You are on page 1of 23

Portofolio Kasus Medis

No. ID dan Nama Peserta

dr. Febriyan Edmi

No. ID dan Nama Wahana

RSUD Muara Labuh

Topik
Tanggal (kasus)

8 oktober 2015

Nama Pasien

Ny. I

Tanggal Presentasi
Tempat Presentasi

No. RM

06.20.54

Pendamping

dr. Suciati Lestari

Aula RSUD Muara Labuh

Objektif Presentasi
Keilmuan

Keterampilan

Penyegaran

Tinjauan Pustaka

Diagnostik

Manajemen

Masalah

Istimewa

Anak

Dewasa

Neonatus

Bayi

Remaja

Lansia

Bumil

Deskripsi

Pasien perempuan, 63 tahun datang dengan keluhan sesak serta tidak nafsu makan
sejak 2 minggu SMRS

Tujuan

Dapat melakukan penatalaksanaan TB Paru dan mengetahi komplikasi yang dapat di


tibulkan oleh OAT

Bahan Bahasan Tinjauan Pustaka


Cara
Membahas
Data Pasien

Diskusi

Riset

Kasus

Presentasi dan
Diskusi

Nama : Ny. I

Nama RS : RSUD Muara Labuh

E-mail

Audit
Pos

No. Registrasi : 06.20.54


Telp :

Terdaftar sejak :

Data Utama untuk Bahan Diskusi :


1. Diagnosis / Gambaran Klinis : TB Paru Kategori I dengan Drug Induced Hepatitis/ sesak serta
tidak nafsu makan sejak 2 minggu SMRS
2. Riwayat Pengobatan : Pasien sedang menjalani terapi OAT
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit : Pasien di diagnosis TB kategori I sejak Agustus 2015
4. Riwayat Keluarga : tidak ada keluarga pasien memilki riwayat penyakit yang sama
5. Riwayat Pekerjaan : tidak bekerja
6. Lain-lain : Hasil Pembelajaran :
1. Mampu mendiagnosis TB Paru
2. Mengetahui penatalaksanaan TB Paru
3. Mampu mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi pada TB Paru
4. Mengetahui Efek samping yang dapat ditimbulkam oleh OAT

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1. Subjektif :
Keluhan Utama :
Sesak sejak 2 minggu SMRS, bunyi menciut (-), tidak di pengaruhi oleh emosi dan
cuaca, sesak berkurang jika duduk.
Batuk berdahak (+), warna kehijauan, darah (-)
Tidak nafsu makan sejak 2 minggu SMRS, Mual (+), Muntah (-)
Mual(-), Muntah(-)
Pasien sedang menjalani Terapi OAT
BAB dan BAK normal
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien di diagnose TB paru Kategori I Pada Bulan Agustus 2015
Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama
Riwayat Sosio Ekonomi dan Kebiasaan :
Tinggal bersama anak dan keluarganya. Makan makanan yang sama seperti keluarga.

2. Objektif :
a. Vital sign
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Somnolen
3. Tekanan darah : 130/90 mmHg
4. Frekuensi nadi: 92 x/menit
5. Frekuensi nafas: 24 x /menit
6. Suhu : 37.30C
b. Pemeriksaan sistemik
Kulit : Teraba hangat, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis
Kepala : Bentuk normal, rambut hitam dan sebagian putih, tidak mudah dicabut UUB
tidak cekung
Mata
:Konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik ++/++, pupil isokor diameter 2
3mm/3mm.
THT : Tidak ada kelainan.
Mulut : hipersaliva (-), Bibir kering(-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O
KGB : Tidak teraba pembesaran KGB pada leher, axilla maupun inguinal.
Thoraks
Paru
Inspeksi

: simetris, statis dan dinamis ka=ki


2

Palpasi
: fremitus ka=ki
Perkusi
: sonor
Auskultasi : vesikuler, Wheezing (-/-), Rhonki (+/+)
Jantung
Inspeksi
: iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi
: batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama teratur, bising (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi
Palpasi

: distensi (-),
: hepar teraba 2 jari di bawah arkus Costae kanan, permukaan rata,
Lien tidak teraba, nyeri tekan(-) lepas(-)
Perkusi
: hipertimpani.
Auskultasi : bising usus (+) , Normal
Punggung
: Tidak ada kelainan.
Ekstremitas
:
Anggota Gerak
Superior
Inferior
Akral dingin
:
-/-/Sianosis
:
-/-/Edem
:
-/+/+

c. Pemeriksaan Penunjang
Hb 14,3 g%
Leukosit ; 11.600/mm3
Trombosit : 381.000/mm3
Hematokrit : 43,3%
Ureum : 15 mg/dl
Creatinin : 0,7 mg/dl
SGOT : 326 u/l
SGPT : 334 u/l
Rontgent thorax

