Professional Documents
Culture Documents
Topik
Tanggal (kasus)
8 oktober 2015
Nama Pasien
Ny. I
Tanggal Presentasi
Tempat Presentasi
No. RM
06.20.54
Pendamping
Objektif Presentasi
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Anak
Dewasa
Neonatus
Bayi
Remaja
Lansia
Bumil
Deskripsi
Pasien perempuan, 63 tahun datang dengan keluhan sesak serta tidak nafsu makan
sejak 2 minggu SMRS
Tujuan
Diskusi
Riset
Kasus
Presentasi dan
Diskusi
Nama : Ny. I
Audit
Pos
Terdaftar sejak :
2. Objektif :
a. Vital sign
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Somnolen
3. Tekanan darah : 130/90 mmHg
4. Frekuensi nadi: 92 x/menit
5. Frekuensi nafas: 24 x /menit
6. Suhu : 37.30C
b. Pemeriksaan sistemik
Kulit : Teraba hangat, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis
Kepala : Bentuk normal, rambut hitam dan sebagian putih, tidak mudah dicabut UUB
tidak cekung
Mata
:Konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik ++/++, pupil isokor diameter 2
3mm/3mm.
THT : Tidak ada kelainan.
Mulut : hipersaliva (-), Bibir kering(-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O
KGB : Tidak teraba pembesaran KGB pada leher, axilla maupun inguinal.
Thoraks
Paru
Inspeksi
Palpasi
: fremitus ka=ki
Perkusi
: sonor
Auskultasi : vesikuler, Wheezing (-/-), Rhonki (+/+)
Jantung
Inspeksi
: iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi
: batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama teratur, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
: distensi (-),
: hepar teraba 2 jari di bawah arkus Costae kanan, permukaan rata,
Lien tidak teraba, nyeri tekan(-) lepas(-)
Perkusi
: hipertimpani.
Auskultasi : bising usus (+) , Normal
Punggung
: Tidak ada kelainan.
Ekstremitas
:
Anggota Gerak
Superior
Inferior
Akral dingin
:
-/-/Sianosis
:
-/-/Edem
:
-/+/+
c. Pemeriksaan Penunjang
Hb 14,3 g%
Leukosit ; 11.600/mm3
Trombosit : 381.000/mm3
Hematokrit : 43,3%
Ureum : 15 mg/dl
Creatinin : 0,7 mg/dl
SGOT : 326 u/l
SGPT : 334 u/l
Rontgent thorax
Terapi
-
O2 2 liter/menit
IVFD NaCL 0,9% : D5% 2:1 8 jam/kolf
Drip cernevit dalam D5%
Injeki Ondansentron 1x 1ampul
Injeksi prosogan 1x1 vial
Fortibi 1x1
Injeksi Ceftazidime 2x1vial Skin test
Amiofilin 1 x 100mg
Nebu combivent bila sesak
Diet MB TKTP
Ekstra susu 2x sehari
Cek ulang SGOT, SGPT
OAT dari puskesmas (FDC) dihentikan
Follow up
9 Oktober 2015
S : Sesak berkurang, Mual (+), Tidak Nafsu makan(+), Muntah(+), Kuning (+),
O : KU: Sedang TD: 110/80 N: *4x/menit RR: 20x/menit
- Sclera ikterik +/+
- Ronkhi +/+
SGOT : 326 u/l
SGPT : 334 u/l
A/ TB Paru dalam Pengobatan + DIH
P/
- IVFD NaCL 0,9% : D5% 2:1 8 jam/kolf
- Drip cernevit dalam D5%
- Injeki Ondansentron 1x 1ampul
- Injeksi prosogan 1x1 vial
- Fortibi 1x1 Stop
- Injeksi Ceftazidime 2x1vial Skin test
- Amiofilin 1 x 100mg
- Biocurliv 2x1 tab
- Sukralfat syr 2x1C
17 Oktober 2015
S/ Sesak berkurang, Mual (+), Tidak Nafsu makan(+), Muntah(+), Kuning (+), kaki bengkak
O/ KU: Sedang TD: 100/80 N: 804x/menit RR: 20x/menit
- albumin: 3,6 gr/dl
A/ TB Paru dalam pengobatan + DIH
4
P/
- VIP albumin 1 x 1 tab
Terapi lain lanjut
DEFINISI
Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini adalah salah satu penyakit tertua yang diketahui menyerang manusia.
