You are on page 1of 11

LAPORAN PRAKTIKUM PENGANTAR KIMIA MEDISINAL

SEMESTER GANJIL 2015 2016

PENGARUH pH DAN PKa TERHADAP IONISASI DAN KELARUTAN


OBAT

Hari / Jam Praktikum : Selasa, Pukul 13.00 16.00 WIB


Tanggal Praktikum : Selasa, 22 September 2015
Kelompok : VI
Asisten : 1. Sheila P.
2. Theresia R.D.

ZAFIRA ZAHRAH
260110150022

LABORATORIUM KIMIA MEDISINAL


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015

PENGARUH pH DAN PKa TERHADAP IONISASI DAN KELARUTAN


OBAT
I.

Tujuan
Mengamati pengaruh pH terhadap ionisasi obat

II.

Prinsip
II.1.

pH
pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk

menyatakan tingkat keasaman suatu larutan (Sumardjo, 2009)


II.2.

pKa
Suatu reaksi kimia mempunyai tetapan keseimbangan k yang

menggambarkan

seberapa

jauh

reaksi

berlangsung

sampai

berkesudahan. Untuk ionisasi dari suatu asam dalam air tetapan tersebut
disebut tetapan keasaman Ka (Fessenden, 2006).
II.3.

Persamaan Henderson Hasselbach


pH buffer dapat dicari dengan persamaan Henderson

Hasselbach:
pH = pKa + log
pOH = pKb + log

[garam]
[ asam]

[ garam ]
[ asam ]

pH buffer bergantung pada Ka asam lemah atau Kb basa


lemah dan perbandingan konsentrasi asam dengan konsentrasi basa
konjugasinya atau konsentrasi basa lemah dengan konsentrasi asam
konjugasinya (Purba,1994).

II.4.

Ka dan Kb
Ka yaitu tetapan ionisasi atau tetapan disasosiasi. Menurut

nomenklatur Bronsted-Lowry, batasan tetap ionisasi Ka tidak sesuai dan

diganti dengan nama tetapan keasaman. Kb yaitu tetapan ionisasi atau


tetapan disasosiasi basa lemah (Martin, 1993).

III.

Teori Dasar
Kebanyakan obat pada umumnya dapat bersifat basa lemah
atau asam lemah yang diketahui melalui ion-ionnya. Ion-ion ini lah yang
mampu masuk ke dalam sel-sel, karena kemampuannya untuk melewati
membran-membran yang sangat bergantung pada pH dan pKa. Alas an
digunakannya asam lemah atau basa lemah dikarenakan basa kuat atau
asam kuat apabila dalam tubuh ia akan sukar untuk mengabsorbsi karena
asam kuat dan basa kuat pasti akan terionisasi sempurna (seluruhnya).
Oleh karena itu obat-obat yang dibuat cenderung bersifat asam lemah atau
basa lemah pada umumnya. Ketika obat melewati lambung dengan pH
asam, maka sifat basa akan terprotonasi dan saat obat melewati usus
dengan pH basa, maka sifat asam yang akan terprotonasi. Basa didalam
media basa akan tetap pada molekulnya namun apabila berada dalam
media asam maka akan terprotonasi, begitupun sebaliknya (Raharjo,
2008).
Kelarutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh
polaritas suatu pelarut, yaitu momen dipole pelarut. Pelarut polar dapat
melarutkan zat ionik dan zat-zat polar lainnya. Kelarutan zat bergantung
pada struktur seperti perbandingan gugus polar terhadap gugus nonpolar
dalam molekul (Martin, 1993).

Daya kelarutan suatu zat berkhasiat memegang peranan


penting dalam formulasi suatu sediaan farmasi. Lebih dari 50% senyawa
kimia baru yang ditemukan saat ini bersifat hidrofobik akhirnya menjadi
tidak

efisien

karena

rendahnya

daya

kelarutan,

dimana

akan

mengakibatkan terjadinya penetrasi obat tersebut dalam tubuh (Lawrence,


2000).

Teknik-teknik

yang

beroperasi

pada

tingkat-tingkat

makroskopik, bila ditransferkan dari suatu kolom donor ke kolom


akseptor, masih merupakan sumber informasi utama. Kehadiran ion-ion
elektrolit inert dapat mengubah laju transfer. Teknik Rotating Membrane
Cell (RMC) merupakan cara yang digunakan untuk mempelajari efek
penambahan elektrolit inert pada transfer asam asetat dari fase air kedalam
isopropyl miristat sebagai fase organik (Hendrawan, 2002).
Kebanyakan obat melewati membran sel dengan cara difusi
pasif (misal, teofilin). Dalam proses ini tidak diperlukan energi, dan obat
bergerak menembus membran sel berdasarkan adanya suatu perbedaan
kadar obat antara dua permukaan membrane, serta kelarutan obat dalam
lipid bilayer yang membentuk membrane sel. Cara demikian sering juga
disebut difusi sederhana, terutama untuk obat yang larut dalam lipid.
Selain bergantung pada kelarutan obat dalam lipid, kecepatan difusi juga
dipengaruhi oleh koefisien partisi lipid-air dari obat tersebut, yaitu rasio
dari kelarutan di dalam suatu pelarut organik terhadap kelarutan obat
tersebut di dalam air. Umumnya, makin besar koefisien partisi dan
kelarutan obat dalam lipid, makin mudah suatu obat menembus membran
sel (Staf Pengajar FK Unsri, 2004).