Terapi
-

O2 2 liter/menit
IVFD NaCL 0,9% : D5% 2:1 8 jam/kolf
Drip cernevit dalam D5%
Injeki Ondansentron 1x 1ampul
Injeksi prosogan 1x1 vial
Fortibi 1x1
Injeksi Ceftazidime 2x1vial Skin test
Amiofilin 1 x 100mg
Nebu combivent bila sesak
Diet MB TKTP
Ekstra susu 2x sehari
Cek ulang SGOT, SGPT
OAT dari puskesmas (FDC) dihentikan

Follow up
9 Oktober 2015
S : Sesak berkurang, Mual (+), Tidak Nafsu makan(+), Muntah(+), Kuning (+),
O : KU: Sedang TD: 110/80 N: *4x/menit RR: 20x/menit
- Sclera ikterik +/+
- Ronkhi +/+
SGOT : 326 u/l
SGPT : 334 u/l
A/ TB Paru dalam Pengobatan + DIH
P/
- IVFD NaCL 0,9% : D5% 2:1 8 jam/kolf
- Drip cernevit dalam D5%
- Injeki Ondansentron 1x 1ampul
- Injeksi prosogan 1x1 vial
- Fortibi 1x1 Stop
- Injeksi Ceftazidime 2x1vial Skin test
- Amiofilin 1 x 100mg
- Biocurliv 2x1 tab
- Sukralfat syr 2x1C
17 Oktober 2015
S/ Sesak berkurang, Mual (+), Tidak Nafsu makan(+), Muntah(+), Kuning (+), kaki bengkak
O/ KU: Sedang TD: 100/80 N: 804x/menit RR: 20x/menit
- albumin: 3,6 gr/dl
A/ TB Paru dalam pengobatan + DIH
4

P/
- VIP albumin 1 x 1 tab
Terapi lain lanjut

DEFINISI
Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini adalah salah satu penyakit tertua yang diketahui menyerang manusia.
Penyakit ini biasanya menyerang paru-paru (disebut sebagai TB Paru), walaupun pada sepertiga
kasus, organ-organ lain ikut terlibat. Jika diterapi dengan benar tuberkulosis yang disebabkan
oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis, yang peka terhadap obat, praktis dapat
disembuhkan. Tanpa terapi tuberkulosa akan mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama
pada lebih dari setengah kasus.
Drug induced hepatitis atau hepatitis karena induksi obat adalah kerusakan atau jejas
pada sel-sel hepar karena akibat dari agen kimiawi, pada kasus ini karena disebabkan oleh obat
anti tuberculosis.
EPIDEMIOLOGI
Hepatitis karena obat terjadi pada delapan dalam setiap 10.000 orang.Perempuan cenderung
terpengaruh hampir dua kali dibandingkan laki-laki.Orang dewasa lebih rentan terhadap jenis
hepatitis ini karena tubuh mereka tidak mampu memperbaiki dengan cepat sel-sel hepatosit yang
rusak.
FAKTOR RESIKO
Ras: beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan suku bangsa.
Misalnya, orang kulit hitam dan hispanik mungkin lebih rentan terhadap isoniazid (INH).
Tingkat metabolism berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar
individu.
Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anak-anak.
Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance menurun, adanya
interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan menurunnya volume hati. Selain
itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering menjadi salah satu alasan
penting terjadinya hepatotoksisitas imbas obat.
Seks: Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering pada wanita.
Konsumsi alcohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap keracunan obat
karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah metabolisme obat. Alkohol
menyebabkan deplesi penyimpanan glutation (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih
rentan terhadap toksisitas obat.
Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami peningkatan risiko
cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang mungkin akan
terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis pada orang dengan penyakit hati harus
didasarkan pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan
infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko untuk
6

efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan
sirosis beresiko mengalami peningkatan dekompensasi dengan obat beracun.
Faktor genetik: : Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein. Perbedaan genetik di P450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat. Debrisoquine adalah
obat antiaritmia yang mengalami metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain reaction gen
mutan. Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang dapat
memiliki reaksi abnormal terhadap suatu obat.
Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan orang-orang yang
berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutation rendah.
Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek dibandingkan obat
short-acting
Faktor host
TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah infeksi yang
menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan spesifik, sehingga tubuh melawan
dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini kuman merangsang tubuh membentuk sensitized cell
yang khas sehingga uji PPD (Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat fokus
primer dan pembesaran kelenjar getah bening hilus atau regional yang disebut komplek primer.
Pada infeksi primer ini biasanya masih sulit ditemukan kuman dalam dahak. (Silbernagl dan
Lang, 2007)
Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di jaringan paru
sehinggaakan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembearan kelenjar getah bening
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan mengalami
salah satu nasib berikut:
Sembuh dengan tidak meniggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad integrum)
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn, garis fibrotic, sarang
perkapuran di hilus)
Menyebar dengan cara:
Perkontinuatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya adalah epituberklosis.
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau
tertelan
Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan
tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara
7

spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis milier, meningitis TB, dll. (PDPI,
2006)
TB paru post primer adalah TB paru yang menyerang orang yang telah mendapatkan infeksi
primer dan dalam tubuh orang tersebut sudah ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi ini
berasal dari reinfeksi dari luar atau reaktivasi dari infeksi se-belumnya. Proses awal berupa satu
atau lebih pnemonia lobuler yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat sembuh sendiri
atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan, timbul kavitas yang menahun dan
mengadakan penyebaran ke beberapa tempat. (Depkes, 2005)
Gejala penting TB paru post primer adalah :
Batuk lebih dari 4 minggu, gejala ini paling dini dan paling sering dijumpai, biasanya ringan
dan makin lama makin berat.
Batuk darah atau bercak saja.
Nyeri dada yang berkaitan dengan proses pleuritis di apikal.
Sesak nafas yang berkaitan dengan retraksi, obstruksi, thrombosis, atau rusaknya
Parenkimparu yang luas
Wheezing yang berkaitan dengan penyempitan lumen endo-bronkhial.
Gejala umum yang tidak khas yaitu lemah badan, demam, anoreksia, berat badan turun
Klasifikasi Tuberkulosis
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan
radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
positif
2. Berdasarkan tipe pasien
Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

Kasus kambuh (relaps), adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila
BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
Infeksi jamur
TB paru kambuh
Kasus defaulted atau drop out, adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Kasus gagal, adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pasien dengan
hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan
Kasus kronik / persisten, adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik. (PDPI, 2006)

Diagnosa Tuberkulosis
Gambaran klinik
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi atas : gejala sistemik (umum) dan gejala respiratorik
(paru).
Gejala sistemik (umum), berupa :
a. Demam
Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah demam seperti gejala influenza.
Biasanya demam dirasakan pada malam hari disertai dengan keringat malam, kadang-kadang
suhu badan dapat mencapai 40 41 C. Serangan seperti influenza ini bersifat hilang timbul,
dimana ada masa pulih diikuti dengan se rangan berikutnya setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan
(dikatakan sebagai multiplikasi 3 bulan). Rasmin mengatakannya sebagai serangan influenza
yang melompat-lompat dengan masa tidak sakit semakin pendek dan masa serangan semakin
panjang.

b. Gejala yang tidak spesifik


TB paru adalah peradangan yang bersifat kronik, dapat ditemukan rasa tidak enak badan
(malaise), nafsu makan berkurang yang menyebabkan penurunan berat badan, sakit kepala dan
badan pegal-pegal. Pada wanita kadang-kadang dapat dijumpai gangguan siklus haid.
Gejala respiratorik (paru)
Batuk
Pada awal teljadinya penyakit, kuman akan berkembang biak di jaringan paru; batuk
baru akan terjadi bila bronkus telah terlibat. Batuk merupakan akibat dari terangsangnya
bronkus, bersifat iritatif. Kemudian akibat terjadinya peradangan, batuk berubah menjadi
produktif karena diperlukan untuk membuang produk-produk ekskresi dari peradangan. Sputum
dapat bersifat mukoid atau purulen.
Batuk darah
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah; berat atau ringannya batuk darah tergantung
dari besarnya pembuluh darah yang pecah. Gejala batuk darah ini tidak selalu terjadi pada setiap
TB paru, kadang-kadang merupakan suatu tanda perluasan proses TB paru. Batuk darah tidak
selalu ada sangkut pautnya dengan terdapatnya kavitas pada paru.
Sesak napas
Sesak napas akan terjadi akibat luasnya kerusakan jaringan paru, didapatkan pada
penyakit paru yang sudah lanjut. Sedangkan pada penyakit yang baru tidak akan dijumpai gejala
ini.
Nyeri dada
Biasanya terjadi bila sistem saraf terkena, dapat bersifat lokal atau pleuritik.
Pemeriksaan jasmani
Secara umum pemeriksaan jasmani paru menggambarkan keadaan struktural jaringan
paru, pemeriksaan ini tidak memberikan keterangan apa penyebab penyakit paru tersebut.
Namun demikian mungkin ada beberapa hal yang dapat dipakai sebagai pegangan pada TB paru
yaitu lokasi dan kelainan struktural yang terjadi. Pada penyakit yang lanjut mungkin dapat
dijumpai berbagai kombinasi kelainan seperti konsolidasi, fibrosis, kolaps atau efusi.
Gambaran foto toraks
10

Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan pada paru ialah foto toraks PA
dan lateral, sedangkan foto top lordotik, oblik, tomogram dan floroskopi dikerjakan atas
indikasi.
Crofton mengemukakan beberapa karakteristik radiologik pada TB paru :
Bayangan lesi terutama pada lapangan atas paru
Bayangan berawan atau berbercak
Terdapat kavitas tunggal atau banyak
Terdapat kalsifikasi
Lesi bilateral terutama bila terdapt pada lapangan alas paru
Bayangan abnormal menetap pada foto toraks ulang setelah beberapa minggu.
Letak lesi pada orang dewasa biasanya pada segmen apikal dan posterior lobus atas, segmen
posterior lobus bawah, meskipun dapat juga mengenai semua segmen.
Gambaran radiologik TB paru tidak memperlihatkan hanya satu bentuk sarang saja, akan
tetapi dapat terlihat berbagai bentuk sarang secara bersamaan sekaligus yang merupakan bentuk
khas TB paru. Adapun bentuk sarang yang dijumpai pada kelainan radiologik adalah : sarang
dini/sarang minimal, kavitas non sklerotik, kavitas sklerotik, keadaan penyebaran penyakit yang
sudah lanjut. Kelainan radiologik foto toraks hendaklah dinilai secara teliti, karena TB paru
dapat memberikan semua bentuk abnormal pada pemeriksaan radiologik dan dikenal dengan
istilah "great imitator". (PDPI, 2006)
Pemeriksaan basil tahan asam
Penemuan basil tahan asam (BTA) dalam sputum, mempunyai arti yang sangat penting
dalam menegakkan diagnosis TB paru, namun kadang-kadang tidak mudah untuk menemukan
BTA tersebut. BTA barn dapat ditemukan dalam sputum, bila bronkus sudah terlibat, sehingga
sekret yang dikeluarkan melalui bronkus akan mengandung BTAPemeriksaan mikroskopik
langsung dengan BTA (--), bukan berarti tidak ditemukan Mycobacterium tuberculosis sebagai
penyebab, dalam hal penting sekali peranan hasil biakan kuman. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan basil bakteriologik negatip adalah :
belum terlibatnya bronkus dalam proses penyakit, terutama pada awal sakit,
terlalu sedikitnya kuman di dalam sputum akibat dari cara pengambilan bahan yang tidak
adekuat,
cara pemeriksaan bahan yang tidak adekuat,
pengaruh pengobatan dengan OAT, terutama rifampisin.
Bila diagnosis TB paru semata-mata berdasarkan pada ditemukannya BTA dalam
sputum, maka sangat banyak TB paru yang terlewat tanpa pengobatan. Sedangkan justru pada
11

TB paru yang baru dengan sputum BTA (--) dan belum menular pada orang lain, paling mudah
diobati dan disembuhkan sempurna. (PDPI, 2006)
Pemeriksaan uji tuberkulin
Pemeriksaan uji tuberkulin merupakan prosedur diagnostik paling penting pada TB paru
anak, kadang-kadang merupakan satu-satunya bukti adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Sedangkan pada orang dewasa, terutama di daerah dengan prevalensi TB paru masih tinggi
seperti Indonesia sensitivitasnya rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Handoko dkk terhadap
penderita TB paru dewasa yang menyimpulkan bahwa reaksi uji tuberkulin tidak mempunyai
arti diagnostik, hanya sebagai alat bantu diagnostik saja, sehingga uji tuberkulin ini jarang
dipakai untuk diagnosis kecuali pada keadaan tertentu, di mana sukar untuk menegakkan
diagnosis. (PDPI, 2006)
Pemeriksaan laboratorium penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin yang dapat menunjang untuk mendiagnosis TB paru dan
kadang-kadang juga dapat untuk
mengikuti perjalanan penyakit yaitu :
- laju endap darah (LED)
- jumlah leukosit
- hitung jenis leukosit.
Dalam keadaan aktif/eksaserbasi, leukosit agak meninggi dengan geseran ke kiri dan
limfosit

di

bawah

nilai

normal,

laju

endap

darah

meningkat.

