalam waktu 8 minggu sejak onset penyakit
kuning. Pemeriksaan biokimiawi didapatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi
(serum total bilirubin > 1,5 mg/dl), peningkatan aminotransferase (>10.000
IU/L), peningkatan amonia plasma (> 100 IU/L), koagulopati (protrombin >
40 detik), peningkatan fungsi hati (SGPT > 40 IU/L) (Kelly, 1993; Suchy,
2000; Arief, 2005; Latif, 2010).

X.PENATALAKSANAAN HEPATITIS FULMINAN


Manajemen hepatitis fulminan hanya suportif, tidak ada terapi yang
diketahui mengembalikan jejas hepatosit atau meningkatkan regenerasi hepar.
Bayi atau anak dengan koma hepatikum yang lanjut harus ditangani dalam
unit perawatan intensif yang memungkinkan monitor terus-menerus fungsi
vital. Intubasi endotrakeal mungkin dibutuhkan untuk mencegah aspirasi,
mengurangi edema serebri dengan hiperventilasi, dan mempermudah
perawatan paru. Mekanisme ventilasi dan pemberian oksigen sering
dibutuhkan pada koma yang lanjut. Larutan glukosa dan elektrolit harus
diberikan secara intravena untuk mempertahankan keluaran urin, untuk
mengoreksi atau mencegah hipoglikemia, dan untuk mempertahankan kadar
kalium serum normal. Hiponatremia sering ada tetapi biasanya karena dilusi
dan bukan akibat pengosongan natrium. Penambahan kalsium, fosfor, dan

12

magnesium parenteral mungkin dibutuhkan. Koagulopati harus diobati


dengan pemberian vitamin K parenteral dan mungkin memerlukan plasma
beku segar; koagulasi intravaskuler tersebar (DIC) bisa juga terjadi.
Plasmaferesis bisa memungkinkan koreksi sementara diatesis perdarahan
tanpa mengakibatkan beban volume berlebihan. Pemakaian antasid atau
penyekat reseptor H2 profilaksis atau keduanya harus dipertimbangkan karena
risiko tinggi terjadi perdarahan saluran cerna. Hipovolemia harus dihindari
dan diobati dengan infus cairan dan produk darah yang memadai. Disfungsi
ginjal bisa terjadi akibat dehidrasi, akibat nekrosis tubuler akut, atau akibat
gagal ginjal fungsional (sindrom hepatorenal). Penderita harus diawasi
dengan ketat terhadap infeksi, meliputi sepsis, pneumonia, peritonitis, dan
infeksi saluran kemih. Sedikitnya 50% penderita mengalami infeksi serius.
Organisme gram positif (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis)
adalah patogen yang paling sering tetapi infeksi gram negatif dan jamur juga
diamati. Edema serebral adalah komplikasi yang sangat serius yang berespon
jelek terhadap pemberian kortikosteroid dan diuresis osmotik. Pemantauan
tekanan intrakranial mungkin berguna dalam mencegah edema serebral berat,
dalam mempertahankan tekanan perfusi serebral, dan dalam menentukan
kenyamanan penderita untuk transplantasi hati (Arief, 2005; Suchy, 2000).
Perdarahan saluran cerna, infeksi, konstipasi, sedasi, keseimbangan
elektrolit, dan hipovolemia bisa mempercepat ensefalopati dan harus dikenali
dan dikoreksi. Masukan protein harus dibatasi atau dihentikan. Usus harus
dibersihkan dengan enema. Laktulosa harus diberikan setiap 2-4 jam oral atau
dengan pipa nasogastrik dengan dosis 10-5-mL cukup untuk menyebabkan
diare. Dosis ini kemudian disesuaikan terhadap hasil beberapa gerakan usus
asam, longgar, tiap hari. Sirup laktulosa yang diencerkan dengan voume 1-3
volume air bisa juga diberikan sebagai enema retensi setiap 6 jam. Laktulosa
adalah disakarida yang tidak bisa diabsorbsi, dimetabolisasi menjadi asam
organik oleh bakteri kolon; bahan ini mungkin menurunkan kadar amonia
darah dengan menurunkan produksi amonia mikroba dan melalui penjeratan