IV.

Alat dan Bahan


5.1. Alat
-GelasUkur
-Pipet Tetes
-Tabungreaksi
5.2. Bahan
-Asamasetilsalisilat
-EtilAsetat
-Larutan Buffer (1 ml 0,2 M NaH2PO4 + 19 ml 0,2 M Na2H2PO4)
-LarutanHCl
-Paraaminofenol

-Parasetamol
5.3. GambarAlat
1. Gelas Ukur

2. Pipet Tetes

3.

Tabung

reaksi

V.

Prosedur
Tersedia 6 tabung reaksi:
1. Tabung 1
Dimasukkan asetosal 30 mg, kemudian ditambahkan HCl pH
1 sebanyak 3 ml. Dan ditambahkan etil asetat sebanyak 3ml.
Kemudian kocok larutan tersebut.
2. Tabung 2
Dimasukkan asetosal 30 mg, kemudian ditambahkan larutan
buffer pH 8 sebanyak 3 ml. Dan ditambahkan etil asetat sebanyak
3ml. Kemudian kocok larutan tersebut.
3. Tabung 3
Dimasukkan parasetamol 20 mg, kemudian ditambahkan
HCl pH 1 sebanyak 3 ml. Dan ditambahkan etil asetat sebanyak 3ml.
Kemudian kocok larutan tersebut.
4. Tabung 4
Dimasukkan parasetamol 20 mg, kemudian ditambahkan
larutan buffer pH 8 sebanyak 3 ml. Dan ditambahkan etil asetat
sebanyak 3ml. Kemudian kocok larutan tersebut.
5. Tabung 5

Dimasukkan asam salisilat 20 mg, kemudian ditambahkan


HCl pH 1 sebanyak 3 ml. Dan ditambahkan etil asetat sebanyak 3ml.
Kemudian kocok larutan tersebut.
6. Tabung 6
Dimasukkan asam salisilat 20 mg, kemudian ditambahkan
larutan buffer pH 1 sebanyak 3 ml. Dan ditambahkan etil asetat
sebanyak 3ml. Kemudian kocok larutan tersebut.

Untuk semua tabung, setelah beberapa menit akan terlihat 2


lapisan. Kemudian diambil pada bagian etil asetat menggunakan pipa
kapiler. Kemudian ditotolkan pada lapisan silika gel HF254.
Kemudian keringkan, dan dilihat dibawah sinar ultravioleh 254 nm.
Kemudian diamati perubahan yang terjadi.
VI.

Data Pengamatan

No
.

Senyawa (mg)

HCl pH
1

Buffer
pH 8

Etil
Asetat

Hasil
(Tinggi/rendah)

1.

Asetosal 30,6

3 ml

3 ml

Sedang (Lebih

mg
2.

Asetosal 28,5

Gelap)
-

3 ml

3 ml

Sedang

3 ml

3 ml

Tinggi (Lebih

mg
3.

Parasetamol
19,9 mg

4.

Parasetamol

Gelap)
-

3 ml

3 ml

Tinggi

3 ml

3 ml

Rendah (Lebih

20,2 mg
5.

Asam Salisilat
20,5 mg

Gelap)

6.

Asam Salisilat

3 ml

3 ml

Rendah

21 mg

No.

Perlakuan

Hasil

1.

Dimasukkan senyawa asetosal 30


mg, pasarasetamol 20 mg, dan
asam salisilat 20 mg kedalam
tabung
masing

reaksi.

Untuk

senyawa

Asetosal tidak larut dalam

HCl pH 1
Parasetamol tidak larut dalam

HCl pH 1
Asam Salisilat tidak larut

masing-

dimasukkan

kedalam 2 tabung reaksi.


2.

Untuk

tabung

dalam HCl pH 1

ditambahkan

larutan HCl pH 1 sebanyak 3 ml


untuk semua senyawa
3.

Untuk

tabung

ditambahkan

Asetosal tidak larut dalam

larutan buffer pH 8
Parasetamol tidak larut dalam

larutan buffer pH 8
Asam Salisilat tidak larut

larutan buffer pH 8 sebanyak 3 ml


untuk semua senyawa

dalam larutan buffer pH 8

4.

Kemudian ditambahkan etil asetat

Asetosal + HCl pH 1 maupun

sebanyak 3 ml kedalam semua

asetosal + buffer pH 8 larut

tabung, semua senyawa yang sudah

dalam etil asetat. Setelah

diberi larutan HCl pH 1 maupun

beberapa

larutan buffer pH 8

menjadi 2 lapisan.
Parasetamol + HCl pH 1

menit

terpisah

maupun parasetamol + buffer


pH 8 larut dalam etil asetat.
Setelah

beberapa

menit

terpisah menjadi 2 lapisan.