Dalam

keadaan

regresi/menyembuh, leukosit kembali normal dengan limfosit nilainya lebih tinggi dari nilai
normal, laju endap darah akan menurun kembali. (PDPI, 2006)
harus dirawat diruang intensif (Pusponegoro. D et al. 2006).
Menurut Deliana, 2002 pada tata laksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:
Pengobatan fase akut
Mencari dan mengobati penyebab
Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam

Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu, fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4-7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
12

Obat Anti Tuberkulosis


Obat yang dipakai :
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan:
INH
Rifampicin
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin dan asam klavulanat
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain: Kapreomisin, Sikloserin, PAS,
Derivat INH dan Rifampisin, Thioamides (ethioamide dan prothioamide)
Kemasan
Obat Tunggal, disajikan secara terpisah, yakni INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol
Obat Kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination-FDC). Kombinasi dosis tetap ini terdiri
dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
Dosis Obat
Obat

Dosis

Dosis yang Dianjurkan

(mg/kgBB/hari) (mg/kgBB/hari)
Harian
Intermitten
R
8-12
10
10
H
4-6
5
10
Z
20-30
25
35
E
15-20
15
30
S
15-18
15
15
Dosis Obat Tuberkulosis (PPDI, 2006)

Dosis

Dosis (mg) / Berat Badan (kg)

Max
600
300
1000

<40
300
150
750
750
Sesuai BB

40-60
450
300
1000
1000
750

>60
600
450
1500
1500
1000

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang paling penting
untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (Multidrug resistance tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemic TB merupakan priority utam WHO.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan
untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB
primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberculosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO.
13

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:


Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang
tidak disengaja
Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar
Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi
Penetuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik. (PDPI, 2006)
Paduan Obat Anti Tuberkulosis
Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi:
TB Paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto thoraks lesi luas. Paduan obat yang
dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE atau 2RHZE/4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk:
TB Paru BTA (+), kasus baru
TB Paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas
TB Paru (kasus baru), BTA negative, pada foto thoraks lesi minimal. Paduan obat yang
dianjurkan: 2RHZE/4RH atau 6RHE atau 2RHZE/4R3H3
TB Paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan dengan
hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5
bulan
TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan
Kanamisin, Ofloksasin, Etionamid, Sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan Ofloksasin,
Etionamid, Sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan
2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE
selama 5 bulan. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimal.
TB Paru kasus putus obat
14

Pasien TB Paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan criteria
sebagai berikut:
Berobat > 4 bulan
BTA saat ini negative
Klinis dan radilogi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan.
Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan
diagnosis TB denganmempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila
terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kaut dan jangka waktu
pengobatan yang lama.
Berobat < 4 bulan
Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kaut dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama.
Bila TB negative, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan.
TB Paru kasus kronik
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah
ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minmal terdapat 4 macam OAT
yang massif sensitive) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid, dll.
Pengobatan minimal 18 bulan. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Kasus TB kronik
perlu dirujuk ke dokter spesialis paru. (PDPI, 2006)
Metabolisme obat
Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh.
Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal.
Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga
lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatic ini melibatkan
jalur oksidatif terutama melalui system enzim sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2
fase. Pada fase pertama, terjadi reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin
menjalani langkah ini, dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua.
Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum
15

endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Reaksi ini
dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada substrat induk
dan dapat mengakibatkan luka pada hati. Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-pbenzoquinon-imina (NAPQI), bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi.
NAPQI bertanggung jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan.
Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka dikategorikan
ke dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang paling penting dalam
metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme banyak obat. Obat dapat mengalami
biotransformasi kompetitif dan menghambat satu sama lain, sehingga terjadi interaksi obat.
Beberapa obat dapat menginduksi dan menghambat Sitokrom P-450 enzim. Fase kedua dapat
terjadi baik di dalam ataupun di luar hati. Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat,
asam amino, sulfat, glutathione, asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat.
Selanjutnya, obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu, sementara ginjal
mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang menginduksi dan menghambat
sitokrom P-450 enzim adalah sebagai berikut:
Inducers
Phenobarbital
Phenytoin
Carbamazepine
Primidone
Ethanol
Glucocorticoids
Rifampin
Griseofulvin
Quinine