13

amonia dalam kandungan asam usus. Pemberian antibiotik yang tidak bisa
diabsorbsi per oral atau rektal seperti neomisin bisa mengurangi produksi
amonia yang dihasilkan bakteri usus. Flumazenil, suatu antagonis
benzodiazepin bisa menyembuhkan ensefalopati hepatik awal (Arief, 2005;
Suchy, 2000).
Penelitian terkendali telah menunjukkan hasil yang paling jelek
daripada

hepatitis

fulminan

pada

penderita

yang

diobati

dengan

kortikosteroid. Berbagai pendekatan telah digunakan untuk membantu hati


dalam mengeluarkan toksin neuroaktif seperti plasmaferesis atau perfusi
plasma penderita melalui kolom arang atau resin pengikat lain. Walaupun
penderita bisa mengalami perbaikan pada ensefalopati, ada sedikit bukti
bahwa pengobatan ini memperbaiki ketahanan hidup. Beberapa alat bantu
hati yang mengandung biakan hepatosit juga digunakan secara eksperimental
dalam upaya memungkinkan regenerasi hati penderita atau untuk sementara
sampai donor organ yang cocok tersedia. Transplantasi hati orthotopik
mungkin menyelamatkan hidup para penderita yang mencapai stadium koma
hepatikum lanjut. Pengurangan ukuran alograf dan transplantasi donor hidup
adalah kemajuan yang penting dalam pengobatan bayi dengan gagal hati
(Suchy, 2000; Arief, 2005).
Transplantasi hati harus dilakukan pada semua anak dengan stadium
III atau IV ensefalopati. Kondisi penderita yang harus segera dilakukan
transplantasi hati adalah (Suchy, 2000; Arief, 2005) :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Waktu protrombin > 60 detik


Penurunan kadar transaminase
Peningkatan bilirubin >17,5 mg/dl
Penurunan ukuran hati
pH < 7,3
Hipoglikemia < 70 mg/dl
Ensefalopati stadium II-III
Terdapat 2 macam transplantasi hati, orthotopic liver transplantatiom

(OLT) dari donor meninggal, kekurangannya adalah kurangnya persediaan

14

organ sehingga memerlukan waktu tunggu yang lama. Living related liver
transplantion organ berasal dari donor hidup, diambil lobus kiri donor dewasa
sehingga dapat memperpendek waktu tunggu. Kontraindikasi transplantasi
adalah sepsis, metabolik asidosis yang tak terkoreksi, hipotensi yang
memerlukan dosis presor tinggi, dan perfusi otak dibawah 40 mmHg walau
sudah pengobatan (Suchy, 2000; Arief, 2005).

XI.

KOMPLIKASI
a. Ensefalopati Hepatis
Ensefalopati hepatis adalah gangguan fungsi otak akibat gangguan
fungsi hati akut, dapat timbul dengan adanya faktor pencetus seperti
sepsis, perdarahan saluran cerna, gangguan elektrolit, pemberian sedasi
terutama benzodiazepin (Arief, 2005).
b. Edema Otak
Penyebab utama kematian pada gagal hati akut ditujukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi ini. Edema otak dapat timbul pada
ensefalopati stadium III dan IV, timbul dalam hitungan jam setelah koma
yang ditandai dengan perubahan neurologis seperti pupil anisokor, rigiditas
otot, klonus dan kejang lokal serta hilangnya refleks batang otak. Juga
dapat terjadi gangguan pola pernapasan, bradikardia, peningkatan tekanan
darah. Edema otak terjadi bila terdapat kenaikan tekanan intrakranial > 30
mmHg. Penyebab dari edema otak tidak diketahui, tetapi faktor iatrogenik
seperti kelebihan cairan, gangguan kadar glukosa darah menyebabkan
metabolisme otak anaerob sehingga terjadi perubahan aliran cairan otak,
kegagalan sirkulasi sistemik menyebabkan iskemia otak dan edema (Arief,
2005).
c. Perdarahan
Gangguan hemostasis disebabkan kegagalan sintesis faktor pembeku
dan faktor fibrinolitik oleh hati, penurunan jumlah dan fungsi trombosit
dan terjadinya koagulasi intravaskular. Faktor koagulasi yang diproduksi