-

Asam salisilat + HCl pH 1


maupun

asam

salisilat

buffer pH 8 larut dalam etil


asetat.

Setelah

beberapa

menit terpisah menjadi 2


lapisan.
5.

Diambil bagian etil asetat dan

memiliki

ditotolkan pada lapisan silika gel

perubahan warna yang lebih

HF254 dengan menggunakan pipa

gelap disbanding asetosal dan

kapiler.
6.

Parasetamol

Dikeringkan.

Kemudian

asam salisilat.
Untuk perbandingan pH. pH

dilihat

1 memiliki perubahan warna

dibawah cahaya ultraviolet 254 nm.

yang lebih gelap disbanding


pH 8.

VII.

Pembahasan
Percobaan kali ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaruh pH
terhadap ionisasi obat. Sampel yang digunakan yaitu asetosal,
parasetamol dan asam salisilat sebagai pengganti p-aminofenol karena
ketidakadaannya bahan tersebut. Pada prosedur yang pertama untuk
setiap sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian untuk
setiap tabung ditambahkan bahan yang berbeda yaitu HCl pH 1 dengan
larutan buffer pH 8. Hal tersebut dilakukan untuk melihat perbandingan
antara pH rendah dengan pH yang tinggi. Setelah ditambahkan larutan
HCl pH 1, terlihat bahwa semua sampel tidak tercampur. Hal tersebut
menandakan bahwa sampel obat tersebut memiliki kelarutan yang
rendah pada pH yang rendah. Berdasarkan teori bahwa kelarutan
berbanding lurus dengan tingginya pH. Namun pada perlakuan kedua
yaitu dengan penambahan larutan buffer pH 8 didapatkan hasil bahwa
ketiga sampel tidak larut dalam larutan tersebut. Hal tersebut
menyimpang dengan teori yang menyatakan bahwa kelarutan berbanding
lurus dengan tingginya pH. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, salah satunya yaitu kurang efektifnya pengocokkan yang
dilakukan sehingga ketiga sampel tidak larut didalam larutan yang lebih
tinggi pHnya dibanding pH 1.
Setelah itu dilakukan penambahan etil asetat sebagai pelarut
organik kedalam semua tabung reaksi. Pada saat ditambahkan, kedua

campuran terlihat tidak menyatu, hal tersebut terjadi karena adanya


perbedaan fase yaitu fase organik dengan fase anorganik. Namun
disebutkan juga bahwa etil asetat tidak stabil apabila dalam air yang
mengandung basa atau asam. Kemudian dilakukan pengocokkan pada
campuran tersebut. Berdasarkan hasil pengocokkan semua sampel pada
tabung reaksi bahan sampel terlarut sempurna. Hal tersebut dapat
dikatakan bahwa mayoritas obat memiliki kelarutan yang tinggi apabila
dilarutkan pada pelarut organik. Fungsi dari pengocokkan juga agar
larutan ber-pH dengan bahan sampel dapat terdistribusi dengan etil
asetat.
Kemudian didiamkan selama beberapa menit. Terlihat dua lapisan
pada campuran tersebut, hal tersebut memang membuktikan bahwa
perbedaan fase akan sangat sukar untuk menyatu. Kemudian diambil
bagian etil asetat menggunakan pipa kapiler kemudian ditotolkan pada
lapisan silika gel HF254. Alasan menggunakan pipa kapiler karena
kecilnya lapisan silika gel, sehingga tidak memungkinkan untuk
menggunakan alat lain seperti pipet tetes. Setelah ditotolkan tunggu
hingga kering kemudian taruh dibawah cahaya ultraviolet 254 nm. Hal
tersebut dilakukan untuk mengetahui intensitas dari larutan tersebut
apakah intensitasnya tinggi atau rendah. Berdasarkan pengamatan,
campuran larutan dengan HCl pH 1 memiliki intensitas yang tinggi.
Intensitas yang tinggi ditentukan dari perubahan warna yang terlihat
lebih gelap.
VIII. Kesimpulan
pH berpengaruh pada ionisasi obat. Larutan yang memiliki pH
lebih rendah akan memiliki warna lebih gelap daripada pH yang lebih
tinggi. Sehingga pH yang tinggi akan cenderung lebih sulit mengionisasi
obat daripada pH yang rendah. Sulit terionisasi artinya memiliki
kelarutan yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Fessenden. 2006. Kimia Organik Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Hendrawan. 2002. Kajian Tentang Kinetika Transfer Asam Asetat Pada
Antarmuka Cair-cair dengan Menggunakan Rotating Membrane
Cell. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Lawrence, M.Jayne and Rees, Gareth D. 2002. Microemulsion-based
Media as Novel Drug Delivery Systems. Advanced Drug Delivery
Reviews. 45;1; 89-121.
Martin, A, dkk. 1993. Farmasi Fisik Jilid 2 Edisi 3. Jakarta: UI Press.
Purba, M. 1994. Kimia. Jakarta: Erlangga
Raharjo. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Staff Pengajar FK Unsri. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

You might also like