16

Omeprazole - Induces P-450 1A2


Inhibitors
Amiodarone
Cimetidine
Erythromycin
Grape fruit
Isoniazid
Ketoconazole
Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara permukaan
absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan penting dalam
metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik.
Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap
obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi
tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000
pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk
setiap golongan obat. Sebagian lagi tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan
alasan paling sering penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk
lebih dari 50 persen kasus gagal hati akut.
Metabolisme hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada
membrane kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu.
Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada
kanalikuli yang menghasilkan translokasi fas stoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor
ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping
itu, banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450 yang mengandung heme dan
menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan
enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tidak punya peran.Komplkes obat-enzim ini
17

bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogenimunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon imun multifaset yang
melibatkan sel-sel T sitotoksik dan berbagai sitokin.Obat-obat tertentu menghambat fungsi
mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi.Metabolitmetabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu.Cedera
pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik
menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat
atau metabolitnya, berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi imunogen).
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang
tidak dapat diduga (idiosinkratik).Reaksi intrinsic terjadi pada semua orang yang mengalami
akumulasi obat pada jumlah tertentu.Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu
(terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu
memetabolisme penyebab).
HEPATOTOKSISITAS IMBAS OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Penyebab tuberculosis diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50 tahun sudah
ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya.Namun, masalah TB dunia
sekarang lebih besar dari sebelumnya.Penyebab pasti ini tidak diketahui.Hal ini diperkirakan
karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV seta terjadinya Multiple Drug Resistant
Tuberkulosis (TB-MDR).Setiap tahun diperkirakan ada satu juta kasus baru dan dua juta
kematian terjadi akibat TB di dunia.
Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman baik untuk
dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang disebabkan oleh obat
TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati disebabkan oleh sebagian besar obat lini
pertama dan hal ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan
dan perawatan TB tetapi juga menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen
pengobatan untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R),
Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S).
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/ streptomisin (S) (3
obat pertama bersifat hepatotoksik). Factor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut,
pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi
tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan
status asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau
HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya
keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi
gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberculosis.
18

MANIFESTASI KLINIS HEPATOTOKSISTAS IMBAS OAT


Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip dengan hepatitis
virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang bervariasi dari
asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, ddan lain-lain.
Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut.
Jika pada pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan memberikan gejala
hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan acuan diagnosa hepatotoksisitas
imbas OAT telah terjadi. Pasienakan mengalami gejala seperti ikterik, keletihan, demam, hilang
selera makan, muntah-muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam
pekat
EFEK HEPATOTOKSIK OAT
Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine transaminase
(ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat peningkatan dua kali
dalam empat minggu pengobatan tuberculosis. Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh
lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika
tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain
merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan
potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas.
Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki disfungsi hati ringan yang
ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum AST, ALT dan konsentrasi bilirubin.
Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif danmenyebabkan hepatitis
fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH
harus dihentikan apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali nilai normal.
Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap awal terapi.
Bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka
dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk mengubah
pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin menyebabkan peningkatan
transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien,
dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas.
Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan
dengan hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi
19

dilaporkan

terjadi pada pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan
diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini
tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis.
Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas dapat
terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi. Di Centre Disease Control
(CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen
2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11
meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan
terapi.
Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi hati
yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol yang
dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan hepatotoksisitas.
Efek samping etambutol yang biasanya terjadi ialah neuritis optic, buta warna merah/hijau.
TATALAKSANA
Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik (drug induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT distop
SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan
REKOMENDASI MENGELOLA OAT
Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat diminimalisir
sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional untuk mengelola
hepatotoksisitas imbas OAT antara lain:
Jika pasien terdiagnosis hepatitis imbas OAT, maka pemberian OAT tersebut harus
dihentikan. Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu.
Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan dua bulan
streptomisin, INH, dan etambutol diikuti 10 bulan INH dan etambutol.
Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan etambutol sampai 8 bulan
pengobatan untuk short course chemotherapy (SCC) atau 12 bulan untuk rejimen standar.

20

Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien
hepatotoksisitas
INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai 300 mg /
hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75
mg/harilalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau
600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang terjadi,
lanjutkan. Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat
menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).

21

DAFTAR PUSTAKA
Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. 2005
Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced Hepatitis
with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in Treatment. Kathmandu
University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-260
Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis Prevention and
Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010, 10:267
Jaime, Ungo dkk. Antituberculosis Druginduced Hepatotoxicity The Role of Hepatitis C
Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of Miami School of
Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care Medicine
Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of Gastroenterology and
Hepatology. 2010

22

23

You might also like