15

hati adalah faktor I (fibrinogen), II (protrombin), V, VII, IX, X. Penurunan


sintesis menyebabkan pemanjangan waktu protrombin dan partial
thromboplastin time. Waktu protrombin sangat bermanfaat untuk
mengukur kemampuan sintesis faktor pembekuan oleh hati (Arief, 2005).
d. Komplikasi kardiovaskular
Terjadi peningkatan cardiac output karena terjadi penurunan tahanan
vaskular karena endotoksin atau zat berasal dari jaringan hati yang rusak
dan A-V shunting. Terjadi hipotensi tetapi didapatkan akral yang hangat.
Hipotensi disebabkan perdarahan, bakteremia, peningkatan permeabilitas
kapiler. Terjadi sinus takikardi pada 75% penderita, sedang bradikardi
merupakan gejala lanjut dan dihubungkan dengan peningkatan tekanan
intrakranial mencerminkan kegagalan mekanisme regulasi sentral.
Kombinasi hipotensi, vasodilatasi perifer, dan asidosis metabolik
merupakan gejala terminal (Arief, 2005).
e. Komplikasi sistem pernafasan
Sering terjadi gangguan ventilasi dan respon minimal terhadap
pemberian

obat-obatan.

Pada

stadium

II-III

ensefalopati

terjadi

hiperventilasi menyebabkan alkalosis respiratorik. Pada stadium IV terjadi


hipoventilasi, hipoksia, dan hiperkapnea. Kadang terjadi edema paru
karena vasodilatasi dan penurunan integritas vaskuler. Komplikasi lain
adalah aspirasi pneumoni, efusi pleural. Perdarahan paru terjadi pada
stadium akhir (Arief, 2005).
XII.

PROGNOSIS HEPATITIS FULMINAN


Anak-anak dengan hepatitis fulminan bisa menjadi lebih baik daripada
orang dewasa, tetapi angka kematian keseluruhan di atas 70%. Prognosis
sangat bervariasi tergantung pada penyebab dan derajat ensefalopati
hepatikanya. Dengan dukungan medis yang intensif angka ketahanan hidup
50-60% terjadi pada gagal hati yang mengkomplikasi kelebihan dosis
asetaminofen dan pada infeksi virus hepatitis A dan B fulminan. Sebaliknya,
penyembuhan dapat diharapkan hanya pada 10-20% penderita dengan gagal
hati yang disebabkan oleh hepatitis non-A, non-B, non-C atau penyakit Wilson

16

yang mulai akut. Pada penderita yang keadaannya lebih buruk menjadi koma
stadium IV prognosisnya sangat jelek. Komplikasi utama seperti sepsis,
perdarahan berat, atau gagal ginjal meningkatkan mortalitas. Penelitian
menunjukkan bahwa ikterus lebih dari 7 hari sebelum mulai ensefalopati,
waktu protrombin lebih dari 50 detik, dan bilirubin serum lebih dari 17,5
mg/dL (300 mol/L) menunjukkan prognosis jelek tidak tergantung dari
stadium awal koma hepatikum. Ketahanan hidup 50-70% bisa dicapai pada
penderita dengan prognosis yang paling jelek pasca transplantasi hati
orthotopik. Penderita yang membaik pada hepatitis fulminan dengan hanya
perawatan pendukung (suportif) biasanya tidak mengalami sirosis atau
penyakit hati kronis. Anemia aplastik adalah komplikasi yang lazim dan
biasanya mematikan pada hepatitis fulminan akibat dari hepatitis non-A, nonB, non-C sporadis (Suchy, 2000)
XIII.