Penyakit ini biasanya menyerang paru-paru (disebut sebagai TB Paru), walaupun pada sepertiga
kasus, organ-organ lain ikut terlibat. Jika diterapi dengan benar tuberkulosis yang disebabkan
oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis, yang peka terhadap obat, praktis dapat
disembuhkan. Tanpa terapi tuberkulosa akan mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama
pada lebih dari setengah kasus.
Drug induced hepatitis atau hepatitis karena induksi obat adalah kerusakan atau jejas
pada sel-sel hepar karena akibat dari agen kimiawi, pada kasus ini karena disebabkan oleh obat
anti tuberculosis.
EPIDEMIOLOGI
Hepatitis karena obat terjadi pada delapan dalam setiap 10.000 orang.Perempuan cenderung
terpengaruh hampir dua kali dibandingkan laki-laki.Orang dewasa lebih rentan terhadap jenis
hepatitis ini karena tubuh mereka tidak mampu memperbaiki dengan cepat sel-sel hepatosit yang
rusak.
FAKTOR RESIKO
Ras: beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan suku bangsa.
Misalnya, orang kulit hitam dan hispanik mungkin lebih rentan terhadap isoniazid (INH).
Tingkat metabolism berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar
individu.
Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anak-anak.
Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance menurun, adanya
interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan menurunnya volume hati. Selain
itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering menjadi salah satu alasan
penting terjadinya hepatotoksisitas imbas obat.
Seks: Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering pada wanita.
Konsumsi alcohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap keracunan obat
karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah metabolisme obat. Alkohol
menyebabkan deplesi penyimpanan glutation (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih
rentan terhadap toksisitas obat.
Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami peningkatan risiko
cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang mungkin akan
terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis pada orang dengan penyakit hati harus
didasarkan pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan
infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko untuk
6
efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan
sirosis beresiko mengalami peningkatan dekompensasi dengan obat beracun.
Faktor genetik: : Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein. Perbedaan genetik di P450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat. Debrisoquine adalah
obat antiaritmia yang mengalami metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain reaction gen
mutan. Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang dapat
memiliki reaksi abnormal terhadap suatu obat.
Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan orang-orang yang
berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutation rendah.
Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek dibandingkan obat
short-acting
Faktor host
TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah infeksi yang
menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan spesifik, sehingga tubuh melawan
dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini kuman merangsang tubuh membentuk sensitized cell
yang khas sehingga uji PPD (Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat fokus
primer dan pembesaran kelenjar getah bening hilus atau regional yang disebut komplek primer.
Pada infeksi primer ini biasanya masih sulit ditemukan kuman dalam dahak. (Silbernagl dan
Lang, 2007)
Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di jaringan paru
sehinggaakan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembearan kelenjar getah bening
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan mengalami
salah satu nasib berikut:
Sembuh dengan tidak meniggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad integrum)
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn, garis fibrotic, sarang
perkapuran di hilus)
Menyebar dengan cara:
Perkontinuatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya adalah epituberklosis.
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau
tertelan
Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan
tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara
7
spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis milier, meningitis TB, dll. (PDPI,
2006)
TB paru post primer adalah TB paru yang menyerang orang yang telah mendapatkan infeksi
primer dan dalam tubuh orang tersebut sudah ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi ini
berasal dari reinfeksi dari luar atau reaktivasi dari infeksi se-belumnya. Proses awal berupa satu
atau lebih pnemonia lobuler yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat sembuh sendiri
atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan, timbul kavitas yang menahun dan
mengadakan penyebaran ke beberapa tempat. (Depkes, 2005)
Gejala penting TB paru post primer adalah :
Batuk lebih dari 4 minggu, gejala ini paling dini dan paling sering dijumpai, biasanya ringan
dan makin lama makin berat.
Batuk darah atau bercak saja.
Nyeri dada yang berkaitan dengan proses pleuritis di apikal.
Sesak nafas yang berkaitan dengan retraksi, obstruksi, thrombosis, atau rusaknya
Parenkimparu yang luas
Wheezing yang berkaitan dengan penyempitan lumen endo-bronkhial.
Gejala umum yang tidak khas yaitu lemah badan, demam, anoreksia, berat badan turun
Klasifikasi Tuberkulosis
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan
radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
positif
2. Berdasarkan tipe pasien
Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
Kasus kambuh (relaps), adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila
BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
Infeksi jamur
TB paru kambuh
Kasus defaulted atau drop out, adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Kasus gagal, adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pasien dengan
hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan
Kasus kronik / persisten, adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik. (PDPI, 2006)
Diagnosa Tuberkulosis
Gambaran klinik
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi atas : gejala sistemik (umum) dan gejala respiratorik
(paru).
Gejala sistemik (umum), berupa :
a. Demam
Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah demam seperti gejala influenza.
Biasanya demam dirasakan pada malam hari disertai dengan keringat malam, kadang-kadang
suhu badan dapat mencapai 40 41 C. Serangan seperti influenza ini bersifat hilang timbul,
dimana ada masa pulih diikuti dengan se rangan berikutnya setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan
(dikatakan sebagai multiplikasi 3 bulan). Rasmin mengatakannya sebagai serangan influenza
yang melompat-lompat dengan masa tidak sakit semakin pendek dan masa serangan semakin
panjang.
Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan pada paru ialah foto toraks PA
dan lateral, sedangkan foto top lordotik, oblik, tomogram dan floroskopi dikerjakan atas
indikasi.
Crofton mengemukakan beberapa karakteristik radiologik pada TB paru :
Bayangan lesi terutama pada lapangan atas paru
Bayangan berawan atau berbercak
Terdapat kavitas tunggal atau banyak
Terdapat kalsifikasi
Lesi bilateral terutama bila terdapt pada lapangan alas paru
Bayangan abnormal menetap pada foto toraks ulang setelah beberapa minggu.
Letak lesi pada orang dewasa biasanya pada segmen apikal dan posterior lobus atas, segmen
posterior lobus bawah, meskipun dapat juga mengenai semua segmen.
Gambaran radiologik TB paru tidak memperlihatkan hanya satu bentuk sarang saja, akan
tetapi dapat terlihat berbagai bentuk sarang secara bersamaan sekaligus yang merupakan bentuk
khas TB paru. Adapun bentuk sarang yang dijumpai pada kelainan radiologik adalah : sarang
dini/sarang minimal, kavitas non sklerotik, kavitas sklerotik, keadaan penyebaran penyakit yang
sudah lanjut. Kelainan radiologik foto toraks hendaklah dinilai secara teliti, karena TB paru
dapat memberikan semua bentuk abnormal pada pemeriksaan radiologik dan dikenal dengan
istilah "great imitator". (PDPI, 2006)
Pemeriksaan basil tahan asam
Penemuan basil tahan asam (BTA) dalam sputum, mempunyai arti yang sangat penting
dalam menegakkan diagnosis TB paru, namun kadang-kadang tidak mudah untuk menemukan
BTA tersebut. BTA barn dapat ditemukan dalam sputum, bila bronkus sudah terlibat, sehingga
sekret yang dikeluarkan melalui bronkus akan mengandung BTAPemeriksaan mikroskopik
langsung dengan BTA (--), bukan berarti tidak ditemukan Mycobacterium tuberculosis sebagai
penyebab, dalam hal penting sekali peranan hasil biakan kuman. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan basil bakteriologik negatip adalah :
belum terlibatnya bronkus dalam proses penyakit, terutama pada awal sakit,
terlalu sedikitnya kuman di dalam sputum akibat dari cara pengambilan bahan yang tidak
adekuat,
cara pemeriksaan bahan yang tidak adekuat,
pengaruh pengobatan dengan OAT, terutama rifampisin.