KESIMPULAN
1. Hepatitis fulminan yaitu perjalanan fulminan yang ditandai oleh kegagalan
hati akut yang terkait dengan nekrosis masif dan submasif sel hati .
2. Hepatitis fulminan paling sering merupakan komplikasi hepatitis virus (A,
B, D, E , mungkin C, dan lain-lain). Terjadi pada kira-kira 1% kasus
hepatitis B dan hepatitis C, dan lebih terjadi jarang pada hepatitis A.
Penderita koinfeksi hepatitis B dan virus delta mempunyai insidensi yang
lebih besar dibanding yang dengan hepatitis B saja.
3. Gejala hepatitis fulminan yaitu ikterus progresif, bau (fetor) hepatikus,
demam, nafsu makan menurun, muntah, nyeri abdomen, penurunan cepat
ukuran hati, diatesis hemoragis, asites bisa timbul. Iritabilitas, makan sulit,
dan perubahan pada irama tidur mungkin merupakan satu-satunya temuan
pada bayi; asteriksis mungkin bisa ditunjukkan pada anak yang lebih
besar. Penderita sering somnolen atau bingung atau bangun mendadak dan
akhirnya bisa menjadi berespon hanya pada rangsangan nyeri. Penderita
dapat dengan cepat dalam kondisi buruk pada stadium koma yang lebih
dalam dimana respon ekstensor dan postur deserebrasi serta dekortikasi

17

muncul. Respirasi biasanya meningkat pada awalnya, tetapi gagal respirasi


bisa terjadi pada koma stadium IV.
4. Mekanisme yang menyebabkan hepatitis fulminan masih kurang
dimengerti. Belum diketahui mengapa hanya sekitar 1-2% penderita
hepatitis virus mengalami gagal hati. Destruksi masif hepatosit bisa
menggambarkan efek sitotoksik virus langsung dan respon imun terhadap
antigen virus.
5. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang jika diperlukan.
6. Manajemen hepatitis fulminan hanya suportif, tidak ada terapi yang
diketahui mengembalikan jejas hepatosit atau meningkatkan regenerasi
hepar.
7. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu ensefalopati hepatis, edema otak,
perdarahan, komplikasi kardiovaskular, komplikasi sistem pernafasan.
8. Prognosis sangat bervariasi tergantung pada penyebab gagal hati dan
derajat ensefalopati hepatikanya. Dengan dukungan medis yang intensif
angka

ketahanan

hidup

50-60%

terjadi

pada

gagal

hati

yang

mengkomplikasi kelebihan dosis asetaminofen dan pada infeksi virus


hepatitis A dan B fulminan. Sebaliknya, penyembuhan dapat diharapkan
hanya pada 10-20% penderita dengan gagal hati yang disebabkan oleh
hepatitis non-A, non-B, non-C atau penyakit Wilson yang mulai akut. Pada
penderita yang keadaannya lebih buruk menjadi koma stadium IV
prognosisnya sangat jelek.

18

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sjamsul. 2005. Tatalaksana Gagal Hati Akut. Surabaya.
Chandrasoma, Parakrama, Taylor, Clive R. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi
Edisi 2. Jakarta. EGC.
Kelly, DA. 1993. Fulminant hepatitis and acute liver failure. Management of
Digestive and Liver Disorders in Infants and Children. Eds, JP Buts and EM
Sokal. Elsevier Science. pp 577-593
Latif, N., Mehmood, K. 2010. Risk Factor for Fulminant Hepatic Failure And
Their Relation With Outcome In Children. Original Article. J Pak Med
Assoc. pp 175-178.
Liu, M., et all. 2001. Fulminant Viral Hepatitis : Molecular And Cellular Basis,
and Clinical Implication. Expert Reviews. Cambridge University Press. pp
1-19.
Markum, A. H, dkk. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit FK UI :
Jakarta.
Pearce, Evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta. PT
Gramedia Pustaka Utama.
Sadikin, Darmawan. 1973. Patologi. Jakarta. Penerbit Bagian Patologi Anatomik
FK UI.
Sass, David A., Shakil, A. O. 2005. Fulminant Hepatic Failure. Article. CAQ
Corner. Volume 11. pp 594-605.
Sibernagl, S., Lang, F. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta :
EGC.
Suchy, Frederick J. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta. EGC.
Whitington, P. F.; Alonso, E. M. 2001. Fulminant Hepatitis in Children: Evidence
for an Unidentified Hepatitis Virus. Invited Review. Journal of Pediatric
Gastroenterology & Nutrition. Volume 33, pp 529-536.

You might also like