Bila diagnosis TB paru semata-mata berdasarkan pada ditemukannya BTA dalam
sputum, maka sangat banyak TB paru yang terlewat tanpa pengobatan. Sedangkan justru pada
11
TB paru yang baru dengan sputum BTA (--) dan belum menular pada orang lain, paling mudah
diobati dan disembuhkan sempurna. (PDPI, 2006)
Pemeriksaan uji tuberkulin
Pemeriksaan uji tuberkulin merupakan prosedur diagnostik paling penting pada TB paru
anak, kadang-kadang merupakan satu-satunya bukti adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Sedangkan pada orang dewasa, terutama di daerah dengan prevalensi TB paru masih tinggi
seperti Indonesia sensitivitasnya rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Handoko dkk terhadap
penderita TB paru dewasa yang menyimpulkan bahwa reaksi uji tuberkulin tidak mempunyai
arti diagnostik, hanya sebagai alat bantu diagnostik saja, sehingga uji tuberkulin ini jarang
dipakai untuk diagnosis kecuali pada keadaan tertentu, di mana sukar untuk menegakkan
diagnosis. (PDPI, 2006)
Pemeriksaan laboratorium penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin yang dapat menunjang untuk mendiagnosis TB paru dan
kadang-kadang juga dapat untuk
mengikuti perjalanan penyakit yaitu :
- laju endap darah (LED)
- jumlah leukosit
- hitung jenis leukosit.
Dalam keadaan aktif/eksaserbasi, leukosit agak meninggi dengan geseran ke kiri dan
limfosit
di
bawah
nilai
normal,
laju
endap
darah
meningkat.
Dalam
keadaan
regresi/menyembuh, leukosit kembali normal dengan limfosit nilainya lebih tinggi dari nilai
normal, laju endap darah akan menurun kembali. (PDPI, 2006)
harus dirawat diruang intensif (Pusponegoro. D et al. 2006).
Menurut Deliana, 2002 pada tata laksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:
Pengobatan fase akut
Mencari dan mengobati penyebab
Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu, fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4-7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
12
Dosis
(mg/kgBB/hari) (mg/kgBB/hari)
Harian
Intermitten
R
8-12
10
10
H
4-6
5
10
Z
20-30
25
35
E
15-20
15
30
S
15-18
15
15
Dosis Obat Tuberkulosis (PPDI, 2006)
Dosis
Max
600
300
1000
<40
300
150
750
750
Sesuai BB
40-60
450
300
1000
1000
750
>60
600
450
1500
1500
1000
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang paling penting
untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (Multidrug resistance tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemic TB merupakan priority utam WHO.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan
untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB
primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberculosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO.
13
Pasien TB Paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan criteria
sebagai berikut:
Berobat > 4 bulan
BTA saat ini negative
Klinis dan radilogi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan.
Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan
diagnosis TB denganmempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila
terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kaut dan jangka waktu
pengobatan yang lama.
Berobat < 4 bulan
Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kaut dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama.
Bila TB negative, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan.
TB Paru kasus kronik
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah
ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minmal terdapat 4 macam OAT
yang massif sensitive) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid, dll.
Pengobatan minimal 18 bulan. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Kasus TB kronik
perlu dirujuk ke dokter spesialis paru. (PDPI, 2006)
Metabolisme obat
Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh.
Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal.
Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga
lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatic ini melibatkan
jalur oksidatif terutama melalui system enzim sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2
fase. Pada fase pertama, terjadi reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin
menjalani langkah ini, dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua.
Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum
15
endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Reaksi ini
dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada substrat induk
dan dapat mengakibatkan luka pada hati. Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-pbenzoquinon-imina (NAPQI), bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi.
NAPQI bertanggung jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan.
Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka dikategorikan
ke dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang paling penting dalam
metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme banyak obat. Obat dapat mengalami
biotransformasi kompetitif dan menghambat satu sama lain, sehingga terjadi interaksi obat.
Beberapa obat dapat menginduksi dan menghambat Sitokrom P-450 enzim. Fase kedua dapat
terjadi baik di dalam ataupun di luar hati. Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat,
asam amino, sulfat, glutathione, asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat.
Selanjutnya, obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu, sementara ginjal
mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang menginduksi dan menghambat
sitokrom P-450 enzim adalah sebagai berikut:
Inducers
Phenobarbital
Phenytoin
Carbamazepine
Primidone
Ethanol
Glucocorticoids
Rifampin
Griseofulvin
Quinine
16
bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogenimunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon imun multifaset yang
melibatkan sel-sel T sitotoksik dan berbagai sitokin.Obat-obat tertentu menghambat fungsi
mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi.Metabolitmetabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu.Cedera
pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik
menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat
atau metabolitnya, berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi imunogen).
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang
tidak dapat diduga (idiosinkratik).Reaksi intrinsic terjadi pada semua orang yang mengalami
akumulasi obat pada jumlah tertentu.Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu
(terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu
memetabolisme penyebab).
HEPATOTOKSISITAS IMBAS OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Penyebab tuberculosis diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50 tahun sudah
ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya.Namun, masalah TB dunia
sekarang lebih besar dari sebelumnya.Penyebab pasti ini tidak diketahui.Hal ini diperkirakan
karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV seta terjadinya Multiple Drug Resistant
Tuberkulosis (TB-MDR).Setiap tahun diperkirakan ada satu juta kasus baru dan dua juta
kematian terjadi akibat TB di dunia.
Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman baik untuk
dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang disebabkan oleh obat
TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati disebabkan oleh sebagian besar obat lini
pertama dan hal ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan
dan perawatan TB tetapi juga menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen
pengobatan untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R),
Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S).
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/ streptomisin (S) (3
obat pertama bersifat hepatotoksik). Factor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut,
pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi
tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan
status asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau
HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya
keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi
gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberculosis.
18
dilaporkan
terjadi pada pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan
diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini
tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis.
Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas dapat
terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi. Di Centre Disease Control
(CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen
2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11
meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan
terapi.
Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi hati
yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol yang
dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan hepatotoksisitas.
Efek samping etambutol yang biasanya terjadi ialah neuritis optic, buta warna merah/hijau.
TATALAKSANA
Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik (drug induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT distop
SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan
REKOMENDASI MENGELOLA OAT
Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat diminimalisir
sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional untuk mengelola
hepatotoksisitas imbas OAT antara lain:
Jika pasien terdiagnosis hepatitis imbas OAT, maka pemberian OAT tersebut harus
dihentikan. Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu.
Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan dua bulan
streptomisin, INH, dan etambutol diikuti 10 bulan INH dan etambutol.
Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan etambutol sampai 8 bulan
pengobatan untuk short course chemotherapy (SCC) atau 12 bulan untuk rejimen standar.
20
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien
hepatotoksisitas
INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai 300 mg /
hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75
mg/harilalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau
600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang terjadi,
lanjutkan. Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat
menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).
21
DAFTAR PUSTAKA
Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. 2005
Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced Hepatitis
with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in Treatment. Kathmandu
University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-260
Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis Prevention and
Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010, 10:267
Jaime, Ungo dkk. Antituberculosis Druginduced Hepatotoxicity The Role of Hepatitis C
Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of Miami School of
Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care Medicine
Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of Gastroenterology and
Hepatology. 2010
22
23